PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

Dalam proses produksi bioetanol terdapat perbedaan kebutuhan energi dan air limbah yang dihasilkan antara bioetanol berbahan baku ubikayu dan tetes tebu. Energi yang digunakan untuk proses produksi bioetanol berbahan baku ubikayu lebih banyak jika dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk proses produksi bioetanol berbahan baku tetes tebu. Proses produksi bioetanol berbahan baku ubikayu akan menghasilkan air limbah yang disebut dengan thinslop, sedangkan proses produksi bioetanol berbahan baku tetes tebu akan menghasilkan air limbah yang disebut dengan vinasse. Air limbah yang dihasilkan umumnya mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi, seperti pati, protein, gula dan sedikit kandungan lipid. Limbah dengan kandungan bahan-bahan organik dalam konsentrasi tinggi merupakan limbah yang sesuai untuk diproses dalam sistem fermentasi anaerobik. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik pada dasarnya merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir Kaswinarni, 2007. Thinslop dan vinasse sebagai air limbah proses produksi bioetanol berpotensi dalam menghasilkan biogas. Biogas yang dihasilkan diduga dapat menjadi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang cukup potensial. Potensi biogas air limbah tersebut perlu dihitung agar gas metana sebagai komponen utama biogas pada thinslop dan vinasse dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan mengurangi pemakaian sumber energi fosil sebagai pembangkit listrik. Perlu adanya pengkajian mengenai dampak perubahan sumber bahan baku proses produksi bioetanol, yaitu berbahan baku ubikayu dan tetes tebu terhadap potensi energi yang dihasilkan dari pengolahan thinslop dan vinasse. Selain itu, dilakukan pengkajian terhadap adanya pemanfaatan energi tersebut di industri bioetanol. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui potensi energi dari pemanfaatan air limbah industri bioetanol berbahan baku ubikayu dan tetes tebu. 2. Mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi tersebut di industri bioetanol. C. Kerangka Pemikiran Air limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan baku ubikayu dan tetes tebu dalam produksi bioetanol sangat banyak. Satu liter bioetanol dihasilkan dengan menggunakan 3,89 ton tetes tebu dan menghasilkan 11,41 m 3 vinassekL etanol, sedangkan untuk menghasilkan satu liter bioetanol membutuhkan 6,48 ton ubikayu dan menghasilkan 7,22 m 3 thinslopkL etanol. Kandungan bahan organik yang terkandung dalam air limbah bioetanol diukur dengan parameter Chemical Oxygen Demand COD. COD merupakan jumlah mg oksigen yang dibutuhkan secara kimia untuk menguraikan bahan organik dalam satu liter air limbah. Efluen yang dihasilkan oleh pabrik bioetanol biasanya mengandung komponen organik yang tinggi, yaitu 50.000 mgL COD pada air limbah thinslop dan 90.000 mgL COD pada air limbah vinasse Medco, 2009. Kandungan bahan organik yang tinggi pada air limbah industri bioetanol memerlukan suatu pengolahan yang efektif dalam memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik pada kondisi terkontrol. Kondisi tersebut adalah kondisi anaerobik dimana mikroorganisme dapat hidup di lingkungan tanpa oksigen. Mikroorganisme yang memegang peranan penting dalam fermentasi anaerobik yaitu bakteri asetogenik dan metanaogenik. Mikroorganisme tersebut mendegradasi bahan organik menghasilkan gas metana, CO 2 , dan beberapa kandungan gas lainnya yang disebut biogas Kaswinarni, 2007. Biogas memiliki kandungan energi tinggi yang berpotensi sebagai penganti bahan bakar fosil. Nilai kalori dari 1 m 3 biogas sekitar 6000 watt jam, setara dengan setengah liter minyak diesel. Biogas mengandung sekitar 75 persen gas metana, dimana semakin tinggi kandungan gas metana dalam bahan bakar, maka semakin besar kalor yang dihasilkan. Oleh karena itu, biogas juga memiliki karakteristik yang mirip dengan gas alam, sehingga dengan adanya pengolahan yang benar dapat digunakan sebagai pengganti gas alam dan penggunaan gas alam dapat dihemat Harahap, 2009. Oleh karena itu dilakukan pemanfaatan biogas yang dihasilkan dari air limbah bioetanol sebagai pengganti bahan bakar fosil yang saat ini semakin menipis jumlahnya. Jumlah gas metana yang dihasilkan dari pemanfaatan air limbah industri bioetanol berbahan baku ubikayu dan tetes tebu dikonversi menjadi jumlah potensi energi. Hal tersebut merupakan strategi yang efektif sebagai energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil serta ramah lingkungan. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data dari hasil pengamatan terhadap suhu, pH, COD, volume gas, dan konsentrasi gas metana pada air limbah bioetanol berbahan baku ubikayu thinslop Maryanti, 2011 dan tetes tebu vinasse Amelia, 2012. Pembuatan biogas dari air limbah bioetanol thinslop dan vinasse telah dilakukan dengan menggunakan bioreaktor anaerobik berkapasitas 50 L yang dilengkapi dengan pengaduk pada laboratorium yang sama. Data yang diperoleh akan digunakan untuk menghitung potensi gas metana, potensi biogas, dan potensi energi dari air limbah industri bioetanol thinslop dan vinasse. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan perhitungan konversi secara teoritis. Skema potensi energi air limbah bioetanol berbahan baku ubikayu dan tetes tebu dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Skema potensi energi air limbah bioetanol berbahan baku ubikayu thinslop dan tetes tebu vinasse Nilai COD berkisar 24.600- 31.000 mgL Maryanti, 2011 Thinslop Gas Metana Vinasse Gas Metana Nilai COD berkisar 60.000- 105.000 mgL Amelia, 2012 Potensi pengganti bahan bakar fosil

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi Ubikayu dan Tetes Tebu

Bioetanol adalah bahan bakar yang menggunakan bahan nabati mengandung pati, yaitu ubikayu, sorgum, garut, ubijalar, sagu, dan jagung. Di Indonesia, bioetanol sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis tanaman yang banyak tumbuh di negara ini dan sangat dikenal masyarakat. Sumber bioetanol yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah ubikayu Manihot esculenta. Indonesia merupakan lima besar produsen ubikayu terbesar di dunia seperti yang dilansir FAO tahun 2009. Dari luas areal 50 juta hektar tahun 2009, produksi ubikayu Indonesia sebesar 22,4 juta ton. Data statistik menunjukan bahwa propinsi Lampung merupakan penghasil ubikayu terbesar di Indonesia sebesar 7.835.180 ton pertahun BPS, 2010. Pengembangan bioetanol berbahan baku ubikayu diharapkan dapat menjadi solusi sumber energi terbarukan dan dapat meningkatkan pendapatan petani ubikayu sehingga harga ubikayu akan menjadi stabil. Tetes tebu merupakan salah satu bahan baku yang sangat baik dalam pembuatan bioetanol. Tetes tebu merupakan produk samping dari pabrik gula tebu yang memiliki kadar gula berkisar 40-55 persen. Pada tahun 2010, produksi tetes tebu dari 58 pabrik gula diproyeksikan mencapai 1,56 juta ton. Dari jumlah itu secara rutin akan dipakai sebagai bahan baku industri etanol dan Mono Sodium Glutamat MSG mencapai 1,2 juta ton. Sisanya hanya 360.000 ton tetes tebu, yang dapat diproduksi menjadi etanol sebanyak 110.000 kiloliter, yang tersedia bagi bio-fuel energy AGI, 2006. Ubikayu dan tetes tebu memiliki potensi yang cukup baik sebagai bahan baku dalam memproduksi bioetanol. Potensi dari beberapa jenis tanaman sebagai bahan baku bioetanol dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi beberapa jenis tanaman sebagai bahan baku bioetanol No. Jenis Tanaman Hasil Panen Tonhatahun Etanol literhatahun 1. Jagung 1-6 400-2.500 2. Ubikayu 10-50 2.000-7.000 3. Tebu 40-120 3.000-8.500 4. Ubijalar 10-40 1.200-5.000 5. Sorgum 3-12 1.500-5.000 6. Sorgum manis 20-60 2.000-6.000 7. Kentang 10-35 1.000-4.500 8. Bit 20-100 3.000-8.000 Sumber : Yakinudin 2010 Tabel 1 menunjukkan bahwa tebu sebagai tanaman penghasil etanol dengan produktifitas tertinggi dan disusul oleh ubikayu. Keunggulan ubikayu dibanding tebu adalah masa panen ubikayu relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah Yakinudin, 2010. Namun, bahan-bahan yang sudah mengandung gula sederhana, seperti nira tebu, nira bit, ataupun tetes tebu lebih hemat produksi dengan biaya operasi per satuan produk biasanya lebih murah. Bahan berpati harus dilakukan proses pretreatment dan proses liquifaksi, begitu juga untuk bahan lignoselulosa sehingga biaya produksi yang dibutuhkan masih relatif mahal.