Tesis lengkap gusmi 11

(1)

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN AKTA PPAT OLEH

MAHKAMAH AGUNG

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006)

TESIS

Disusun

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S-2

Program Studi Magister Kenotariatan

Oleh

GUSMI

B4B 009 115

PEMBIMBING :

Nur Adhim, SH.MH.

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG


(2)

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN AKTA PPAT OLEH

MAHKAMAH AGUNG

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006) Disusun Oleh :

GUSMI

B4B 009 115

Dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pada tanggal 20 Maret 2011

Tesis ini telah diterima

Sebagai persyaratan untuk memeperoleh gelar Magister Kenotariatan

Mengetahui, Pembimbing, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro

Nur Adhim, SH.,MH H. Kashadi, SH.MH.


(3)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : GUSMI, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi / lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka;

2. Tidak keberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan sarana apapun , baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan akademik / ilmiah yang non komersial sifatnya.

Semarang, 20 Maret 2011

Yang menerangkan,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Program Pascasarjanan Magister Kenotariatan pada Universitas Diponegoro, Semarang.

Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : “Akibat Hukum Pembatalan Akta PPAT Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006)”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Sudharto P. Hadi, MES, PhD. selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang;

2. Bapak Prof Dr. Yos Yohan Utama SH M. Hum,selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;


(5)

3. Bapak H. Kashadi, SH., MH. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang;

4. Bapak Prof. Dr. H. Budi Santoso, S.H., MS. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Bidang Akademik;

5. Bapak Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Bidang Administrasi Dan Keuangan;

6. Bapak Nur Adhim, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Untuk itu penulis doakan kiranya Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat karunia-Nya kepada Beliau sekeluarga.

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan, Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis agar bermanfaat dikemudian hari serta seluruh staf Administrasi dan Sekretariat yang telah banyak membantu Penulis selama Penulis belajar di Program Studi Magister Kenotariatan, Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai Akibat Hukum Pembatalan Akta PPAT Oleh


(6)

Mahkamah Agung. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.

Semarang, 20 Maret 2011


(7)

Abstrak

“Akibat Hukum Pembatalan Akta PPAT Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006)”

Guna menciptakan ketertiban dibidang pertanahan khususnya menyangkut pejabat yang berwenang membuat akta jual-beli yang menyangkut tanah, pemerintah dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan PP 10/1961 jo. PP 24/1997 jo Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta tanah (PP 37/1998). Sebagai pejabat pertanahan, maka segala hal yang berkenaan dengan akta-akta peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, dan pengikatan tanah sebagai jaminan hutang, merupakan tugas dan tanggung jawab PPAT serta harus dibuat dihadapannya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum pembatalan akta jual beli dari aspek hukum perjanjian dan hukum tanah nasional dan tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuatnya ?

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan data yang dipergunakan adalah data sekunder, yaitu :data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan Data Primer yang diperoleh dari perpustakaan dan koleksi pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur. Analisa data yang digunakan analisis normatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.

Hasil kajian ini menunjukan bahwa akibat hukum pembatalan akta jual beli dari aspek hukum perjanjian dan hukum tanah nasional sebagaimana dalam putusan hakim adalah berkaitan dengan penerapan asas-asas jual beli tanah dalam hukum tanah nasional hanya memenuhi syarat formil saja, namun syarat materai dalam jual beli tidak terpenuhi, sedangkan tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuatnya apabila ternyata terjadi kesalahan atau kekeliruan, sehingga akta tersebut dibatalkan bukanlah akibat dari kesalahan dari PPAT sepenuhnya, karena dalam membuat akta tersebut selain berdasarkan bukti-bukti yang ada juga didasarkan dari keterangan-keterangan para pihak.


(8)

ABSTRACT

“Legal Consequences of the Abolition of Land Deed Official Certificate by

the Supreme Court (A Case Study of the Verdict of Supreme Court Number:

177 K/Pdt/2006)”

In order to create the order in the land-affairs, especially the matters concerning the officers having power to compose the sell-buy certificate related to land, the government is supported by the Land Deed Official. The Land Deed Official is an officer, in which his or her power is regulated in the Agrarian Law and Government Ordinance 10/1961 in connection with Government Ordinance 24/1997 in connection with Government Ordinance Number 37 of 1998 concerning the Regulation of Land Deed Official Function (Government Ordinance 37/1998). As a land-affairs officer, therefore, all things related to the certificates of the transfer of right upon land, provision of new right upon land, and binding of land as debt security are the tasks and responsibilities of a Land Deed Official and they should be composed before him or her.

The objectives of this research are to find out the legal consequences of the abolition of sell-buy certificate from the aspect of agreement law and national land-affairs law and the responsibilities of Land Deed Official for the abolition of sell-buy certificate composed by him or her.

This research uses the juridical-normative method of approach, and the used data are secondary data, which are the data supporting the explanation or supporting the completion of primary data collected from the library and the writer's personal literature collection conducted by performing a literature study. The used data analysis is the normative analysis, which is, the collected data are described in logical and systematic descriptions, then, they are analyzed to obtain the clarity of problem solving, then, the conclusion is drawn deductively, which is, from the general matters towards the specific matters.

The results of this study show that the legal effect of the cancellation of the sale and purchase agreement and the legal aspects of the national land law as the judge's decision is related to the application of the principles of buying and selling land in the national land law only meet the formal requirements, but provided no stamp duty on buying and selling met, while the responsibility of the cancellation PPAT deed of sale was made if there is a mistake or error, so the deed was canceled not the result of an error of PPAT entirely, because in making the deed is in addition based on the evidence that there is also based off descriptions the parties.


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN ...

HALAMAN PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Kerangka Pemikiran ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

1. Metode Pendekatan ... 18

2. Spesifikasi Penelitian ... 18

3. Objek dan Subjek Penelitian ... 19


(10)

5. Teknik Pengumpulan Data ... 23

6. Teknik Analisis Data ... 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 27

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 27

2. Keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)... 29

3. Tugas dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 39

a. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 37

b. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 38

1) Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sebelum Membuat Akta ... 38

2) Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Pada Saat Pelaksanaan Membuat Akta ... 41

3) Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sesudah Membuat Akta ... 40

4. Jenis-Jenis Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 43

5. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 44

a. Tanggung Jawab Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Secara Hukum ... 44

b. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Secara Moral ... 44


(11)

B. Tinjauan Umum Jual Beli ... 46

1. Pengertian Jual Beli ... 46

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Di Indonesia... 48

3. Akibat Hukum Dari Perjanjian Jual Bel ... 49

C. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli ... 54

1. Pengertian Hak Atas Tanah ... 54

2. Syarat-Syarat Jual Beli Tanah ... 57

a. Syarat Materiil... 57

b. Syarat Formil ... 60

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi ... 62

1. Latar Belakang Kasus ... 62

2. Pertimbangan Hukum Hakim ... 66

3. Amar Putusan ... 67

B. Akibat Hukum Pembatalan Akta Jual Beli Dari Aspek Hukum Perjanjian Dan Hukum Tanah Nasional ... 68

1. Analisis Dari Aspek Hukum Perjanjian ... 72

2. Analisis Hukum Tanah Nasional ... 78

C. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli yang Dibuatnya ... 83


(12)

2. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Pembatalan Akta Jual-Beli ... 90

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 103 B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendaftaran tanah, menurut Pasal 5 PP 24/1997, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, menurut Pasal 6 ayat (2) PP 24/1997, Badan Pertanahan Nasional dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan, misalnya: pembuatan akta PPAT oleh PPAT atau PPAT Sementara, pembuatan risalah lelang oleh Pejabat Lelang. Yang mana, menurut penjelasan atas PP 24/1997, akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Menurut Pasal 2 ayat (1) P P 37/1998, Akta tanah yang dibuat PPAT akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan perbuatan hukum yang aktanya dibuat oleh PPAT tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998, yaitu:

1. Jual Beli

2. Tukar Menukar 3. Hibah

4. Pemasukan Kedalam Perusahaan (Inbreng) 5. Pembagian Hak Bersama


(14)

6. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai diatas tanah Hak Milik 7. Pemberian Hak Tanggungan

8. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah merupakan Pejabat Umum, sehingga akta yang dibuat olehnya merupakan akta otentik. Menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa: Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte dibuatnya.

Sesuai dengan yang telah disebutkan diatas, bahwa PPAT berhak membuat Akta Jual Beli berkenaan dengan tanah, maka ada suatu permasalahan yang timbul, yaitu akta yang dibuat oleh PPAT dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Agung; hal ini dikarenakan cacat hukum didalam pembuatan Akta Jual Beli tersebut. Oleh karena itu, dalam tesis ini penulis akan melakukan penelahahan lebih lanjut mengenai akta jual beli yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Tesis ini menganalisis tentang pembatalan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT. Kasus ini berawal pada tanggal 9 Pebruari 1990, Penggugat (WEN CHIE SIANG) membeli dari turut Tergugat I berupa 2 (dua) bidang tanah kosong terletak di Kelurahan Kembangan, Kecamatan Kembangan.

Sejak Penggugat membeli tanah-tanah tersebut di atas yaitu sejak tahun 1990 sampai sekarang tanah-tanah tersebut dimiliki dan dikuasai oleh Penggugat tanpa ada gangguan dari pihak-pihak manapun juga. Pada akhir


(15)

bulan Agustus 2002 yang lalu pada saat Penggugat datang ke lokasi untuk melihat tanah Penggugat, ternyata dilokasi tanah milik Penggugat telah dipagari dengan tembok permanen oleh orang yang tidak dikenal oleh Penggugat dan setelah diselidiki, pemagaran tanpa hak dan melawan hukum tersebut dilakukan oleh Tergugat I atas perbuatan sendiri ataupun sebagai kuasa untuk dan atas nama Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V.

Melihat itu Pihak Penggugat tidak menerima tanah yang telah disepakati di jual kepadanya itu, dibatalkan secara sepihak oleh Pihak Pertama dan di jual kembali kepada Pihak Ketiga. Pihak Kedua berpendapat Pihak Pertama telah ingkar janji dan mengajukan gugatan perdata terhadap para tergugat yaitu Pihak Pertama, Pihak Ketiga dan PPAT.

Penggugat adalah pembeli sah yang beritikad baik dan sudah menguasai tanah-tanah tersebut di atas sejak tahun 1990 sampai sekarang (12 tahun), oleh karenanya maka hak-hak hukum Penggugat harus dilindungi oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Gugatan Perdata Penggugat tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi, karena tidak puas dengan Keputusan Pengadilan Tinggi maka Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya Mahkamah Agung memenangkan Para Tergugat.

Tugas pokok dari hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, oleh karena ketertiban merupakan syarat pokok dari adanya suatu masyarakat yang


(16)

teratur, hal mana berlaku bagi masyarakat manusia di dalam segala bentuknya.1 Di masa pembangunan ini setiap orang selalu menginginkan memiliki lahan untuk tempat tinggal bagi kehidupannya disamping sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan. Tempat tinggal tidak dapat dipandang hanya sebagai benda atau sarana kehidupan semata tetapi lebih dari itu,karena tempat tinggal merupakan investasi jangka panjang sebagai jaminan kehidupan dimasa depan.

Kebutuhan akan tanah di Indonesia dirasakan sekali pentingnya karena adanya pertumbuhan penduduk yang diikuti pula dengan pertumbuhan kegiatan perekonomian dan kegiatan produksi. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut orangpun menempuh macam-macam cara seperti halnya mengadakan jual-beli, pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dan sebagainya. Jual-beli diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai benda kekayaan-kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji akan melakukan sesuatu hal atau tidak akan melakukan. sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.2 Oleh karena alasan tersebut diatas, maka salah satu pilar pembangunan nasional yang mendapat prioritas utama adalah pembangunan di bidang hukum.3

Di Indonesia, banyak sekali masyarakat yang ingin memiliki tanah, karena tanah-tanah tersebut digunakan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan juga sebagai investasi untuk masa depan. Untuk memperoleh tanah yang diinginkan

1

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Jakarta . Universitas Indonesia, 1976), hlm. 4.

2

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuanpersetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur Bandung, 1981), hlm. 17.

3

Sekretariat Negara Republik Indonesia."Prioritas Pembangunan Nasional 2005-2009." Naskah Kebijakan. Diambil dari situs internet dengan alamat\\http.www.ri.go.id.


(17)

tersebut, adapun caranya adalah diantaranya dengan jual beli. Jual beli merupakan salah satu perbuatan hukum. Istilah jual beli tersebut mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik; sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoop” (menjual) dengan yang lainnya “koop” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli hanya disebut “sale” saja yang berarti penjualan, begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan “vente” yang jugaberarti penjualan, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakai perkataan “kauf” yang berarti pembelian.4

Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata: “jual beli” adalah suatu perjanjian yang mengikat, pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri/ berjanji untuk membayar harga yang telah dijanjikan.5

Selanjutnya isi Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian jual beli dianggap sudah terjadi antara pihak penjual dan pembeli seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang benda tersebut dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Isi ketentuan dalam Pasal 1457 dan 1458 KUHPerdata tersebut diatas pada prinsipnya sudah dianggap cukup bagi suatu perjanjian jual beli yang sederhana dan berjalan lancar. Sederhana dalam arti benda-benda yang diperjualbelikan tidak mengandung atau menimbulkan permasalahan, baik yang terkait dengan benda yang diperjual belikan secara fisik maupun status

4

R. Subekti, Aneka Perjanjian. Cet. 10, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.1-2.

5

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 27, Edisi Revisi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), Pasal 1457


(18)

kepemilikan yang sempurna dimiliki oleh penjual ketika perjanjian itu dibuat. Berjalan lancar dalam arti, baik pihak penjual maupun pembeli memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati termasuk diantaranya pembeli telah membayarkan harga dan penjual telah menyerahkan barang yang dijualnya. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan dalam kedua pasal tersebut diatas telah cukup sebagai landasan hukum bagi praktik jual beli dalam keseharian yang pada umumnya berlaku singkat.

Di Indonesia, perangkat hukum yang mengatur tentang tanah ada beberapa peraturan, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Di dalam Undang-Undang tersebut, Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) telah memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 10/1961) yang dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Menurut Pasal 1 angka 1 PP 24/1997:


(19)

“Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Pendaftaran tanah di Indonesia pada era globalisasi sekarang sangat penting karena jaminan kepastian hukum bukan hanya dimaksudkan untuk memastikan siapa pemilik tanah pada saat itu, akan tetapi termasuk pula perlindungan hukum bagi mereka yang akan memperoleh hak atas bidang tanah tersebut pada waktu yang akan datang. Menurut Pasal 3 PP 24/1997, tujuan diadakannya pendaftaran tanah adalah:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk tertib administrasi pertanahan.

Guna menciptakan ketertiban dibidang pertanahan khususnya menyangkut pejabat yang berwenang membuat akta jual-beli yang menyangkut tanah, pemerintah dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris. PPAT adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kewenangannya diatur


(20)

dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan PP 10/1961 jo. PP 24/1997 jo Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta tanah (PP 37/1998). Sebagai pejabat pertanahan, maka segala hal yang berkenaan dengan akta-akta peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, dan pengikatan tanah sebagai jaminan hutang, merupakan tugas dan tanggung jawab PPAT serta harus dibuat dihadapannya.6 Adapun mengenai institusi khusus yang bertugas untuk melakukan pendaftaran tanah dan mengeluarkan surat tanda bukti hak atas tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan bukan merupakan tugas dan tanggung jawab dari PPAT.7

Jual beli hak atas tanah sebagai suatu bentuk perjanjian peralihan hak atas tanah; akta perjanjian jual beli tersebut dibuat dihadapan PPAT. Jual beli hak atas tanah merupakan satu di antara bentuk peralihan hak atas tanah dan berlaku sebagai dasar hukum bagi pembeli untuk mengajukan perolehan hak atas tanah kepada BPN. Secara normatif, jika tidak ada cacat hukum atas jual beli tanah itu maka pembeli dapat memperoleh hak atas tanah yang dikehendaki tersebut dan kepemilikan hak atas tanah tersebut tercatat di kantor pertanahan. Selanjutnya, pembeli akan mendapatkan sertipikat hak atas tanah, sebagai bukti atas kepemilikannya itu.

Sertipikat hak atas tanah merupakan alat bukti kuat yang dapat dipakai oleh pemilik tanah untuk menunjukkan kepemilikannya secara hukum atas tanah tersebut. Sepanjang tidak ada yang menggugat atas kepemilikan hak atas tanah

6

J. Kartini Soedjendro. Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001) hlm. 69.

7


(21)

tersebut maka secara mutatis-mutandis, pemilik hak atas tanah tersebut adalah orang yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut. Dengan demikian, maka pihak yang berwenang bertindak untuk dan atas nama tanah tersebut secara hukum hanyalah pemilik hak atas tanah tersebut, kuasanya atau ahli warisnya. Pihak-pihak yang tidak tersebut di atas (pemilik, kuasa atau ahli waris) tidak berwenang bertindak untuk dan atas nama tanah tersebut, dalam hal mengalihkan, memberikan suatu hak baru atas tanah tersebut atau menjaminkan tanah tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dalam tesis ini berjudul : “Akibat Hukum Pembatalan Akta PPAT Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana akibat hukum pembatalan akta jual beli dari aspek hukum

perjanjian dan hukum tanah nasional ?

2. Bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuatnya ?


(22)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan akta jual beli dari aspek hukum perjanjian dan hukum tanah nasional;

2. Untuk mengetahui tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuatnya;

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Agraria, tentang pendaftaran peralihan hak atas tanah berdasarkan jual beli.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan dan para penegak hukum dalam rangka pemberian jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pemilik tanah dan pemegang sertipikat Hak atas tanah.


(23)

E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Konsep

2. Kerangka Teori

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk

PPAT

AKTA JUAL BELI

PPAT

AKTA JUAL BELI

PPAT

FUNGSI AKTA JUAL BELI PPAT DALAM PENDAFTARAN TANAH

B A T A L

TANGGUNG JAWAB

PPAT


(24)

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.8

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Tugas Pokok dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai berikut : 9

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu;

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. Jual Beli;

b. Tukar Menukar; c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. Pembagian Hak Bersama;

f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan;

h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Kedudukan PPAT tidak lain adalah hasil dari produk politik hukum tanah pada zamannya, dengan penempatan PPAT (Pejabat Balik Nama) yang tercermin atau terwujud berdasarkan sumber kewenangan PPAT yang berasal dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional yaitu di bidang Hukum Keperdataan, untuk membuat akta-akta tanah seperti akta jual-beli, akta hibah dan lainnya, sedangkan di bidang Hukum

8

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,

(Jakarta : Djambatan, 2003). hlm 476

9


(25)

Administrasi, dalam menjalankan sebagian kegiatan pendaftaran tanah yang menjadi tugas pokok Pemerintah.

PPAT merupakan lembaga atau institusi yuridis yang mempunyai karakter sendiri, sebagaimana juga manusia mempunyai karakter sendiri-sendiri. Untuk menyelesaikan hal tersebut penulis memberikan penafsiran dari adanya karakter yuridis PPAT. Contoh perbedaan karakter yuridis tersebut didasarkan pada beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu :

1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Pebruari 2000 :

PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan Peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 5 tahun 1986, jo Pasal 19 PP nomor 24 Tahun 1997, akan tetapi (akta jual beli) yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.

2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 62 K/TUN/1988, tanggal 27 Juli 2001 :

Bahwa akta-akta yang diterbitkan oleh PPAT adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Sub. 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata usaha Negara, karena meskipun dibuat oleh PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, namun dalam hal ini Pejabat tersebut bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata.

Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis PPAT dan akta PPAT, yaitu :


(26)

a. sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, karena menjalankan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang pertanahan atau dalam bidang pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT sesuai aturan hukum yang berlaku;

b. Akta PPAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, meskipun PPAT dikualifikasikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara;

c. Dalam kedudukan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PPAT tetap bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang Hukum Perdata;

d. Akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, karena akta PPAT bersifat bilateral (kontraktual), sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara bersifat unilateral.

Tugas-tugas pokok PPAT sebagaimana di jabarkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Akta otentik yang dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah sebagaimana dirumuskan oleh ketentuan Pasal 1868 KUH-Perdata, yaitu:

"Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan


(27)

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya."

Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik, apabila terpenuhi faktor-faktor:10

a. Bentuk akta tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; b. Akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

c. Akta itu dibuat dalam wilayah kewenangan dari pejabat umum yang membuat akta otentik itu.

F. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.11

1. Pendekatan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu metode

10

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1980), hlm. 44.

11


(28)

yang mengkaji peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan yurisprudensi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.12 2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha menggabarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya atau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian yang bersangkutan.13

3. Objek dan Subjek Penelitian a. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah pembatalan akta PPAT dalam perkara perdata Putusan Mahkamah Agung Nomor : 177 K/Pdt/2006. b. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah himpunan bagian atau sebagian dari objek. Dalam suatu penelitian, pada umumnya observasi dilakukan tidak terhadap objek tetapi dilaksanakan pada subjek.14 Adapun subjek penelitian yang akan dijadikan responden dalam penelitian adalah satu orang PPAT yang akta Jual Belinya dibatalkan oleh pengadilan dan para pihak yang bersengketa, yaitu pihak Penggugat dan pihak Tergugat.

12

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm 9

13

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Semarang : Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009). hlm 6.

14

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm 119


(29)

4. Sumber dan Jenis Data Penelitian

Untuk penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder, yaitu: data yang diperoleh dari perpustakaan dan koleksi pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber dan jenis Data sekunder terdiri dari:

a) Bahan hukum primer bersumber bahan hukum yang diperoleh langsung akan digunakan dalam penelitian ini yang merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA);

4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

6) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;


(30)

7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Surat Ukur dan Sertipikat.

8) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional;

9) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara; 10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;

11) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

12) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan;

13) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan.


(31)

15) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait.

b) Bahan hukum sekunder berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, lokakarya yang berkaitan dengan materi penelitian. Selain itu juga digunakan :

1) Dokumen-dokumen yang ada di Kantor Pertanahan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah;

2) Kepustakaan yang berkaitan dengan Hukum Agraria; 3) Kepustakaan yang berkaitan dengan PPAT.

Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat; bahan sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer; dan bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.15

c) Bahan hukum tersier berupa kamus, artikel pada majalah atau surat kabar, digunakan untuk melengkapi dan menjelaskan bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

5. Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan.

15


(32)

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder penelitian yang digunakan terdiri dari:16

a. Bahan hukum primer

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA);

4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

6) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Surat Ukur dan Sertipikat.

16

Jhony Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm.192.


(33)

8) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional;

9) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara; 10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;

11) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

12) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan;

13) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan;


(34)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang menerangkan bahan hukum primer berupa buku-buku dan artikel.17 Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai bahan hukum sekunder adalah buku-buku, artikel dari koran, majalah, dan internet, makalah-makalah dari seminar, serta karya tulis lainnya dari para pakar hukum di bidang Hukum Pertanahan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang melengkapi dalam hal data dan informasi yang di dapat dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif.18 Untuk mendukung analisis Data Sekunder, meskipun penelitian ini menggunakan Data Sekunder sebegai sumber data utama, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber yang meliputi:

1. Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat;

2. PPAT yang akta Jual Belinya dibatalkan oleh pengadilan Pihak Penggugat;

3. Para Tergugat. 6. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif normatif yakni analisis yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistika dan matematika artinya disajikan dalam bentuk uraian.19 Dimana hasil analisis akan dipaparkan secara deskriptif, dengan harapan dapat menggambarkan

17

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 51.

18

Ibid

19


(35)

secara jelas mengenai pembatalan akta Jual Beli PPAT, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan-permasalahan yang diteliti.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sudah dikenal sejak berlakunya PP 10/1961 dengan sebutan pejabat yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 19 PP 10/1961 yang menyatakan bahwa:

“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak barn atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan akta tersebut ditetapkan oleh Menteri Agraria”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka PPAT dikenal sebagai pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, penggadaian tanah dan pemberian hak tanggungan atas tanah. Atau dengan kata lain menurut Bactiar Effendie, tugas pokok pejabat pada saat itu adalah membantu Menteri Agraria membuat akta yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah, memberikan hak bare atas tanah, menggadaikan tanah, dan meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.20

20

Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah,cet. 3 (Bandung: Alumni, 1993), hlm.78.


(37)

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UU 16/1985), istilah PPAT ini mendapatkan pengukuhan dengan sebutan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU 16/1985: (2) Pemindahan hak sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan

dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan di daftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

Pengertian PPAT sebagai pejabat umum ditegaskan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya disebut UUHT), sebagaimana ternyata dalam Pasal I angka 4 UUHT yang menyebutkan bahwa:

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”.

Kemudian PP 24/1997 menegaskan kembali pengertian PPAT sebagai pejabat umum dimana dalam Pasal 1 angka 24 PP 24/1997 dinyatakan bahwa:

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.


(38)

Kemudian PP 37/1998 menegaskan kembali pengertian PPAT sebagai Pejabat Umum dimana dalam Pasal 1 angka 1 PP 37/1998 menyatakan bahwa:

“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT,adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

2. Keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Berlakunya UUPA, pengaturan PPAT sebagai pejabat untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961. Khusus yang mengatur tentang “Bentuk Akta” pertama kali dimuat dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961. Kedua peraturan itu menunjuk pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang sudah diuraikan diatas.

Dalam kaitan dengan melaksanakan Pendaftaran Tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 dan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan hal mana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) dari PP 24/1997. Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomer 3 tahun 1997, menetapkan bahwa sebelum melakukan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan setempat mengenai kesesuaian sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik


(39)

Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan setempat, dengan memperlihatkan sertipikat asli.21

Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka PPAT pun tidak kurang dari sebuah lembaga yang timbul sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah. Akta-akta Peralihan/ Pemindahan hak yang dibuatnya, merupakan kelengkapan berkas dalam rangka Pendaftaran Tanah dimaksud. Dalam bagian pertimbangan dari setiap peraturan yang mengatur PPAT, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan sebagai dasar rujukan pengaturan itu. Untuk jelasnya perlu dicermati Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) : Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (2) : Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dalam konteks tugas yang demikian itulah dapat di mengerti mengapa peraturan yang pertama kali mengatur ikhwal PPAT, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang merupakan peraturan pelaksanaan

21


(40)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Khusus terhadap PPAT, Pasal 19 Peraturan P emerintah itu mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 dan Nomor 15 Tahun 1961. Peraturan yang pertama (Nomor 10 Tahun 1961) mengatur tentang PPAT sebagai Pejabat yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, sedangkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Pembebanan Hipotik serta Creditverband. Melalui Pasal 12 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, kedudukan PPAT di tegaskan kembali, yaitu sebagai pejabat yang berwenang membuat Akta Pembebanan Hak Jaminan berupa fidusia terhadap bagian rumah susun diatas tanah hak Pakai yang berasal dan tanah negara. Jaminan yang dibuat oleh PPAT itu wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985).

Bila memperhatikan lingkup masalah yang dijadikan sebagai objek yang memerlukan Akta PPAT, maka hampir seluruhnya merupakan masalah yang menjadi bidang kerja birokrasi dimasa lalu hingga kini. Disini dapat disebut lingkup masalah dimaksud dalam tiga kategori:

1. Dalam perundang-undangan di Indonesia pada zaman Hindia Belanda, seorang Notaris hanya berwenang membuat akta jual beli atas tanah, sedangkan pencatatan balik namanya dilakukan oleh overschrijvings ambtenaar. Sejak tahun 1947, kewenangan itu dipegang oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster),Kini tugas peralihan hak atas tanah


(41)

ditangani oleh PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat aktanya, sedangkan pendaftaran atas tanahnya hanya bersifat penyelesaian administratif saja lewat Kantor Pertanahan setempat.

2. Sebelum berlakunya UUPA dalam Jual Beli tanah hak milik adat, sebagian menjadi tugas Kepala Desa. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, kewenangan tersebut berada pada PPAT.

3. Sebagian tugas Pamong Praja khususnya menyangkut kewenangan membuat akta creditverband, sejak berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961, kewenangan itu berada ditangan PPAT.

Berdasarkan latar belakang yang demikian, maka dapat dimengerti bila hingga tahun 1996, yakni sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tugas-tugas PPAT masih mencirikan kedudukannya sebagai pejabat.22

Di dalam semua peraturan yang telah disebut diatas, kita tidak menemukan penegasan tentang status akta PPAT, apakah sebagai akta biasa ataukah sebagai akta Otentik. Dengan tidak perlu mengutip kembali Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang menurunkan peraturan-peraturan dibawahnya, dapat dikatakan bahwa rumusannya mirip dengan rumusan Pasal 1868 KUHperdata. Akan tetapi, dalam ketentuan KUHperdata tersebut ditegaskan bahwa akta yang dibuat pegawaipegawai umum adalah akta otentik. Secara lengkap bunyi Pasal 1868 adalah “Suatu

22


(42)

akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Ada dua hal yang membedakan kedua ketentuan tersebut:

1. Dalam Pasal 1868 KUHperdata ditegaskan pejabat pembuat akta adalah pegawai-pegawai (pejabat) umum, sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 hanya menyebut pejabat.

2. Pasal 1868 KUHperdata menegaskan bahwa akta yang dibuat oleh pejabat umum itu adalah akta otentik, sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 hanya menyebut akta saja.

Dalam konteks pengaturan seperti ini (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1961 dan Pasal 1868 KUHperdata), dapat diduga adanya perbedaan kedudukan antara seorang pejabat umum yang membuat akta otentik (Pasal 1868 KUHPerdata), dengan seorang pejabat yang hanya membuat akta bukti perjanjian (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).31 Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor I Tahun 1961 beserta semua peraturan yang diturunkan dannya, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, PPAT disebut secara tegas sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta:

1. Pemindahan hak atas tanah 2. Pembebanan hak atas tanah


(43)

perundang-perundangan yang berlaku Pasal 1 ayat (4).

Dengan demikian, dalam kedudukan seperti pejabat umum Iingkup tugas seorang PPAT bertambah satu jenis 1agi (Di luar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985), yaitu pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Untuk tugas yang terakhir ini, cakupan obyeknya pun cukup luas, yaitu tanah-tanah yang sudah terdaftar (bersertipikat) serta tanah-tanah yang belum terdaftar (tanah-tanah bekas milik adat).23

Kedudukan PPAT sebagai pejabat umum mempunyai implikasi pada bentuk akta yang dibuatnya, yakni akta yang otentik. Penegasan kedudukan sebagai pejabat umum dari seorang PPAT beserta akta yang dibuatnya itu memperoleh peneguhan kembali lewat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menetapkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 butir 1).

Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemenntah Nomor 37 Tahun 1998 itu, ditetapkan cakupan tugas pokok PPAT, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum

23


(44)

tersebut.

Pergeseran kedudukan PPAT dari seorang Pejabat menjadi Pejabat Umum, membawa posisinya sama dengan Notanis sebagai openbaar ambtenaar. Akta yang dibuat oleh PPAT tidak lagi berkadar relaas akta sebagaimana halnya suatu berita acara tentang kejadian atau urut-urutan peristiwa yang disaksikannya untuk disampaikan kepada Instansi Pertanahan, tetapi sudah berbobot partij akta. Dalam hal ini, PPAT dalam aktanya memuat persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Ia harus memastikan bahwa perjanjian itu berikut persyaratannya benar seperti apa yang dituntut dalam perjanjian itu.

Kalau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, jabatan PPAT terkesan sebagai jabatan ikutan Notaris, maka dalam kedua ketentuan tersebut kedua jabatan itu sama posisinya. Dengan merujuk pada lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.19/DDA/1971, maka ketentuan yang menentukan bahwa pengangkatan seseorang menjadi PPAT harus ditunggu sampai yang bersangkutan diangkat menjadi Notaris, tidak bisa lain, memperkuat kesan bahwa jabatan PPAT adalah jabatan ikutan Notaris.

Namun baik dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, kedua jabatan memiliki posisi yang sederajat. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4


(45)

Tahun 1996 misalnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta PPAT. Sementara itu dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, dari sekian syarat umum bagi PPAT, maka terdapat syarat khusus yang ditentukan dalam huruf f, yang menetapkan seorang hares merupakan lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.

Tidak dapat dipastikan apakah kedua aturan itu merupakan terobosan terhadap Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.19/DDA/1971 yang memberi kesan PPAT sebagai jabatan ikutan Notaris. Kalaupun dianggap suatu terobosan, tidak dapat dipastikan pula, apakah langkah maju tersebut terkait dengan pergeseran kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum seperti halnya Notaris. Kepastian tentang itu memang tidak dapat dilacak lewat peraturan-peraturan tersebut karena memang tidak dijelaskan disana. Yang dapat dijadikan sebagai landasan dugaan terjadinya korelasi pergeseran kedudukan PPAT dengan kesederajatan Notaris dan adanya pembagian tugas yang tegas antara PPAT dan Notaris mengenai obyek perjanjian yang harus dibuatkan akta otentik bagi perjanjian-perjanjian yang menyangkut tanah, sedangkan Notaris membuat akta otentik lain yang tidak menyangkut tanah.


(46)

3. Tugas dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) a. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Tugas pokok PPAT diatur dalam PP 37/1998. Adapun tugasnya adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanali atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

b. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 1) Kewajiban PPAT Sebelum Membuat Akta

Kewajiban PPAT sebelum membuat akta antara lain diatur dalam:

a) Pasal 97 ayat (1) dan (2) Permenag/Kepala BPN 3/1997:

(1) Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai


(47)

kesesuaian Sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan Sertipikat asli.

(2) Pemeriksaan Sertipikat tersebut dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh PPAT, dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan akta pemindahan atau pembebanan hak atas bagian-bagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil pengembangan oleh perusahaan real estate, kawasan Industri dan pengembangan sejenis cukup dilakukan perneriksaan sertipikat induk satu kali, kecuali apabila PPAT yang bersangkutan menganggap perlu perneriksaan sertipikat ulang. b) Pasal 99 ayat (1)Permenag/ Kepala BPN 3/1997:

Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:

“bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta juga tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntae) menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertanggung jawab atas pernyataannya tersebut.”

c) Pasal 100 ayat (1) Permenag/Kepala BPN 3/1997:

PPAT menolak membuat akta PPAT mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun apabila olehnya


(48)

diterima pemberitahuan tertulis bahwa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun itu sedang disengketakan dari orang atau badan hukum yang menjadi pihak dalam sengketa tersebut dengan disertai dokumen laporan kepada pihak yang berwajib, surat gugatan ke pengadilan, atau dengan memperhatikan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, surat keberatan kepada pemegang hak serta dokumen lain yang membuktikan adanya sengketa tersebut. 2) Kewajiban PPAT Pada Saat Pelaksanaan Pembuatan Akta

Kewajiban PPAT pada saat pelaksanaan pembuatan akta antara lain diatur dalam:

a) Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997 jo Pasal 101 Permenag/Kepala BPN 3/1997 jo Pasal 22 PP 37/1998:

(1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundangperundangan yang berlaku.

(2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak


(49)

atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang di tunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. (3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang

bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.

b) Pasal 102 Permenag/Kepala BPN 3/1997:

Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.

3) Kewajiban PPAT Sesudah Membuat Akta

Kewajiban PPAT sesudah membuat akta antara lain diatur dalam:

a) Pasal 40 ayat (1) dan (2) PP 24/1997 jo. Pasal 103 ayat (1) dan (5) Permenag/Kepala BPN 3/ 1997:

(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.


(50)

(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan.

b) Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) PP 37/1998 dan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan KBPN Nomor 1/2006:

Pasal 26 ayat (1). (2) dan (3) PP 37/1998:

(1) PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang dibuatnya.

(2) Buku daftar PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi setiap hari kerja PPAT dan di tutup setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. (3) PPAT wajib mengirim laporan bulanan mengenai akta yang

dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.

Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) peraturan KBPN Nomor 1/2006: (1) PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai semua

akta yang dibuatnya selambat-lambatnya setiap tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah.


(51)

(2) PPAT wajib menyampaikan iaporan bulanan mengenai Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Harta Bersama, Akta Pemberian Hak Pakai Bangunan Atas Tanah Hak Milik, dan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik kepada Kepala Kantor Pajak Bumi dan Bangunan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

4. Jenis-Jenis Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Ada beberapa Jenis akta yang dibuat PPAT sebagai Pejabat Umum yaitu:

a. Akta Jual Beli;

b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan (Inbreng); e. Akta Pembagian Hak bersama;

f. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. Akta Pemberian Hak Tanggungan;

h. Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. 5. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

a. Tanggung Jawab Profesi PPAT Secara Hukum

Pada dasarnya tanggung jawab PPAT secara hukum, dapat dikatakan merupakan tanggung jawab PPAT dalam melaksanakan


(52)

kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pembuatan akta yaitu kewajiban PPAT sebelum membuat akta, pada saat pelaksanaan membuat akta dan sesudah membuat akta. Kewajiban PPAT ini diatur dalam PP 24/1997. Permenag/Kepala BPN 3/1997, PP 37 1998, Peraturan KBPN Nomor 1/2006.

b. Tanggung Jawab Profesi PPAT Secara Moral

Tanggung jawab profesi PPAT secara moral berkaitan dengan etika atau tingkah laku PPAT baik didalam maupun diluar jabatannya. Mengenai etika ini diatur oleh suatu organisasi profesi yang berkaitan dengan profesi PPAT itu sendiri yang disebut Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut IPPAT). IPPAT tersebut mengatur ketentuan mengenai Kode Etik bagi PPAT sebagai peraturan pelaksana ataupun sebagai penjelasan tambahan terhadap ketentuanketentuan hukum sebagaimana terdapat dalam PP 24/1997, Permenag/ Kepala BPN 3/1997, PP 37/1998 dan Peraturan KBPN Nomor 1/2006.

Kongres pertama IPPAT yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1997 menghasilkan Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut Kode Etik Profesi PPAT) dimana dalam Pasal 1 Kode Etik tersebut dinyatakan bahwa Kode Etik Profesi adalah aturan-aturan yang merupakan panduan yang harus ditaati, yang mengatur tingkah laku, lahinah maupun sikap batiniah, baik dalam rangka


(53)

menjalankan profesi maupun dalam tingkah laku sehari-hari.24

Ketentuan Kode Etik Profesi PPAT ini secara garis besar mengatur mengenai kewajiban ataupun larangan serta sanksi yang dapat diberikan kepada PPAT apabila ketentuan tersebut dilanggar oleh yang bersangkutan.

Di dalam Pasal 7 ayat (1) Kode Etik tersebut disebutkan mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada seorang PPAT apabila kode etik yang telah ditetapkan dilanggar yaitu antara lain dikenakan teguran, peringatan, pemberhentian sementara dari keanggotaan IPPAT dan pemecatan dari keanggotaan IPPAT. Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (2) Kode Etik tersebut disebutkan bahwa pengenaan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan jenis atau macam pelanggaran yang dilakukan anggota.

Hasil Kongres II IPPAT yang diselenggarakan di Denpasar-Bali tanggal 7-8 September 2000 telah mengesahkan perubahan anggaran dasar IPPAT yang didalam salah satu ketentuannya menyebutkan bahwa kode etik diatur secara tersendiri dan disahkan oleh kongres untuk memelihara martabat PPAT. Sedangkan di dalam Pasal 20-nya disebutkan bahwa untuk menjaga terlaksananya Kode Etik PPAT dibentuk Dewan Kehormatan yang terdiri dari Dewan Kehormatan Pusat

24

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Kongres I IPPAT di Bandung, 1997.


(54)

dan Dewan Kehormatan Daerah.25

Dewan kehormatan ini berfungsi untuk mengawasi PPAT dan berwenang untuk mengadili setiap anggota IPPAT yang terbukti nyata-nyata telah melakukan pelanggaran Kode Etik yang telah ditetapkan oleh IPPAT sebagai suatu organisasi profesi.

B. Tinjauan Umum Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli

Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata: “jual beli” adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan dan pihak yang lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat din berjanji untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Dalam Pasal 1458 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian jual bell dianggap sudah terjadi antara pihak penjual dan pembeli seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, sekalipun barangnya belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Isi ketentuan dalam Pasal 1457 dan 1458 KUHPerdata tersebut diatas pada prinsipnya sudah dianggap cukup bagi suatu perjanjian jual beli yang sederhana dan berjalan lancar. Sederhana dalam arti benda-benda yang diperjual belikan tidak mengandung atau menimbulkan permasalahan baik

25

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Anggaran Dasar Perkumpulan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kongres II IPPAT di Denpasar-Bali, tanggal 7-8 September 2000.


(55)

yang terkait dengan benda yang diperjual belikan secara fisik maupun status kepemilikan yang sempurna dimiliki oleh penjual ketika perjanjian itu dibuat. Berjalan lancar dalam arti, baik pihak penjual maupun pembeli memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati termasuk diantaranya pembeli telah membayarkan harga dan penjual telah menyerahkan barang yang dijualnya. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan dalam kedua pasal tersebut diatas telah cukup sebagai landasan hukum bagi praktik jual beli dalam keseharian yang pada umumnya berlaku singkat.

Di dalam KUHPerdata Pasal 1458 terdapat kata “perjanjian”, yang berarti bahwa di dalam jual beli harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai sesuatu yang diperjual belikan tersebut.

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Di Indonesia

Jual beli menurut hukum tanah Nasional dapat diartikan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Sehingga pada saat jual beli hak atas tanah itu langsung beralih dari penjual kepada pembeli.

Jual beli menurut hukum tanah Nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai tiga sifat, yaitu :

1) Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.


(56)

2) Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannnya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

3) Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau nil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan hak. 3. Akibat Hukum Dari Perjanjian Jual Beli

a) Kewajiban Penjual

Didalam KUHperdata diatur kewajiban-kewajiban penjual yang timbul dan akibat jual beli pada Pasal-Pasal 1473 sampai dengan 1512. Ketentuan yang pertama dan kewajiban penjual yaitu Pasal 1473 KUHperdata yang berbunyi:

“Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan diri; segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya”.

Penguasaan benda secara aman dan tenteram dapat diartikan bahwa pemilik atas benda tersebut dapat menguasai dan menikmati benda tersebut secara sebagaimana digambarkan oleh Pasal 570 KUHperdata sebagai berikut:

“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa,dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak


(57)

mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi”.

Abdul Kadir Muhammad menafsirkan Pasal 570 KUHperdata dengan pengertian sebagai berikut:26

1) Hak milik adalah hak paling utama, karena pemilik dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.

2) Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik dapat memakai sepuas-puasnya, dapat memanfaatkan semaksimal mungkin dan dapat memetik hasil sebanyakbanyaknya.

3) Dapat menguasai sebebas-bebasnya, artinya pemilik dapat melakukan apa saja tanpa batas terhadap benda miliknya, misalnya memelihara sebaik-baiknva, membebani dengan hak-hak kebendaan tertentu, memindahtangankan, merubah bentuk, bahkan melenyapkannya. 4) Hak milik tidak dapat diganggu gugat, baik oleh orang lain maupun

oleh penguasa, kecuali dengan alasan, syarat-syarat menurut undang-undang.

5) Tidak dapat diganggu gugat hendaklah diartikan sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar, dengan memperhatikan kepentingan orang lain (kepentingan umum). Penggunaan dan penguasaan hak milik dibatasi oleh kepentingan orang lain.

Bagaimanapun juga menurut sistem hukum Indonesia semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Sedangkan menurut Yahya Harahap, dalam menafsirkan isi pasal ini menyatakan bahwa pada perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual dalam hal adanya pengertian perjanjian yang kurang jelas atau yang mengandung pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban

26

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, cetakan kedua (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 144.


(58)

umum (openbare orde).27

Kewajiban utama bagi penjual, menurut Pasal 1474 KUHperdata adalah:

1) Menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada pembeli.

2) Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat yang tersembunyi.

Mengenai kewajiban penjual harus menanggung kenikmatan tenteram dan cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, diatur juga didalam Pasal 1491 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat barang tersebut yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.

KUHperdata juga mengatur hal-hal lainnya yang merupakan kewajiban penjual yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1) Menanggung biaya penyerahan apabila tidak ditentukan lain dalam perianjian (Pasal 1476 KUHperdata).

2) Menyerahkan hasil dari barang yang sudah dibeli tetapi belum diserahkan (Pasal 1460 KUHperdata).

3) Penjual dan pembeli boleh membuat persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka diperbolehkan mengadakan

27


(59)

persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun.(Pasal 1493 KUHperdata).

b) Penyerahan Benda yang Dijual.

Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa jual beli pada dasamya merupakan pemindahan hak kepemilikan dan penjual kepada pembeli. Mengenai penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual kepada pembeli, ilmu hukum mengenal tiga jenis penyerahan lainnya, yaitu:28

1) Penyerahan dalam bentuk traditio brevi manu, yang berarti penyerahan dengan tangan pendek. Penyerahan dengan tangan pendek ini dapat terjadi misalnya seorang penyewa yang telah menguasai kebendaan yang diperjual belikan tersebut kemudian membeli kebendaan yang disewa olehnya itu. Dalam hal ini penyerahan fisik sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 612 KUHperdata tidak diperlukan lagi.

2) Penyerahan dalam bentuk traditio longa manu, atau penyerahan secara tangan panjang. Dalam hal penyerahan secara tangan panjang ini, kebendaan yang diperjual belikan berada ditangan seorang pihak ketiga, yang dengan tercapainya kesepakatan mengenai kebendaan dan harga kebendaan yang dijual tersebut, pihak ketiga itu akan menyerahkannya kepada pembeli. Jadi dalam hal ini penyerahan tidak dilakukan sendiri oleh penjual, melainkan oleh pihak ketiga, yang pada umumnya adalah orang yang ditunjuk dan dipercaya oleh pembeli maupun penjual secara bersama-sama.

3) Penyerahan secara constitutum possessorium, atau penyerahan dengan tetap menguasai kebendaan yang dijual.

Penyerahan barang dalam hal jual beli, merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual kedalam kekuasaan dan pemilikan perdata. Kalau ada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis (juridische levering) di samping penyerahan nyata (feitelijke levering), agar

28

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya, Jual Beli. (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 94-95.


(1)

tanah asli.

Perjanjian jual-beli tanah harus dilakukan dihadapan PPAT untuk menghindari terjadi perselisihan dikemudian hari Karena akta itu dibuat sebagai tanda bukti dan fungsinya adalah untuk memastikan suatu peristiwa hukum, dengan menghindarkan sengketa, maka dari itu pembuat akta tanah harus bekerja sedemikian rupa, sehingga apa yang ingin dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.

Dalam perjanjian jual-beli tanah ditetapkan suatu format isian atau bentuk/cara tertentu yang dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undangundang, maka akibatnya adalah batal demi hukum.

Berdasarkan uraian diatas maka perjanjian jual-beli yang dilakukan Tergugat I dengan Tergugat II dan III menurut hukum tidak sah walaupun telah dibuat Akta Jual-Beli dihadapan PPAT, karena sebelum dilakukannya perjanjian tersebut telah didahului dengan adanya kesepakatan jual beli antara Tergugat I dengan Penggugat sebagai pihak yang telah membeli tanah tersebut untuk pertama kalinya. Pembuatan Akta Jual-Beli yang dilakukan dihadapan PPAT adalah persyaratan administrasi sebagai dasar pendaftaran perubahan data kepemilikan hak atas tanah pada pendaftaran tanah, akta jual beli tersebut dibuat sebagai pembuktian bahwa telah terjadi kesepakatan jual-beli tanah.

BAB IV

PENUTUP


(2)

A. Kesimpulan

Berdasarkan Bab-Bab yang telah dibahas sebelumnya, dan dari analisa hukum maka dapat disimpuikan hal-hal sebagai berikut :

1. Akibat hukum pembatalan akta jual beli dari aspek hukum perjanjian dan hukum tanah nasional sebagaimana dalam putusan hakim adalah berkaitan dengan penerapan asas-asas jual beli tanah dalam hukum tanah nasional dalam kasus antara Tergugat I dengan Tergugat II dan III hanya memenuhi syarat formil saja, namun syarat materai dalam jual beli tidak terpenuhi, khususnya : penjual (Tergugat I) tidak berhak menjual tanah tanah tersebut, karena sudah ada perjanjian perikatan yang timbul dari perjanjian jual beli yang oleh hakim dinyatakan sah dan mengikat secara hukum dan dalam hal ini Tergugat I sudah beritikad tidak baik dengan memberikan keterangan palsu kepada tergugat II dan III serta kepada notaris/PPAT, karena jual beli antara Tergugat I dengan Tergugat II dan III tidak memenuhi syarat materil maka jual beli yang terjadi sudah seharusnya dibatalkan oleh hakim dan benar menurut hukum.

2. Tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuatnya apabila ternyata terjadi kesalahan atau kekeliruan, sehingga akta tersebut dibatalkan bukanlah akibat dari kesalahan dari PPAT sepenuhnya, karena dalam membuat akta tersebut selain berdasarkan bukti-bukti yang ada juga didasarkan dari keterangan-keterangan para pihak. Dalam kasus ini bukti-bukti


(3)

yang ada untuk membuat suatu akta Jual-Beli sudah lengkap dengan adanya sertipikat tanah asli. Pembuatan Akta Jual-Beli yang dilakukan dihadapan PPAT adalah persyaratan administrasi sebagai dasar pendaftaran perubahan data kepemilikan hak atas tanah pada pendaftaran tanah, akta jual beli tersebut dibuat sebagai pembuktian bahwa telah terjadi kesepakatan jual-beli tanah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ada dan dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran guna memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi, yaitu : 1. Apabila para subjek hukum ingin melakukan jual beli, khususnya jual beli tanah,

maka hendaklah melakukannya dengan mengikuti semua peraturan normatif yang ada;

2. Kepada para Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) didalam menjalankan kewajibannya agar lebih hati-hati, apalagi terhadap klien yang menyerahkan blangko kosong yang telah ditandatangani oleh salah satu pihak dan atau kedua belah pihak yang hendak membuat Akta Jual Bell bersangkutan. Sehingga tidak timbul masalah di kernudian hari yang dapat merugikan banyak pihak.

Daftar Pustaka


(4)

Adiwinata, Saleh, Pengertian hukum adat menurut UUPA, cet. 2, Bandung: Alumni, 1980.

Effendie, Bachtiar, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah,cet. 3 Bandung: Alumni, 1993.

Hadi Kusumah, Hilman. HukumPerjanjian Adat, Bandung, Tarsito, 1982.

Hakim. S.A. Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan Jakarta: Bulan Bintang, 1965.

Harahap, Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni 1986.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan,2006.

__________, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cet. 10. Jakarta: Djambatan,2005.

Hutagalung, Arie S. Bahan Bacaan Asas-Asas Hukum Agraria, Jakarta, 1994, Indra, Ridwan. Ragam Perjanjian Di Indonesia. Jakarta: CV. Trisula. 1996. Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perikatan, cetakan kedua, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1990.

Mamudji, Sri et. Al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Jual Beli. Jakarta; Raja Grafindo

Persada, 2005.

Perangin-Perangin, Effendi. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Cet. 3. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1994.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata Tentang Persetujuan- Persetujuan Tertentu. Cet. 9. Bandung : Sumur Bandung, 1991.

Saleh, K. Wantjik. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977. Saragih, Djaren.Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito : Bandung, 1982.


(5)

Soedjendro, J. Kartini. Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik. Cet. 1. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Soebekti, R. Pokok-Pokok Dari Hukurn Perdata. Cet. 11. Jakarta: PT. Intermasa, 1975.

---Hukum Perjanjian. Jakarta: Penerbit PT Intermasa, 2004.

Suharnoko. Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Syahrani, Ridwan. Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni : Bandung, 1985.

Widjaya, Gunawan dan Kartini Mulyadi. Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003.

____________. Jual Beli, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005. Wijaya, Rai. Merancang Suatu Kontrak, Jakarta: Kanisius, 2003.

Tobing,G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet.3. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

Undang-Undang nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;


(6)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara,

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan,

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan.

C. Makalah dan/atau Artikel

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Anggaran Dasar Perkumpulan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.