TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI (Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali) SKRIPSI

  

TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS

TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI

  (Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)

  

SKRIPSI

  Oleh :

  

AMINANTO

  21105001

  

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Aminanto NIM : 21105001 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal al-Syakhshiyah

  Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

  Salatiga, 21 September 2011 Yang menyatakan, Aminanto

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

  KESULITAN SEBESAR APA PUN AKAN TERASA WAJAR bagi jiwa yang tetap melebihkan syukur daripada mengeluh.

  PERSEMBAHAN

  Untuk orang tuaku, anak istriku, para dosenku, sahabat-sahabatku, terutama kang Mutamassikin yang telah memberikan dorongan dan membantu dalam penyelesaian skripsiku.

KATA PENGANTAR

  Tiada sepatah kata pun yang pantas terucap selain alhamdulillahi rabbil , karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi

  ‘alamin

  yang berjudul “Telaah Terhadap Hadis-hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali (Takhrij Hadits tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syariah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.

  Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

  1. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan pengertian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  2. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si., selaku Kaprodi Ahwal Al-Syakhshiyyah yang dengan dukungan dan dorongan serta motivasi yang diberikannya kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1, sehingga penulis mampu menyalakan api semangatnya kembali setelah redup beberapa waktu yang cukup lama karena sesuatu hal yang menghambat dalam penyelesaian studi penulis.

  3. Ahmad Mutamassikin, S.Pd.I., seorang sahabat yang baik yang dengan keikhlasan hatinya telah banyak membantu dalam pengetikan naskah skripsi ini.

  Semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih baik atas kebaikan

  Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri, baik keterbatasan dalam hal ilmu pengetahuan, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan sarana prasarana. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

  Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

  Cukilan, 24 November 2011 Penulis, Aminanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah segala ketentuan dan kepastian mengenai segala

  yang terjadi di sekitar kita berdasarkan petunjuk Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Petunjuk inilah yang menjadi pedoman setiap mukmin yang muslim dalam upaya pengabdiannya kepada Allah SWT.

  Petunjuk yang menjadi pedoman itu tidak memuat ketentuan-ketentuan segala aspek kehidupan. Ketentuan itu sebagian besar hanya memuat petunjuk global. Ketentuan-ketentuan yang tidak termuat dalam petunjuk Allah itu selanjutnya dijelaskan di dalam as-Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan yang pada hakekatnya merupakan petunjuk Allah juga. Selanjutnya sebagai bukti sifat hukum Islam yang dinamis (selalu bergerak dan berkembang) hukum Islam dikembangkan dalam bentuk Ijtihad, Ijma’, dan Qiyas dan lain-lain yang semuanya menuntut para para ulama mujtahid senantiasa memanfaatkan akal pikirannya hingga pendapat yang dihasilkannya menjadi sumber hukum pelengkap.

  Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa as-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Para ulama sepakat bahwa as-Sunnah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan yang berasal dari menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu, as-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an yang tidak atau kurang jelas serta penentu dari beberapa hukum yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, apapun yang diberikan, dicontohkan, ataupun yang diucapkan oleh Rasulullah SAW harus diakui sebagai hukum Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an- Najm ayat 3 dan 4:

                

   

  Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa

  yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

           

  Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan

  hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

  Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah terkandung dalam al- Qur’an. Sunnah ada kalanya menjelaskan hal-hal yang belum jelas dalam al- Qur’an, membatasi hukum yang datang secara muthlaq, serta memberikan ketentuan khusus terhadap hukum yang datang secara umum. Demikian pula as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al- Qur’an. Oleh karena itu kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus didahulukan daripada yang menjelaskan.

  Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW dihadapanmu suatu persoalan? Mu’adz menjawab; aku akan memutuskan dengan Al-Qur’an. Rasulullah SAW berkata; jika engkau tidak dapatkan dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah. Nabi berkata; jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab; saya berijtihad dengan pikiran saya. Kemudian Rasulullah memukul dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan sikap yang disetujui Rasul-Nya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

  Begitulah kedudukan as-Sunnah dalam sistematika sumber hukum Islam. Namun demikian yang menjadi persoalan yang tidak asing lagi bagi umat Islam pada umumnya adalah mengenai shahih atau tidaknya suatu hadis.

  Dari sekian banyak hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tidak semuanya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum karena hanyalah hadis-hadis yang shahih saja yang boleh dijadikan pedoman atau dasar hukum suatu perkara.

  Kadang kala ada dua atau bahkan beberapa hadits yang berbicara mengenai suatu perkara yang sama, namun dalam penetapan hukumnya hadits-hadits tersebut saling bertentangan. Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits yang mewajibkan keberadaannya, namun ada pula beberapa hadits yang membolehkan akad nikah tanpa wali.

  Selama ini yang penulis ketahui wali nikah merupakan salah satu rukun nikah yang lima yakni : mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan dianggap tidak sah. Itulah hukum yang berlaku dalam masyarakat kita bahkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini terbukti dengan adanya beberapa putusan Pengadilan Agama tentang Fasid Nikah karena tidak adanya wali (Ramulyo,2000:10).

  Berawal dari membaca bukunya A.Hassan yang berjudul Soal-Jawab

  

tentang Berbagai Masalah Agama, penulis merasa terkejut sekali ketika

  mengetahui ada hadis-hadis yang menjadi dalil tentang kebolehan nikah tanpa wali. Menurut beliau, seorang wanita meskipun masih gadis berhak untuk menikahkan dirinya sendiri, dalam artian boleh melakukan ijab qabul sendiri, maupun ia dalam posisi menjadi wakil untuk orang lain.

  Di samping hadis-hadis sebagai dalil naqli tentang kebolehan nikah tanpa wali meskipun bagi wanita yang masih gadis, beliau juga menggunakan dalil ‘aqli atau argument secara akal sehat. Argument tersebut ialah bahwa pokok atau asal masalah dalam wali nikah adalah kemerdekaan orang yang diurus oleh wali. Selama orang yang diurusnya telah baligh atau dewasa, maka hilanglah kekuasaan wali atas orang yang diurusnya, sehingga ia menjadi orang yang merdeka. Dengan demikian, orang tersebut bebas mengurus dirinya sendiri termasuk bebas memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya serta berhak menikahkan dirinya sendiri. Padahal jika kita menengok fakta dan fenomena masyarakat yang terjadi adalah mereka menerapkan hukum wali nikah sebagai salah satu rukun nikah, sehingga tidak

  Sebuah hadits yang sangat familier di kalangan masyarakat Muslim yang menjadi landasan bahwa nikah tidak sah tanpa wali salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

  ﮫﻟ ﻰﻟو ﻻ ﻦﻣ ﻰﻟو نﺎﻄﻠﺴﻟﺎﻓ اوﺮﺟﺎﺸﺗ نﺎﻓ لﺪﻋ ىﺪھﺎﺷو ﻰﻟﻮﺑ ﻻا حﺎﻜﻧ ﻻ ه ا و ر ) ﻰﻘﮭﯿﺒﻟاو ﻰﻨﻄﻗرا ( ﺪ ﻟ ا

  Artinya: ”Tidak (sah) nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang

  adil. Jika (wali-wali itu) berbantah, maka Sulthonlah yang menjadi wali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Daruquthni dan

  Baihaqi) Redaksi hadits tersebut di atas tidak menjelaskan bagi siapakah hukum itu diberlakukan, untuk perempuan janda ataukah perempuan yang masih gadis (bikr)? Dengan tidak adanya penjelasan, maka hadits tersebut sering digunakan sebagai landasan pendapat yang mewajibkan keberadaan wali baik bagi perempuan yang masih perawan (bikr) ataupun perempuan janda.

  Pendapat tersebut dibantah oleh kelompok yang mengatakan bahwa wali itu wajib hukumnya dan menjadi syarat sah nikah hanya berlaku untuk perempuan yang masih perawan bukan perempuan janda. Hal itu berlandaskan pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 232:

             

  

           

            

  Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,

  Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

  orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui .

  Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa wanita janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Hak tersebut berupa hak untuk menentukan suami pilihannya dan juga hak untuk mengawinkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya tersebut. Adapun bunyi redaksi hadits yang digunakan sebagai dalilnya adalah sebagai berikut :

  

ﺎﮭﺗﺎﻤﺻ ﺎﮭﻧذاو ﺎﮭﺴﻔﻧ ﻲﻓ نذﺄﺘﺴﺗ ﺮﻜﺒﻟاو ﺎﮭﯿﻟو ﻦﻣ ﺎﮭﺴﻔﺘﺑ ﻖﺣا ﺐﯿﺜﻟا

( ﻢ ﻠ ﺴ ﻣ . ر ص. ح. )

  Artinya: Perempuan yang janda itu lebih berhak (mengawinkan) dirinya

  daripada walinya: dan anak perawan itu dimintai idzinnya pada (mengawinkan) dirinya: dan idzinnya itu ialah diamnya . (H.S.R

  Muslim) Ketika kita mendengar sebuah pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita sekalipun ia masih gadis atau perawan lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sehingga ia pun berhak menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya, apa reaksi yang muncul pada diri kita. Sudah barang tentu hal itu menjadi sesuatu yang aneh dan tentunya kita menolak pendapat tersebut sekuat tenaga dengan berdalil pada hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah wanita zina. Adapun bunyi redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut :

  ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ةﺮﯾﺮھ ﻮﺑا لﺎﻗ ج و ﺰ ﺗ ﻻ و ة أ ﺮ ﻤ ﻟ ا ة أ ﺮ ﻤ ﻟ ا ج و ﺰ ﺗ ﻻ : ا ل ﻮ ﺳ ر ل ﺎ ﻗ : ﻰﻨﻄﻗراﺪﻟاو ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور ﺎﮭﺴﻔﻧ جوﺰﺗ ﻰﺘﻟا ﻲھ ﺔﯿﻧاﺰﻟا ن ﺈﻓ ﺎﮭﺴﻔﻧ ةأﺮﻤﻟا .

  Artinya: “Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda tidak boleh

  seorang wanita mengawinkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri karena hanyalah wanita zina yang mengawinkan dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni) Namun bantahan kita pun ditentang oleh mereka yang mengatakan bahwa seorang perempuan meskipun perawan berhak mengawinkan dirinya dengan lelaki pilihannya sendiri tanpa perantaraan wali dengan berdalil pada hadits Nabi yang berbunyi :

  ﺖﻟﺎﻘﻓ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻰﻟا ةﺎﺘﻓ تﺄﺟ ةﺪﯾﺮﺑ ﻮﺑا لﺎﻗ ﻰ ﺑ ا ن ا : :

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻞﻌﺠﻓ ﮫﺘﺴﯿﺴﺧ ﻰﺑ ﻊﻓﺮﯿﻟ ﮫﯿﺧا ﻦﺑا ﻰﻨﺟوز

  

ﺲﯿﻟ نا ءﺎﺴﻨﻟا ﻢﻠﻌﺗ نا تدرا ﻦﻜﻟو ﻰﺑا ﻊﻨﺻﺎﻣ تﺰﺟا ﺪﻗ ﺖﻟﺎﻘﻓ ﺎﮭﯿﻟا ﺮﻣﻻا

: ﺊﯿﺷ ﺮﻣﻻا ﻦﻣ ءﺎﺑﻻا ﻰﻟا

  Artinya: “Abu Buraidah berkata:” Telah datang seorang gadis kepada

  Rasulullah SAW maka dia berkata: “Sesungguhnya ayahku telah mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya agar supaya hilang kehinaannya sebab saya”. Maka Rasulullah SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis tadi. Dia berkata: “Aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapi aku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dari perkara ini.”

  Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, yang masing-masing mempunyai dasar atau dalil, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar di benak kita mengenai pendapat manakah yang sesungguhnya benar dan pendapat manakah yang harus kita gunakan.

  Perbedaan pendapat tersebut tidak seharusnya menjadikan umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus tetap bersatu meskipun berbeda pendapat satu sama lainnya dalam masalah furu’iyah, selama aqidah tetap satu. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron: 103

                        

                

  Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

  janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

  Kita jadikan perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah tersebut sebagai rahmat karena hal itu berarti memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menganut salah satu darinya sesuai dengan keyakinan dan kemantapan hati. Masing-masing mempunyai dasar/landasan yang digali dari sumber hukum Islam itu sendiri. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita mau dan mampu menggali hukum (istinbath hukum) langsung dari sumbernya, tidak hanya taqlid belaka.

  Beranjak dari latar belakang masalah tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi hadits-hadits yang digunakan sebagai landasan atau dasar pendapat yang membolehkan akad nikah tanpa wali meskipun bagi wanita yang masih perawan (bikr). Oleh sebab itu, penulis dalam penelitian ini mengangkat judul: “Telaah Terhadap Hadits-Hadits

  

Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali” (Takhrij Hadits Tentang

Keabsahan Nikah Tanpa Wali).

  B. Rumusan Masalah

  Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, maka selanjutnya akan dirumuskan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan?

  2. Kitab-kitab hadits apa saja yang membicarakan tentang keabsahan nikah tanpa wali?

  3. Bagaimana telaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?

  4. Bagaimana telaah matan hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali adalah sebagai berikut :

  1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yakni UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  2. Mengetahui serta mengkaji kitab-kitab hadits yang memuat hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali.

  3. Mempelajari serta memahami sebab munculnya hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali, kapan dan di manakah hadits tersebut muncul, bagaimanakah situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu sehingga berlaku hukum perkawinan yang sah tanpa wali.

  4. Menelaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali untuk kesimpulannya dapat atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pedoman hukum.

  D. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Pengayaan pemahaman tentang studi sanad hadits 2. Wawasan yang lebih luas kepada umat Islam mengenai matan hadits.

  3. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum munakahat.

  E. Metode Penelitian

  Ibrahim (2005:25-26) menjelaskan bahwa penggunaan metode merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah.

  Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang berlaku agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan terkait karena memiliki nilai ilmiah di bidangnya.

  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

  1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka, menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut Zed (2004:1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya”.

  2. Pendekatan Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini, yaitu : a. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum, dan sejarah munculnya hukum (Soekanto&Mamudji,1995:13-14). Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis menelaah kitab-kitab hadits sebagai sumber hukum Islam yang berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan keabsahan nikah tanpa wali, juga mengenai sejarah munculnya hadits tersebut.

  b. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran (Nazir,1988:55). Dalam hal ini penulis melacak akar sejarah munculnya pendapat tentang keabsahan nikah tanpa wali dengan cara mengumpulkan dan mengakses hadits-hadits terkait dari kitab-kitab hadits yang telah diakui dalam dunia islam dan juga dari CD Maktabah Syamilah.

  3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitan ini terdapat dua macam jenis data, yaitu: a. Data Primer, ialah data yang diperoleh dari kitab-kitab hadits yang memuat masalah keabsahan nikah tanpa wali.

  b. Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tesebut (Soemitro,1990:53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku dan informasi-informasi dari berbagai media mengenai wali nikah, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, dan KHI.

  4. Langkah-Langkah Penelitian Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian

  takhrij hadits ini adalah sebagai berikut :

  1. Menentukan hadits yang digunakan sebagai landasan/dalil tentang keabsahan nikah tanpa wali.

  2. Menelusuri hadits tersebut dengan CD Maktabah Syamilah

  3. Mengecek kembali hadits dalam kitab aslinya, jika keterangan yang ada pada CD Maktabah Syamilah tidak cocok, maka dicari potongan hadits tersebut di dalam kamus hadits Mu’jam Mufahrus li alfadh al- hadits an-Nabawi karya Wensic dan Muhammad Fuad Abdul Baqi.

  4. Petunjuk dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di dalam kitab

  5. Setelah ditemukan hadits yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan sanad.

  6. Meneliti atau menelaah otentitas hadits di dalam kitab Tahdzib al-

  Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttashil (bersambung) ataukah munqa thi’ (terputus).

  7. Menentukan kualitas para perawi hadits berdasarkan telaah sanad.

  8. Menelaah matan hadits dari semua jalur periwayatan yang ada untuk mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan matan hadits.

  9. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadits untuk menentukan bisa atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pegangan hukum.

  10. Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadits tersebut, agar terdapat kepastian hukum mengenai masalah keabsahan nikah tanpa wali.

  5. Analisa Data.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui otentitas atau shahih tidaknya hadits yang digunakan sebagai landasan pendapat yang mengatakan bahwa nikah tanpa wali hukumnya sah baik bagi perempuan janda maupun perempuan yang masih perawan (bikr) dengan cara menelaah sanadnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Peneliti juga menelaah matan hadits dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya. Selain itu penulis juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadits tersebut, untuk mendapatkan kepastian hukum apakah boleh atau tidak pelaksanaan nikah tanpa wali. Adapun prosedur penelitian yang penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian tersebut di atas.

  Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan menggunakan metode analisa takhrij hadits. Sehingga penulis harus menelaah hadits terkait di dalam kitab-kitab hadits yang telah diakui oleh dunia Islam (mu’tabaroh). Penulis juga memaparkan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu wali nikah menurut fiqh dan perundang-undangan seperti UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai landasan dasar hukum Islam di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam khususnya mengenai penerapan hukum perwalian dalam pernikahan hingga menimbulkan masalah yang kontroversial.

F. Penegasan Istilah

  Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya terhindar dari kerancuan atau kesalahan penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan

1. Takhrij hadits

  Kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata kerja kharraja-

  yukharriju-takhrij yang berarti mengeluarkan. Dengan demikian, istilah takhrij hadits berarti mengeluarkan hadits dalam arti menelusuri hadits-

  hadits dalam kitab-kitab hadits yang membicarakan masalah terkait.

  2. Wali Dalam Kamus Arab-Indonesia kata wali merupakan bentuk mufrad

  (kata tunggal) dari kata jama’ auliya’ yang berarti: yang kasih, kawan, sahabat, yang menolong, yang berbuat kebaikan (Yunus,1990:507).

  Dengan demikian istilah wali nikah diberikan pada orang yang berbuat kebaikan karena mau mengasihi dan menolong seseorang, yakni menikahkannya. Selain itu, istilah wali nikah lazimnya diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan. Pengartian semacam itu tidak sesuai dengan arti kata sebenarnya.

G. Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika dimaksud adalah sebagai berikut :

  Bab I pendahuluan, meliputi uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,manfaat atau kegunaan penelitian, metode

  Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis yang meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

  Bab III pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari penelitian hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Bab ini berisi tentang rangkaian sanad dan tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, serta kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga ini.

  Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al-wurud, kandungan hukum, dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab keempat.

  Bab V penutup, merupakan bagian terakhir penulisan skripsi ini. Pada

  bab ini akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian takhrij hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali, serta berisi rekomendasi penilis terhadap seluruh civitas dan akademika lembaga kampus STAIN Salatiga, khususnya rekomendasi terhadap program studi Al-Ahwal Al- Syakhshiyyah (AS).

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian kajian pustaka ini, penulis akan membahas tentang penelitian

  

takhrij hadits dan ilmu-ilmu pendukungnya, serta membahas pula mengenai

masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

A. Studi Takhrij Hadits

  Jumhur ulama’ ahli hadis mengklasifikasikan hadis menjadi tiga kategori, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian hadis menjadi tiga macam ini dikarenakan pada dasarnya hadis itu adakalanya maqbul (diterima) dan adakalanya mardud (ditolak). Hadis yang maqbul ada kalanya diterima karena memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna, dan ada kalanya diterima karena memenuhi syarat tetapi kurang sempurna. Hadis

  maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima secara sempurna disebut hadis

  shahih, hadis maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima tetapi kurang sempurna disebut hadis hasan, sedangkan hadis mardud (ditolak) adalah hadis dha’if (Al-Maliki, 2006:50).

  Untuk dapat menilai dan menentukan sebuah hadis kategori shahih, hasan, atau dha’if, seseorang harus memiliki kemampuan di dalam ilmu hadis (ulum al-hadits). Dengan demikian, seseorang yang akan meneliti sebuah hadis hendaknya mengerti, memahami, dan menguasai ilmu yang berkaitan dengan penelitian hadis tersebut, untuk menilai dan menentukan kualitas hadis

  Ulama’ mutaakhirin membagi ilmu hadis menjadi dua bagian, yaitu ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya (Suparta, 2002:24). Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah bagaimana cara menerima hadis, menyampaikannya kepada orang lain, dan memindahkan atau membukukannya. Adapun fungsi atau menfaat mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi SAW.

  Sedangkan yang dimaksud ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam- macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi. Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut ilmu ushul al-hadits. Obyek pembahasan ilmu hadis dirayah adalah keadaan para perawi dan keadaan marwinya (yang diriwayatkan).

  Adapun manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu Hadis Dirayah di antaranya; (a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa; (b) dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha mereka dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis; (c) mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama’ dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut,dan; (d) mengetahui istilah-istilah, nilai- nilai, dan kriteria-kriteria hadis (Suparta,2002:27).

  Dengan melihat uraian ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, tergambarlah adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadis tentu ada kaidah- kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perkembangan ilmu Hadis Riwayah, ilmu Hadis Dirayah juga berkembang menuju kesempurnaanya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin ilmu Hadis Riwayah berdiri sendiri tanpa ilmu Hadis Dirayah, begitu pula sebaliknya.

  Dari ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, pada perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadis lainnya, seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh ar-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud al hadits, dan ilmu

  mukhtalif al-hadits .

  Selanjutnya penulis akan membahas cabang-cabang ilmu hadis tersebut dalam kajian sanad dan matan hadis yang keduanya merupakan unsur pokok dari hadis itu sendiri.

  1. Studi Sanad Kata Sanad berasal dari bahasa arab yang berarti sandaran atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian karena hadits bersandar kepada sanad. Secara istilah sanad berarti silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits yang menyampaikannya kepada matan hadits

  Mempelajari sanad sangat penting utuk menentukan kualitas hadits memenuhi kriteria hadits shahih, yaitu bersambung sanadnya, dan diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad.

  Jika sanadnya tidak bersambung atau ada salah satu perawi yang tidak adil dan dhabit maka suatu hadis tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.

  Dalam studi sanad ini, ilmu yang dibutuhkan adalah Ilmu Rijal Al

  

Hadits. Ilmu Rijal Al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi

  hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis. Dalam perkembangannya, ilmu ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, ilmu al-jarh wa al-ta’dil dan

  ilmu tarikh ar- ruwat.

  a. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu untuk mengetahui kapasitas para perawi adil atau tidakkah, dhabit atau tidakkah, dan cacat atau tidakkah dalam penilaian para ulama ahli hadis.

  As-Shiddiqy (1993:358) mendefinisikan al-jarh wa al-ta’dil sebagai berikut:

  ىواﺮﻟا ﮫﺑ بﺎﻌﯾ ﺎﻣ ﺮﻛذ ﻮھ حﺮﺠﻟا

  Artinya : “Al-jarh ialah menyebutkan sesuatu yang dengan karenanya

  perawi tercatat (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat)”.

  

راﺪﻣ ﻰھ ﻰﺘﻟا ﮫﺘﻟاﺪﻋ ﺐﺣﻮﺗ تﺎﻔﺼﺑ ىواﺮﻟا ﻒﺻو ﻮھ ﻞﯾﺪﻌﺘﻟا

ﮫﺘﯾاوﺮﻟ لﻮﺒﻘﻟا

  Artinya : “At-ta’dil ialah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang

  ﺔ ﻘ ﺛ ﺔ ﻘ ﺛ ن ﻼ ﻓ

  ﷲ ا ء ﺎ ﺷ ن إ ق و ﺪ ﺻ ن ﻼ ﻓ

  5.

  ( poaln jujur, polan tidak mengapa )

  ﮫﺑ سﺄﺑ ﻻ وأ قوﺪﺻ نﻼﻓ

  ( polan bisa dipercaya atau polan hujjah ) 4.

  ﺔ ﺠ ﺣ و أ ﺔ ﻘ ﺛ ن ﻼ ﻓ

  ( polan bisa dipercaya, bisa dipercaya ) 3.

  ( polan orang paling terpercaya ) 2.

  dengan karenanya orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya” .

  س ﺎ ﻨ ﻟ ا ﻖ ﺛ و ا ن ﻼ ﻓ

  Menurut Zuhri (1997:124), ungkapan atau lafadz yang biasa digunakan untu menilai adil (ta’dil) terhadap perawi sesuai tingkatannya adalah sebagai berikut : 1.

  yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu” .

  Artinya: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi

  ﺔ ﺻ ﻮ ﺼ ﺨ ﻣ ظ ﺎ ﻔ ﻟ ﺄ ﺑ

  al-ta’dil dapat dirumuskan sebagai berikut: ﻋ

ﻢﮭﯿﻛﺰﯾ وا ﻢﮭﯿﻨﺜﯾ ﺎﻤﻣ ﻢﮭﻧﺄﺷ ﻰﻓ درو ﺎﻣ ﺚﯿﺣ ﻦﻣ ةاوﺮﻟا ﻦﻋ ﺚﺤﺒﯾ ﻢﻠ

  Menurut definisi para ulama’ ahli hadis ilmu Ilmu al-jarh wa

  ( polan insya Allah jujur ) Sedangkan kata yang biasa digunakan untuk mencela, mencacat, atau men-jarh perawi, menurut Zuhri (1997:125) adalah sebagai berikut :

  1. ( polan orang paling dusta )

  س ﺎ ﻨ ﻟ ا ب ﺬ ﻛ أ ن ﻼ ﻓ

  2. ( polan tertuduh dusta )

  بﺬﻜﻟﺎﺑ ﻢﮭﺘﻣ نﻼﻓ

  3. اﺪﺟ ﻒﯿﻌﺿ نﻼﻓ ( polan sangat lemah periwayatannya ) 4. ( poaln lemah periwayatannya)

  ﻒﯿﻌﺿ نﻼﻓ

  5. ﺔﺠﺤﺑ ﺲﯿﻟ نﻼﻓ ( polan bukan hujjah ) Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini sangat penting untuk menetapkan atau memutuskan suatu hadis diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).

  Apabila seorang perawi dipuji, maka hadis yang diriwayatkannya dapat diterima dan jika seorang perawi dicela atau dicacat maka hadis yang diriwayatkannya harus ditolak.

  Kita bisa menelusuri kecacatan perawi dengan mengetahui perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya. Biasanya kecacatan itu dikategorikan dalam lingkup perbuatan semisal: bid’ah yakni melakukan tindakan di luar ketentuan syari’ah, mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis,

  

jahalat al-hal , yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan

  lengkap; dan da’wat al inqitha’ yakni diduga penyandaran atau b. Ilmu Tarikh Al-Ruwat Ilmu tarikh al-ruwat adalah ilmu untuk mengetahui biodata atau identitas para perawi yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadis. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui identitas diri para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa atau waktu mereka menerima hadits dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, dan lain sebagainya. Ilmu ini memfokuskan pembahasan dari sudut sejarah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.

  Para ulama’ muhadditsin menggabungkan ilmu thabaqot al-

  

ruwat ke dalam bagian dari ilmu tarikh al-ruwat. Thabaqah adalah

  suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan isnadnya, yakni penerimaan hadis dari para gurunya.

  Para perawi hadis berdasarkan thabaqahnya dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu para sahabat Nabi merupakan thabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al- tabi’in thabaqah ketiga, atba’ atba’ al tabi’in thabaqah keempat, atba’ atba’ atba’ al

  

tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini merupakan thabaqah

  para rawi sampai akhir masa periwayatan (Nuruddin, 1994:130) Ilmu tarikh al-ruwat merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui identitas para perawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan perawi yang ingin memalsukan hadis.

  Ufair ibn Ma’dan Al-Killa’iy bercerita: “Umar ibn Musa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid dan seraya ia berkata: ‘telah bercerita kepada kami guru kamu yang salih’ ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya, ‘siapa yang kamu maksud guru kami yang salih iu? Sebutlah namanya agar kami mengetahuinya!’ jawabnya: ‘yaitu Khalid ibn Ma’dan’, kemudian bertanya lagi ‘tahun berapa kamu bertemu dia?’ jawabnya ‘aku bertemu tahun 108 H’ ‘dimana kamu bertemu?’ tanyaku lagi. ‘aku bertemu dia pada waktu perang Armenia’ jawabnya. Aku membentak : takutlah kepada allah hai saudara, jangan engaku berdusta! Bukankah Khalid ibn Ma’dan itu wafat tahun 104 H? sedangkan kamu mengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahun setelah ia wafat dan dia juga tidak pernah mengikuti perang Armenia sama sekali, dia hanya ikut perang Romawi saja” Dengan demikian mengetahui tanggal lahir dan wafat para perawi adalah hal yang sangat penting untuk menolak pengakuan seorang perawi yang mengaku pernah bertemu dengannya.

  2. Studi Matan Matan hadis ialah materi atau lafadz hadis itu sendiri. Menurut

  Suparta (2002:47) yang dikutip dari bukunya Ajjaj Al-Khathib, definisi matan adalah:

  ﮫﯿﻧﺎﻌﻣ ﺎﮭﺑ مﻮﻘﺘﺗ ﻰﺘﻟا ﺚﯾﺪﺤﻟا ظﺎﻔﻟا

  Artinya: “Lafadz-lafadz hadis yang di dalamnya mengandung makna- makna tertentu”.

  Adapun tolak ukur dalam penelitian atau studi matan yang telah dikemukakan oleh ulama’ muhadditsin tidak seragam. Menurut Al- Khathib Al-Baghdadi bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai hujjah) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan nash al quran yang telah muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu (ulama’ salaf). Sedangkan menurut Shalah Al-Din Al-Dlabi bahwa kriteria matan hadis yang shahih adalah (1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis yang berkualitas lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat; (4) susunan pernyataannya menunjukkan sabda Nabi (Ismail, 1995:79).

  Dalam studi matan, ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang peneliti adalah ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu asbab al-wurud, ilmu gharib al-

  

hadits , ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu at-tashif wa at-tahrif dan ilmu

mukhtalif al-hadits . Dari beberapa ilmu di atas dapat dijelaskan sebagai

  berikut:

  a. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits Suparta (2002:36) mendeviniskan ilmu ‘ilal al-hadits sebagai berikut:

  Ilmu ‘ilal al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab- sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttasil pada hadits yang muqoti’, menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan sebuah hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang serupa dengan itu. Dasar penetapan ‘illat pada sebuah hadits adalah hafalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup dari para perawinya. b. Ilmu Asbab Al-Wurud Ilmu asbab al-wurud adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu (Suparta, 2002:39).

  Urgensi asbab al-wurud terhadap hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis itu sendiri. Dengan demikian, kandungan hukum suatu hadis dalam penetapan hukumnya haruslah tepat dan sesuai dengan ‘illat atau sebab hukum tersebut.

  Dengan memahami asbab al-wurud, dapat dengan mudah memahami isi kandungan sebuah hadis. Namun demikian, tidak semua hadis memiliki asbab al-wurud seperti halnya ayat-ayat al-Qur’an tidak semuanya mempunyai asbab nuzulnya.

  c. Ilmu Gharib Al-Hadits Ilmu gharib al-hadits ialah ilmu yang mempelajari ungkapan lafadz-lafadz yang sulit dan rumit yang terdapat dalam matan hadis karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan.

  Memahami makna kosa kata (mufrodat) matan hadis merupakan hal yang penting karena matan hadis itu sendiri merupakan materi atau isi yang terkandung dalam sebuah hadis. Kita tidak akan bisa mengerti isi kandungan sebuah hadis tanpa mengerti arti kosa kata yang terdapat dalam matan hadis tersebut, terlebih lagi mengenai kosa kata yang gharib (jarang digunakan). Oleh sebab itu, ilmu ini sangat d. Ilmu An-Nasikh Wa Al-Mansukh Adapun yang dimaksud ilmu nasikh wa al-mansukh dalam hadis ialah ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang berlawanan tersebut pada akhirnya saling menghapuskan, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dan datang kemudian disebut nasikh.

  Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini, bisa melalui beberapa cara:

  1. Dengan mempelajari sejarah munculnya hadis atau asbab al-

  wurudnya

  2. Dengan penjelasan nash atau syari’ sendiri, dalam hal ini Rasulullah S.A.W 3. Dengan penjelasan dari para sahabat.