Penerapan Tersangka Miranda S.Goeltom Dalam Tindak Pidana Korupsi

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Santi Frannita NIM : 1111048000080

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M. ix + 67 halaman. Skripsi ini membahas tentang penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dalam tindak pidana korupsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya tudingan terhadap KPK yang dikatakan menjalankan tugas dan fungsinya secara sewenang-wenang dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom, tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. KPK sebagai lembaga independen negara yang dipercaya menangani kasus tindak pidana korupsi tentunya mempunyai aturan dan ketetapan sendiri dalam menindaklanjuti kasus tindak pidana tersebut yaitu Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi selain KUHAP. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ulang apakah keputusan serta kewenangan KPK dalam menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka benar-benar dilandasi hukum yang kuat. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan cara meneliti dan mengkaji peratuan perundang-undangan yang mengatur tentang fungsi dan kewenangan KPK dan prosedur penetapan tersangka. Selain meneliti undang-undang, penulis juga meneliti buku-buku, pendapat para ahli, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkenaan dengan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejauh kewenangan KPK dalam menetapakan tersangka sebuah kasus tindak pidana korupsi terkait kasus penetapan tersangka Miranda S. Goletom, KPK telah menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur yang berlaku menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tidak bertentangan dengan KUHAP.

Kata Kunci : Korupsi, Penetapan Tersangka, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH Daftar Pustaka : Tahun 1962 sampai Tahun 2014


(6)

v

Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil

‘alamin terucap dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas

terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.

Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui. Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan. Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum

sekaligus Dosen Pembimbing penulis yang selalu sabar dalam membimbing penulis dan selalu membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Bapak Arip Purqon, MA., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.


(7)

vi

mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa dan selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Kak Eti, kak Asni, bang Firdi, mas Sukarto selaku kakak-kakak penulis serta Dimas dan Fathir selaku keponakan tercinta

5. Bapak Nur Habibi, SH, MH., selaku dosen perkuliahan penulis yang selalu membantu, memberikan masukan, solusi, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MPSD dan Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum., selaku dosen penguji skripsi penulis.

7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Ilmu Hukum.

8. Staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selalu ramah dan membantu penulis untuk memperoleh data penunjang penulisan skripsi. 9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan

seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011.

10. Semua sahabat penulis Tiwi, Dini, Inggrit, Mazda, Khadafi, Ilma, Endah, Resa, Isti, Ilma, Uthi. Semua teman kost penulis ka Tiwi, ka Riza, Farid, Hani dan teman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu.


(8)

vii

berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.

Jakarta, 29 Mei 2015


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... . ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ... 16

B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 25

BAB III PROFIL KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) A. Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) 1. Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 29


(10)

viii

B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan ... 38

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA

A. Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom ... 44 B. Implementasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom ... 54 C. Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda

S. Goeltom ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62 B. Saran-Saran ... 63


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Banyak sekali pemberitaan yang timbul mengenai korupsi di Indoneisa. Dari tahun ke tahun sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan sampai usaha memperbaiki undang-undang. Bahkan muncul rasa putus asa untuk memberantasnya.1 Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Tahap yang paling kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistematik.2

Berbicara masalah korupsi jelas sangat menarik sebab menyangkut orang-orang yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Perbuatan korupsi biasanya dilakukan dalam bentuk rekayasa yang seolah-olah dibenarkan oleh hukum dan bahkan terkandung dibalik kelemahan hukum itu sendiri. Melihat korupsi di Indonesia, korupsi ini sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak dan meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum nasional. Diperlukan suatu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara luar biasa yang dilaksanakan oleh suatu lembaga

1

Andi Hamzah,Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet-ke 7, 2008, h. VII.

2

Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h.12.


(12)

khusus berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi.3 Maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah lembaga yang menangani khusus tindak pidana korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Kehadiran KPK di Indonesia tidak secara otomatis menghentikan praktik-praktik korupsi yang sudah marak4 bahkan kewenangan yang dimiliki KPK saat ini masihlah disertai dengan lemahnya pengawasan terhadap sistem dan kinerja KPK sehingga kehadiran KPK yang digadang-gadang sebagai lembaga independen negara terkesan menjalankan fungsinya secara sewenang-wenang dan tentu saja dapat meyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh segelintir oknum KPK. Pada kenyataanya akhirnya timbul berita terjadinya kesewenang-wenangan KPK dalam menetapkan tersangka atau bisa dikatakan KPK menyalahi ketentuan undang-undang yang berlaku di KPK serta KUHAP dalam hal menetapkan tersangka yang akhir-akhir ini timbul di media. Masalah yang terakhir ini diduga karena dalam penetapan tersangka, KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Kesulitan pemahaman tentang bukti permulaan yang cukup dirasakan oleh kalangan aparat penegak hukum sendiri karena banyaknya pendapat mengenai “bukti permulaan yang cukup”.

3

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h. 13.

4

Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi,Yogyakarta: Pustaka Timur, 2008,h.59-60.


(13)

Belum hilang dari ingatan kita bagaimana beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus yang menyangkut seorang Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom, yang didesak publik untuk diusut tuntas kasusnya, menjelaskan kepada publik, bahwa kasus tersebut belum bisa dilakukan penyidikan karena belum ditemukan alat bukti yang cukup. KPK minimal memerlukan 2 alat bukti yang cukup untuk memproses lebih lanjut kasus tersebut sehingga memenuhi kriteria sebagai bukti permulaan yang cukup yang ditentukan oleh undang-undang KPK sendiri dan berdasarkan KUHAP. Disebutkan dapat dipahami oleh karena dalam Pasal 44 ayat (2) Undang undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “ Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti ….dan seterusnya”.

Tanpa terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut menyebabkan kasus tersebut belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum adanya bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana kita ketahui bahwa alat bukti sah dalam perkara pidana ada lima, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan terakhir keterangan terdakwa.

Ini berarti dibutuhkan sesuatu hal yang baru dalam menelaah kembali kinerja lembaga tersebut melihat kedudukan lembaga negara ini yang bersifat independen. Tidak dengan menambah instrumen hukum semacam komisi pengawasan yang baru yang nantinya akan bertindak selaku pengawas kinerja


(14)

KPK atau „siapa yang akan menjadi pengawas dari para pengawas tersebut?’5 melainkan digunakannya „due process of law’

yang baik dan benar dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di KPK sesuai dengan Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP serta adanya transparansi KPK dalam penanganan kasus korupsi terhadap masyarakat.

B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang hendak diteliti ialah bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK telah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. Serta faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka tersebut. Rumusan tersebut dirinci kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dilihat dari Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP ?

b. Faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka Miranda S. Goeltom?

2. Batasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Pemberantasan korupsi terdapat tiga unsur atau


(15)

bidang, yaitu pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Penelitian ini hanya membahas penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

a. Untuk membuktikan apakah penetapan status tersangka yang dilakukan KPK sesuai dengan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP.

b. Untuk menjelaskan beberapa faktor-faktor yang mendasari penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang Kinerja KPK dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam melihat


(16)

seluas apa kewenangan KPK. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja KPK sesuai Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang sudah ditentukan.

c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Sebagaimana pendapat Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan itu bagaimanapun kecilnya cenderung untuk disalahgunakan. Semakin kuat kekuasaan itu semakin kuat pula kecendrungan penyalahgunaannya.6 Pendapat ini terbukti dengan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di dunia, dan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Seiring dengan munculnya berbagai lembaga independen negara memperkuat adanya kekuasaan yang disalahgunakan.

2. Kerangka Konseptual

Pada bagian ini akan dikemukakan konsep dasar yang digunakan sebagai dasar operasional dalam penelitian ini, antara lain adalah korupsi,

6

A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, h. 11.


(17)

komisi pemberantasan korupsi, lembaga negara, lembaga negara independen serta penetapan tersangka.

a. Korupsi

Korupsi sebagai fenomena menyimpang dalam kehidupan sosial budaya, kemasyarakatan dan kenegaraan. Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus, kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.7 Korupsi juga diartikan sebagai sebuah kejahatan yang menghancurkan lembaga demokrasi, menggerogoti tatanan hukum, merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara, memperlamban pertumbuhan ekonomi, menghambat upaya-upaya pengentasan kemiskinan, mengganggu alokasi sumber daya, menurunkan daya saing negara dan melumpuhkan investasi.8

b. Komisi Pemberantasan Korupsi

Merebaknya kasus korupsi yang melanda bangsa kita belakangan ini, sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, maka pada tanggal 29 Desember 2003

7

A. Hamzah, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), h. 2-3.

8

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : Grafiti,

2006), „dikutip dari kata pengantar Drs. Taufiequrrahman Ruki, S.H. , selaku mantan ketua


(18)

lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK,9 KPK merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

c. Lembaga Negara

Lembaga Negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization" dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas masing-masing antara lain Lembaga Negara Utama dan Lembaga Negara Penunjang. Lembaga Negara Utama dapat juga disebut Lembaga Tinggi Negara adalah Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD), sedangkan Lembaga Negara Penunjang dibentuk sesuai UU dan merupakan penunjang terhadap fungsi Lembaga Negara Utama10.

d. Lembaga Negara Penunjang

9

Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi,(Yogyakarta: Pustaka Timur), 2008, h. 18.

10 https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcement-volume-3-nomor-1-april-september-2009.pdf, diakses tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 14.20


(19)

Adapun istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen”

e. Penetapan Tersangka

Penetapan tersangka adalah suatu proses ketika seseorang diduga karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana dan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik.11

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu

1. a. Judul Skripsi

b. Fokus

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Peyidik Pada Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut UU No. 30 Tahun 2002.

Apakah tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi menurut UU No. 30 Tahun 2002, apa saja kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi

11

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008, h.66.


(20)

c. Waktu/Tempat

menurut UU No.30 Tahun 2002 dan bagaimanakah proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tingkat penyidikan menurut UU No. 30 Tahun 2002.

Universitas Indonesia, Depok 2004 2. a. Judul Skripsi

b. Fokus

c. Waktu/Tempat

Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia : Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu. Apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya dalam suatu sistem ketatanegaraan serta

bagaimanakah kedudukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara bantu di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI). Universitas Indonesia, Depok 2007 3. a. Judul Skripsi

b. Fokus

Urgensitas Kerjasama Antara KPK Dengan PPATK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Analisis Yuridis). Bagaimanakah Undang-Undang mengatur kerjasama antara KPK dengan PPATK dalam


(21)

c. Waktu/Tempat

pemberantasan korupsi di Indonesia serta bagaimanakah urgenitas kerjasama antara KPK dengan PPATK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012

Yang membedakan penelitian yang akan saya lakukan dengan penelitian sebelumnya ini adalah dimana penelitian lain lebih mengarah kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan lebih mengerucut kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen negara yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab-Undangundang Hukum Acara Pidana. Penelitian saya akan mengungkap dan membuktikan bahwasannya kewenangan dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini terlaksana tidak bertentangan dengan aturan hukum.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body yang seharusnya dilaksanakan secara transparan perlu dipublis dan mudah diakses hasilnya oleh masyarakat, agar semua kalangan masyarakat mengetahui apakah ada ketentuan-ketentuan atau kewengangan-kewenangan KPK yang menyalahi aturan hukum serta tentang batasan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Oleh karena itu semua kewenangan KPK sendiri terkait pelaksanaan penyidikan, penyelidikan dan penindakan pemberantasan korupsi perlulah diperjelas dengan menyesuaikan Undang-undang yang mengaturnya.


(22)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.12Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu:13 pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Dalam penelitian ini pendekatan yang Penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif.

12

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.

13


(23)

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif. Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang berwenang.Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.14 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.15 Terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur

14

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.141.

15

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.119.


(24)

ketatanegaraan dan penetapan tersangka menurut KUHAP dan Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret.

Setelah menjelaskan permasalahan secara umum kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

G. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”

H. Sistematika Penulisan

Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan-persoalan yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah sistematisasi. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai berikut:


(25)

BAB Pertama Tentang Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review), metode penelitian, pedoman penulisan skripsi dan sistematika penulisan.

BAB Kedua Tentang Landasan Teori

Terdiri dari Landasan Teori mengenai Penetapan Tersangka Menurut Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB Ketiga Profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Terdiri dari Sejarah, Visi, Misi, Tugas dan Kewenangan, Struktur Organisasi dan Keanggotaan serta Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Struktur Ketatanegaraan.

BAB Keempat Tentang Analisis Implementasi Standar Operasional

Prosedur KPK

Bab ini terdiri dari Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom, Implementasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom dan Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom.


(26)

BAB Kelima Tentang Penutup

Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, dilengkapi juga dengan saran saran yang dapat membantu dan memberikan masukan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi.


(27)

16

A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut pasal 1 Nomor 14 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan tersangka adalah “seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tersangka tindak pidana”.

Definisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, adalah ”Bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan ”Bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Berdasarkan Hasil Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian (Rakergab Makehjapol) 1 Tahun 1984 halaman 14, dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya. Sedangkan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Sidikalang Sumatera Utara No.4/Pred-Sdk/1982, 14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup harus mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP bukan yang


(28)

lain-lainnya seperti: Laporan polisi dan sebagainya.16 Pengertian

bukti permulaan menurut Keputusan Kapolri No.

Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:

a. Laporan polisi b. BAP di TKP

c. Laporan Hasil Penyelidikan d. Keterangan saksi atau ahli; dan e. Barang bukti

Mengenai bukti permulaan, Lamintang berpendapat bahwa: Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.17

Harun M. Husein menyatakan sependapat dengan pendapat Lamintang diatas, dengan alasan untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang haruslah didasarkan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi kepentingan

16

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112

17

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 113


(29)

penyidikan tindak pidana tersebut. Masih dijelaskan menurut Harun M. Husein, bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti (keterangan saksi pelapor atau pengadu) dirasakan masih belum cukup kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup guna dipergunakan sebagai alasan penangkapan seseorang. Terkecuali apabila laporan polisi dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi tentang kepastian bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana, terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan karena tersedia cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.18

Menurut M.Yahya Harahap, mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ”ketidakpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realitis, apabila perkataan ”permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi :”diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”.19

Jika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Pengertian yang dirumuskan dalam pasal 17 hampir sama

18

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112

19

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan danPenuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158


(30)

dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan adanya bukti dan kesaksian. Jika ditelaah pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir serupa dengan apa yang dirumuskan Pasal 183, yakni harus berdasar prinsip ”batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat bukti lain.

Rasulullah SAW menjelaskan masalah pembebanan pembuktian yang populer dalam perspektif hokum Islam adalah:

”Pembuktian dibebankan pada penggugat dan sumpah kepada tergugat”

Pembuktian dibebankan pada penguggat (affirmanti incoumbil probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai petitum gugatannya, seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya. Dalam Islam kesaksian adalah salah satu bukti yang sah. Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asy-syahadah menurut bahasa memiliki arti sebagai berikut;

a) Pernyataan atau pemberian yang pasti

b) Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung;

c) Mengetahui sesuatu secara pasti,mengalami, dan melihatnya. Menurut syara‟ kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti


(31)

yaitu; ucapan yang keluar dan diperoleh dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung.

Kesaksian dapat diterima sebagai alat bukti apabila jika memenuhi syarat sebagai berikut;

1. Kesaksian dilakukan didalam sidang pengadilan, jika dilakukan diluar sidang pengadilan, meski itu dihadapan hakim ,tidak dianggap sebagai kesakasian.

2. Kesaksian diucapkan dengan lafad kesaksian, seperti saya bersaksi.

3. Jumlah dan syarat orang yang menjadi saksi sesuai dengan syarat dan ketentuan syari‟at.

Dan adapun syarat yang lain adalah menjadi saksi karena Allah SWT, seperti yang dijelaskan dalam surah An-nisa ayat 135 :

اَي

اَهُيأ

نيذلا

اونَمآ

۟

اونوك

۟

نماَوق

لاِب

ۡ

سق

ۡ

ط

ءاَدَهش

هلل

...

( 531 )

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah...” Dengan pembatasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dulu, baru nanti


(32)

dipikirkan pembuktian. Metode kerja penyidik menurut KUHAP, harus dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru dilakukan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan penahanan.20

Berarti pada prinsipnya, penetapan seseorang menjadi tersangka dilakukan melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan. penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang adanya sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan juga bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan mengenai kewenangan hakim dalam menetapkan saksi menjadi tersangka guna menemukan tersangkanya. Jadi, penetapan tersangka terletak pada penyelidikan dan penyidik. Berdasarkan pasal 1 butir 2, bahwa penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangkanya.

20

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158


(33)

Penyelidikan dalam hukum acara pidana, tingkat acara pidana dibagi dalam 4 tahap, yaitu:21

1. Tahap penyelidikan yang dilakukan oleh polisi negara

2. Tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau Penuntut Umum

3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh jaksa 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga

pemasyarakatan di bawah pengawasan ketua pengadilan yang bersangkutan.

Berdasarkan tahap tersebut, penyelidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang menentukan dari keseluruhan proses penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas. Upaya untuk memyelidiki dan mengusut tindak pidana secara konkret dapat dikatakan penyelidikan dinilai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :

1. Tindakan pidana apa yang dilakukan 2. Kapan tindakan itu dilakukan

3. Dimana tindakan itu dilakukan 4. Dengan apa tindakan itu dilakukan 5. Bagaimana tindakan itu dilakukan 6. Mengapa tindakan itu dilakukan 7. Siapa pelaku tindakan tersebut

21

Anton Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita Kontriksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan akuntanilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, 2004, Bandung , hlm 82.


(34)

Karena penyelidikan merupakan langkah awal yang menentukan dari keseluruhan tahap acara pidana, maka dalam mencari keterangan-keterangan seperti diatas seorang penyidik harus tunduk kepada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 8 tahun 1981 sebab jika tahap penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses acara pidana selanjutnya.

Apabila tahap penyelidikan saja sudah banyak melakukan pelanggaran dan kesalahan diluar ketentuan Undang-undang yang berlaku, maka secara otimatis tahap cara berikutnya akan terpengaruh yang berarti tidak mungkin akan terjadi penyesatan putusan hakim. Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelakanaan hukum acara pidana dapat dilihat dalam hubungan dengan ketentuan-ketentuan KUHAP mengenai penyidikan, penuntutan dan peradilan perkara. Seorang penyidik harus melakukan penyelidikan secara tertip dan harus selalu memperhatikan dalil-dalil yang ada dilapangan.

Seorang penyelidik harus memperhatikan dan menyidik setiap fakta yang ada dilapangan sekecil apapun karena sejalan dengan tujuan hukum acara pidana, maka tugas penyelidikan perkara adalah “mencari kebenaran materiil” memang, dalam penyelidikan perkara pidana kebenaran materiil yang mutlak tidak akan pernah dapat diperoleh 100% karena hanya Tuhanlah yang mengetahui. Walaupun demikian dengan memperhatikan setiap dalil dan fakta sekecil apapun bukti-bukti yang


(35)

berkaitan dengan perkara pidana dapat dicari sebanyak-banyaknya sehingga suatu penyelidikan dapat mendekati kebenaran bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan dan siapa pelaku-pelakunya.

Ada pun ketika seorang saksi setelah memberikannya keterangannya dalam proses peradilan diubah statusnya menjadi tersangka ini adalah kewenangan Hakim dalam mengubah status saksi menjadi tersangka pada dasarnya memang di jelaskan. Status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Untuk menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana semata-mata dibebankan kepada penuntut umum.22 Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan). Dan jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.

Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi untuk tindak

22

Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957, di akses tanggal 14 Januari 2015, pukul 14.32


(36)

pidana memberikan keterangan palsu. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu.

Berarti dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa hakim bisa secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan dapat pula secara tidak langsung menetapkan saksi menjadi tersangka, yakni dengan meminta aparat penegak hukum lain, seperti kejaksaan, kepolisian sampai KPK sebagai salah satu lembaga independen negara. Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Saksi semacam itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Hakim tinggal memerintahkan panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan penuntutan. Jadi, wewenang jaksa tetap melakukan penuntutan.23

B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi mempunyai kewenangan dalam hal menetapkan tersangka. Bisa kita lihat pada salah

23

Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2. Bandung : Sumur Bandung, 1962, h.45


(37)

satu tugas KPK yang berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Secara umum, mekanisme penanganan perkara di lembaga superbody ini sama seperti di lembaga penegak hukum lainnya.

Pada saat KPK menangani suatu perkara (bukan karena operasi tangkap tangan) yang telah masuk tahap penyelidikan, dalam aturannya akan memvalidasi temuan informasi-informasi yang berkembang. Baik informasi yang dipaparkan terperiksa, maupun informasi yang didapat dari suatu dokumen serta hasil sadapannya. Validasi sendiri, dilakukan dengan cara menelaah hasil temuannya itu. Biasanya KPK akan memanggil orang-orang yang diduga berkaitan dengan perkara yang tengah diselidikinya. Namun, orang tersebut masih berstatus 'terperiksa'. Atau, validasi bisa dengan cara menelaah dan mencocokan barang bukti satu dengan bukti lainnya. Setelah temuan-temuan tersebut atau ada hasil validasi yang jelas, KPK akan melakukan gelar perkara atau sering disebut ekspose. Gelar perkara akan dihadiri Penyelidik, Direktur Penyelidikan, Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan serta Pimpinan KPK.24

Kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidan korupsi adalah dalam melakukan pemeriksaan KPK dapat mengabaikan

24

Deni Setyawati, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi, Yogyakarta : Pustaka Timur, 2008, h.31


(38)

aturan tertentu jika tersangka yang ditangani oleh KPK adalah pejabat negara, dengan tidak perlu mendapatkan izin terlebih dahulu untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46

ayat (1) Undang-Undang KPK “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai

tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”

Selanjutnya kewengan KPK dalam menetapkan seorang saksi menjadi seorang tersangka adalah apabila seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan atau yang awalnya hanya sebagai saksi dalam suatu kasus dan KPK memiliki dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan sebagai tersangka. Saksi dalam hal ini bisa dituntut juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama tetapi berkas yang baru. Dalam hal menetapkan tersangka berarti tidak bisa sembarangan, harus adanya bukti yang cukup atau minimal dua alat bukti seperti yang sudah dijabarkan di atas. Jika tidak terdapat dari minimal dua alat bukti tersebut tetapi pihak yang berwenang tetap menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai tersangka atau di tuduh sebagai pelaku tindak pidana maka hal ini disebut fitnah dan berkata dusta. Dijelaskan dalan surah An-Nur ayat 11 :


(39)



















Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu; janganlah kamu menyangka (berita yang dusta) itru buruk bagi kamu, bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang di antara mereka akan beroleh hukuman sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya itu dan orang yang mengambil bahagian besar dalam menyiarkannya di antara mereka, akan beroleh seksa yang besar (di dunia dan di akhirat).

Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa ”Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Dan Pimpinan KPK juga menafsirkan bahwa keterangan lima orang saksi yang bersesuaian satu dengan yang lainnya itu dianggap sebagai alat bukti baru yaitu petunjuk.


(40)

29

A. Komisi Pemberantasan Korupsi 1. Sejarah KPK

Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, membuat masyarakat serak meneriakkan pemberantasan korupsi.25 Aspirasi masyarakat untuk membumi hanguskan korupsi di negara ini semakin meningkat karena sudah merebaknya korupsi ini ke seluruh lapisan masyarakat yang telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berujung dengan timbulnya krisis di berbagai bidang.26

Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,

25

Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, cet-ke 1, 2005, h 3.

26

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Lihat Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi, cet.V, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h.143.


(41)

perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.27

Ada beberapa gagasan dalam pembentukan komisi ini yang pertama diawali oleh TAP MPR Nomor II Tahun 1998. TAP ini mengamanatkan kepada DPR dan Pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan pemerintah yang bersih dari korupis, koluis dan nepotisme. 28TAP inilah yang akhirnya membuat Pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme kemudian DPR dan Pemerintah juga mencabut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan menggantinya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada saat inilah muncul gagasan tentang KPK. Dan kemudian Undang-Undang KPK juga menjelaskan bahwa, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran Undang-Undang KPK menyatakan, Lembaga Pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.29

Pada tanggal 27 Desember 2003, Presiden Megawati akhirnya melantik lima orang pemimpin KPK. Dengan dibentuknya KPK diharapkan

27

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h.31.

28

Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin du Tengah Kegelapan, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), h.7

29

Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), h.180.


(42)

korupsi yang sudah merajalela di negara ini dapat diberantas dan hukum dapat ditegakkan.30 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga awal di Indonesia yang telah resmi dibenti tanggal 29 Desember 2003 untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia.

2. Visi dan Misi KPK

Sebagai sebuah lembaga independen negara Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki visi yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sedangkan misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu menjadi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi.31 Untuk mewujudkan visi dan misi ini, tentunya Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) harus menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan asas-asas yang telah di jelaskan.

Jika dilihat dari visi dan misi KPK seperti yang sudah disebutkan, maka terlihat sebuah tekad yang kuat dari lembaga KPK untuk segera memberantas dan membersihkan Indonesia dari segala macam bentuk korupsi. Dan sangat diharapkan pula melihat dari misi KPK tersebut komisi ini bisa menjadi lembaga yang membudayakan anti korupsi baik di masyarakat, swasta dan pemerintahan Republik Indonesia.

3. Tugas dan Kewenangan KPK

Berdasarkan visi KPK, komisi ini mempunyai harapan dan keinginan yang cukup mulia, yakni ingin membebaskan Indonesia dari korupsi. Sukses

30

Ensiklopedia Pemerintahan dan Kewarganegaraan, Sistem dan Bentuk Pemerintahan di Indonesia, h.95.

31


(43)

tidaknya KPK, tergantung dari kerja keras yang dilaksanakan untuk memaksimalkan apa yang sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK seperti yang sudah disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemeberantan Korupsi. Tugas dan Kewenangan KPK antara lain:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;


(44)

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam pengambil alihan tersebut, pihak KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut disebutkan di dalam Undang-undang KPK pasal 7, pasal 8 ayat (1), pasal 8 ayat (2), pasal 9 dan pasal 8 ayat (3)

Kemudian di dalam Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Selanjutnya dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang :


(45)

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;


(46)

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dalam melaksanakan tugas pencegahan disebutkan pada pasal 13 UU KPK, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas monitor yang telah disebutkan juga dalam pasal 14 UU KPK, KPK berwenang:

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;


(47)

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

4. Struktur Organisasi dan Keanggotaan KPK

Salah satu modal utama agar kinerja KPK bisa efisien dan efektif adalah melalui pembangunan yang profesional. Ini bisa tercipta dengan cara mengoptimalkan seluruh elemen dari organisasi tersebut. Karenanya KPK melakukan perbaikan-perbaikan agar tercipta sebuah lembaga yang kompeten. Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan KPK Nomor: PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, struktur organisasi KPK terdiri atas Pimpinan, Penasihat, Deputi dan Sekjen, Direktur, dan Kepala Biro. Pimpinan KPK terdiri atas lima orang, yang masing-masing adalah seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Sesuai Undang-Undang KPK, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.32

32

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2011), h.6.


(48)

Disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) huruf b UU KPK untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK mengangkat tim penasihat yang terdiri atas empat anggota dan berasal dari berbagai bidang kepakaran. Seperti yang dijelaskan pada pasal 23 UU KPK tim penasihat ini berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Deputi Bidang Pencegahan yang terdiri dari Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP-LHKPN), Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, dan Direktorat Penelitiandan Pengembangan. Sementara itu, Deputi Bidang Penindakan yang terdiri dari Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, dan Direktorat Penuntutan.33

33

Deputi Bidang Informasi dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat. Penjelasan mengenai fungsi dari setiap Deputi KPK lihat Lampiran 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2008, h.6.


(49)

Peran pemimpin menjadi paling penting terutama dalam hal pemberian contoh tidak melakukan korupsi, pemimpin yang mampu menjaga citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin tersebut melakukan korupsi maka bawahan tidak segan untuk melakukan hal yang sama yaitu korupsi. Karena pentingnya peran pimpinan maka dibuat lah secara khusus Kode Etik Pimpinan KPK melalui keputusan KPK No. KEP-06/-KPK/02/2009.

B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan

Sebelum membahas tentang kedudukan KPK dalam sturktur ketatanegraan sebagai state auxiliary organ, penulis akan menjabarkan tentang pengertian lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara bukan konsep secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara, badan negara, organ negara.34

Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan lembaga non-pemerintahan (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif,

34

http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem


(50)

legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Lembaga negara di Indonesia ada bermacam-macam. Ada lembaga tinggi negara, lembaga departemen dan non-departemen dan juga ada pula yang disebut lembaga negara apa saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD 1945 ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU adalah organ, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap

Sejak permulaan Orde Baru hingga era reformasi yang masih sedang berlangsung saat ini, telah tumbuh demikian bayak lembaga-lembaga yang berkaitan dengan tujuan negara, fungsi negara, dan tugas-tugas pemerintahan dalam arti luas.. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan


(51)

institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden.

KPK disinii di tetapkan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan ekstra. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undangundang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi


(52)

yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.

Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.35

Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan

35

Menurut Yusril Ihza Mahendra (2002:32) Keberadaan KPK di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang sudah ada selama ini dan di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat internasional, merupakan lembaga terakhir dan satu-satunya harapan bangsa Indonesia. Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, h.202.


(53)

independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya. Status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres).

Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepanjang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan termasuk bila diatur dalam Undang-Undang.


(54)

Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.


(55)

44

A. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Adanya proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Miranda S. Goeltom berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini.

Semua hal terkait kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Miranda S. Gultom dikumpulkan dan ditetapkan sebagai sekumpulan bukti permulaan dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom.

Berawal dari pengakuan politisi PDIP Agus Condro Prayitno pada 4 Juni 2008 yanag menjadi bukti permulaan pertama penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka. Ia mengaku menerima suap dalam bentuk cek perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang juga menerima suap36. Menindaklanjuti itu, pada 9 September 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten

36

http://nasional.kompas.com/read/2009/11/05/1101534/Thahjo.Kumolo.Dijadwalkan.J alani.Pemeriksaan.KPK, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 15.12


(56)

sekaligus Direktur PT. Wahana Esa Sejati milik Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun.

Kasus ini kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pada 9 Juni 2009, KPK mengumumkan empat anggota Komisi XI DPR sebagai tersangka perdana. Mereka adalah Dudhie Makmun Murod (PDIP), Endin AJ. Soefihara (PPP), Hamka Yandhu (PBR), dan Udju Djuhaeri (TNI/Polri). Dudhie, Hamka, Endin, dan Udju kemudian divonis bersalah hampir setelah berstatus tersangka, pada 17 Mei 2010. Dari pengakuan mereka, KPK mengembangkan kasus tersebut dan pada 1 September 2010 menetapkan 26 anggota Komisi XI DPR RI sebagai tersangka baru lainnya dan tersangka yang telah diproses hukum, di antaranya Paskah Suzetta dan Panda Nababan37.

Dari keterangan yang diberikan oleh Agus Condro didapatkan lah nama Nunun Nurbaeti yang turut serta dalam kasus ini, iya berperan sebagai fasilitator penerimaan suap oleh anggota Komisi XI DPR RI. Kemudian KPK lanjut menetapkan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka atas kasus suap cek pelawat tersebut. Ditetapkannya Nunun Nurbaeti sebagai tersangka oleh KPK dianggap sebagai titik terang untuk menjerat oknum-oknum lainnya yang turut serta melakukan kasus suap ini. Dalam persidangan kasus Nunun Nurbaeti ini Nunun akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa kasus suap cek pelawat dan kemudia Miranda S. Goeltom dihadirkan menjadi saksi.

37


(57)

Dalam persidangan, Nunun Nurbaeti mengaku memfasilitasi pertemuan antara Miranda S. Goeltom dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI dan pernyataan Nunun Nurbaeti ini pun sebagai bukti permulaan kedua yang membuktikan keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus Traveller Cheque.

Dalam proses penetapan tersangka, yang sebelumnya Miranda S. Goeltom adalah sebagai saksi dalam sidang terdakwa Nunun Nurbaeti bukan lah hal yang tidak diperbolehkan atau melanggar hukum, adanya penetapan tersangka Miranda S. Goeltom karena terbuktinya Miranda S. Goeltom melakukan tindak pidana korupsi. Dan ini merupakan kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi ketentuan ini untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu.

Terucap lagi oleh publik bahwa tidak adilnya hakim dalam menaikan status Miranda S.Goeltom yang tadinya sebagai saksi peradilan Nunun Nurbaeti pada saat itu pula berubah statusnya menjadi tersangka. Dimulai dari keterangan saksi yang dimana adalah alat bukti pertama seperti yang tertera di Pasal 184 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981. Hakim juga diminta „bersungg uh-sungguh memperhatikan‟ keterangan saksi demi kepentingan penilaian kebenaran keterangan tersebut. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keterangan saksi. Ada empat hal yang perlu sungguh-sungguh diperhatikan hakim, yaitu:

a) Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain. b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.


(58)

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; dan

d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan untuk menguatkan terlaksananya perubahan status itu. Jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka bisa saja saksi dapat langsung dikenakan status tersangka. Tetapi Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.

Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera


(59)

langsung membuat berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan ke penuntut umum sebagai dasar menuntut tersangka.38

Dalam Pasal 183 KUHAP juga diatur bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Akan tetapi dalam praktek persidangan perkara pidana di pengadilan, termasuk perkara korupsi, keterangan minimal dua orang saksi yang bersesuaian satu sama lain dan tidak ditemukan alat bukti lainnya termasuk keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan dan keterangan saksi tersebut dipandang valid oleh hakim dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa maka hakim akan menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut.

Jika hakim berpendapat bahwa keterangan saksi-saksi tersebut yang bersesuaian satu sama lain hanya sebagai satu alat bukti, maka 30 % terdakwa dalam perkara pidana yang diajukan ke pengadilan yang terdakwanya menyangkal perbuatannya akan dibebaskan oleh hakim, karena 30 % perkara pidana yang diajukan ke pengadilan hanya mempunyai alat bukti saksi-saksi dan terdakwa menyangkal perbuatannya. Dalam hal ini Hakim memberi penafsiran terhadap undang-undang dengan merujuk pada ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

38 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakim-mengubah-status-saksi-menjadi-tersangka, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 12.08


(1)

62 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menjelaskan sesuai atau tidaknya implementasi penetapan tersangka Miranda S. Goeltom sebagai tersangka dengan KUHAP serta UU KPK dan faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan disimpulkan sebagai berikut :

1. Penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK sudah sesuai dengan semua ketentuan yang tertera di dalam KUHAP dan UU KPK. Adanya bukti permulaan yang cukup sudah terpenuhi untuk KPK dapat menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka merupakan hal yang disebutkan di dalam KUHAP dan dijelaskan lebih lengkap di dalam UU KPK. Undang-Undang KPK yang memberi wewenang KPK sebagai lembaga supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, menjadikan KPK memiliki batasan kewenangan yang luas tetapi tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku diatasnya yaitu KUHAP.

2. Ada beberapa faktor yang mendasari penetapan Miranda S. Goeltom sebagai Tersangka yaitu adanya keterangan dari salah satu anggota Komisi IX DPR RI yang mendatangi KPK dan mengaku menerima suap setelah dilakukan pertemuan oleh Miranda S. Goeltom dengan sejumlah anggota Komisi XI DPR RI, yang ternyata difasilitasi oleh Terdakwa


(2)

kasus suap Nunun Nurbaeti dan pertemuan ini diakui Nunun Nurbaeti untuk membicarakan masalah pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kemudian pengakuan Agus Condro kepada KPK yang mengaku menerima suap atas pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia juga mengungkap semua pihak yang menerima kasus suap cek pelawat dan terbukti bahwa Miranda S. Goeltom yang dibantu oleh terdakwa Nunun Nurbaeti telah melakukan suap dalam upaya terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

B. SARAN

Sebagai penutup dari kesimpulan diatas penulis disini akan memberikan saran-saran terkait dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK :

1. Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya lebih terbuka lagi kepada masyarakat terkait semua proses pemeriksaan dan penetapan tersangka para koruptor agar dapat diakses oleh masyarakat melalui website Komisi Pemberantasan Korupsi, mengingat asas yang digunakan KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya menganut asas transparansi serta mencegah hal-hal yang dapat meragukan masyarakat bahwa KPK sebagai lembaga independen negara bisa saja menyalahgunakan kekuasaanya mengingat tidak ada lembaga lain yang mengawasi kewenangan dan kenerja KPK tersebut. Adanya penjelasan


(3)

64

tambahan tersebut jika tercantum di dalam website KPK dapat menambah wawasan masyarakat awam terkait kinerja KPK yang sesuai dengan UU KPK itu sendiri tanpa menduga-duga atau terprofokasi pihak-pihak yang ingin menjatuhkan KPK.

2. Untuk KPK agar selalu jeli dalam menetapkan tersangka serta taat menjalankan seluruh tugas dan kewenangannya sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. Dan tetap berpegang teguh pada asas-asas yang berlaku dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum serta asas proporsionalitas.


(4)

65 Buku :

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, Buku Kompas, Jakarta, cet-ke 1, 2005.

Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi), Sinar Grafika, Balikpapan, edisi ke-2, 2008.

Ensiklopedia Pemerintahan dan Kewarganegaraan, Sistem dan Bentuk

Pemerintahan di Indonesia.

Hamzah, A, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.

Hamzah, Andi, Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet-ke 7, 2008.

Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Grafiti, Bandung, 2006.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan danPenuntutan). Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2007.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV, Bayumedia Publishing, Malang, 2008.

Ihza Mahendra, Yuhsril, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2002.

Isra, Saldi, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin


(5)

66

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2011.

M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Mukti Arto, A, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

ProdjodikoroWirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2.Sumur Bandung, Bandung, 1962.

Pepatah latih lama „Quis custodiet ipsos custodet?’

Setyawati, Deni, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam Memberangus Korupsi, Pustaka Timur, Yogyakarta, 2008.

Sinambela, Poltak Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan

Implementasi, cet.V, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010.

Soekardi, Sugriwadi, Dibawah Cengkraman KPK Pergulatan Korban

Penyalahgunaan Kewenangan KPK, Jakarta, CV Ricardo, 2009.

Sudjana, Eggi, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, 2002.

Perundang-Undangan :

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957 Putusan Nomor : 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST

Putusan Nomor : 33/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST Putusan Nomor : 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST


(6)

Media Sosial :

http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem- ketatanegaraan-republik-Indonesia-ananlisis-kedudukan-komisi-pemberantasan-korupsi/mrdetail/4770/.

http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-meminta-jabatan-1-tulisan-ke-1-dari-dua-tulisan/.

https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcement-volume-3-nomor-1-april-september-2009.pdf,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakim-mengubah-status-saksi-menjadi-tersangka

Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2008. Deputi Bidang Informasi dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat. Penjelasan mengenai fungsi dari setiap Deputi KPK lihat Lampiran 2. Komisi