Analisis Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Swasta dalam Perspektif Good Corporate Governance (Studi Pada Kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT. Gunung Madu Plantations)

(1)

A B S T R A C T

Analysis of the Partnership Pattern of Local Government and Private Sector in the Perspective of Good Corporate Governance (Study in Partnership of

Lampung Provincial Government with PT Gunung Madu Plantations).

By :

Yahnu Wiguno Sanyoto

The purpose of this study is to analyze the partnership pattern of local government and private sector in the perspective of Good Corporate Governance, through studies in the partnership pattern of Lampung Provincial Government with PT Gunung Madu Plantations, thereby building partnerships with the private sector as domestic and foreign investors once created a synergistic relationship (the interrelation and interaction), both horizontally, vertically or diagonally between the government- private-community as the elements of good governance.

The research method that used in this thesis is qualitative research method with qualitative descriptive approach. The technique for determining the informants by using purposive sampling based on the consideration of certain criteria. data collection combines the techniques of interview, documentation, observation, and using data analysis with reduction step, data display and data verification.

The result of the discussion can be concluded that the Government of Lampung Province has partnered with the private sector who invest in the Province of Lampung. The partnership patterns that developed up till now between the Government of Lampung Province with the private sector can be seen from the policy aspects that form the pattern of monopolistic partnerships, institutional aspects that form the pattern of competitive partnerships, infrastructure aspects that form the pattern of collaborative partnerships, human resource aspects of forming a


(2)

Based on the 5 (five) developing partnership pattern, can be classified into 3 (three) alternative patterns of (a) the pattern of policies relating to policy and institutional aspects; (b) pattern involving the preservation of the infrastructure and resources nature and the environment; (c) the pattern of welfare-related aspects of human resources.

Keywords : good governance, good corporate governance, corporate social responsbility, partnership.


(3)

A B S T R A K

Analisis Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Swasta dalam Perspektif Good Corporate Governance (Studi Pada Kemitraan Pemerintah Provinsi

Lampung dengan PT. Gunung Madu Plantations)

O l e h :

Yahnu Wiguno Sanyoto

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola kemitraan Pemerintah Daerah dengan swasta dalam perspektif Good Corporate Governance melalui studi pada kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT Gunung Madu Plantations sehingga terbangun kemitraan dengan pihak swasta sebagai investor dalam maupun luar negeri sekaligus tercipta hubungan yang sinergis (interelasi dan interaksi), baik secara horizontal, vertikal maupun diagonal antara pemerintah-swasta-masyarakat sebagai elemen-elemen good governance.

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini yaitu metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yang didasarkan pada pertimbangan kriteria-kriteria tertentu. Teknik pengumpulan data mengkombinasikan antara teknik wawancara, dokumentasi, observasi, serta menggunakan teknik analisis data dengan tahap reduksi, display data dan verifikasi data.

Hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi Lampung telah bermitra dengan pihak swasta yang menanamkan modalnya di Provinsi Lampung. Pola-pola kemitraan yang berkembang selama ini antara Pemerintah Provinsi Lampung dengan swasta dapat dilihat dari aspek kebijakan yang membentuk pola kemitraan monopolistik, aspek kelembagaan yang membentuk pola kemitraan kompetitif, aspek infrastruktur yang membentuk pola kemitraan kolaboratif, aspek sumber daya manusia yang membentuk pola kemitraan akomodatif-partisipatif,


(4)

Berdasarkan 5 (lima) pola kemitraan yang telah berkembang, dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) pola alternatif yaitu (a) pola kebijakan yang menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan; (b) pola kelestarian yang menyangkut aspek infrastruktur dan sumber daya alam dan lingkungan; (c) pola kesejahteraan yang menyangkut aspek sumber daya manusia.

Kata kunci : tata kelola yang baik, tata kelola perusahaan yang baik, tanggung jawab sosial perusahaan, kemitraan.


(5)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Provinsi Lampung selama ini telah bermitra dengan pihak

swasta (investor) yang menanamkan modalnya di Provinsi Lampung. Pola-pola kemitraan yang berkembang antara Pemerintah Daerah dengan swasta dapat dilihat dari beberapa aspek seperti :

a. Aspek kebijakan.

Pola kemitraan yang terbentuk pada aspek ini adalah pola kemitraan monopolistik yang bersifat top down dan instruksional. Hal ini dikarenakan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah memegang kewenangan secara penuh dalam membuat peraturan perundang- undangan. Pihak swasta maupun masyarakat hanya melaksanakan segala bentuk peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah; b. Aspek kelembagaan.

Pola kemitraan yang terbentuk pada aspek ini adalah pola kemitraan kompetitif. Kondisi ini tergambarkan dari kemandirian masing- masing institusi dalam mengelola program kerjanya yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sesuai dengan visi dan misi


(6)

serta nilai inti yang dimiliki institusi yang bersangkutan (pemerintah dan swasta);

c. Aspek infrastruktur.

Pola kemitraan yang terbentuk pada aspek ini adalah pola kemitraan kolaboratif yang bersifat saling menguatkan. Pada pola ini, terlihat jelas bahwa masing-masing pihak berkeinginan untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kapasitas anggaran keuangan daerah (APBD) Provinsi Lampung sangat terbatas dalam membangun atau memperbaiki infrastruktur yang rusak, khususnya jalur-jalur yang mengakses ke sentra-sentra produksi. Hal ini diupayakan peningkatannya dengan terus-menerus mendapatkan dukungan secara penuh dari semua pihak baik dunia usaha, masyarakat, dan sektor terkait;

d. Aspek sumber daya manusia.

Pola kemitraan yang terbentuk pada aspek ini adalah pola kemitraan akomodatif – partisipatif dimana dalam hal ini Pemerintah maupun swasta bersedia untuk lebih mementingkan kepentingan stakeholders lainnya dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kemampuan, keahlian, dan kapasitas SDM sehingga penyiapan SDM dilakukan sejak dini melalui berbagai proses pendidikan, baik dalam ilmu umum maupun keagamaan, kemudian diikuti dengan berbagai pelatihan peningkatan keahlian berskala internasional. Keadaan perkembangan peningkatan SDM di Lampung sangat tinggi. Kendati demikian pengaturan mengenai


(7)

kurikulum yang dipelajari tetap mengacu pada kurikulum tingkat nasional.

e. Aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pola kemitraan yang terbentuk pada aspek ini adalah pola kemitraan kelestarian – kesejahteraan. Pada pola ini, baik Pemerintah Daerah maupun swasta berada pada suatu kondisi di mana masing-masing pihak harus mengorbankan suatu hal untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan-kepentingan pihak lain (stakeholders). Melalui pola ini Pemerintah Daerah membina manajemen pengelolaan limbah perusahaan dan bersama-sama dengan masyarakat mengawasi aktivitas perusahaan. Sementara itu, perusahaan berupaya untuk mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dan kemampuan sumber daya alam dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pengelola lingkungan, menguatkan kelembagaan pengelola lingkungan hidup sebagai upaya mempertahankan citra perusahaan yang bersangkutan di mata Pemerintah Daerah dan masyarakat.

2. GCG mengisyaratkan adanya suatu organisasi yang pelaku-pelaku dalam organisasi tersebut bersih dari segala manipulasi dan sikap yang mementingkan diri sendiri. GCG berarti juga suatu birokrasi yang bersih dari segala manipulasi dan pelaku-pelaku lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Segala bentuk birokrasi dengan segala aturan dan nilai serta norma yang ada di organisasi tersebut dipakai oleh pelaku-


(8)

pelaku dalam organisasi yang bersangkutan untuk memahami dan mengintepretasi lingkungannya dan hasil pemahaman tersebut juga dipakai oleh pelaku-pelakunya dalam mewujudkan tingkah laku sehingga antara nilai, norma, dan aturan dalam organisasi sesuai dengan tingkah laku obyektif yang terwujud dalam kenyataan.

Hal tersebut pada akhirnya akan menjawab kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Lampung dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, seperti (a) Masalah kapasitas yang terbatas, menyangkut : keterbatasan SDM dan modal sosial, rendahnya daya dukung anggaran, perubahan lingkungan, dan buruknya aksesibilitas; (b) Daya saing yang rendah, menyangkut : keterbatasan promosi daerah, ketimpangan kualitas produk, keterbatasan kerjasama daerah, dan belum terciptanya iklim dunia usaha yang kondusif secara optimal; dan (c) masih kurangnya dukungan dari stakeholders, menyangkut : ketimpangan dukungan infrastruktur, ketidakjelasan strategi pembangunan, dan informasi yang tidak jelas.

3. Implementasi CSR di PT GMP mencakup 3 (tiga) bidang yaitu:

Pertama, bidang sosial, seperti : Yayasan Pendidikan Gunung Madu (YP. GMP), Koperasi Gunung Madu (KGM), Ikatan Istri Karyawan (IIK), Yayasan Muslim Gunung Madu (YMGM), Badan Kerja Sama Umat Kristiani (BKS), Dana Pensiun Gunung Madu (DP GMP), termasuk juga menyediakan banyak fasilitas bagi karyawan, seperti perumahan, bedeng- bedeng permukiman yang dilengkapi fasilitas listrik dan air bersih secara


(9)

cuma-cuma, poliklinik, taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP). Juga masjid, gereja, sarana olahraga, warung-warung, toko-toko koperasi, bank, fasilitas ATM, serta gedung- gedung pertemuan. Masyarakat dari desa sekitar GMP dapat ikut memanfaatkan fasilitas-fasilitas ini. GMP pun berusaha menjaga hubungan baik yang sudah terjalin melalui pembinaan kemitraan tebu; bantuan- bantuan fisik seperti masjid, kantor kepala kampung, listrik, peralatan kantor, pengerasan jalan, jembatan, dan lain-lain; pertandingan olahraga; juga bantuan air bersih kepada warga sekitar ketika musim kemarau terus berlangsung;

Kedua, bidang ekonomi, antara lain adalah dengan menginisiasi program kemitraan tebu rakyat di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan, dan Kabupaten Tulangbawang. Disamping memasyarakatkan pertanian tebu, kemitraan dengan pola bagi hasil dan petani mandiri juga merupakan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan ketiga, bidang lingkungan hidup, antara lain konservasi tanah dan air, penggunaan SDA secara bijaksana, pengendalian hama secara hayati, eksplorasi ekologis, pemilihan teknologi ramah lingkungan, dan mengutamakan 5R dalam pengelolaan limbah. Tahapan penanganan limbah (5R), yaitu : (a) Refine (alternatif ramah lingkungan); (b) Reduce (pengurangan besar polutan); (c) Reuse (pemakaian kembali); (d) Recycle (pemanfaatan lain); dan (e) Retrieve to energy (Sebagai bahan bakar).


(10)

Sementara limbah padat dan limbah cair dari pabrik juga dikelola lagi sehingga bermanfaat, bahkan secara ekonomis sangat menguntungkan. Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) misalnya, dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) untuk penggerak mesin pabrik dan pembangkit tenaga listrik untuk perumahan karyawan, perkantoran, dan peralatan irigasi. Oleh sebab itu, pabrik dan pembangkit listrik Gunung Madu tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM), baik saat musim giling (on season) maupun tidak giling (off season). Limbah padat lain adalah endapan nira yang disebut blotong (filter cake) dan abu. Blotong, abu, dan bagasse dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos, yang digunakan lagi di kebun sebagai penyubur tanah.

Limbah cair yang dikeluarkan pabrik dikelola melalui dua tahapan.

Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini dilakukan dengan cara mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta pembuatan bak penangkap abu bagasse (ash trap).

Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

4. Alternatif yang dapat dikembangkan dalam kemitraan Pemerintah Daerah dengan swasta adalah pola kebijakan, kelestarian, dan kesejahteraan

dengan pelibatan stakeholders, yaitu pola kemitraan yang menempatkan mitra sebagai subyek dan dalam paradigma common interest. Prinsip simbiosis mutualisme sangat terlihat pada ketiga pola ini. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah


(11)

memberikan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha, masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan, dan stakeholders berperan dalam hal perencanaan, pelaksanaan sampai pengendalian program kemitraan (CSR). Bahkan bisa jadi, mitra dilibatkan pada pola hubungan resource based partnership dimana mitra diberi kesempatan menjadi bagian dari shareholders. Skenario ini dapat menimbulkan sense of belonging, membangun kepercayaan yang semakin tinggi (high trust, high security level) serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma common interest.

6.2 Saran

Kemitraan antara kalangan dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat mesti lebih ditingkatkan lagi. Maka dari itu saran yang dapat penulis berikan antara lain:

1. Pemerintah Daerah harus mampu berperan sebagai : (1) Entrepreneur yang berarti pemerintah harus mampu mengoptimalisasi pemanfaatan asset sehingga menghasilkan profit maksimum dan dapat mensejahterakan masyarakat di daerahnya; (2) Koordinator yang memiliki peran untuk melibatkan instansi pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat dalam menyusun strategi pembangunan di daerahnya; (3) Fasilitator, artinya harus dapat memfasilitasi ide-ide dari pihak lain, yang bermanfaat bagi pembangunan daerah dan dapat diimplementasikan sebagai bentuk upaya memberdayakan masyarakat di daerah; dan (4) Stimulator, artinya Pemerintah Daerah harus mampu memberikan stimulant dalam rangka penciptaan dan pengembangan usaha di daerah.


(12)

Pemerintah harus merevisi atau mengamandemen segera Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sekaligus membuat peraturan pelaksanaan CSR dalam bentuk Peraturan Pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang agar dapat dijadikan acuan bagi perusahaan untuk melaksanakannya secara efektif, tepat, dan terukur. Sementara itu, Pemerintah Daerah dapat berperan sebagai sebuah institusi regulator di tingkat lokal yang memfasilitasi ”arena permainan” demi pencapaian target pembangunan berkelanjutan.

2. Pemerintah harus mempersiapkan beberapa strategi pengembangan untuk menyikapi kendala-kendala yang dihadapi, seperti:

a. Strategi pengembangan dunia usaha yang dapat ditempuh dengan cara:

1. Penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi dunia usaha, melalui pengaturan dan kebijakan yang memberikan kemudahan bagi dunia usaha demi berkembangnya program CSR yang digelar kalangan dunia usaha sehingga terwujudlah public, privat, and community partnership. Ujungnya jelas, bila rasa kebersamaan sudah kuat, kesemuanya dapat tumbuh berkembang secara sustain;

2. Pembuatan skala pemasaran bersama untuk menghindari skala yang tidak ekonomis dalam produksi, peningkatan daya saing terhadap produk impor, peningkatan sikap kerjasama antar pelaku usaha;


(13)

3. Pembuatan sistem informasi terpadu yang didukung oleh perangkat teknologi informasi secara online, dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat/investor mendapatkan informasi dari Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan dunia usaha, seperti : perizinan, perencanaan daerah, perencanaan ekonomi daerah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya.

b. Strategi pengembangan sumber daya manusia yang dapat dilakukan dengan cara :

1. Pelatihan dengan sistem customized training yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan pemberi kerja. Lembaga Pendidikan Kerja (LPK) atau Balai Latihan Kerja (BLK) sebaiknya diarahkan kepada sistem pelatihan model ini karena jaminan mendapatkan pekerjaan lebih besar;

2. Pembuatan bank keahlian (skillbanks) yang berisi data orang yang menganggur di suatu daerah dengan kualifikasi atau keahlian tertentu, sehingga akan mempermudah perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan dengan kualifikasi tertentu;

3. Penciptaan iklim yang mendukung peningkatan SDM seperti : lembaga-lembaga kursus, lembaga-lembaga pendidikan dan keterampilan, dan sebagainya;

4. Perusahaan swasta yang ada di daerah membuka kesempatan lowongan pekerjaan kepada masyarakat untuk dididik lebih lanjut guna menguasai keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut.


(14)

c. Strategi pengembangan berbasis masyarakat dengan melibatkan lima aktor penting dalam otonomi daerah seperti : BUMN/BUMD, Pemerintah Daerah, investor swasta nasional/asing, pengusaha daerah, dan masyarakat sendiri. Dalam memberdayakan masyarakat di daerah perusahaan sebaiknya tidak hanya menekuni core business-nya saja akan tetapi juga harus menekuni bisnis lain dalam kaitannya dengan potensi daerah di mana perusahaan tersebut berada;

d. Strategi balance scorecard, yang mengarahkan manajemen dan organisasi baik pemerintah itu sendiri maupun swasta secara keseluruhan dari empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan dengan suatu kesadaran bahwa segala sesuatu harus diukur.

3. Perusahaan, dalam mengimplementasikan aktivitas CSR-nya, sedapat mungkin memaksimalkan potensinya untuk melakukan program CSR secara komprehensif dan berkesinambungan. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Bisnis yang ramah CSR akan memunculkan rasa kecintaan para stakeholder. Sementara itu, masyarakat dapat berperan proaktif dengan memberi input yang baik pada perusahaan dan siap berpartisipasi aktif menyukseskan program CSR. Setiap kegiatan CSR akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.


(15)

4. Membangun dan memperkuat integrasi, sinkronisasi, dan sinergisitas yang intens antara stakeholders dalam perencanaan sampai implementasi program CSR. Hal ini dikarenakan, pencapaian keberhasilan dalam melakukan program CSR memerlukan komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap program- program CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa datang.

5. Penelitian ini memiliki keterbatasan, baik dari sisi konseptual teoritis, metodologis maupun operasional teknis termasuk variasi sumber data. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dan berkelanjutan baik dalam kerangka konsep, metodologis maupun operasional teknis sehingga lebih mampu mengungkapkan berbagai persoalan dalam pengembangan model-model kemitraan/CSR.


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an, pemerintah dianggap sebagai akar masalah bukannya pemecah masalah, sehingga peran negara menjadi minimal dan memaksimalkan peran pasar dan swasta. Pada perkembangan selanjutnya (1990-an), muncul pandangan yang baru terhadap pemerintahan yaitu bergesernya konsep government ke governance (pemerintah ke kepemerintahan)

Penyelenggaraan good governance (GG) menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Penentuan agenda ini didahului oleh krisis moneter (ekonomi, sosial dan politik) pada tahun 1997 yang meluas menjadi krisis moral (budaya, identitas dan hukum). Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas dan menuntut perbaikan ekonomi negara, penciptaan good corporate governance (GCG) di sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan negara. Berikut ini ditampilkan data indeks good governance dan good corporate governance di Asia pasca krisis.

Tabel 1. Good Governance dan Good Corporate Governance di Asia (2001). No Negara Indeks Good

Governance Indeks GCG

World Competitiveness Rank

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Singapura 4 1 2

2 Hongkong 14 2 6

3 Jepang 21 3 26


(17)

(1) (2) (3) (4) (5) 5 Korea

Selatan 42 5 28

6 Malaysia 36 6 29

7 China 57 11 33

8 Thailand 61 8 38

9 Filipina 65 7 40

10 India 71 9 41

11 Indonesia 89 10 49

Sumber : Riant Nugroho D. Reinveinting Pembangunan dalam Siregar, Doli D. (2004 : 405)1.

Dari data pada Tabel 1, dapat terlihat bahwa nilai GG dan GCG Indonesia terendah di Asia dan sebagai akibatnya ranking kedayasaingan Indonesia menjadi yang terendah juga. Hal ini sangat memprihatinkan karena daya saing merupakan faktor utama keberhasilan suatu negara dalam era globalisasi. Rendahnya daya saing ini juga terefleksikan ke daerah-daerah, dimana dalam era otonomi daerah ini, daerah harus secara bersama-sama dan bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk swasta dan rakyat untuk meningkatkan daya saing daerahnya masing- masing.

Berdasarkan data di atas itulah maka tidak mengherankan jika selama dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan GG dan GCG secara konsisten dan komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik sosial maupun mancanegara, termasuk institusi sekaliber World Bank (Bank Dunia), International Monetery Fund (IMF), Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), dan Asia Pasific Economic Corporation (APEC). Dengan melontarkan beberapa prinsip umum dalam corporate governance (CG) seperti fairness, transparency,

1


(18)

accountability, stakeholders concern, dapat disimpulkan bahwa penerapan GG dan GCG diyakini akan menolong perusahaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa krisis bangkit menuju situasi yang lebih sehat, maju, mampu bersaing, dikelola secara dinamis dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai- nilai etika. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh, yang diikuti pulihnya kepercayaan investor.

Kepercayaan investor dan efisiensi pasar sangat tergantung dari pengungkapan kinerja Pemerintah Daerah secara akurat dan tepat waktu. Agar bernilai di pasar modal global, informasi tersebut haruslah jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan serta menggunakan standar yang diterima di seluruh dunia. Dampak transparansi adalah bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dapat memperhitungkan dampak resiko bertransaksi dengan Pemda. Oleh karena itu, Pemda memiliki dua peranan dalam kerangka regulasi dan kerangka investasi sebagaimana yang berbunyi pada pasal 176 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu:

1. Kerangka regulasi: Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) dengan berpedoman pada peraturan perundang‐undangan”;

2. Kerangka investasi: “Yang dimaksud insentif dan/atau kemudahan dalam ayat ini adalah pemberian dari Pemerintah Daerah antara lain dalam bentuk penyediaan sarana, prasarana, dana stimulan, pemberian modal


(19)

usaha, pemberian bantuan teknis, keringanan biaya dan percepatan pemberian izin”.

Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kepala daerah dalam mengelola daerahnya. Potensi yang besar dari suatu daerah, tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk kepentingan daerah tersebut apabila kepala daerah tidak dapat mengelola potensi daerahnya dengan benar. Sebaliknya, kurangnya potensi suatu daerah dapat ditutup dengan suatu strategi yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya.

Pemberdayaan masyarakat di daerah dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:

pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang; kedua, peningkatan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, latihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah; ketiga, perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang, dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan2.

Kemitraan menjadi sangat penting karena manajemen modern baik di sektor publik maupun privat (swasta) menuntut adanya keunggulan (mutu), daya saing antar lembaga, perspektif bahwa perusahaan yang berdiri sendiri akan sulit berkembang, dan tuntutan standar kinerja baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Keuntungan yang didapatkan dari adanya kemitraan antara lain : (1) peningkatan efisiensi dan pembiayaan yang efektif; (2) meningkatkan kesempatan berinovasi;

2

Made Suyana Utama, “Pemberdayaan Usaha Ekonomi Rakyat Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Universitas Udayana Press, Denpasar, 2006, hal. 6.


(20)

(3) perbaikan berkelanjutan termasuk peningkatan kualitas produksi dan jasa; (4) peningkatan kinerja masing-masing mitra (stakeholders); (5) saling menutupi kelemahan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra menjadi keunggulan dan keuntungan; (6) membuka akses yang lebih luas; (7) saling melakukan evaluasi; dan (8) memiliki standar operasional yang disepakati.

Provinsi Lampung yang berada di pintu gerbang selatan untuk memasuki pulau Sumatera, memiliki sumber daya alam, penduduk yang cukup banyak dan beragam. Sumber daya alam dan penduduk yang beragam ini merupakan potensi daerah yang dapat dijadikan modal peningkatan pembangunan daerah Provinsi Lampung yang dapat ditempuh dengan menciptakan kondusivitas lingkungan usaha. Salah satu faktor penting yang menunjang kondusivitas lingkungan usaha di Provinsi Lampung adalah infrastruktur, seperti : jalan dan pelabuhan. Sebagaimana petikan wawancara Lampung Post dengan Ketua Asosiasi Pengusaha (Apindo) Lampung, Yusuf Kohar yang dimuat pada tanggal 13 Agustus 2010.

“Pemerintah hendaknya jangan hanya melihat Pelabuhan Panjang dalam jangka pendek, seperti melihatnya hanya sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) saja, tetapi harus mampu melihatnya dalam jangka panjang, seperti memperbaiki dan meningkatkan kualitas serta pelayanan. Hal tersebut juga harus disertai dukungan infrastruktur jalan sehingga dapat menunjang komoditas ekspor dan impor. Ia menambahkan, saat ini Pelabuhan Panjang masih belum maksimal dalam hal pelayanan dan ketersediaan infrastrukutur. Sebab itu, untuk dapat menunjang segala aktivitas ekspor, diperlukan perbaikan, baik dari segi lingkungan maupun fasilitas3.

3


(21)

Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah juga makin menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik, mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good will governance dan partisipasi masyarakat. GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang kondusif, efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Hal ini dikarenakan persaingan dalam era globalisasi sudah bukan antarpemerintah, baik pusat maupun daerah, tetapi antarkorporasi, dengan demikian predikat pemerintah kalau perlu harus ditanggalkan dan diganti dengan korporasi yang didukung oleh Pemerintah Daerah.

Terkait dengan hal itu semua, maka sudah seharusnya setiap aparatur Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Lampung berpedoman pada visi Daerah yang fokus dan searah dengan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu: “Terwujudnya Masyarakat Lampung yang Bertakwa, Sejahtera, Aman, Harmonis dan Demokratis serta Menjadi Provinsi Unggulan Berdaya Saing di Indonesia”, sebagai derivasi Visi Indonesia 2020 yaitu: “Terwujudnya Masyarakat Indonesia yang Religius, Manusiawi, Bersatu, Demokratis, Adil, Sejahtera, Maju, Mandiri, serta Baik dan Bersih dalam Penyelenggaraan Negara”4. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi terhadap peran dan kinerja dari aparatur pemerintah daerah itu sendiri yaitu sebagai pemikir, perencana, pelaksana

4


(22)

sekaligus pengawas jalannya kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat atas nama kepala daerah.

Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance adalah salah satu basis dari berhasilnya otonomi daerah. Pemerintah Daerah yang memiliki kekuatan dan bersifat otonom tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa ditopang oleh penegakan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kesetaraan. Di era akuntabilitas seperti sekarang ini, sebagaimana diisyaratkan dalam kaidah GCG tampaknya juga memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan sosial masyarakat. Hal ini ditunjukan dalam salah satu prinsip GCG yang menyarankan keberpihakan kepada stakeholders dalam bentuk keterbukaan (akuntabilitas) perusahaan dalam laporan (pengungkapan) termasuk didalamnya adalah pengungkapan sosial (sosial disclousure) dalam laporan tahunan (Hamid, 2004)5.

PT Gunung Madu Plantations (PT GMP) sebagai obyek studi dalam penelitian ini merupakan perusahaan pelopor usaha perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa sejak tahun 1975 yang karena keberhasilannya telah menambah keyakinan pemerintah tentang prospek peningkatan produksi gula nasional dan memancing pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta lain untuk menggalakkan perkembangan industri gula di luar Jawa.

Melihat perkembangan dan keberhasilan yang diperoleh tersebut, tentunya manajemen PT GMP selalu berupaya melaksanakan prinsip-prinsip good

5

Diah Febriyanti, Good Corporate Governance sebagai Pilar Implementasi Corporate Social

Responsibility (Studi Kasus pada PT. Bank X.Tbk), Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hal.


(23)

corporate governance dengan sebaik-baiknya karena pada umumnya, perusahaan seringkali lupa akan fungsinya. Seharusnya, perusahaan selain berfungsi sebagai organisasi bisnis sekaligus juga berfungsi sebagai organisasi sosial. Perusahaan yang hanya berorientasi bisnis akan menghadapi tantangan karena baik secara langsung ataupun tidak langsung harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya terkait dengan kinerja ekonomi mulai dari input, proses hingga output yang meliputi aspek produksi, keuangan dan pemasaran (distribusi). Aktivitas unit usaha tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Perusahaan menggunakan sumber daya alam sebagai bahan untuk menghasilkan barang atau jasa dan menggunakan sumber daya manusia sebagai motor pengerak aktivitasnya. Keterbukaan ini mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya dampak perusahaan pada kondisi sosial dan lingkungannya. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan mulai menekan perusahaan untuk mulai melaksanakan kewajiban sosial dan lingkungannya.

Oleh karena itu, komunitas dan perusahaan diusahakan berada dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian yang meliputi aktivitas produksi, finansial dan pemasaran (distribusi) untuk membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih baik. Dengan demikian harus ada keseimbangan keuntungan komunitas dengan keuntungan bisnis6. Hal tersebut dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Adapun yang dimaksud dengan CSR menurut Undang-Undang tersebut yaitu, ”Kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan

6

A.B. Susanto, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Erlangga, Jakarta, 2009, hal. 44-45.


(24)

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”7.

Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan usaha), melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan dari aspek kebijakan, kelembagaan, infrastruktur, sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidaklah menjamin perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan. Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stakeholder yang terkait.

CSR menurut Alyson Warhurst diartikan sebagai :

Internalisation by the company of the social and environmental effects of its operations through proactive pollution prevention and social impact assessment so that harm is anticipated and avoided and benefits are optimised’ atau upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan operasinya melalui tindakan proaktif pencegahan pencemaran dan penilaian dampak sosial, sehingga dampak negatif dapat diantisipasi dan dihindari sementara dampak positif dapat dioptimumkan8.

PT GMP telah membuktikan betapa efektif dan harmonisnya pemanfaatan sumberdaya alam, penyerapan tenaga kerja, pembukaan daerah terpencil, dan pengembangan wilayah perdesaan dalam membangun bangsa. Hal ini tercermin

7

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 2. Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

8

Jalal dan Reza Ramayana, Kemitraan Tiga Sektor (tri-sector partnership) untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten-Kabupaten di Madura, Lingkar Studi CSR, Jakarta, 2007, hal. 2.


(25)

No Sektor Kegiatan CSR

(1) (2) (3)

1 Pendidikan  Pemberian bantuan beasiswa kepada batih karyawan mulai dari tingkat SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi Negeri.

2 Agama

 Pembangunan sarana-sarana ibadah;

 Pemberangkatan haji bagi karyawan yang terpilih;

 Pemberian hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha. 3 Olahraga  Porseni (Pekan Olahraga dan Seni).

4 Lingkungan

 Pengolahan limbah industri secara benar (IPAL);

 Pengadaan air bersih bagi desa sekitar;

Fogging;

 Peminjaman bantuan berupa alat-alat kebersihan pada desa desa sekitar.

5 Karyawan  Program jaminan hari tua;

 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

dari diimplementasikannya berbagai program CSR. Program ini tidak sekadar menjadi alat pelengkap untuk mendongkrak citra perusahaan, namun merupakan bagian dari etika bisnis yang baik. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada shareholder tapi juga kewajiban terhadap stakeholder.

Kemitraan antara perusahaan dan stakeholder menjadi keharusan dalam lingkungan usaha. Oleh karena itu, dunia usaha akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan membangun kemitraan bersama perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menyatakan bahwa dunia usaha dapat membantu masyarakat terhadap kesinambungan hidup mereka.

Tabel 2. Implementasi CSR yang telah dilakukan PT Gunung Madu Plantations.

Sumber: PT Gunung Madu Plantations, 2009. (Praseto, 2010 : 5 – 6)9.

9

Siko Praseto, “Pengaruh Sikap Penerima Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Citra Perusahaan (Corporate Image), Universitas Lampung, Bandarlampung, 2010, hal. 5 – 6.


(26)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi singkat latar belakang di atas, dapat dikatakan bahwa peran pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator, dan stimulator bagi lahirnya inisiatif- inisiatif pembangunan daerah. Maka dari itu persoalan (permasalahan) yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah, “Bagaimanakah Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Swasta dalam Perspektif Good Corporate Governance” (Studi Pada Kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT. Gunung Madu Plantations).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pola kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT GMP. Sedangkan sub tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui pola kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan swasta; 2. Mengetahui implementasi prinsip-prinsip good corporate governance pada

PT. Gunung Madu Plantations;

3. Merumuskan alternatif pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan swasta dalam perspektif good corporate governance.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, sebagai salah satu kajian terhadap fenomena- fenomena/gejala-gejala pemerintahan dalam perspektif good corporate


(27)

governance dengan pendekatan pola kemitraan dan corporate social responsibility (CSR). Dengan demikian dapat dijadikan acuan analisis terhadap situasi sosial politik, sosial budaya maupun sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat baik secara akademis-konseptual maupun teknis-operasional;

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan akan menjadi:

a. Rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi Lampung untuk dapat melaksanakan prinsip-prinsip good governance dalam membangun kemitraan dengan pihak swasta sebagai investor dalam maupun luar negeri, sehingga tercipta hubungan yang sinergis (interelasi dan interaksi), baik secara horizontal, vertikal maupun diagonal antara pemerintah-swasta-masyarakat sebagai elemen-elemen good governance.

b. Rekomendasi bagi perusahaan sekaligus memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan, dalam hal ini penerapan good corporate governance, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan di masa mendatang.


(1)

sekaligus pengawas jalannya kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat atas nama kepala daerah.

Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance adalah salah satu basis dari berhasilnya otonomi daerah. Pemerintah Daerah yang memiliki kekuatan dan bersifat otonom tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa ditopang oleh penegakan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kesetaraan. Di era akuntabilitas seperti sekarang ini, sebagaimana diisyaratkan dalam kaidah GCG tampaknya juga memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan sosial masyarakat. Hal ini ditunjukan dalam salah satu prinsip GCG yang menyarankan keberpihakan kepada stakeholders dalam bentuk keterbukaan (akuntabilitas) perusahaan dalam laporan (pengungkapan) termasuk didalamnya adalah pengungkapan sosial (sosial disclousure) dalam laporan tahunan (Hamid, 2004)5.

PT Gunung Madu Plantations (PT GMP) sebagai obyek studi dalam penelitian ini merupakan perusahaan pelopor usaha perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa sejak tahun 1975 yang karena keberhasilannya telah menambah keyakinan pemerintah tentang prospek peningkatan produksi gula nasional dan memancing pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta lain untuk menggalakkan perkembangan industri gula di luar Jawa.

Melihat perkembangan dan keberhasilan yang diperoleh tersebut, tentunya manajemen PT GMP selalu berupaya melaksanakan prinsip-prinsip good

5

Diah Febriyanti, Good Corporate Governance sebagai Pilar Implementasi Corporate Social Responsibility (Studi Kasus pada PT. Bank X.Tbk), Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hal. 3.


(2)

corporate governance dengan sebaik-baiknya karena pada umumnya, perusahaan seringkali lupa akan fungsinya. Seharusnya, perusahaan selain berfungsi sebagai organisasi bisnis sekaligus juga berfungsi sebagai organisasi sosial. Perusahaan yang hanya berorientasi bisnis akan menghadapi tantangan karena baik secara langsung ataupun tidak langsung harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya terkait dengan kinerja ekonomi mulai dari input, proses hingga output yang meliputi aspek produksi, keuangan dan pemasaran (distribusi). Aktivitas unit usaha tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Perusahaan menggunakan sumber daya alam sebagai bahan untuk menghasilkan barang atau jasa dan menggunakan sumber daya manusia sebagai motor pengerak aktivitasnya. Keterbukaan ini mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya dampak perusahaan pada kondisi sosial dan lingkungannya. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan mulai menekan perusahaan untuk mulai melaksanakan kewajiban sosial dan lingkungannya.

Oleh karena itu, komunitas dan perusahaan diusahakan berada dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian yang meliputi aktivitas produksi, finansial dan pemasaran (distribusi) untuk membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih baik. Dengan demikian harus ada keseimbangan keuntungan komunitas dengan keuntungan bisnis6. Hal tersebut dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Adapun yang dimaksud dengan CSR menurut Undang-Undang tersebut yaitu, ”Kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan 6

A.B. Susanto, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Erlangga, Jakarta, 2009, hal. 44-45.


(3)

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”7.

Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan usaha), melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan dari aspek kebijakan, kelembagaan, infrastruktur, sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidaklah menjamin perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan. Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stakeholder yang terkait.

CSR menurut Alyson Warhurst diartikan sebagai :

Internalisation by the company of the social and environmental effects of its operations through proactive pollution prevention and social impact assessment so that harm is anticipated and avoided and benefits are optimised’ atau upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan operasinya melalui tindakan proaktif pencegahan pencemaran dan penilaian dampak sosial, sehingga dampak negatif dapat diantisipasi dan dihindari sementara dampak positif dapat dioptimumkan8.

PT GMP telah membuktikan betapa efektif dan harmonisnya pemanfaatan sumberdaya alam, penyerapan tenaga kerja, pembukaan daerah terpencil, dan pengembangan wilayah perdesaan dalam membangun bangsa. Hal ini tercermin

7

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 2. Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

8

Jalal dan Reza Ramayana, Kemitraan Tiga Sektor (tri-sector partnership) untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten-Kabupaten di Madura, Lingkar Studi CSR, Jakarta, 2007, hal. 2.


(4)

No Sektor Kegiatan CSR

(1) (2) (3)

1 Pendidikan  Pemberian bantuan beasiswa kepada batih karyawan mulai dari tingkat SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi Negeri. 2 Agama

 Pembangunan sarana-sarana ibadah;

 Pemberangkatan haji bagi karyawan yang terpilih;  Pemberian hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha. 3 Olahraga  Porseni (Pekan Olahraga dan Seni).

4 Lingkungan

 Pengolahan limbah industri secara benar (IPAL);  Pengadaan air bersih bagi desa sekitar;

Fogging;

 Peminjaman bantuan berupa alat-alat kebersihan pada desa desa sekitar.

5 Karyawan  Program jaminan hari tua;

 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

dari diimplementasikannya berbagai program CSR. Program ini tidak sekadar menjadi alat pelengkap untuk mendongkrak citra perusahaan, namun merupakan bagian dari etika bisnis yang baik. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada shareholder tapi juga kewajiban terhadap stakeholder.

Kemitraan antara perusahaan dan stakeholder menjadi keharusan dalam lingkungan usaha. Oleh karena itu, dunia usaha akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan membangun kemitraan bersama perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menyatakan bahwa dunia usaha dapat membantu masyarakat terhadap kesinambungan hidup mereka.

Tabel 2. Implementasi CSR yang telah dilakukan PT Gunung Madu

Plantations.

Sumber: PT Gunung Madu Plantations, 2009. (Praseto, 2010 : 5 – 6)9.

9

Siko Praseto, “Pengaruh Sikap Penerima Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Citra Perusahaan (Corporate Image), Universitas Lampung, Bandarlampung, 2010, hal. 5 – 6.


(5)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi singkat latar belakang di atas, dapat dikatakan bahwa peran pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator, dan stimulator bagi lahirnya inisiatif- inisiatif pembangunan daerah. Maka dari itu persoalan (permasalahan) yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah, “Bagaimanakah Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Swasta dalam Perspektif Good Corporate Governance” (Studi Pada Kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT. Gunung Madu Plantations).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pola kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT GMP. Sedangkan sub tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui pola kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan swasta; 2. Mengetahui implementasi prinsip-prinsip good corporate governance pada

PT. Gunung Madu Plantations;

3. Merumuskan alternatif pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan swasta dalam perspektif good corporate governance.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, sebagai salah satu kajian terhadap fenomena- fenomena/gejala-gejala pemerintahan dalam perspektif good corporate


(6)

governance dengan pendekatan pola kemitraan dan corporate social responsibility (CSR). Dengan demikian dapat dijadikan acuan analisis terhadap situasi sosial politik, sosial budaya maupun sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat baik secara akademis-konseptual maupun teknis-operasional;

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan akan menjadi:

a. Rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi Lampung untuk dapat melaksanakan prinsip-prinsip good governance dalam membangun kemitraan dengan pihak swasta sebagai investor dalam maupun luar negeri, sehingga tercipta hubungan yang sinergis (interelasi dan interaksi), baik secara horizontal, vertikal maupun diagonal antara pemerintah-swasta-masyarakat sebagai elemen-elemen good governance.

b. Rekomendasi bagi perusahaan sekaligus memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan, dalam hal ini penerapan good corporate governance, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan di masa mendatang.


Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMITRAAN PEMERINTAH KOTA DAN SWASTA DALAM PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU (Studi tentang kemitraan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan PT. Beiersdorf dalam Pengadaan Merbabu Family Park di Kota Malang)

1 26 35

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PEMERINTAH KABUPATEN DAN SWASTA DALAM PEMBANGUNAN LAMONGAN PLAZA (Studi di Pemerintah Kabupaten Lamongan)

0 7 3

IMPLEMENTASI POLA KEMITRAAN PT. GUNUNG MADU PLANTATIONS DENGAN MASYARAKAT DESA GUNUNG BATIN UDIK KECAMATAN TERUSAN NUNYAI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

2 37 86

POLA KEMITRAAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DENGAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII (PERSERO) (Studi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) pada PengrajinKeripik di Sentra Industri Keripik Jalan Pagar Alam Bandar Lampung)

4 59 154

Analisis Pola Kemitraan Pemerintah Daerah dengan Swasta dalam Perspektif Good Corporate Governance (Studi Pada Kemitraan Pemerintah Provinsi Lampung dengan PT. Gunung Madu Plantations)

2 81 168

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPUTUSAN PETANI BERALIH KEMITRAAN DALAM BERUSAHATANI (Kasus Petani Kemitraan Tebu di PT. Gunung Madu Plantations Beralih ke Kemitraan Ubi Kayu di Pabrik Bumi Waras)

1 32 109

Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian Dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur

0 20 104

Kontrak Pelayanan Antara Sektor Swasta Dan Pemerintah Dari Persaingan Untuk Kemitraan Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong.

0 1 17

Good Governance dalam Pemerintah Daerah

0 0 9

Pola Kemitraan Antara Pemerintah, Masyarakat Dan Swasta Dalam Implementasi Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) Repository - UNAIR REPOSITORY

1 1 193