Determinasi Strain Rentan Homozigot pada Aedes aegypti dengan Metode Seleksi Indukan Tunggal

DETERMINASI STRAIN RENTAN HOMOZIGOT
PADA Aedes aegypti (Linn) DENGAN METODE
SELEKSI INDUKAN TUNGGAL

ISFANDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinasi Strain
Rentan Homozigot pada Aedes aegypti dengan Metode Seleksi Indukan Tunggal
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Isfanda
B252114011

RINGKASAN
ISFANDA. Determinasi Strain Rentan Homozigot pada Aedes aegypti dengan
Metode Seleksi Indukan Tunggal. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI
dan SUSI SOVIANA
Pengendalian umumnya dilakukan dengan tiga cara yaitu fisik, biologik, dan
kimia. Aplikasi insektisida merupakan cara yang paling umum digunakan. Di
samping keunggulan dalam penurunan populasi vektor yang cepat, aplikasi satu
jenis insektisida yang berulang dalam jangka panjang dapat menimbulkan
bebeberapa masalah, yakni munculnya populasi serangga target yang resisten,
resurjensi, ledakan hama sekunder, penumpukan residu insektisida di alam yang
menimbulkan masalah terhadap manusia, hewan dan lingkungan.
Koloni nyamuk Aedes aegypti di laboratorim Entomologi Kesehatan FKH
IPB merupakan sumber spesimen nyamuk standar yang secara rutin digunakan
dalam berbagai penelitian dan pengujian. Akan tetapi akhir-akhir ini diduga
bahwa secara genetik, koloni nyamuk ini telah bersifat resisten heterozigot. Hal

ini terlihat dari hasil pengujian efikasi insektisida yang menunjukkan rata-rata
kematian nyamuk yang tidak seragam pada setiap ulangan dari generasi dan umur
nyamuk yang sama. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk memperoleh koloni
yang rentan secara homozigot. Upaya ini dapat dilakukan dengan metode seleksi
indukan tunggal yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengisolasi setiap
satu pasang indukan dan mengembangbiakkan keturunannya sampai diperoleh
koloni yang rentan.
Tujuan penelitian ini untuk mempelajari dan menentukan strain rentan
homozigot pada Ae. aegypti dengan metode seleksi indukan tunggal. Penelitian ini
bermanfaat sebagai informasi dasar tentang status kerentanan Ae. aegypti koloni
Laboratorium terhadap beberapa jenis insektisida. Penelitian ini dilakukan dari
bulan Desember 2013 sampai bulan April 2014.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap.Analisis kerentanan
setiap sampel ditentukan berdasarkan persentase kematian larva dan dewasa
dengan menggunakan uji statistik regresi probit. Penentuan kerentanan larva dan
nyamuk dewasa dinyatakan sebagai Rasio Resistensi.
Nyamuk Ae. aegypti dewasa yang berasal dari laboratorium Entomologi
Kesehatan Institut Pertanian Bogor diambil secara acak. Setiap satu pasang
indukan nyamuk dewasa dipisahkan ke dalam kandang yang berbeda dan diberi
makan darah marmut untuk menghasilkan telur F0.Telur Ae. aegypti yang berasal

dari satu indukan nyamuk ditetaskan secara terpisah dalam nampan plastik yang
berisi air kran. Telur yang telah menetas menjadi larva diberi makanan berupa
tepung hati ayam dan cat food (w/w1:1) yang telah dihaluskan. Suhu rata-rata
ruangan berkisar antara 20 oC-28 oC dengan kelembaban 88%-90%. Insektisida
yang digunakan untuk pengujian larva nyamuk yaitu malation 97% dan propoksur
93.86% dengan masing-masing konsentrasi 1 ppm, 0.001 ppm, 0.0005 ppm, dan
sipermetrin 98.84% dengan konsentrasi 0.001 ppm, 0.0005 ppm, dan 0.00025
ppm. Pengujian nyamuk dewasa menggunakan kertas berinsektisida (impregnated
paper) malation 0.8%, bendiokarb 0.1%, dan deltametrin 0.025%.

Uji kerentanan larva terhadap setiap jenis konsentrasi insektisida
menggunakan 25 larva instar III yang dimasukkan ke dalam wadah berisi 240 ml
air yang telah ditambahkan 1 ml insektisida. Sementara itu pengujian nyamuk
dewasa menggunakan WHO test kit dengan masing-masing menggunakan 25
nyamuk dewasa untuk setiap perlakuan.
Hasil menunjukkan dengan metode seleksi indukan tunggal, kemudian
dipaparkan dengan insektisida malation, propoksur 1 ppm, dan sipermetrin 0.001
ppm, larva Ae. aegypti memperlihatkan tren rentan homozigot pada generasi
keempat (F4). Adapun pada stadium dewasa, Ae. aegypti pada generasi keempat
(F4) belum menunjukkan perubahan menjadi strain yang homozigot rentan

terhadap tiga jenis insektisida. Pembentukan strain homozigot rentan memerlukan
waktu di atas lima generasi.
Kata kunci: Ae. aegypti, malation, bendiokarb, propoksur, deltametrin,
sipermetrin, metode seleksi indukan tunggal.

SUMMARY
ISFANDA. Determination of Homozygous Strain In Aedes aegypti (Linn) Using
Single Sib-selection Method. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and
SUSI SOVIANA.
In general, mosquito control performed in three ways, i.e physical,
biological and chemical control wich insecticides applicationis the most
commonly used. Usage one type of insecticide repeatedly in long period can lead
to some problems, such as the emergence of the resistant of target insect
populations, resurgence and increasing number of secondary pest. Also,
accumulation of insecticide residue in nature can cause problems for humans,
animals and crops.
Ae. aegypti colony in the Medical Entomology laboratory, Faculty of
Veterinary Medicine - Bogor Agricultural University (IPB) is suspected
heterozygous resistant genetically. It was seen from the result of insecticides
efficacy test that demonstrate the average mosquito mortality was not uniform

even in same both generation and mosquitoes ages. Therefore it takes an effort to
gained homozygous susceptible colony. This can be done using single parent
selection method that was performed by isolating one pair of mosquitoes parent
and maintan its off spring to obtain susceptible colonies.
The purpose of this study was to study and determine homozygous
susceptible Ae. aegypti laboratory colony. This research is useful as basic
information about vulnerability status of Ae. aegypti laboratory colony against
several types of insecticide. This research was conducted at December 2013 until
April 2014.
These experiments use a completely randomized design. Susceptibility
analysis of each sample was determined by the percentage mortality of larvae and
adults using probit regression statistical test. Determination of larval and adult
mosquito susceptibility was expressed in the form of RR (ratio resistance).
Adults Ae. aegypti from Medical Entomology laboratory colony taken
randomly. Each pairs of the mosquito parent were separated into different cages
and fed guinea pig’s blood to produce eggs (F0). The Ae. aegypti egg that
originated from one parent mosquitoes hatched in plastic trays containing one liter
of tap water.The eggs that hatched into larvae were fed with mix chicken liver
powder and cat food (w/w 1:1).The average room temperature between 20 - 28 °C
and 88% -90% humidity. Insecticides that used for larvae testing were 97%

malathion and, 93.86% propoxur with its concentration of 1 ppm, 0.001 ppm and
0.0005 ppm, also 98.84% cypermethrin with of 0.001 ppm, 0.0005 ppm and
0.00025 ppm concentration. Adult mosquitoes testing, were using impregnated
paper i.e 0.8% malathion, 0.1% bendiocarb, and 0.025% deltamethrin.
Larval susceptibility test using 25 third instar larvae which put into a
container of 240 ml of tap water and added to 1 ml of the appropriate
concentration of insecticide. Test on adult mosquitoes performed by using
impregnated paper and the WHO standard bioassay method.

The result showed that in single sib-selection method, that exposed with
0.001 ppm sipermetrin, malathion, and 1 ppm propoxur, Ae. aegypti larvae
showed homozygote susceptibility in fourth generation (F4). Meanwhile on adult
stadium, F4 generation of Ae. aegypti did not showed of change to homozigote
susceptible strain through that 3 of insecticide. Homozygote suscebtible strain
forming after fifth generation.
Key word: Ae. aegypti, malathion, bendiocarb, propoxur, deltamethrin,
cypermethrin, single sib selection method.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETERMINASI STRAIN RENTAN HOMOZIGOT
PADA Aedes aegypti (Linn) DENGAN METODE
SELEKSI INDUKAN TUNGGAL

ISFANDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Elok Budi Retnani, MS

Judul Tesis

: Determinasi Strain Rentan Homozigot pada Aedes aegypti dengan
Metode Seleksi Indukan Tunggal

Nama
NIM

: Isfanda
: B252114011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Drh Susi Soviana, MSi
Anggota

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

21 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
Determinasi Strain Rentan Homozigot pada Aedes aegypti dengan Metode Seleksi
Indukan Tunggal.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati
Hadi MS dan Ibu Dr Drh Susi Soviana MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan Bapak Prof Dr Drh Singgih Harsojo Sigit, MSc, Bapak Dr
Drh FX. Koesharto, MSc, Ibu Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini, MSi, Bapak Dr Drh
Ahmad Arif Amin, MSc yang selama ini telah memberikan ilmunya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para staf di Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Heri, Bapak Taofik, Bapak
Nanang, Bapak Guspriyadi, Ibu Een serta teman-teman mahasiswa PEK yeng
telah banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ayahanda (alm) Abdullah Abbas, Ibunda Rusmanidar Ilyas,

Kakanda Yulizar, Lely Hayati, Zahrul Hadi, Noer Linas, Herlina, serta seluruh
keluarga atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Isfanda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

7
7
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Nyamuk Ae. aegypti
Pengendalian Kimiawi Terhadap Nyamuk

3
3
4

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Rancangan Penelitian
Penyediaan Larva dan Nyamuk Uji
Pengujian Status Kerentanan Terhadap Insektisida
Analisis Data

6
6
6
6
7
8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerentanan Larva Ae. aegypti terhadap 3 Jenis Insektisida
Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti Terhadap 3 Jenis Insektisida

8
8
12

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

15
15
15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
malation
2 Nilai LT dan RR larva Ae. aegypti terhadap malation
3 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
propoksur
4 Nilai LTdan RR Larva Ae. aegypti terhadap propoksur
5 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
sipermetrin
6 Nilai LT dan RR Larva Ae. aegypti terhadap sipermetrin
7 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap 3 isektisida
pada konsentrasi tinggi.
8 Nilai LT dan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap malation 0.8%
9 Nilai LTdan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap bendiokarb 0,1%
10 Nilai LT dan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap deltametrin 0,025%
11 Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap 3 jenis
insektisida

9
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

6

7

8
9
10
11
12

Kertas berinsektisida (impregnated paper)
WHO test kit
Kandang pemeliharaan Ae. aegypti
Uji kerentanan Larva Ae. aegypti
Perbandingan mortalitas Larva Ae. aegypti pada perbedaan generasi
terhadap tiga konsentrasi malation (a. 1 ppm ; b. 0.001 ppm ; c.
0.0005 ppm)
Perbandingan mortalitas Larva Ae. aegypti pada perbedaan generasi
terhadap tiga konsentrasi propoksur (a. 1 ppm ; b. 0.001 ppm ; c.
0.0005 ppm)
Perbandingan mortalitas Larva Ae. aegypti pada perbedaan generasi
terhadap tiga konsentrasi sipermetrin (a. 0.001 ppm ; b. 0.0005 ppm ;
c. 0.00025 ppm)
Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap malation
0.8%
Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap
bendiokarb 0.1%
Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap
deltametrin 0.025%
Rata-rata persentase kematian Ae. aegypti dewasa setelah 24 jam
Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti setelah 24 jam

19
19
20
20

21

22

23
24
24
24
25
25

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nyamuk termasuk ke dalam subfamili Culicinae, famili Culicidae dari ordo
Diptera, Ae. aegypti berperan sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue
(DBD), sedangkan nyamuk jenis lainnya berperan sebagai vektor malaria,
chikungunya, demam kuning (yellow fever), japanese encephalitis (JE), serta
filariasis. Nyamuk merupakan serangga berukuran kecil yang mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola) yang di awali dengan stadium telur,
menetas menjadi larva, pupa dan akhirnya dewasa. Total siklus hidup nyamuk
diselesaikan dalam waktu 9-12 hari pada suhu 27-30 oC. Nyamuk dewasa yang
baru muncul dari pupa akan mencari pasangan kemudian melakukan perkawinan
dan siap mencari darah (Hadi dan Soviana 2010).
Di daerah urban, dikenal dua jenis nyamuk utama yang berperan sebagai
vektor. Nyamuk itu adalah Ae. aegypti yang berkembang biak dalam tempat
penampungan air yang tidak beralaskan tanah dengan aktifitas menggigit diurnal.
Jenis lainnya adalah Cx. quinquefasciatus, vektor filariasis dan japanese
encephalitis (JE) yang merupakan nyamuk rumah dengan aktifitas mengganggu
dan mengisap darah pada malam hari dan berkembang biak di selokan (Hadi dan
Koesharto 2006).
Secara umum pengendalian nyamuk vektor dilakukan dengan tiga cara
yakni pengendalian fisik yaitu upaya untuk membuat lingkungan menjadi tidak
sesuai dengan perkembangan vektor. Cara kedua adalah pengendalian biologis
yang dititik beratkan pada penggunaan musuh alami atau predator sebagai
pemangsa nyamuk. Adapun cara ketiga adalah pengendalian kimiawi dengan
aplikasi insektisida merupakan cara yang paling umum digunakan (Hadi dan
Soviana 2010, Sukowati 2010, dan Supartha 2008).
Hingga saat ini penggunaan insektisida semakin meningkat di negara-negara
berkembang. Penggunaan satu jenis insektisida yang berulang-ulang dalam jangka
waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu, munculnya
populasi serangga target yang resisten, munculnya resurjensi, ledakan hama
sekunder, penumpukan residu insektisida di alam yang menimbulkan masalah
terhadap manusia, hewan dan hasil pertanian (Hadi dan Soviana 2010).
Resistensi adalah perubahan genetik pada suatu organisme dalam
menyeleksi racun (toxin). Perkembangan resistensi suatu organisme tidak terjadi
secara langsung dalam pengendalian menggunakan insektisida. Pengendalian
hama tidak akan berhasil dilakukan jika gejala resistensi tidak dideteksi sejak awal
(FAO 2012). Penggunaan insektisida kimia golongan organoklorin, organofosfat,
karbamat, dan piretroid dapat mempercepat terbentuknya resistensi dan
munculnya resistansi silang (Cui et al. 2006).
Mekanisme resistensi dibedakan menjadi dua jenis yaitu, mekanisme
biokimiawi dan perilaku. Mekanisme biokimiawi yaitu yang berkaitan dengan
fungsi enzimatik di dalam tubuh serangga vektor yang mampu mengurai molekul
insektisida menjadi molekul-molekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi).

2
Mekanisme resistensi perilaku adalah yang berkaitan dengan proses secara alami
untuk menghindari kontak dengan insektisida (Kranthi 2005).
Organisme multiseluler mempunyai dua set kromosom (diploid) yang
memiliki satu alel pada setiap kromosom. Jika alelnya sama berarti homozigot.
Jika kedua alel berbeda maka organisme tersebut heterozigot. Sifat genetik yang
mempengaruhi resistensi terhadap insektisida dapat ditemukan pada satu atau
kedua alel. Ketika sifat tersebut dimiliki oleh kedua alel (RR) maka serangga
menjadi resisten homozigot. Serangga yang resisten homozigot akan menurunkan
satu alel resisten (R) kepada generasi berikutnya. Jika generasi berikutnya
menerima satu alel resisten (R) dari induk lainnya, maka keturunan tersebut akan
menjadi resisten homozigot (RR). Jika sifat resisten ditemukan hanya dalam satu
alel gen (RS), maka serangga resisten heterozigot akan kurang resisten terhadap
insektisida. Individu yang rentan homozigot (SS) akan rentan terhadap insektisida.
Populasi yang belum pernah terpapar insektisida umumnya sangat rentan, gen
resisten di dalam populasi tersebut sangat jarang terbentuk (FAO 2012).
Secara fenotip nyamuk yang resisten homozigot selain lebih resisten
terhadap paparan insektisida juga mengalami penurunan kemampuan lainnya.
Sebagai contoh Rowland (1991) menyatakan bahwa nyamuk betina Anopheles
stephensi Liston dan An. gambiae Giles yang resisten homozigot (RR) terhadap
insektisida Dieldrin (γHCH) menurun kemampuannya dibandingkan terhadap
nyamuk yang resisten heterozigot (RS) dan yang masih rentan (SS). Kemampuan
nyamuk yang diukur dan dibandingkan antara lain dalam mencari tempat
peletakan telur, mencari inang, jumlah telur yang dihasilkan sampai kemampuan
nyamuk yang berkurang dalam menghindari predator. Nyamuk An. gambiae
jantan yang resisten homozigot terhadap insektisida yang sama memiliki
penurunan kemampuan bersaing dalam memperebutkan nyamuk betina.
Penelitian untuk mendeteksi resistensi terkini di lapangan dan
mekanismenya sangat penting dalam menentukan strategi yang efektif untuk
mencegah proses kejadian resistensi (Gonzales et al.1999). Hamdan et al. (2005)
menyatakan nyamuk Culex quinquefasciatus lebih cepat menjadi resisten terhadap
malation dan permetrin dibandingkan dengn Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
Sementara itu, Ahmad et al. (2000) melaporkan bahwa larva Cx. quinquefasciatus
lebih resisten dibandingkan spesies Aedes terhadap malation dan temephos.
Koloni nyamuk Ae. aegypti di Laboratorim Entomologi Kesehatan FKH
IPB diduga secara genetik bersifat resisten heterozigot. Hal ini terlihat dari hasil
pengujian efikasi insektisida yang menunjukkan rata-rata kematian nyamuk yang
tidak seragam pada setiap ulangan dari generasi dan umur nyamuk yang sama.
Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk memperoleh koloni nyamuk yang rentan
secara homozigot. Upaya ini dapat dilakukan dengan metode seleksi indukan
tunggal yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengisolasi setiap satu pasang
indukan dan mengembangbiakkan keturunannya sampai diperoleh koloni yang
rentan terhadap insektisida (Hamdan et al. 2008).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mempelajari dan menentukan strain rentan
homozigot pada Ae. aegypti dengan metode seleksi indukan tunggal.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dasar tentang status
kerentanan Ae. aegypti koloni Laboratorium terhadap beberapa jenis insektisida.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting Nyamuk Ae. aegypti
Nyamuk merupakan serangga berukuran kecil yang memiliki bagian mulut
untuk menusuk dan mengisap. Nyamuk yang berada di sekeliling rumah seperti
Culex quinquefasciatus, Ae. aegypti dan Ae. albopictus, tumbuh dan berkembang
dalam genangan air di sekitar permukiman. Nyamuk dewasa biasanya berukuran
dengan panjang 3-6 mm, tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap, manusia
dan hewan. Hal ini disebabkan oleh bau zat-zat yang dikeluarkan hewan, terutama
CO2 dan asam amino. Nyamuk betina siap mencari darah setelah kawin untuk
perkembangan telur dan setelah bertelur nyamuk akan mencari darah kembali
untuk siklus bertelur berikutnya (siklus gonotrofik) (Hadi dan Koesharto 2006).
Perkembangan Ae. aegypti dari telur menjadi dewasa dengan suhu ruangan
antara 10oC hingga 28oC memerlukan waktu tercepat 5.5 hari dan paling lambat
121 hari. Waktu tercepat didapatkan pada ruangan dengan suhu rata-rata 28.7oC
dan waktu terlama didapatkan di ruang dengan suhu rata-rata 10 oC. Waktu yang
dibutuhkan telur nyamuk untuk menjadi nyamuk dewasa berkurang dengan
bertambahnya suhu udara (Hidayati et al. 2007).
Nyamuk Ae. aegypti betina mencari dan mengisap darah pada pagi dan sore
hari, menghisap darah berbagai jenis hewan atau manusia, sedangkan nyamuk Ae.
aegypti jantan mengisap nektar tanaman. Telur nyamuk Ae. aegypti tahan kering
untuk jangka waktu yang lama. Wadah penampungan air yang berada dekat
dengan permukiman merupakan habitat yang baik untuk larva Ae. aegypti (Hadi
dan Koesharto 2006).
Nyamuk Ae. aegypti selain menjadi pengganggu karena gigitannya yang
menimbulkan kegatalan juga merupakan vektor utama demam berdarah, dan
chikungunya, terutama di Indonesia. Demam berdarah (DBD) atau dengue
hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk
yang saat ini menjadi perhatian utama masyarakat internasional. DBD ditemukan
di daerah tropik dan subtropik, terutama wilayah urban dan periurban. DBD
pertama kali diketahui di Asia Tenggara tahun 1950an tetapi mulai tahun 1975
hingga sekarang merupakan penyebab kematian utama pada anak-anak di negaranegara Asia. Prevalensi penyakit ini secara global meningkat drastis dekade saat
ini (WHO 2004).
Saat ini DBD endemik terjadi di 100 lebih negara-negara di Afrika,
Amerika, Mediteranian Timur, Asia Tenggara dan Pasific Barat. Asia Tenggara
dan Pasifik Barat adalah negara-negara yang paling banyak menderita. Sebelum
tahun 70an hanya 9 negara yang mengalami epidemi DBD, jumlah ini meningkat
empat kali lipat sampai dengan tahun 1995. Sejak tahun 1997 dengue dinyatakan

4
sebagai penyakit asal viral terpenting yang berbahaya dan berakibat fatal bagi
manusia (Gubler et al. 2002).
Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali pada tahun 1968, di kota
Jakarta dan Surabaya. Epidemi penyakit DBD di luar Jawa pertama kali
dilaporkan di Sumatera Barat dan Lampung tahun 1972. Sejak itu, penyakit ini
semakin menyebar luas ke berbagai wilayah di Indonesia. Penularan DBD hanya
dapat terjadi melalui gigitan nyamuk yang di dalam tubuhnya mengandung virus
Dengue (Hadi 2011).
Hidayati et al. (2007) melaporkan bahwa jumlah penduduk, letak geografis,
dan suhu dapat mempengaruhi umur stadium pradewasa nyamuk dan periode
inkubasi ekstrinsik (EIP) atau masa inkubasi virus Dengue. Di sebagian besar
daerah endemik Dengue di Indonesia, panjang stadium pradewasa nyamuk Ae.
aegypti antara 13 hingga 24 hari atau 2 hingga 4 minggu. Periode inkubasi
ekstrinsik (EIP) virus di dalam tubuh nyamuk memerlukan waktu 11 hingga 14
hari atau 1 hingga 2 minggu. Pada daerah dengan suhu udara 21 oC, nyamuk Aedes
memerlukan waktu hingga 7 minggu untuk stadium pradewasa dan 4 hingga 5
minggu untuk periode inkubasi ekstrinsik virus. Potensi penularan virus Dengue
dan perkembangbiakan nyamuk Aedes hampir tidak ada pada ketinggian tempat
masing-masing lebih dari 1350 dan 1600 mdpl.
Chikungunya disease atau demam chikungunya adalah satu di antara
penyakit tular vektor yang saat ini banyak terjadi di Indonesia. Penyebab penyakit
ini adalah Alphavirus (famili Togaviridae) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Di Indonesia, penyakit ini dilaporkan pertama kali
di Samarinda pada tahun 1973, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal, Jambi
tahun 1980. Tahun 1983 merebak di Martapura, Ternate, Yogyakarta. Setelah
menghilang hampir 20 tahun, kejadian luar biasa (KLB) demam chikungunya
terjadi pada awal tahun 2001 di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh,
kemudian muncul di Bogor bulan Oktober. Demam Chikungunya berjangkit lagi
di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah) pada tahun 2002.
Selanjutnya berkembang hingga sekarang ke berbagai wilayah lain di Indonesia
(Hadi 2011b).
Kedua penyakit tersebut hingga sejauh ini karena merupakan penyakit virus,
maka tidak ada pengobatan untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan
virus ini. Pengobatan hanya dapat dilakukan dengan cara simptomatis yaitu
menghilangkan gejala-gejala yang terlihat setiap penderita. Cairan bisa diberikan
untuk mengurangi dehidrasi dan obat-obatan diberikan untuk mengurangi demam,
serta mengatasi perdarahan (Hadi 2011).
Pengendalian Kimiawi Terhadap Nyamuk
Pengendalian kimiawi adalah upaya mengendalikan nyamuk dengan
menggunakan insektisida. Insektisida merupakan senyawa kimia yang digunakan
untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia. Penggunaan
insektisida sintetik semakin meningkat pada pengendalian hama dan vektor
penyakit di negara-negara berkembang. Insektisida kimia telah dikenal sejak lebih
dari 3000 tahun yang lalu oleh orang Yunani, Romawi, dan Cina. Pengendalian
kimiawi merupakan pengendalian pilihan karena beberapa kelebihan, yaitu mudah

5
diaplikasikan, menurunkan populasi nyamuk dengan cepat, dan mudah didapat
(Hadi dan Soviana 2010).
Beberapa golongan insektisida yang sering digunakan dalam pengendalian
nyamuk adalah dari organofosfat, karbamat, dan piretroid. Piretroid merupakan
racun axonik pada serabut saraf, mengikat protein dalam syaraf yang dikenal
sebagai voltage-gate sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka
untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan
sinyal syaraf. Piretroid terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara
normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang
mengakibatkan tremor dan inkoordinasi pada serangga yang keracunan
insektisida. Sementara itu insektisida golongan organofosfat dan karbamat
merupakan racun saraf dan secara spesifik mengikat enzim asetilkolinesterase
(AChE). Enzim ini dibentuk untuk menghambat suatu impuls saraf melewati
sinaps untuk tidak bekerja. Sehingga sinaps yang keracunan tidak mampu
menghentikan impuls saraf yang berkelanjutan yang pada akhirnya
mengakibatkan kejang-kejang dan inkoordinasi (Wirawan 2006).
Insektisida organofosfat, karbamat, dan piretroid mempunyai organ target
yang sama yaitu asetilkolinesterase (AChE) pada saraf. AChE menghidrolisis
eksitatori neurotransmiter asetilkolin pos-sinaptik pada membran saraf. Perubahan
AChE pada serangga yang resisten terhadap organofosfat dan karbamat
menyebabkan berkurangnya sensitivitas dalam menghambat enzim oleh
insektisida (Hemingway dan Ranson 2000).
Penggunaan insektisida piretroid semakin meningkat setelah munculnya
nyamuk yang resisten terhadap insektisida golongan organofosfat dan
organoklorin dalam beberapa tahun terakhir. Pengendalian vektor banyak gagal
karena program pengendalian yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Upaya
pengendalian dan menghilangkan tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti sebagai
vektor dilakukan dengan penggunaan larvasida. Larvasida yang sering digunakan
yaitu temephos, permetrin, bti, dan pyriproxyfen yang diaplikasikan kedalam
tempat penampungan air (McCall dan Kittayapong 2006).
Kejadian resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida telah banyak
dilaporkan diberbagai negara. Ae. aegypti dilaporkan telah resisten terhadap DDT
dan malation di Port Sudan City (Husham et al. 2010). Sementara itu, di Selangor
Malaysia Rong et al. (2012) melaporkan Ae. aegypti telah resisten terhadap DDT,
propoksur, bendiokarb, dan permetrin (angka mortalitas di bawah 80%). Di
Brazil, Ae. aegypti dilaporkan telah resisten terhadap temephos karena pemakaian
yang terus menerus. Upaya untuk mengatasi masalah resistensi ini sulit dan perlu
waktu lama, paling tidak tujuh tahun (Lima et al. 2011). Di Indonesia, Mulyatno
et al. (2012) melaporkan larva Ae. aegypti dari 9 lokasi di Surabaya menunjukkan
masih efektif terhadap temephos 1mg/l, sedangkan di tiga lokasi lainnya
(Tambaksari, Gubeng, dan Sawahan) telah menunjukkan adanya resistensi
(kematian di bawah 80%). Nurjanah (2013) menyatakan bahwa nyamuk Ae.
aegypti di beberapa daerah di Kota Bogor telah resisten terhadap malation,
bendiokarb, dan deltametrin. Paradani et al. (2011) juga menyatakan bahwa
nyamuk Ae. aegypti di Kota Cimahi telah resisten terhadap sipermetrin.
Resistensi terhadap insektisida bersifat diturunkan secara genetik pada
populasi serangga yang rentan. Hal ini disebabkan oleh perubahan frekwensi alel
di dalam suatu populasi serangga. Menurut teori Darwin, gen bertanggung jawab

6
terhadap resistensi insektisida ada di dalam bagian kecil populasi. Gen akan
diaktifkan ketika terjadi pemaparan insektisida. Kecepatan dan derajat
perkembangan resistensi tergantung pada frekwensi resistensi gen dalam populasi,
jenis gen yang bertanggung jawab terhadap resistensi, dosis insektisida yang
digunakan dan frekwensi aplikasi (Ahmad et al. 1998).

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor mulai dari bulan
Desember 2013 sampai dengan bulan April 2014.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan. Pada dua bulan pertama dilakukan
seleksi indukan dan perkembangbiakan nyamuk F0 – F1 untuk memperoleh koloni
nyamuk dengan populasi yang besar sehingga diharapkan pada generasi
berikutnya jumlah larva dan dewasa mencukupi untuk dilakukan pengujian.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pada larva dengan 3
perlakuan dan 4 ulangan sedangkan pada dewasa dengan 3 perlakuan dan 3
ulangan untuk setiap jenis insektisida. Persamaan regresi antara waktu kontak
dengan mortalitas dibuat untuk mengetahui status kerentanan populasi nyamuk
yang diuji terhadap insektisida. Analisis kerentanan setiap sampel kandang
ditentukan berdasarkan pada persentase kematian larva dan dewasa dengan
menggunakan uji statistik regresi dan analisis probit dengan menggunakan
software SPSS versi 19.
Penyediaan Larva dan Nyamuk Uji
Seleksi Indukan
Sebanyak 10 pasang nyamuk Ae. aegypti F97 dewasa strain insektarium
diambil secara acak. Setiap satu pasang indukan nyamuk dewasa (jantan dan
betina) kemudian dipisahkan ke dalam kandang yang berbeda. Nyamuk tersebut
diberi makan darah marmut untuk menghasilkan telur dan hasil dari penetasan
telur tersebut dinyatakan sebagai F0.
Persiapan untuk mendapatkan telur Ae. aegypti dilakukan dengan
menyediakan ovitrap. Ovitrap untuk Ae. aegypti berupa wadah gelas plastik yang
dilapisi kertas saring pada bagian dinding dalam sebagai tempat peletakan telur,
lalu diisi dengan air setengahnya. Ovitrap kemudian diletakkan dalam kandang
berisi nyamuk betina dewasa yang telah diberi makan darah. Ovitrap dibiarkan
sampai nyamuk meletakkan telurnya.

7
Pemeliharaan Nyamuk
Satu kertas saring telur Ae. aegypti yang berasal dari satu indukan nyamuk
dipindah dari ovitrap dan dikeringkan pada suhu kamar selama dua hari. Setelah
itu ditetaskan dalam nampan plastik berukuran 20x15x10 cm3 yang berisi satu
liter air. Telur yang telah menetas menjadi larva diberi makanan berupa tepung
hati ayam dan cat food (w/w1:1) yang telah dihaluskan. Air di dalam nampan
tersebut diganti dengan air baru setiap dua hari sekali sampai menjadi larva instar
IV. Pupa dikumpulkan di dalam wadah gelas plastik, kemudian dimasukkan ke
dalam kandang hingga eklosi menjadi dewasa. Seterusnya nyamuk jantan dan
betina yang telah melakukan perkawinan, diberi makan darah marmut dan
dibiarkan bertelur. Pemeliharaan ini dilakukan hingga 5 generasi (F5). Suhu ratarata ruangan berkisar antara 20 oC-28oC dengan kelembaban 88% - 90%.
Pengujian Status Kerentanan Terhadap Insektisida
Insektisida
Insektisida yang digunakan untuk pengujian larva nyamuk terdiri atas tiga
golongan, yaitu malation 97% (organophosfat), propoksur 93.86% (karbamat),
dan sipermetrin 98.84% (piretroid). Setiap insektisida dilakukan pengujian
terhadap tiga tingkatan konsentrasi yang diencerkan dengan aseton dalam satuan
ppm. Konsentrasi insektisida malation dan propoksur untuk larva Aedes aegypti
sebesar 1 ppm, 0.001 ppm, 0.0005 ppm dan sipermetrin 0.001 ppm, 0.0005 ppm,
0.00025 ppm. Pengujian nyamuk dewasa digunakan kertas berinsektisida
(impregnated paper) malation 0.8%, bendiokarb 0.1%, dan deltametrin 0.025%
(WHO 2013).
Uji Kerentanan Larva
Uji ini menggunakan larva instar III. Sebanyak 25 larva dimasukkan ke
dalam wadah plastik berukuran 350 ml. Selanjutnya, ditambahkan air sebanyak
225 ml yang telah dicampur insektisida dengan tingkatan konsentrasi sebagaimana
tersebut diatas masing-masing sebanyak 1 ml. Pengamatan kematian larva dimulai
dari menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 24 jam setelah kontak. Pengujian ini
diulang 4 kali. Untuk kontrol positif dilakukan dengan menggunakan Aseton
(98%), sedangkan kontrol negatif menggunakan air yang telah disaring. Apabila
angka kematian kontrol pada larva lebih besar dari 20% maka harus dilakukan
pengujian ulang, dan bila kematian terjadi antara 5%-20% maka data dikoreksi
dengan rumus Abbot.
Uji Kerentanan Nyamuk Dewasa
Pengujian dilakukan dengan menggunakan impregnated paper yang
dimasukkan ke dalam masing-masing tabung WHO test kit, sedangkan untuk
kontrol hanya menggunakan kertas saring. Pengujian ini di ulang 3 kali dengan
satu kontrol negatif. Nyamuk betina umur 2-3 hari yang kenyang air gula diambil
dari kandang pemeliharaan. Setiap tabung holding tube (tidak dilapisi
impregnated paper) diisi dengan 25 ekor nyamuk uji. Tutup pembuka tabung
kemudian digeser untuk memindahkan nyamuk dari holding tube ke exposure
tube (tabung pemaparan). Setelah semua nyamuk berada di exposure tube, tutup
digeser kembali agar nyamuk tidak berpindah. Tabung diletakkan dalam posisi

8
tegak selama satu jam dan diamati kematiannya mulai dari 10, 20, 30, 40, 50, dan
60 menit.
Setelah kontak selama 60 menit, nyamuk dipindahkan kembali ke dalam
kandang dan beri air gula 10 %. Setelah 24 jam, jumlah nyamuk yang mati
dihitung dan dicatat. Apabila terjadi kematian pada kelompok kontrol nyamuk
lebih dari 20%, akan dilakukan seperti halnya pada pengujian larva yaitu koreksi
dengan rumus Abbot (WHO 1998).

Analisis Data
Analisis Status Kerentanan Larva dan Dewasa
Status kerentanan ditentukan berdasarkan presentase kematian larva dan
dewasa. Apabila kematiannya dibawah 80% maka populasi tersebut dinyatakan
resisten, antara 80% - 97% dinyatakan toleran, dan antara 98% - 100% dinyatakan
rentan (WHO 1975).
Analisis Status Resistensi Larva dan Dewasa
Status resistensi nyamuk Ae. aegypti dan terhadap malation, bendiokarb,
propoksur, dan sipermetrin diukur dengan perhitungan analisis regresi probit yang
dinyatakan dalam LT50, LT95, dan rasio resistensi (RR). Setelah diperoleh nilai
LT50, LT95, maka nilai RR dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerentanan Larva Ae. aegypti terhadap 3 Jenis Insektisida
Kerentanan Larva Ae. aegypti terhadap Malation
Hasil uji kerentanan larva Ae. aegypti yang dipaparkan dengan insektisida
malation disajikan pada Tabel 1. Rata-rata kematian larva Ae. agypti generasi F4
dan F5 mencapai 100% pada 24 jam setelah pemaparan. Konsentrasi 1 ppm, 0.001
ppm, dan 0.0005 ppm menyebabkan kematian larva Ae. agypti berbeda nyata (P <
0.05). Persentase kematian larva mengalami peningkatan pada konsentrasi 1 ppm
setelah 24 jam pemaparan pada setiap generasi, namun hal tersebut tidak berbeda
nyata (P > 0.05).

9
Tabel 1 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
malation
Kematian Larva Ae. aegypti setelah 24 jam
Generasi
Insektisida
F2(%)
F3(%)
F4(%)
F5(%)
c
c
c
Malation 1 ppm
98.40
99.50
100
100c
Malation 0.001 ppm
76.40 b
63.40 a
71.20 b
72.20b
a
a
a
Malation 0.0005 ppm
64.00
65.50
53.40
53.50a
Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama
menyatakan berbeda nyata (P < 0.05).
Tabel menunjukkan nilai LT50 dan LT95 mengalami peningkatan dari
generasi F2 sampai generasi F5. Nilai LT50 dan LT95 tertinggi pada generasi F5
yaitu 92.73 menit dan 177.54 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
bertambah generasi maka nilai LT50 dan LT95 semakin tinggi. Nilai RR50 dan RR95
mengalami peningkatan seiring dengan penambahan generasi. RR50 dan RR95
mencapai nilai 1.0 terdapat pada generasi ke F4. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
kerentanan yang sama atau homozigot telah tercapai pada generasi F4. Generasi ke
F5 merupakan pembanding dalam penghitungan nilai RR.
Tabel 2 Nilai LT dan RR larva Ae. aegypti terhadap malation
Malation 1 ppm
Generasi

LT 50

LT95

Regresi Linear

RR50

RR95

F2

24.75

(21.79-28.69)

64.78

( 55.34-79.66 )

y=0.050x-1.5

0.3

0.4

F3

62.13

(57.02-68.86)

132.05

(115.82-157.47)

y=0.025x-1.5

0.7

0.7

1.0

1.0

F4

90.66

(84.43-98.92)

175.96

(155.89-207.71)

y=0.025x-2.0

F5

92.73

(86.54-100.94)

177.54

(157.58-209.16)

y=0.025x-2.0

F2

59.28

(55.22-64.64)

114.82

(101.83-135.28)

y=0.033x-1.8

0.8

0.7

F3

82.40

(77.07-89.53)

155.43

(138.06-183.17)

y=0.020x-1.5

1.1

1.0

1.0

1.0

Malation 0.001 ppm

F4

76.53

(70.39-84.62)

160.62

(141.10-191.20)

y=0.020x-1.5

F5

77.39

(71.67-85.96)

162.24

(142.65-192.90)

y=0.020x-1.5

Malation 0.0005
F2

52.65

(49.00-57.46)

102.50

( 90.91-120.68 )

y=0.040x-1.9

0.8

0.8

F3

83.20

(77.81-90.74)

156.69

(138.76-185.85)

y=0.020x-1.5

1.3

1.2

F4

57.26

(52.40-63.67)

123.69

(108.24-147.90)

y=0.029x-1.5

0.9

0.9

F5

61.97

(56.80-68.84)

132.59

(115.96-158.90)

y=0.025x-1.5

Kerentanan Larva Ae. aegypti terhadap Propoksur
Berdasarkan hasil uji kerentanan larva Ae. aegypti yang dipaparkan dengan
insektisida propoksur disajikan pada Tabel 3. Rata-rata kematian larva Ae.
aegypti mencapai 100% pada generasi F3, F4, dan F5 pada 24 jam setelah
pemaparan. Kematian larva Ae. aegypti pada konsentrasi 0.001 dan 0.0005

10
berbeda nyata (P < 0.05). Persentase kematian larva mengalami peningkatan pada
konsentrasi 1 ppm setelah 24 jam pemaparan pada setiap generasi.
Nilai LT50 dan LT95 pada konsentrasi 1 ppm tertinggi pada F5 yaitu 94.02
menit dan 160.47 menit (Tabel 4). Nilai RR50 dan RR95 mengalami peningkatan
seiring dengan penambahan generasi. RR50 dan RR95 mencapai nilai 1.0 terdapat
pada generasi ke F4. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kerentanan yang sama atau
homozigot telah tercapai pada generasi F4 di setiap konsentrasi.
Tabel 3 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
propoksur
Kematian Larva Ae. aegypti setelah 24 jam
Generasi
Insektisida
F2(%)
F3(%)
F4(%)
F5(%)
Propoksur 1 ppm
96.90 c
100b
100 c
100b
b
a
b
Propoksur 0.001 ppm
65.90
70.70
78.80
80.30b
Propoksur 0.0005 ppm
47.70 a
60.30 a
62.70a
64.90a
Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama
menyatakan berbeda nyata (P < 0.05)
Tabel 4 Nilai LTdan RR Larva Ae. aegypti terhadap propoksur
Propoksur 1 ppm
Generasi

LT50

LT95

Regresi Linear

RR 50

RR95

F2

66.52

( 63.26-70.81 )

111.09

(100.75-127.29)

y=0.040x-2.7

0.7

0.7

F3

78.46

( 71.53-87.61 )

173.36

(151.18-208.31)

y=0.020x-1.5

0.8

1.1

F4

94.05

(89.25-100.49)

159.78

(144.00-185.15)

y=0.029x-2.4

1.0

1.0

F5

94.02

(89.17-100.50)

160.47

(144.68-185.78)

y=0.029x-2.4
0.6

0.6

Propoksur 0.001 ppm
F2

54.64

( 51.70-58.56 )

94.98

( 85.44-110.16 )

y=0.050x-2.5

F3

91.01

(84.39-104.60)

139.22

(118.90-200.53)

y=0.033x-2.8

1.1

0.9

F4

88.04

( 82.99-93.77 )

157.29

(140.88-183.46)

y=0.025x-2.0

1.0

1.0

F5

86.04

( 80.91-92.81 )

156.40

(139.99-182.21)

y=0.029x-2.4

Propoksur 0.0005 ppm
F2

40.61

(38.03-44.00)

75.89

( 67.67-88.79 )

y=0.050x-2.0

0.6

0.5

F3

88.49

(84.51-93.89)

142.96

(129.70-164.50)

y=0.029x-2.4

1.2

0.9

1.0

1.0

F4

74.66

(68.63-82.61)

157.28

(138.08-187.40)

y=0.020x-1.5

F5

72.20

(66.30-79.97)

152.87

(134.16-182.14)

y=0.020x-1.5

Kerentanan Larva Ae. aegypti terhadap Sipermetrin
Berdasarkan hasil uji kerentanan larva Ae. aegypti yang dipaparkan dengan
insektisida sipermetrin disajikan pada Tabel 5. Rata-rata kematian larva Ae.
aegypti mencapai 100% di generasi F5 pada 24 jam setelah pemaparan. Kematian
larva Ae. aegypti pada konsentrasi 0.005 dan 0.00025 berbeda nyata (P < 0.05).
Persentase kematian larva mengalami peningkatan konsentrasi 0.001 ppm setelah

11
24 jam pemaparan pada setiap generasi. Nilai LT50 dan LT95 mengalami
peningkatan dari generasi F2 sampai generasi F5. Nilai LT50 dan LT95 tertinggi
pada generasi F5 dengan nilai yaitu 99.56 menit dan 125.17 menit (Tabel 6). Hal
ini menunjukkan bahwa semakin bertambah generasi nilai LT50 dan LT95 semakin
tinggi. Nilai RR50 dan RR95 mengalami peningkatan seiring dengan penambahan
generasi. RR50 dan RR95 mencapai nilai 1.0 pada generasi ke F4. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai kerentanan yang sama atau homozigot telah tercapai
pada generasi F4.
Tabel 5 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap insektisida
sipermetrin
Kematian Larva Ae. aegypti setelah 24 jam
Generasi
Insektisida
F2(%)
F3(%)
F4(%)
Sipermetrin 0.001 ppm
86.40 c
86.90b
99.90b
Sipermetrin 0.0005 ppm
58.70 b
63.20 ab
67.90a
a
a
Sipermetrin 0.00025 ppm
37.40
51.80
51.20a

F5(%)
100 b
67.40 a
52.10 a

Hasil uji kerentanan larva Ae. aegypti mulai dari F2 sampai F5 terhadap
pemaparan tiga konsentrasi Sipermetrin tersaji dalam Tabel 1 dan 3. Konsentrasi
sipermetrin 0.001 ppm tampak adanya peningkatan persentase kematian larva
setiap generasi dengan nilai rasio resistensi LT50 0.9–1.0. Nilai kematian tertinggi
(100%) pada konsentrasi 0.001 ppm terjadi pada generasi F4 dan F5. Adapun pada
konsentrasi 0.0005 ppm, kematian larva tertinggi tampak pada generasi F4
(67.90%) dengan nilai RR50 0.9–1.0. Konsentrasi 0.00025 ppm, nilai kematian
tertinggi hanya terjadi pada generasi F5 (52.10%) dengan nilai RR50 0.8–0.1.
Tabel 6 Nilai LT dan RR Larva Ae. aegypti terhadap sipermetrin
Sipermetrin 0.001 ppm
Generasi

LT50

LT95

Regresi Linear

RR 50

RR95

F2

91.21

( 87.25-96.50 )

145.52

(132.61-166.11)

y=0.033x-2.8

0.9

1.2

F3

97.17

(91.79-108.55)

134.72

(118.49-186.00)

y=0.050x-4.5

1.0

1.1

F4

99.21

(96.98-103.33)

116.47

(109.69-134.21)

y=0.133x-12.8

1.0

0.9

F5

99.56

(96.04-106.55)

125.17

(114.54-155.96)

y=0.080x-7.5

F2

76.61

(72.623-81.887)

131.26

(118.47-151.43)

y=0.033x-2.5

0.9

1.1

F3

84.60

(82.441-87.459)

114.13

(107.15-125.23)

y=0.057x-4.6

1.0

0.9

F4

86.06

(83.854-88.959)

116.22

(109.22-127.19)

y=0.057x-4.9

1.0

1.0

F5

86.90

(84.377-90.217)

121.36

(113.34-133.94)

y=0.050x-4.3

Sipermetrin 0.0005 ppm

Sipermetrin 0.00025 ppm
F2

60.16

(56.41-65.09)

111.25

(99.37-129.85)

y=0.040x-2.3

0.8

1.0

F3

71.12

(69.42-73.39)

94.35

(88.87-103.04)

y=0.067x-4.8

0.9

0.8

F4

73.18

(70.76-76.37)

106.29

(98.56-118.43)

y=0.050x-3.5

1.0

1.0

F5

75.85

(73.24-79.29)

111.49

(103.19-124.53)

y=0.050x-3.8

12
Tabel 7 Rata-rata persentase kematian larva Ae. aegypti terhadap 3 isektisida
pada konsentrasi tinggi.
Insektisida
Malation 1 ppm
Propoksur 1 ppm
Sipermetrin 0.001 ppm

Kematian Larva Ae. aegypti pada konsentrasi
tinggi setelah 24 jam
F2 (%)
98.40
96.40
86.40

F3 (%)
99.50
100
86.90

F4 (%)
100
100
99.90

F5 (%)
100
100
100

Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti Terhadap 3 Jenis Insektisida
Kerentanan Ae.aegypti terhadap Malation
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kematian nyamuk Ae.
aegypti terhadap malation tertinggi pada generasi F4 (31.07%) dan terendah pada
generasi F3 (25.87%) (Tabel 11). Persentase kematian pada generasi F2 berbeda
nyata dengan generasi F3, F4 dan F5 (P < 0.05).
Nilai RR50 dari generasi F2 sampai generasi F 4 mulai 0.2-0.9. Artinya
perbandingan antara nilai LT 50 pada setiap generasi dibandingkan nilai LT50 pada
generasi terakhir semakin mendekati nilai 1.0 dan mencapai sifat yang homozigot
pada generasi F4. Adapun nilai RR95 pada generasi F2 memiliki nilai 1.2. Hal ini
berarti waktu kematian 95% pada generasi tersebut lebih lama dibandingkan
waktu kematian 95% pada generasi pembanding (F5). Sifat resisten kemungkinan
masi dimiliki oleh generasi F2 yang merupakan bawaan dari induk sebelumnya.
Nilai RR95 pada generasi selanjutnya semakin menurun dan mendekati 1.0 pada
generasi F4.
Nilai RR yang belum mendekati 1.0 berarti bahwa nyamuk pada generasi
tersebut belum mempunyai genetik yang homozigot dan belum memiliki
kerentanan yang sama terhadap insektisida malation. Nyamuk yang homozigot
merupakan nyamuk yang mempunyai pasangan gen yang sama dalam satu
populasi.
Tabel 8 Nilai LT dan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap malation 0.8%
Generasi
F2
F3
F4
F5

Malathion 0.8%
LT95
Regresi Linear

LT50
3.80
10.61
13.96
15.38

(10.05-11.19)
(13.42-14.52)
(14.66-16.14)

30.52
17.89
21.05
24.87

(16.49-19.97)
(19.67-23.09)
(23.08-27.60)

y=0.2 x-1.50
y=0.21x-2.33
y=0.25x-3.50
y=0.21x-3.58

RR50

RR95

0.2
0.7
0.9

1.2
0.7
0.8

Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti terhadap Bendiokarb
Hasil persentase kematian nyamuk terhadap bendiokarb ditunjukkan pada
Tabel 11. Persentase kematian pada masing-masing generasi F2, F3, dan F4 adalah
6.93%, 25.20%, 25.87% sedangkan pada generasi F5 sebesar 28%. Hasil ini
memperlihatkan ada perbedaan angka kematian setelah 24 jam. Secara statistik
kenaikan angka kematian ini tidak berbeda nyata (P > 0.05) antara generasi F2, F3,

13
F4, dan F5. Nilai LT50 nyamuk Ae. aegypti terhadap bendiokarb ditunjukkan pada
Tabel 9.
Nilai RR50 dari generasi F2 sampai generasi F4 mulai 0.1-0.9, yang berarti
perbandingan antara nilai dan RR95 pada generasi F2 0.1, F3 0.9 dan 1.0 yang
berarti nilai LT50 pada setiap generasi dibandingkan nilai LT50 pada generasi
terakhir semakin mendekati nilai 1.0. Nilai RR95 pada generasi F2 0.1, sedangkan
pada generasi F3 dan F4 sudah mencapai 1.0, yakni sama dengan nilai RR
pembanding. Nyamuk Ae. aegypti generasi F3 dan F4 sudah mempunyai sifat
homozigot yang sama dengan generasi F5 yang dinyatakan sebagai generasi
pembanding. Nilai RR yang belum mendekati 1.0 berarti bahwa nyamuk pada
generasi tersebut belum mempunyai gen yang homozigot dan belum memiliki
kerentanan yang sama terhadap insektisida bendiokarb.
Tabel 9 Nilai LTdan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap bendiokarb 0,1%
Generasi

Bendiokarb 0.1%
LT95
Regresi Linear

LT50

RR50

RR95

F2

0.71

(0.30-1.25)

2.67

(1.85-5.53)

y=1.25x-1.5

0.1

0.1

F3

11.08

(9.57-12.81)

21.34

(17.98-28.87)

y=0.21x-2.75

0.9

1.0

F4

12.25

(11.62-12.91) 20.50

(18.92-22.86)

y=0.25x-3.00

0.9

1.0

F5

12.91

(12.26-13.59) 21.44

(19.80-23.88)

y=0.21x-2.75

Kerentanan Nyamuk Ae. aegypti terhadap Deltametrin
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kematian
nyamuk Ae. aegypti terhadap deltametrin tertinggi pada generasi F2 31.07%, pada
generasi F3 87.33%, dan F4 93.30%, sedangkan F5 93.13% yang ditampilkan pada
Tabel 11. Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan kenaikan angka kematian
setelah 24 jam yang berarti ada pengaruh yang nyata antara generasi F2 dengan
generasi F3, F4, dan F5 (P < 0.05).
Tabel 10 Nilai LT dan RR nyamuk Ae. aegypti terhadap deltametrin 0,025%
Deltametrin 0.025%

Generasi

LT50

LT95

Regresi Linear

RR50

RR95

F2

22.86

(17.44-28.74)

55.03

(43.98-82.86)

y=0.063x-1.5

0.3

0.4

F3

65.42

(55.05-76.55)

133.63

(111.62-184.03)

y=0.025x-1.5

0.9

0.9

F4

71.12

(57.85-85.47)

142.30

(116.20-216.11)

y=0.025x-1.5

1.0

1.0

F5

73.04

(67.31-78.96)

148.18

(133.55-170.33)

y=0.025x-1.5

Nilai RR50 dari generasi F2 sampai generasi F4 mulai 0.3-1.0, artinya
perbandingan antara LT50 pada setiap generasi dibandingkan nilai LT50 pada
generasi terakhir mencapai nilai 1.0. Nilai RR95 pada generasi F2 sampai F4 mulai
0.4-1.0. Perbandingan antara LT95 setiap generasi dibandingkan LT95 pada
generasi terakhir mencapai 1.0. Nyamuk Ae. aegypti generasi F4 dan generasi F5
menunjukkan bahwa sudah mempunyai sifat yang homozigot. Nilai RR yang

14
mencapai 1.0 berarti bahwa nyamuk pada generasi tersebut telah mempunyai
genetik yang homozigot dan memiliki kerentanan yang sama terhadap insektisida
deltametrin.
Tabel 11 Rata-rata persentase kematian nyamuk Ae. aegypti terhadap 3 jenis
insektisida
Kematian Nyamuk Ae. aegypti setelah 24 jam
Generasi
Insektisida
F2(%)
F3(%)
F4(%)
Malation 0.8%
5.60 a,a
25.87 a,b
31.07a,b
Bendiokarb 0.1%
6.93 a,a
25.20 a,b
25.87a,b
Deltametrin 0.025%
31.07 b,a
87.33 b,b
93.20b,b

F5(%)
30.53a,b
28.0 a,c
93.13b,b

Ketiga jenis insektisida yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
golongan insektisida yang berbeda dan paling sering digunakan di lapangan.
Malation adalah golongan organofosfat, propoksur dan bendiokarb dari golongan
karbamat, sedangkan sipermetrin dan deltametrin adalah piretroid sintetik.
Ketiganya memiliki target kerja yang berbeda.
Organofosfat dan karbamat bekerja pada sinaps syaraf yang menghambat
enzim kolinesterase. Enzim ini menjadi terfosforilasi ketika terikat dengan
organofosfat dan bersifat tetap (irreversible). Tetapi pada karbamat menghambat
enzim kolinesterase bersifat tidak tetap (reversible) (Wirawan 2006; Hadi dan
Soviana 2010). Piretroid sintetik merupakan racun akson (serabut syaraf) yang
terikat pada voltage-gate sodium channel, yang mencegah penutupan secara
normal dan berakibat terjadinya rangsangan syaraf berkelanjutan (Wirawan 2006;
WHO 2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kerentanan larva Ae. aegypti
terhadap 3 jenis insektisida (malation, propoksur, dan sipermetrin), secara umum
menunjukkan adanya peningkatan status kerentanan khususnya pada konsentrasi 1
ppm pada malation dan propoksur, sedangkan 0.001 ppm pada sipermetrin.
Peningkatan status kerentanan terjadi mulai pada generasi keempat (F4) khususnya
pada malation dan sipermetrin, se