Studi pustaka dilakukan dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal-hal penting terhadap beberapa buku literatur, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi
pembahasan b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara interview adalah usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk menjawab secara lisan pula.
Wawancara akan dilakukan terhadap seluruh responden. Penulis akan melakukan wawancara dengan pertanyaan secara mendalam, dalam hal ini penulis menggunakan
pedoman wawancara agar masalah dapat terjawab.
2. Pengolahan Data
Data yang terkumpul baik dari pustakaan maupun dari lapangan kemudian diperoses, diteliti dan disusun kembali secara seksama, dengan cara: editing, sistematis dan evaluasi. Hal ini dilakukan
untuk menyatakan apakah terdapat kesalahan-kesalahan dan kekeliruan serta belum lengkap dan sebagainya. Setelah data dipandang cukup baik dan lengkap, maka data tersebut diklarifikasikan
dan disusun secara sistematis menurut bidang klasifikasi masing-masing dan diperiksa serta dipersiapkan untuk dianalisa. Dengan tujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterprestasikan.
E. Analisis Data
Analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal fungsi sumpah saksi dalam persidangan perkara pidana dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian
pendahuluan. Dalam proses analisis, rangkaian data yang telah disusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara merumuskan
dalam bentuk uraian kalimat sehingga merupakan jawaban. Sedangkan dalam pengambilan
kesimpulan dari hasil analisa tersebut, penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam pengambilan kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, lalu diambil
kesimpulan secara umum.
V.PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan memang
diakui namun tidak ada ketentuan hukum secara tertulis, penuntut umum menggunakan saksi mahkota dalam tindak pidana penyertaan bertujuan untuk melihat seberapa besar
pertanggung jawaban yang dilakukan oleh para pelaku oleh sebab itu dalam tindak pidana ini dilakukanlah pemisahan berkas atau splitsing, agar kedudukan dari saksi mahkota dan
kedudukan sebagai terdakwa tidak ada kerancuan dalam persidangan.Dalam hal pembuktian saksi mahkota tidak diwajibkan untuk memberikan sumpah karena dalam mengingat status
saksi mahkota sendiri adalah sebagai terdakwa oleh sebab itu untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti misalnya tekanan psikis dari diri terdakwa karena ia takut jika
memberikan kesaksian ia akan diancam oleh terdakwa lain, karena itulah dalam kesaksiannya saksi mahkota tidak diwajibkan untuk memberikan sumpah. Walaupun
terkadang hakim menolak diadakannya saksi mahkota namun penuntut umum menggunakan saksi mahkota hanyalah untuk mempermudah dalam pengungkapan suatu tindak pidana
walaupun penggunaan saksi mahkota juga terkadang tidak sesuai dengan hak asasi manusia karena terdakwa yang dijadikan saksi mahkota biasanya memiliki tekanan psikis
dikarenakan meraka harus melakukan pengakuan yang pengakuanya nanti dapat menjerumuskan diri mereka sendiri.
2. Penggunaan Saksi Mahkota Pada Peradilan Pidanapada tindak pidana bentuk penyertaan
perlu adanya pemisahan berkas splitsing Pemecahan berkas perkara yang pada intinya satu
perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara berjamaah. Dalam konteks ini, kemudian muncul istilah saksi mahkota.
Dimana Terdakwa menjadi saksi bagi Terdakwa lainnya yang pokok perkaranya sama karena tindak pidana dilakukan secara berjamaah. Adanya penggunaan saksi mahkota yang
terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasic yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa
untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai
alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak
memihak fair trial dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki
terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian vide pasal 66 KUHAP, di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ juga melanggar
instrumen hak asasi manusia secara internasional International Covenant on Civil and Political Right .
A. Saran
Mengakhiri tulisan ini perlu penulis sarankan kepada kita sebagai penegak hukum sbb : 1. Penuntut umum sebaiknya tidak menggunakan saksi mahkota dalam tindak pidana penyertaan
mengingat tindak pidana tersebut bentuk penyertaan maka sebaiknya penuntut umum lebih teliti lagi dalam membagi kedudukan antara terdakwa satu dan yang lainnya agar tidak terjadi
kerancuan dalam pembuktian.