NASKAH KIDUNG NABI: ANALISIS TEMA DAN FUNGSI SOSIAL
NASKAH KIDUNG NABI: ANALISIS TEMA
DAN FUNGSI SOSIAL
The Manuscript of “Kidung Nabi”: Theme and Social Functions Analysis
Nurhata
STKIP Pangeran Dharma Kusuma Jalan K.H. Wahid Hasyim, Nomor 1/1, Desa Segeran Kidul,
Kecamatan Juntinyuat Indramayu Telepon: 082295405185, Pos-el: [email protected]
Naskah masuk: 28 Februari 2017, disetujui: 10 Agustus 2017, revisi akhir: 12 Agustus 2017 DOI 10.26610/metasastra.2017.v10i1.45—56
Abstrak: Naskah Kidung Nabi adalah naskah yang berisi kidungan yang dapat memberikan kekuatan
bagi si pembacanya. Jumlah naskah Kidung Nabi yang ditemukan di Indramayu dan Cirebon sepuluh naskah. Penelitian ini akan menguraikan suatu naskah Kidung Nabi yang ditulis oleh Sugrawijaya pada tahun 1927. Tujuan penelitian ini menyuguhkan teks kidung itu kemudian menguraikan tema dan fungsi sosialnya, khususnya bagi masyarakat Indramayu dan Cirebon. Metode yang digunakan untuk menyuguhkan teks Kidung Nabi yaitu metode filologis sedangkan untuk analisis tema menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian ini menghasilkan tiga temuan: (1) naskah yang ditulis oleh Sugrawijaya sudah mengalami perubahan, baik disengaja maupun tidak; (2) tema utama Kidung Nabi yaitu penyatuan jiwa dengan para rasul dan sahabat Nabi Muhammad sehingga jiwa dan tubuh seseorang menjadi kuat; (3) oleh masyarakat, kidung itu digunakan untuk ritual adat ruwatan serta digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti mengobati orang sakit, menangkal serangan hama, binatang buas, gangguan jin atau setan, dan berbagai mara bahaya lainnya. Jadi, dengan menyanyikan Kidung Nabi seseorang akan menyatu dengan para nabi dan sahabat Nabi Muhammad serta dilindungi oleh malaikat, sehingga seseorang memperoleh kekuatan adikodrati.
Kata kunci: filologi, Kidung Nabi, naskah, Indramayu, Cirebon
Abstract: “Kidung Nabi” is a manuscript containing songs (kidung) that can give strength to its
readers. The number of “Kidung Nabi” manuscripts found in Cirebon and Indramayu are ten
manuscripts. This research will describe the “Kidung Nabi” manuscript written by Sugrawijaya in
1927. The aim of the research is to describe this kidung and to reveal the theme and social
functions, especially for people in Indramayu and Cirebon. The method used to present the text of
“Kidung Nabi” is a philological method, while for the theme analysis use a descriptive method.
This study reveals three findings, namely, (1) the manuscript written by Sugrawijaya has
undergone changes, whether intentionally or unintentionally; (2) the main theme of the “Kidung
Nabi” is the union of the soul with the prophets and the prophet Muhammad’s companions so that
one’s soul and body become strong; (3) the people have the kidung for the ruwatan (custom rituals)
and for everyday purposes, such as treating the sick and preventing pest attacks, wild animals,
demon or ghost, and various other dangers. Thus, by singing the Kidung Nabi, someone will be
united with the prophets and companions of the Prophet Muhammad and protected by angels;
therefore, one obtains supernatural powers.Key words: philology, “Kidung Nabi”, manuscript, Indramayu, Cirebon
METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
1. PENDAHULUAN
Kidung Rangga Lawe, Kidung Sunda, dan Kidung Sorandaka (Ricklefs, 2001: 66).
Wengi....”.
dan hubungan antara keduanya. Dalam “Kidung Rumaksa ing Wengi (Studi tentang Naskah Klasik Bernuansa Islam)” Achmad Sidiq (Sidiq, 2008) menyimpulkan bahwa kidung itu berisi doa pada malam hari agar terhindar dari tindak kejahatan serta tentang asal-usul proses penciptaan
Rumaksa ing Wengi,” menyebutkan isi Kidung Nabi, yakni tentang Tuhan, manusia,
Berikutnya, Sakudllah (Sakdullah, 2014) dalam “Unsur Teologis dalam Kidung
Kajian atas Kidung Nabi sudah banyak dilakukan oleh sejumlah sarjana. Mereka memiliki perhatian besar atas kidung tersebut untuk penelitian antropologi, teologi, linguistik, atau kebudayaan secara umum. Chodjim (Chodjim, 2007: 41—57) dalam Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, membagi tiga kandungan yang terdapat dalam Kidung Nabi. Pertama, pada bait ke- 2, tentang kekuatan pikiran, yang dapat digunakan sebagai alat fisik maupun metafisik. Penggunaan pada level fisik, misalnya berpikir, sedangkan penggunaan pada level lebih tinggi atau metafisik, misalnya hipnotis. Kedua, pada bait ke-3, yaitu cara menangkal hama dan kebal terhadap berbagai macam senjata. Ketiga, dari bait ke-4 sampai bait ke-6, yaitu penyatuan daya. Pembaca kidung akan dikelilingi bidadari, dilindungi para malaikat dan para rasul, sehingga seseorang akan selamat dari mara bahaya.
Indramayu, pada tahun 1930, Carkim juga pernah dinyanyikan kidung oleh Sugrawijaya karena terkena penyakit akut. 4 Kini jarang dijumpai lagi tradisi kidungan seperti itu, barangkali masyarakat tidak merasa perlu melanjutkannya.
lingkungan keraton Cirebon, Kacung Anom dinyanyikan kidung itu karena ia kerap menangis di malam hari. 3 Di Lohbener
Kidung Nabi. Pada tahun 1827, di
Masyarakat berkeyakinan, jika ada bayi atau anak kecil yang sering menangis itu karena diganggu oleh jin atau setan. Supaya tangisnya berhenti, harus dinyanyikan
tra lisan yang berkembang luas melalui tradisi tutur, melainkan sejumlah literatur klasik (naskah) juga banyak dijumpai. Setakat ini, di Indramayu saja, yang sudah ditemukan sebanyak 5 naskah dan di Cirebon 5 naskah. Banyaknya jumlah salinan menandakan bahwa kidung itu kedudukannya sangat penting, bahkan diyakini memiliki kekuatan adikodrati.
Kidung Nabi bukan hanya sebagai man-
karena pada bait pertama (baris pertama) berbunyi “Ana Kidung Rumaksa ing
Kidung sebagai suatu nyanyian disebutkan dalam prasasti periode awal, juga disebutkan dalam sejumlah teks prosa Jawa Kuno, seperti Wirataparwa, Uttarakanda,
Kidung Rumaksa ing Wengi, barangkali
Istilah kidung kebanyakan dipakai untuk menyebut naskah-naskah Jawa Tengahan, yang pada umumnya mengisahkan legenda-legenda romantis tentang era Majapahit, seperti Kidung Hariwangsa,
Kidung Lararoga, Kidung Teguh Rahayu atau Kidung Sarira Ayu, Kidung Kawedar, Kidung Selamet, dan Kidung Mantrawedha.
antara lain Kidung Rumaksa ing Wengi,
Kidung Nabi memiliki banyak nama,
Kalijaga. 2 Bertolak dari perdebatan apakah kidung itu betul karya Sunan Kalijaga atau bukan, tetapi jika diperhatikan dari isi teks yang terdapat di dalamnya, Kidung Nabi diciptakan pada era perkembangan Islam.
Ilir, Lamon Sira Menék, dan Cupu Manik Astagina) diyakini sebagai ciptaan Sunan
dibuktikan kebenarannya, oleh kebanyakan peneliti, Kidung Nabi (termasuk tembang Lir
dandanggula. Meskipun belum bisa
ini juga dikenal oleh masyarakat Indramayu dan Cirebon, dan tidak sedikit yang hafal karena memiliki banyak kegunaan. Cara menyanyikannya dengan pupuh (tembang)
Arjunawiwaha, dan Ramayana (Zoetmulder, 1983:170). 1 Sebuah kidung yang populer di masyarakat Jawa yaitu Kidung Nabi. Kidung
Masyarakat lebih akrab dengan istilah
N
URHATA
: N ASKAH K IDUNG N ABI : A NALISIS T EMA DAN F UNGSI S OSIALNabi, dalam hal ini naskah yang ditulis oleh
Naskah Kidung Nabi terdaftar dalam Portal Naskah Nusantara (daring) koleksi Cirebon dan Katalog Naskah Indramayu
3.1 Tentang Naskah
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk analisis tema Kidung Nabi akan digunakan metode deskriptif analitis. Analisis tema akan melihat teks lain yang sejenis (teks kidung) dan sumber-sumber lainnya yang masih berhubungan.
Terakhir, yaitu analisis tema dan kegunaan Kidung Nabi bagi masyarakat.
Indoensia (Zoetmulder dan Robson, 2006).
hanya pada bagian intinya saja, tidak semua isi teks. Pada proses penerjemahan saya akan menggunakan Kamus Basa Jawa (Widada dan dkk., 2001) dan Kamus Jawa Kuna-
Kidung Nabi berikut terjemahannya tetapi
Sugrawijaya. Tentang penulis, Sugrawijaya, pada tahap ini juga akan diuraikan. Selanjutnya akan dipaparkan isi naskah
(Christomy dan Nurhata, 2016). Langkah berikutnya mendeskripsikan naskah Kidung
manusia. Adapun Widodo (Widodo, 2011: 95) dalam “Analisis Wacana Mantra Jawa”, menegaskan bahwa di dalam kidung tersebut memuat banyak repetisi yang berfungsi memperkuat sugesti alam bawah sadar si pembacanya.
Nusantara dan Katalog Naskah Indramayu
Langkah awal pada penelitian ini yaitu inventarisasi naskah Kidung Nabi melalui katalog daring (online) Portal Naskah
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode landasan. Metode landasan dipakai ketika suatu naskah dianggap pal- ing unggul di antara naskah-naskah lain yang satu versi, sedangkan yang lainnya hanya dipakai sebagai pendukung. Naskah yang dianggap lebih unggul inilah yang akan disunting. Adapun tahapannya, yaitu inventarisasi, deskripsi, perbandingan, penentuan teks, pertanggungjawaban alih aksara, dan kritik teks (Saputra, 2008: 81— 106).
Sementara itu, tujuan khusus filologi yaitu menyunting teks yang dianggap paling dekat dengan yang asli, mengungkap sejarah terciptanya teks dan perkembangan teks, serta mengungkap resepsi pembaca pada kurun waktu tertentu (Baried dkk., 1985: 5—6).
Tujuan umum dari filologi yaitu memahami kebudayaan suatu bangsa, memahami makna dan fungsi teks, serta mengungkap nilai-nilai budaya lama.
Ribuan naskah kuno yang sampai pada kita kebanyakan berupa salinan. Pada proses transmisi teks (penyalinan), di sengaja atau tidak, perubahan suatu teks tidak dapat dihindari. Baik naskah salinan maupun naskah asli, memiliki jarak panjang dengan masyarakat dewasa ini. Untuk menjembataninya diperlukan studi filologi, yaitu studi tentang kebudayaan pada masa lalu melalui naskah kuno dan teks. Jadi obyek kajian filologi yaitu naskah. Kajian yang secara khusus membahas fisik naskah disebut kodikologi, sedangkan kajian yang secara khusus membahas isi naskah disebut tekstologi (Saputra, 2008: 78—79).
Kidung Nabi serta menguraikan untuk apa saja kegunaannya.
Penelitian ini akan membahas naskah Kidung Nabi yang ditulis oleh Sugrawijaya. Persoalan yang akan diuraikan adalah tema apa yang terdapat di dalamnya. Kemudian, apa saja manfaat atau kekuatan yang diperoleh ketika seseorang (khususnya bagi masyarakat Indramayu dan Cirebon) melantunkan kidung itu. Adapun tujuannya, yaitu menemukan tema utama
Masih banyak lagi penelitian lainnya, baik dalam bentuk artikel jurnal, skripsi, tesis, maupun laporan penelitian. Sejumlah komunitas blogger pun punya perhatian besar atas kidung tersebut. Akan tetapi, kajian yang secara khusus menempatkan naskah Kidung Nabi sebagai obyeknya (studi filologi), setakat ini belum dilakukan. Hampir semua peneliti yang mengkaji kidung itu bersumber dari tradisi tutur atau sumber lisan.
2. METODE PENELITIAN
METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
Meskipun kondisinya sudah sangat lapuk, secara keseluruhan teks masih jelas terbaca. Alas naskah menggunakan kertas bergaris. Naskah ditulis dengan aksara Jawa atau Carakan, bahasa Jawa. Warna tinta hitam dan abu-abu. Jumlah keseluruhan 52 halaman. Halaman yang secara khusus menguraikan Kidung Nabi berjumlah 12 halaman. Tiap halaman terdiri atas 12 baris; teks terdiri atas 16 bait. Ukuran naskah 20.3 x 16.5 cm; ukuran blok teks 17.2 x 14 cm. Naskah itu ditemukan tepat di lubang pohon, di pemakaman keramat, Desa Sindang Indramayu, dan ditemukan oleh Ki Tarka.
sumbernya, apakah berasal dari naskah lain atau diperoleh dari tradisi tutur (lisan) - banyak sekali yang hafal dengan kidung itu.
ingkang nyerat wasta Sugrawijaya, ta(hun) 1927”. Tidak disebutkan mengenai
Berdasarkan informasi yang tersebut di dalamnya, naskah Kidung Nabi ditulis oleh Sugrawijaya pada tahun 1927: “Kula
3.2 Tentang Penulis Naskah
Pada hari Rabu tanggal 23 Riaya Agung (Iduladha) tahun 1933, naskah itu pernah dipinjam oleh Jenar Wilut. Jenar Wilut adalah seorang dalang wayang sekaligus ahli tatah sungging wayang golek. Sebagai sesama dalang, tampaknya Sugrawijaya berhubungan baik dengan Jenar Wilut (Christomy dan Nurhata, 2016).
terdapat doa-doa Jawa atau yang lebih dikenal dengan Doa Kejawen, jenis-jenis sesaji yang harus disuguhkan pada saat diselenggarakan ritual adat, serta daftar nama orang yang pernah “dikidung”.
Rumaksa ing Wengi, Kidung Sari Panggung, Kidung Nyi Rangdu Kéntir, Kidung Jaka Tawa, Kidung Nyi Pohaci, Kidung Weringin Sungsang, Kidung Tundung Sangkala, dan Kidung Lapyan. Di samping itu, juga
Naskah Kidung Nabi memuat berbagai macam kidungan: Kidung Nabi atau Kidung
2015; dengan judul Kidung Waringin Sungsang.
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
Indramayu (2016); kode 16/KNI/TS/CL/
Gambar 1. Naskah Kidung Nabi Dari 10 naskah tersebut yang dideskripsikan hanya satu naskah, yaitu naskah yang ditulis oleh Sugrawijaya. Naskah itu termuat dalam Katalog Naskah
disebabkan oleh isinya yang tidak begitu banyak, hanya beberapa halaman saja.
Pengasihan Sekabéhanéng Manusa dan Anyatakaken Jaler utawa Istri. Hal ini
macam teks, bahkan teks Kidung Nabi tampak sebagai semacam ‘catatan kecil’. Misalnya, tiga naskah (teks) Kidung Nabi koleksi Elang Hilman masing-masing terselip dalam naskah Primbon (ditulis tahun 1917), naskah Katurangganing Keris (ditulis tahun 1827), dan naskah Primbon (ditulis tahun 1941); dua naskah (teks) Kidung Nabi koleksi Opan Safari tercatat dalam naskah
Kidung Nabi. Naskah itu memuat berbagai
Keseluruhan naskah yang dimiliki oleh masyarakat Indramayu dan Cirebon itu sebetulnya tidak secara khusus berisi teks
(Christomy dan Nurhata, 2016), masing- masing 5 naskah -semuanya sudah dideskripsikan: koleksi Elang Hilman (3 naskah); Opan Safari (2 naskah); Wa Karda (1 naskah); Kastiman (1 naskah); Ki Masta (1 naskah); Ki Tarka (2 naskah).
Oleh Sugrawijaya, naskah tersebut diberi judul Kidung Nabi. Setelah saya membandingkannya dengan beberapa teks lain ternyata memiliki banyak kesamaan
URHATA ASKAH
N : N K N : A T F S
dengan Kidung Rumaksa ing Wengi, hanya bait; naskah yang disalin oleh Warsita 5 terdapat sedikit variasi. Sang penyalin menyebutnya 13 bait; Chodjim ( 2007) dan tampaknya memperhatikan betul penjelasan Widodo (2011) masing-masing 5 bait. tentang penyatuan antara seseorang Meskipun jumlah bait tidak sama inti dari (pembaca kidung) dengan para nabi atau kidung tersebut hanya 5 bait: dimulai dari rasul, yang menjadi “inti kekuatannya”, Ana Kidung Rumaksa ing Wengi (bait ke-1), sehingga diberi judul Kidung Nabi. diakhiri dengan Sumsumku Fatimah linuwih (bait ke-5).
Aneka jenis kidungan yang ditulis oleh Sugrawijaya menyerupai catatan pribadi Sebagaimana telah diuraikan di atas, tentang aktivitasnya selama 10 tahun naskah Kidung Nabi yang ditulis oleh mengidung dan memimpin upacara adat Sugrawijaya terdiri atas 16 bait. Akan tetapi, ruwatan di Indramayu dari 1926 sampai pada pembahasan ini, yang disuguhkan tahun 1936. Ia dipercaya oleh masyarakat hanya 5 bait, dari bait ke-5 sampai bait ke- sebagai tetua adat. Di berbagai kesempatan 9, yang merupakan inti dari kidung itu. ia kerap diminta oleh masyarakat untuk Sisanya, bait ke-1 sampai bait ke-4 dan bait meruwat anak kecil, meruwat rumah, orang ke-10 sampai bait ke-16, langsung diuraikan sakit, dan lain-lain. Upah yang harus di bagian analisis. Berikut di bawah ini isi dibayar sebesar 5 rial bagi siapapun yang Kidung Nabi: ingin memakai jasanya, belum termasuk sesaji. Jika ia yang harus menyediakan sesaji biayanya bertambah 4 reyal lagi, menjadi 9 reyal.
Ditengarai, Sugrawijaya yang dimaksudkan sama dengan Sugra, seorang pencipta tarling (akronim gitar dan suling). Menurut tradisi lisan, kesenian Tarling yang kini lebih dikenal dengan istilah Tarling Dangdut Pantura, pertama kali pertama diperkenalkan oleh Sugra sekitar tahun 1931-an, di Desa Kepandean Indramayu. Duhulu, khususnya di Cirebon, kesenian itu dikenal dengan istilah melodi kota udang. Beberapa tokoh yang pernah mempopulerkan kesenian itu, seperti Jayana (asal Semaya Krangkeng Indramayu) dan Dadang Darniah (sinden dari Sukra Indramayu) sering berkunjung ke rumahnya, belajar berbagai tembang. Dugaan itu mungkin saja benar, sebab ia memiliki kemampuan mengidung dan memahami jenis-jenis tembang atau metrum.
3.3 Isi Naskah Kidung Nabi
Terdapat perbedaan mengenai jumlah bait Kidung Nabi. Sidiq (Sidiq, 2008: 130— 136) menyebutkan 43 bait; Sakdullah (Sakdullah, 2014) menyebutkan 45 bait; Purwadi (Purwadi, 2015) menyebutkan 9 METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
Tradisi mengidung rupanya terus berlanjut, salah satunya yang masih terpelihara hingga kini, meskipun hanya pada kalangan terbatas, yaitu Kidung Nabi. Kidung itu biasanya dilantunkan oleh masyarakat desa yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya.
Secara sederhana, Kidung Nabi dapat diartikan sebagai nyanyian penyatuan (manunggaling) dengan para nabi. Berikut ini uraian naskah Kidung Nabi.
Bait ke-1, dimulai dari hamba mengidung purwaning sajati ‘permulaan yang sesungguhnya’, yaitu Hyang Widi yang menciptakan alam semesta. Hyang Widi adalah awal mula segala sesuatu, sebab pertama yang telah menjadikan semuanya ada. Alam semesta itu ibarat pohon besar, jagat bumi itu ibarat dahan, awan atau mega
3.4 Penyatuan Jiwa
tebal ibarat daun, puncak pohon ibarat pelangi, buahnya ibarat bintang, dan telaga Pada masa pertumbuhan agama Islam yang mengairi pohon itu ibarat langit. Or- di wilayah pesisir utara Jawa bagian barat, ang yang berbudi luhur akan mengaji sekitar abad ke-15, mengidung (bernyanyi)
‘berpikir’ tentang pohon besar itu (alam sudah menjadi tradisi. Pada masa itu, tidak semesta), seperti yang telah dikehendaki sedikit ulama, baik ulama pribumi maupun oleh Hyang Widi. ulama Arab, yang pandai mengidung.
Bait ke-2, hamba yang sedang
Dikisahkan dalam naskah Babad Cirebon,
mengidung akan memberi kabar baik, kabar
Syekh Majagung pernah mengidung
yang berasal dari kitab suci para nabi. Or- sembari menyadap pohon aren. ang-orang Islam harus memperhatikan kitab
Adoh katon parek ora. Adohé tan ana
suci itu (sksara sastra agung) dan
wangeni. Pareké tanpa gepokan. Dén ulati mengamalkan isinya. parek bahé. Kélinganing raganira. Jatiné
Bait ke-3, hamba mengidung di malam
lir sojanira lir surya kembar dinulu, yaiku
hari. Sewaktu masih anak-anak nama jatining syahadat. hamba Ki Sawarti dan Ki Samurti, dan “Jauh terlihat, dekat tidak terlihat. ketika beranjak remaja namaku berganti
Jauhnya tanpa batas. Dekatnya tanpa
menjadi Ki Artati. Akan tetapi, yang
permulaan (gepok). Dicari-cari ternyata
terpenting bukan nama itu, apa arti sebuah
dekat saja. Terhalang oleh ragamu nama. sendiri.
Bait ke-4, menjelaskan, siapa yang
Terlihat bagaikan sang surya kembar,
mengetahui Bunga Tepus ‘jantung hati’
itulah syahadat yang sesungguhnya.”
maka ia akan mengetahui isi hatinya. Isi hati Mendengar kidungan tersebut Syekh itu diketahui oleh orang yang bersangkutan
Syarif Hidayatullah tenggelam dalam irama dan pencipta-Nya. Jadi, siapa yang merdu Syekh Majagung, dan meminta untuk mengetahui isi hatinya maka ia mengetahui mengajarkannya. Syekh Syarif juga
Tuhannya. Siapa yang memuji-Nya maka diajarkan tata cara mengidung oleh Syekh akan diberi perlindungan (pagar besi) dan
Bayan (saudara Syekh Nurjati), seorang dijaga oleh-Nya. Bagi siapa saja yang ulama asal Mekah. mengidung, berzikir tentang-Nya siang dan
N
URHATA
: N ASKAH K IDUNG N ABI : A NALISIS T EMA DAN F UNGSI S OSIALmalam, segala keinginannya akan dikabulkan.
Bait ke-5, menjelaskan tentang hubungan sesama manusia. Bunyi bait ini, “Ana Kidung Rumaksa ing Wengi”, yang artinya ada sabda yang menjaga di malam hari. Penjagaan Menjaga atas diri seseorang di malam hari begitu penting, sebab malam hari adalah waktu berlalu-lalangnya kejahatan, seperti pencurian, pembegalan, sihir, teluh, santet, guna-guna, dan berbagai macam penyakit, yang semuanya dilakukan oleh manusia. Sang pencipta kidung mengetahui betul keadaan di sekelilingnya, terlebih lagi sebelum menjadi wali Sunan Kalijaga pernah merampok para pembesar kerajaan, orang-orang miskin, dan para ulama. 6 Dengan membaca Kidung Nabi seseorang akan selamat dari segala kejahatan, terhindar dari berbagai penyakit, jauh dari bahaya, dan aksi kejahatan lainnya. Jin ataupun pun setan tidak ada yang berani mendekat serta kebal terhadap berbagai jenis teluh. Sunan Kalijaga memastikan bahwa, jika menyatu dengan para nabi, seseorang akan teguh rahayu luput
ing lara ‘kuat dan selamat, terhindar dari
berbagai penyakit’. Api teluh seperti api yang terjatuh di air, semuanya akan sirna. Demikian pula dengan pencuri, tidak ada yang berani mendekat. Chodjim (Chodjim, 2007: 42) berpendapat, kandungan isi yang termuat pada bait ke-5 tidak jauh berbeda dari Q.S Al-Falaq dan Q.S. An-Nas, yang pada prinsipnya memohon perlindungan dari kezaliman manusia atau pun wabah penyakit.
Bait ke-6, masih berkaitan dengan bait sebelumnya. Segala mara bahaya yang menimpa diri kita bukan hanya disebabkan oleh orang lain melainkan oleh diri kita sendiri. Dengan membaca kidung itu, segala niatan buruk yang datang dari diri kita akan hilang. Begitu pun orang lain, ketika ingin berbuat jahat tidak akan mampu, kekuatan apapun yang dimiliki akan musnah, bagaikan kapas jatuh di tanah. Jika yang datang menyerang itu berupa binatang berbisa, maka racun (bisa) yang mengenai menjadi tawar (tidak mempan). Jika binatang buas yang menghampiri akan menjadi jinak.
Bait ke-7, menjelaskan suatu kondisi pembaca kidung atau seseorang (sesuatu) yang dikidung dikelilingi oleh bidadari, dijaga oleh malaikat, serta dilindungi oleh para rasul. Mujizat atau keutamaan para nabi dan sahabat Nabi Muhammad mengalir dan menyatu dengan pembaca kidung, memberinya kekuatan, sehingga hatinya bagaikan hati Nabi Adam; otaknya atau kecerdasannya bagaikan kecerdasan Baginda Ali; 7 dan perkataannya bagaikan perkataan Nabi Musa.
Bait ke-8, masih tentang penyatuan diri dengan para rasul. Penyatuan itu dapat melindungi seseorang dari berbagai ancaman serta menjadikan tubuh seseorang kuat: nafasnya seperti nafas Nabi Isa yang luhur; pendengarannya seperti pendengaran Nabi Yakub; auranya (cahayanya) seperti aura Nabi Yusuf; 8 suaranya seperti suara Nabi Dawud; kesaktiannya seperti kesaktian Nabi Sulaiman; rambutnya seperti rambut Nabi Idris; nyawanya seperti nyawa Nabi Ibrahim; 9 kulitnya seperti kulit Baginda Ali; darahnya seperti darah Abu Bakar; dagingnya seperti daging Umar; 10 tulangnya seperti tulang Baginda Usman.
Bait ke-9 (lanjutan dari bait sebelumnya), lebih eksplisit lagi, yakni tentang penyatuan Dewi Fatimah dengan seorang perempuan (istri) dan penyatuan Nabi Ayub dengan seorang laki-laki (suami). Dewi Fatimah adalah sumsumnya. 11 Oleh seorang istri, kepribadian Dewi Fatimah harus dimasukkan, dijiwai, dijadikan teladan, hingga ke tulang sumsum karena putri Nabi Muhammad itu adalah perempuan mulia. Namun demikian, apapun kenyataannya (istri), sebagai seorang suami harus berkepribadian seperti Nabi Ayub.
Nabi Ayub dikenal dengan kesabarannya. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Indramayu dan Cirebon, usus METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
bersaudara; laki-laki dan perempuan)
perempuan)
8. Bocah Pandhawa Olah Olih (4 laki-laki; 1
bersaudara, semuanya laki-laki)
7. Bocah Kapanggungan (4 anak
perempuan)
6. Bocah Sumur Bandhung (1 anak
anak perempuan)
5. Bocah Cagak Takang (2 anak laki-laki; 1
perempuan; 1 anak laki-laki)
4. Bocah Kapitan Jugang (2 anak
tunggal)
3. Bocah Huntang Hunting (anak laki-laki
2. Bocah Bukadhana Bukadhini (2 anak
berhubungan dengan kesabaran. Suatu pepatah yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat misalnya sing dawa ususé ‘yang panjang ususnya’. Arti pepatah tersebut, yaitu harus banyak bersabar dari berbagai cobaan atau pun godaan. Jika sudah menyatu, semuanya akan mendapatkan kekuatan besar, setiap bulu yang tumbuh di badan akan dilindungi dan segala dosa yang telah diperbuat akan diampuni. 12 Bait ke-10, menjelaskan siapa saja yang menulis atau mendengar Kidung Nabi maka seluruh dosanya diampuni. Jika berkumur sembari merapal kidung itu lalu disemburkan kepada orang sakit, ia akan sembuh. Jika disemburkan kepada perawan tua, ia akan lekas mendapatkan jodoh, dan jika disemburkan kepada orang gila, ia akan waras (bait ke-9).
1. Bocah Kembang Sepasang (2 anak perempuan).
Mondé:
Naskah Kidung Nabi oleh Sugrawijaya kerap dipakai untuk meruwat Bocah Mondé ‘anak-anak yang harus diruwat’, atau dalam istilah lain disebut Bocah Sukerta. Tujuannya supaya terhindar dari bahaya, nasib buruk, serta terhindar dari mangsa Betara Kala. Berikut di bawah ini nama-nama Bocah
Widodo (Widodo, 2011:95) menegaskan bahwa di dalam Kidung Nabi terdapat banyak repetisi, -ku, -mami, dan ngwang, yang berfungsi memperkuat sugesti alam bawah sadar pembacanya. Pengacuan (referensi) pada kidung sangat dominan, muncul sebanyak 22 kali, yang akan berpengaruh kuat bagi siapapun yang melantunkannya. Tidak heran jika masyarakat begitu yakin atas kekuatannya dan menggunakanya digunakan untuk segala urusan, dari masalah pertanian, perjodohan, sampai perihal yang bersifat gaib.
digandrungi oleh masyarakat karena memiliki banyak manfaat.
Nabi termasuk yang pertama, begitu
Suatu naskah terkadang mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, disalin berulang-ulang, bahkan isinya dihafal, terkadang juga sebaliknya. Naskah Kidung
3.5 Manfaat Sosial
Jadi, siapa saja yang membaca atau mendengar Kidung Nabi maka jiwanya akan manunggal ‘menyatu’ dengan para rasul dan sahabat Nabi Muhammad, serta dilindungi oleh malaikat Kirun Wanakirun (bait ke-7 sampai bait ke-9). Jika sudah menyatu si pembaca atau pendengar kidung akan memperoleh kekuatan menyembuhkan atau mengobati, mengusir berbagai macam hama tanaman, menjauhkan tindak kejahatan, dan lain-lain.
melimpah, menjauhkan maling, dan sihir (bait ke-11); melunasi hutang (bait ke-12); dilindungi oleh Malaikat Kirun dan Wanakirun, menangkal berbagai macam penyakit (bait ke-13); menakuti musuh, menjauhkan penyakit, dan disayang banyak orang (bait ke-14); jika teks Kidung Nabi disimpan di rumah, di atas rumah seperti ada Nabi Muhammad, dan jika dibawa bepergian, bagi siapa saja yang bermaksud jahat akan ketakutan (bait ke-15); menghindarkan diri dari orang yang memiliki sifat iri hati serta menjauhkan pencuri (bait ke-16)
Kidung Nabi: untuk mendapatkan panen
Bait selanjutnya menjelaskan manfaat
9. Bocah Sésaga Lebon Buron
N
URHATA
: N ASKAH K IDUNG N ABI : A NALISIS T EMA DAN F UNGSI S OSIAL3. Jika ingin mendapatkan panen padi melimpah, seseorang harus berpuasa sehari. Setelah itu, ia berkeliling di pematang sawah sembari menyanyikan
seseorang dari berbagai ancaman karena para nabi dan wali selalu menjaganya. Siapa pun yang berani memfitnah akan dibinasakan oleh Tuhan.
8. Kidung Nabi juga dapat menghindarkan
7. Manfaat lainnya yaitu untuk mengobati orang sakit. Orang yang sedang sakit, jika dibacakan Kidung Nabi, akan sembuh. Apapun jenis penyakitnya.
6. Jika membaca Kidung Nabi siang dan malam hari, seseorang akan dijaga oleh Allah dan semua keinginannya akan dikabulkan. Selain itu, ia juga akan memperoleh banyak pengikut serta memperoleh keluhuran. Keluhurannya melampaui para wiku atau resi yang mengetahui berbagai macam puja semedi. Kehendak hatinya pun menghindarkan diri dari durjana agung (begal).
justru akan welas asih, menjaganya siang dan malam. Durbiksa (Gondoruwo), pun sangat takut mendengar kidung itu. Jika berani mengganggu, mereka akan lumpuh, tidak bisa berkutik, tidak selamat, lalu musnah. Binatang pun, jika berani menyerang atau marah, akan mati.
merkayangan. Makhluk-makhluk itu
5. Kidung ini juga mampu melindungi seseorang dari bangsa jin atau
Makanlah tiga suapan saja, maka Allah akan menjaganya, selamat dari peperangan. Senjata apapun tidak akan mempan menembus badan.
4. Jika hendak berperang, bacalah Kidung Nabi pada nasi yang hendak dimakan.
Kidung Nabi. Semua hama atau penyakit padi akan menjauh.
sembari tangannya ngupyak ‘mengobok pelan’ air. Kemudian, mandikan orang gila itu.
Untuk meruwat Bocah Mondé diperlukan sejumlah sesaji atau sajen, yang bagi masyarakat Jawa kedudukannya pal- ing mendasar dalam suatu ritual (Wood- ward, 2011: 138). Adapun sesaji yang harus disuguhkan yaitu: bunga 7 rupa, bunga cungu, minyak tanah, bedak wangi, cermin, sisir, pisau, tali, sapu, emas kawat, kacip (alat potong seperti gunting), air 7 rupa (air muara, air sungai, air kedokan, air sawah, air pandhé, air kemasan, air plédhang tembaga), 7 batang tebu, 2 pasang bambu kuning, kelapa tua, kelapa gading (kuning), 1 pasang kelapa muda, 4 gedeng padi, manggar kelapa, manggar jambe mayang, 1 pasang tumpeng, nasi bugana (nasi kuning ditaburi potongan kelapa, ikan, telur, dan lain-lain), 1 pasang kendi, 2 telur mentah (sebagai penutup kendi), tali gelang terbuat dari benang, kerudung sangkala, kain kafan
Kidung Nabi di depan bak mandi,
2. Orang gila juga dapat disembuhkan dengan kidung itu. Caranya, bacakan
pasangan. Caranya, ia membaca kidung tersebut di depan bak mandi, tangannya sambil ngupyak air, baru kemudian mandi.
Kidung Nabi, supaya lekas mendapatkan
1. Jika ada seorang perawan tua yang belum juga dapat jodoh, ia harus mandi dengan air yang sudah dibacakan
16. Berikut di bawah ini manfaat Kidung Nabi bagi masyarakat.
berbagai macam keperluan sehari-hari, seperti diuraikan dalam bait ke-9 sampai ke-
Bocah Mondé, tetapi dapat dipakai untuk
jenazah), golok, daun andong, dan sedekah tujuh kali dalam semalam. 13 Masih banyak lagi manfaat Kidung Nabi, tidak hanya digunakan untuk mengidung
sededeg (seukuran untuk membalut
9. Dengan membaca Kidung Nabi, segala jenis racun tidak akan mempan dan badan selalu sehat sentosa. Di samping itu, kidung ini juga dapat dijadikan pagar dari perbuatan buruk. Jika ada yang berbuat jahat, seperti sihir atau teluh, sihir itu akan kembali berbalik. Tindakan jahat yang dilakukan melalui tatapan mata, tidak akan mempan karena malaikat selalu menjaganya. METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
10. Jika memiliki banyak hutang, bacalah
Di hutan itu ia lebih dikenal dengan nama Lokajaya. Siapa pun yang berani melewati hutan itu akan menjadi sasarannya. Tidak peduli apakah yang lewat itu penduduk pribumi, orang Cina, Madura, saudagar kaya atau miskin, bahkan para pejabat Majapahit pun berani ia rampok.
6 Sunan Kalijaga pernah menjadi penjegal di Hutan Japura.
Rowa tahun Jim Akhir. 5 Naskah yang disalin oleh Warsita tergolong muda. Ia memberinya judul Kidung Lararoga. Pada hari Jumat Keliwon, tanggal 10 Januari 1997, ia selesai menyalin, di Cikedung Indramayu. Teks ini terdiri atas 13 bait, dan
Kalijaga dan Pengaruhnya bagi Perkembangan Pertunjukan Wayang Kulit di Indonesia” (Ariani, 2011: 22—28); Chodjim (Chodjim, 2007) dalam Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga; Purwadi (Purwadi, 2015) dalam Sufisme Sunan Kalijaga: Ajaran dan Laku Spiritual Sang Guru Sejati. Masih banyak lagi para peneliti yang beranggapan seperti itu. 3 Tercatat dalam naskah Katurangganing Keris (koleksi Elang Hilman). Kacung Anom lahir tahun 1827, di sampingnya terdapat beberapa bait Kidung Lararoga. 4 Disebutkan dalam naskah kidungan yang ditulis oleh Sugrawijaya. Carkim dikidung pada hari Selasa Pahing, 8
Kidung berarti suatu nyanyian juga disebutkan dalam naskah Udyogaparwa, Wrhasaptitattwa, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudda, Gatotkacasraya, Smaradhana, Sumanasantaka, dan Abhimanyuwiwaha (Zoetmulder dan Robson, 2006: 498). 2 Perihal bahwa Kidung Nabi adalah karya Sunan Kalijaga diuraikan dalam laporan penelitian “Ajaran Tasawuf Sunan
Catatan kaki: 1 Di dalam kesusastraan Jawa Kuno ada dua macam puisi, yaitu kidung dan kakawin. Ciri kidung menggunakan metrum Jawa dengan bahasa Jawa Tengahan, sedangkan kakawin menggunakan metrum India dengan bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder, 1983: 29).
Nabi Ayub, kemuliaannya (bagi perempuan) seperti Siti Fatimah, kecerdasannya seperti kecerdasan Baginda Ali, darahnya seperti darah Abu Bakar, dagingnya seperti daging Umar, tulangnya seperti tulang Usman. Lebih dari itu, malaikat Kirun dan Wanakirun pun akan menjaganya. Penyatuan itu yang memberinya kekuatan mengobati berbagai jenis penyakit, serangan senjata tajam, ancaman teluh atau guna- guna, dan lain-lain. Itu sebabnya, masyarakat banyak yang meminta Sugrawijaya untuk melantunkan kidung itu.
Naskah Kidung Nabi berjumlah 10 (5 dari Indramayu; 5 dari Cirebon), salah satunya ditulis oleh Sugrawijaya pada tahun 1927. Tema utama dari kidung itu yaitu penyatuan dengan para nabi dan sahabat Nabi Muhammad. Dengan membaca Kidung Nabi para nabi dan sahabat nabi Muhammad menyatu dalam jiwa sehingga hatinya seperti hati Nabi Adam, ucapannya seperti ucapan Nabi Musa, nafasnya seperti nafas Nabi Isa, wajahnya seperti wajah Nabi Yusuf, suaranya seperti suara Nabi Dawud, kehebatannya seperti kehebatan Nabi Sulaiman, rambutnya seperti rambut Nabi Idris, nyawanya seperti nyawa Nabi Ibrahim, kesabarannya seperti kesabaran
Indramayu dan Cirebon) sudah tidak lagi menganggapnya penting. Menghadapi problematika kehidupan yang begitu kompleks, cara penyelesaian dengan mengidung dianggap ketinggalan zaman. Pendeknya, paradigma masyarakat sudah mengalami pergeseran. Sebagai ilustrasi, agar tanaman padi tidak terserang hama cara mengatasinya dengan obat insektisida, jika anak kecil sering menangis atau sakit, ia dibawa berobat ke dokter, dan seterusnya.
13. Supaya harta benda tidak dicuri bacakan kidung tersebut sebanyak dua kali, lalu berpuasalah selama tiga hari. Dewasa ini, terhadap Kidung Nabi, kecenderungan masyarakat (khususnya
12. Jika banyak orang yang iri hati, berpuasa tujuh hari. Lalu, siang hari membaca Kidung Nabi tiga kali; malam hari membaca tujuh kali.
11. Sebelum bepergian, jika membaca kidung itu, orang yang berniat jahat akan merasa takut melihatnya. Orang yang memusuhi justru akan setia menuruti kehendaknya.
malam hari, Tuhan (Hyang Widi) yang akan melunasinya.
Kidung Nabi sebanyak sebelas kali pada
4. SIMPULAN
bagian intinya yaitu bait ke-2 sampai bait ke-6.
N
URHATA
: N ASKAH K IDUNG N ABI : A NALISIS T EMA DAN F UNGSI S OSIAL Lokajaya baru bertaubat setelah merampok dua orang suami-istri, bernama Ki Dares dan Nyi Mukena, saat mereka sedang memikul nasi tumpeng, beras tumbuk anyar, dan ayam panggang. Oleh Lokajaya, Nyi Mukenah diserang dan direbut barang bawaannya hingga tersungkur ke rumput. Nyi Mukenah menangis dan memohon ampun kepada Tuhan karena telah menyakiti rumput. Lokajaya menusukkan tombaknya ke tubuh Nyi Mukena, namun tidak mempan. Lokajaya pun langsung bersujud dan bertobat di hadapannya. Kemudian Lokajaya berguru kepada Sunan Gunung Jatiatas perintah Nyi Mukeah dan Ki Dares. 7 Naskah lain, seperti halnya sumber lisan, berbunyi Otakku Baginda Sis. Berbagai literatur Nabi Sis dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. 8 Naskah lain menyebutnya Cahayaku Nabi Muhammad.Nabi Muhammad diciptakan dari nur (cahaya), tetapi proses kelahiran dan hidupnya sama dengan manusia pada umumnya. Sebuah syair yang begitu populer di kalangan masyarakat awam: yang artinya bahwa bahwa Nabi Muhammad adalah manusia tetapi tidak seperti manusia pada umumnya.
Adapun rupa wajahku adalah Nabi Yusuf. 9 Nabi Ibrahim diceritakan dalam Al-Quran tidak mempan terhadap nyala api. 10 Dalam naskah Kidung Nabi yang ditulis Sugrawijaya berbunyi, “...Abu Bakar darah//, kulit, daging...”, Umar tidak disebutkan. Tetapi dalam naskah Kidung Lararoga yang ditulis Warsita berbunyi “... Abu Bakar getih Umar daging singgih...” 11 Di dalam naskah lain disebutkan sosok perempuan lain, yaitu Siti Aminah (Ibunda Nabi Muhammad), sebagai rongga kerongkonganku. 12 Uraian tentang Kidung Nabi hanya sampai pada meleburnya dosa-dosa. Sumber lain menjelaskan lebih jauh lagi, yakni tentang penglihatan Muhammad serta perlindungan Nabi Adam dan Siti Hawa. 13 Kembang werna 7, kembang cungu, kudu ana lenga, boréh wangi, kaca, suri, lading, tali meneng, sapu, mas kawat, kacip, sarta banyu 7: banyu muara, banyu kalén, banyu kedhokan, banyu sawa, banyu pandhé, banyu kemasan, banyu plédhang tembaga.// Tebu 7 ros, sapasang pring gadhing, klapa tuwa, klapa gadhing dhugan sapasang, pari 4 gédhéng sisi, manggar klapa, manggar jambé mayang, tumpeng sapasang, bugana, sadogé, kendhi sapasang, tutus dog 2. Cara coro céré curu ciri. Cara baha cara bihi buhu béhé. Anggel anyar, klasa anyar, kudhung sangkala, lawon sadedeg, golok, godhong andhong, sarta sedhekah ping pitu sawengi, juwad pewarnané iku ku ana sakabéh.
5. DAFTAR PUSTAKA
Ariani, I. (2011). “Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga dan Pengaruhnya bagi Perkembangan Pertunjukan Wayang Kulit di Indonesia.” Yogyakarta. Baried, S. B., dkk. (1985). Pengantar Ilmu Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chodjim, A. (2007). Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi. Christomy, T., dan Nurhata. (2016). Katalog Naskah Indramayu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Purwadi. (2015). Sufisme Sunan Kalijaga: Ajaran dan Laku Spiritual Sang Guru Sejati. Yogyakarta: Araska Publisher. Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesian since 1200 (Third). Basingstoke: Palgrave. Sakdullah, M. (2014). “Kidung Rumeksa ing Wengi Karya Sunan Kalijaga dalam Kajian Teologi.” Teologia, 25(2). Saputra, K. H. (2008). Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sidiq, A. (2008). “Kidung Rumeksa ing Wengi (Studi Tentang Naskah Klasik Bemuansa Islam).” Analisa, XV(1). Widada, dkk. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Widodo, W. (2011). “Analisis Wacana Mantra Jawa.” In Seminar Nasional Linguistik dan Sastra: Dahulu, Sekarang, dan Akan Datang. Madura: Universitas Trunojoyo.
METASASTRA Jurnal Penelitian Sastra
, Vol. 10 No. 1, Juni 2017: 45—56
Woodward, M. (2011). Java, Indonesia, and Islam. Arizona: Department of Religious Studies. Arizona State University. Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P. J., dan Robson (2006). Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia.