Tindak Pidana Korupsi PERLINDUNGAN HAK HAK TERSANGKA KORUPSI PADA TAHAP PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
yang bersifat ilegal dimana dilakukan secara fisik dengan akal bulus atau terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari
pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi”.
42
Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan
ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan
sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
43
The Contemporary Inglish- Indonesian Dictionary’, mengartikan istilah „corrupt’
sebagai tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah „corruption’ diartikan sebagai penyuapan,
pembusukan, kerusakan moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah „korup‟ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok; memakai
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah „korupsi‟ diartikan,
penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah „corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral;
42
http:www.pengertianpakar.com201503pengertian-tindak-pidana-korupsi.html diakses pada tanggal 11 November 2015
43
http:tipsmotivasihidup.blogspot.co.id201303pengertian-tindak-pidana-korupsi.html diakses pada tanggal 11 November 2015.
memutarbalikkan kebenaran. Istilah „corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
44
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dinyatakan, bahwa tindak pidana
korupsi adalah perbuatan yang tidak jujur, menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang
dilarang oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Hal ini sejalan dengan pengertian korupsi menurut
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang
menentukan, “Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi”. Menegaskan pengertian korupsi sebagai tindak pidana sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Pasal 1 A ngka 1 UU KPK menentukan, “Tindak pidana korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”.
44
Ibid.
Berdasarkan pengertian TPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Angka 1 UU KPK, maka secara yuridis formal TPK di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu :
1 TPK itu sendiri yang diatur dalam Bab II UU TPK, mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16; dan 2 Tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPK, yang
diatur dalam Bab III UU TPK, mulai dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU TPK.
Bab II UU TPK yang terdiri dari 14 pasal mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal
16, pada intinya menentukan, dipidana sebagai pelaku tindak pidana korupsi : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 2.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 3.
3. Setiap orang yangmemberi atau menjanjikan sesuatu pada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya Pasal 5 Ayat 1 huruf a.
4. Setiap orang yang memberi sesuatu pada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya Pasal 5 Ayat 1 huruf b.
5. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana di maksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf b Pasal 5 Ayat
2. 6. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Pasal 6 Ayat 1 huruf a.
7. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan di berikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili Pasal 6 Ayat 1 huruf b.
8. Hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 huruf b pasal 6 Ayat 2. 9. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang Pasal 7 Ayat 1 huruf a.
10. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembengunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a Pasal 7 Ayat 1 huruf b. 11. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keaadaan perang Pasal 7 Ayat 1 huruf c.
12. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan brang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c Pasal 7 Ayat 1 huruf c.
13. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 huruf a atau huruf c Pasal 7 Ayat 2.
14. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut Pasal 8.
15. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan admininistrasi Pasal 9.
16. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang di beri tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka penjabat yang berwenang yang di kuasai karena jabatannya Pasal 10 huruf a.
17. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang di beri tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan
sengaja membiarkan
orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat di pakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut Pasal 10 huruf b. 18. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang di beri tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja
membantu orang
lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat di pakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut Pasal 10 huruf c.
19. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya Pasal 11.
20. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannnya, yang bertentangan dengan kewajibannya Pasal 12 huruf
a.
21. Pegawai negeri atau penyelengggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya Pasal 12 huruf b.
22. Hakim yang menerima atau janji, padahal di ketahui atau patut diduga atau bahwa hadiah atau janji tersebut di berikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili Pasal 12 huruf c. 23. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk di adili Pasal 12 huruf d.
24. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatau bagi dirinya sendiri Pasal 12 huruf e.
25. Pegawai atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang Pasal 12 huruf f.
26. Pegawai negeri atau penyelenggra negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-
olah merupkan utang kepada dirinya, pdahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang Pasal 12 huruf g.
27. Pegawai negeri atau penyelenggra negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negera yang diatasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 12 huruf h.
28. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya Pasal 12 huruf i.
29. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya Pasal 12B. 30. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut Pasal 13.
31. Setiap orang yang melanggar undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi Pasal 14. 32. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi Pasal 15. 33. Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi Pasal 16.
Bab III UU TPK yang terdiri dari 4 pasal mulai dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24, pada intinya menentukan, dipidana sebagai pelaku tindak pidana korupsi :
1. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi Pasal 21. 2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau
Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar Pasal 22.
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau
Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 23. 4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
Pasal 24.