Harai Kiyome di Kuil Takekoma

  

HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA

TAKEKOMA JINJA DE NO HARAI-KIYOME

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya

  

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

M. BRAWIJAYA

  

NIM: 140708100

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

  

2019

  

HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA

TAKEKOMA JINJA DE NO HARAI-KIYOME

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya

  

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

M. BRAWIJAYA

  

NIM: 140708100

Pembimbing

Drs. Amin Sihombing.M.Si

NIP. 19600403 199103 1 001

  

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

  Disetujui Oleh : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Medan, 09 April 2019 Program Studi Sastra Jepang Ketua, Prof.Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D NIP. 19580704 1984 12 1 001

  PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu

Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Pada : Pukul 13.00 WIB Tanggal : 09 April 2019 Hari : Selasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan, Dr. Budi Agustono, M.S Nip. 19600805 198703 1 001 Panitia Ujian : No. Nama Tanda Tangan

  1. Drs. Amin Sihombing, M.Si (...........................)

  2. Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D (...........................)

  3. Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum (...........................)

  KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Usaha yang diiringi dengan doa merupakan dua hal yang membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

  Penulisan skripsi yang berjudul “HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

  1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D., selaku ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  3. Bapak Drs. Amin Sihombing.,M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus Dosen Penasehat Akademik, yang telah ikhlas memberikan dorongan dan meluangkan banyak waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

  4. Bapak Alimansyar, SS,M.A.,Ph.D selaku dosen Bahasa Jepang yang bersedia membimbing, meluangkan waktu, pikiran serta memberikan sumber-sumber data untuk penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

  5. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

  6. Para dosen pengajar beserta staf pegawai di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya pada program studi Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini.

  7. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat penulis cintai. Ayah saya Alm. Edi Mukthar dan Mamak saya Risdiana Pohan, atas kasih sayang, kesabaran, dan tidak pernah lelah mendidik dan memberikan cinta yang tulus ikhlas kepada penulis sejak kecil sampai sekarang. Tanpa kedua orang tua penulis, penulis tidak akan mampu menjadi seperti sekarang ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka. Juga terima kasih kepada kakak Mega, kakak Dela dan adik saya Muhamad Yasin yang selalu menghibur dan memberi semangat dikala saya merasa jenuh.

  8. Kepada teman-teman terdekat saya Amaiko (Mona, Cici, Intan, Watik, Putra, Nidia, Arya, Pangestu, Mukhbit, Cesar), Dimas, GH Squad, Pajus Aotake, Fandy, Randu, Amry, Dewinta, Acid, Zura, Selvi, Ditha, Prilka, Rizky Cabe, Fauzan, Ibeb, Aristo, Rajab, Irul, Lord dan Dede yang selalu mewarnai hari-hari dan menjadi penyemangat juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Dan tak lupa teman-teman seperjuangan stambuk 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-persatu. Terima kasih untuk 4 tahun lebih ini.

  9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para mahasiswa Sastra Jepang.

  Medan, 09 April 2019 Penulis, M. Brawijaya Nim: 140708100

  DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...........................................................................................i DAFTAR ISI.........................................................................................................iv

  BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

  1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1

  1.2 Rumusan Masalah..................................................................................6

  1.3 Ruang Lingkup Masalah........................................................................8

  1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...................................................8

  1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................12

  1.6 Metode Penelitian..................................................................................13

  BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HARAI-KIYOME DAN KUIL TAKEKOMA................................................................................15

  2.1 Harai-Kiyome.........................................................................................15

  2.1.1 Defenisi Harai-Kiyome..............................................................15

  2.1.2 Sejarah Harai-Kiyome...............................................................16

  2.1.3 Jenis-Jenis Harai-Kiyome..........................................................18

  2.1.4 Peralatan yang digunakan..........................................................20

  2.2 Kuil Takekoma.......................................................................................23

  2.3 Pandangan Tentang Kekotoran..............................................................26

  2.3.1 Kegare.......................................................................................26

  2.3.2 Tsumi........................................................................................34

  BAB III PELAKSANAAN DAN FUNGSI HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA...............................................................................37

  3.1 Pelaksanaan Harai-Kiyome....................................................................37

  3.1.1 Pelaksanaan Harai......................................................................37

  3.1.2 Pelaksanaan Kiyome..................................................................44

  3.2 Fungsi Harai-Kiyome.............................................................................48

  BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................52

  4.1 Kesimpulan............................................................................................52

  4.2 Saran......................................................................................................53 DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK LAMPIRAN

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang Masalah

  Harae atau harai adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara

  penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau ( 祓う atau

  払 う ) yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada 3 metode dasar dari harae, yaitu Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral

  sakaki (

  榊 ) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi atau lebih dikenal dengan Shubatsu. Yang kedua disebut misogi ( 禊 ). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi (

  忌 み ). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

  Sedangkan Kiyome berasal dari kata kerja kiyomeru ( 清める atau 浄める ) yang artinya sama yaitu membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat.

  

Kiyome merupakan sebutan untuk penyucian yang menggunakan air untuk menyucikan diri yang dilakukan oleh penganut shinto maupun pendeta Shinto sebelum melaksanakan suatu ritual upacara keagaman atau festival, seperti melakukan misogi (menyiramkan air keseluruh tubuh/mandi), kessai (menjauhkan diri dari kekotoran yang dilakukan oleh pendeta sebelum melaksanakan ritual dan festival) dan temizu (mencuci tangan dan mulut di kuil). Harai-kiyome adalah istilah untuk penyucian diri yang dilakukan oleh penganut agama Shinto baik pendeta kuil maupun masyarakat di Jepang.

  Dalam ajaran Shinto, penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting, karena dapat menghilangkan semua kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa), maka kesucian jasmani dan rohani dapat dipulihkan kembali. Harai-kiyome dilakukan ketika mengunjungi kuil. Masyarakat percaya bahwa dengan menjadi suci sesuai dengan ajaran agama yang mereka yakini.

  Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatan. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau hal-hal yang berkaitan dengan gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (Sacred things). Yaitu hal-hal yang terpisah dan terlarang (E.Durkheim 1912 :44 ).

  Menurut Ono Sokyo dalam (Alimansyar 2017 : 2 ) Shinto bukan sekedar keyakinan beragama, tetapi gabungan dari sikap, pola pikir, dan metode melakukan sesuatu yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu dan sudah menjadi bagian dari cara hidup orang Jepang. Oleh karena itu, Shinto adalah kepercayaan pribadi terhadap Dewa (dewa), dan cara hidup bermasyarakat yang sesuai dengan kehendak Dewa. hal tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaruh etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar, menyatu dan negara mencapai satu kesatuan dibawah keluarga Kekaisaran.

  Shinto berkembang seiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang. Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah Mengenai Para Dewa”.

  Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari Kojiki (712 M) dan Nihongi atau Nihon Shoki (720M). Kedua buku ini dianggap sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak Dewa, termasuk Amaterasu Omi Dewa (dewa matahari). Selain Kojiki dan Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui (807M); antropologi puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton, yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki ( 延喜式) atau prosedur-prosedur dari era Engi (Danandjaja, 1997 : 70-71).

  James Danandjaja (1997 : 72-73) juga menjelaskan mite Jepang yang dikisahkan di dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi tiga siklus, salah satunya disini yaitu siklus Takamagahara. Diceritakan dalam siklus ini bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, sehingga harus pindah ke Yomi no Kuni (dunia orang mati).

  Izanagi kemudian menyusul Izanami ke Yomi no Kuni dan berharap agar Izanami mau kembali ke dunia orang hidup. Tetapi, disana Izanagi mendapatkan jenazah istrinya yang sudah penuh ulat. Melihat hal tersebut, Izanagi kemudian lari, dan kembali ke dunia orang hidup. Istrinya merasa dipermalukan akibat tindakan sumainya tersebut, lalu bersumpah bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup. Sang suami juga bereaksi dan menjawab dengan mengatakan bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi.

  Karena merasa dirinya kotor dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi kemudian menyucikan dirinya dengan cara misogi (mandi) di Awagihara, prefektur Miyazaki saat ini. Melalui ritual misogi tersebut, lahirlah beberapa dewa penting di antaranya adalah Amaterasu Omi Dewa yang diyakini sebagai nenek moyang kaisar, dan dewa sentral ajaran Shinto.

  Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci. Kesucian bisa dilakukan dengan cara melakukan kegiatan ibadah ke kuil.

  Kegiatan ibadah penganut kepercayaan Shinto dilakukan di kuil yang disebut jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa. Sepanjang tahun kuil dikunjungi oleh para penganut kepercayaan Shinto pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan kalender Shinto.

  Setiap pengunjung yang datang ke kuil awalnya harus bersuci dengan cara membasuh tangan dan mulutnya terlebih dahulu di tempat yang sudah disediakan bernama temizusha (tempat bersuci) sebelum berdoa. Tujuannya adalah menyucikan jasmani dan rohani sebelum berdoa kepada Dewa (dewa). Setelah melakukan temizu untuk menjadi lebih suci dan dapat mendekatkan diri kepada dewa maka bisa dilakukan dengan penyucian diri seperti mandi (misogi).

  Salah satu kuil Shinto yang ada di Jepang adalah Kuil Takekoma yang terletak di kota Iwanuwa prefektur Miyagi. Dari kota Sendai, Ibukota prefektur Miyagi perjalanan menuju Kuil Takekoma dapat ditempuh menggunakan kereta listrik dan memakan waktu sekitar 30 menit. Berbeda dengan kuil pada umumnya yang terletak di atas perbukitan, Kuil Takekoma terletak di daerah datar sama dengan lokasi tempat tinggal masyarakat biasa.

  Kuil Takekoma termasuk Inari-kuil terbesar ke-3 di Jepang setalah Fushimi-inari-kuil di Prefektur Kyoto, Kasama-inari-kuil di Prefektur Ibaraki.

  Inari-kuil adalah kuil yang mengabdikan Dewa pertanian. Tugas Dewa pertanian adalah menjaga tanaman tumbuh subur sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Jumlah Inari-kuil di Jepang sekitar 2924 buah, menempati urutan ke-4 setelah Hachiman, Ise, dan Tenjin.

  Kuil Takekoma dibangun pada tahun 842 pada masa pemerintahan kaisar ke 54 Ninmyo (810-850). Dewa yang diabadikan di Kuil Takekoma berjumlah tiga yaitu : 1) Ukano-mitama 2) Ukemochi, 3) Wakumusuhi.( Alimansyar 2017 : 68 ).

  Di kuil Takekoma sebelum melakukan ritual penyucian kepada para peserta yang ingin melakukan penyucian diri maka para pendeta akan melakukan ritual menyucikan diri terlebih dahulu seperti kessai (berpuasa), misogi (mandi).

  Selain dari ritual bersuci (kiyome), harai, kessai, dan Misogi yang dilakukan secara individu seperti tersebut di atas, masih terdapat ritual bersuci lainnya yang dilaksanakan secara berjamaah dua kali dalam setahun yaitu pada akhir Juni dan akhir Desember. Ritual bersuci pada akhir Juni disebut dengan

  

Nagoshi Oharai, sedangkan ritual bersuci pada akhir Desember disebut

Toshikoshi Oharai. Nagoshi Oharai dan Toshikoshi Oharai bertujuan untuk

  menyucikan segala kekotoran (kegare) yang melekat pada setiap orang setiap enam bulan.

  Fenomena bersuci seperti ini tidak hanya terlihat dilakukan oleh pengunjung saja, tetapi juga dilakukan oleh para pendeta di kuil yang bekerja sebagai penghubung antara pengunjung dengan dewa. Menurut Alimansyar (2017), para pendeta Shinto di Kuil Takekoma juga melakukan ritual penyucian diri yang disebut dengan harai, kessai dan misogi.

  Berdasarkan gambaran diatas, dapat diketahui bahwa penyucian diri sangat penting dalam ajaran Shinto. Untuk mengetahui secara rinci masing-masing ritual yang dilakukan baik secara individu dan berjamaah tersebut,penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengangkatnya menjadi tema skripsi dengan judul “Harai-Kiyome di Kuil Takekoma”.

  1.2 Rumusan Masalah Bangsa Jepang sebagian besar penduduknya menganut agama Shinto.

  Shinto adalah agama politheisme yang mempercayai lebih dari satu dewa.Prinsip dari agama Politheisme adalah segala hal yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan manusia dapat dianggap sebagai Dewa. Contohnya, yang berhubungan dengan alam, Dewa Hujan, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Halilintar adalah dewa alam yang mereka yakini. Dengan demikian setiap objek dibatasi pada objek-objek yang memiliki pengaruh besar dan hubungan yang erat dalam kehidupan manusia.

  Kusunoki Masahiro (dalam Situmorang, 2005 : 28) mengatakan konsep kepercayaan mereka, Tuhan atau dewa bersifat Functional God. Bersifat fungsional dalam hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian,kotor, dan darah.

  Dalam Shinto, kebersihan fisik dan kesucian batin dihargai sebagai fondasi yang penting. Polusi, yang memiliki makna tubuh yang kotor seperti halnya sifat iblis dianggap sangat menjijikan. Itulah alasannya mengapa upacara penyucian dilaksanakan.

  Masyarakat Jepang memandang penting melaksanakan penyucian di sepanjang hidupnya. Penyucian berarti tidak hanya membersihkan tubuh seseorang tetapi juga merupakan langkah yang baik yang diambil seseorang. Awalnya bermula dari membersihkan fisik atau bagian luar kemudian berlanjut dengan membersihkan mental yang berarti kesucian batin.

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

  1. Bagaimana Pelaksanaan Harai-Kiyome di kuil Takekoma ?

  2. Bagaimana Fungsi Harai-Kiyome bagi penganut ajaran Shinto di kuil Takekoma ?

  1.3 Ruang Lingkup Masalah Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian diperlukan agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca dalam memahami pokok permasalahan yang dibahas.

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penelitian yang difokuskan pada pelaksanaan ritual Harai-kiyome, Sejarah singkat kuil Takekoma, pandangan kekotoran dalam Shinto, alat-alat yang digunakan dalam ritual harai-kiyome, pelaksanaan ritual dan fungsi harai-kiyome di kuil Takekoma.

  1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

  1.4.1 Tinjauan Pustaka Menganalisa kebudayaan pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui dulu “unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal)”. Unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dengan suatu jaringan hubungan yang luas disebut kebudayaan universal.

  Menurut C. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat,1990 : 203-204), unsur- unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan dunia ada tujuh unsur universal, yaitu: bahasa, sistem teknologi, mata pencaharianhidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Harae merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi masyarakat Jepang.

  Pengertian akan kesucian dan kekotoran (kegare) serta cara melaksanakan upacara penyucian (Harae/Misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh (Aoki, 1994 : 204). Upacara tradisional di kuil Shinto (Kuil) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbolis akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan Dewa. Sumber internet http://www.unification.net menyatakan kata bijak milik Dewa Hachiman:

  “Though I had nothing to eat but a red-hot ball of iron, I will never accept the most savory food offered by a person with an impure mind.

  Though I were sitting upon a blazing fire hot enough to melt copper, I will never go to visit the place of a person with a polluted mind”.

  Terjemahannya:

  “Meskipun saya tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali bola api

yang panas, saya tidak akan menerima makanan yang paling lezat yang

ditawarkan oleh seseorang yang pikirannya tidak murni / kotor.Meskipun saya

duduk diatas api berkobar yang cukup untuk melelehkan tembaga, saya tidak

akan pernah pergi ke tempat seseorang yang pikirannya kotor”.

  Dari pernyataan diatas dianalogikan bahwa tidak hanya kebersihan fisik tapi juga menekankan pikiran yang bersih pada waktu berkomunikasi / menyembah Dewa. Pelaksanaan harae sendiri tidak terlepas dari pemahaman yang benar masyarakat Jepang penganut Shinto tentang kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa). Kegare atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181).

  Dalam buku Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (Situmorang, 2005 : 37) menyatakan bahwa:“Dalam pandangan tradisional Jepang, pada umumnya mengenal dua macam kegare (kekotoran) yaitu akufuju (darah) dan kurofuju (kematian). Tetapi menurut Ikegami, di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafujo (haid), dan kurofuju (kematian) (Ikegami 1959:75). Menurut Sasaki (1998:168), dalam kepercayaan tradisional Jepang yang kotor adalah mayat, kelahiran, dan pendarahan”.

  Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan:“Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.

  Kebanyakan dewa (dewa) memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah.Para dewa tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

  1.4.2 Kerangka Teori Kerangka teori menurut Koentjaraningrat dalam Siregar (2017:10) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak kedalam bentuk yang nyata. Dalam mengerjakan penelitian ini, pendekatan yang digunakan oleh penulis menggunakan pendekatan religi dan fungsional.

  Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 127) yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

  Selain itu penulis menggunakan pendekatan fungsional. Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:59) pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat.

  Menurut Malinowsk kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :

  1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.

  2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.

  3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.

  4. Esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia.

  Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.

  1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.5.1 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1), Untuk mendeskripsikan Pelaksanaan Harae-kiyome di Kuil Takekoma 2). Untuk mendeskripsikan Fungsi Harae-kiyome di Kuil Takekoma

  1.5.2 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1). Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai metode-metode Harae-kiyome di kuil Takekoma 2). Untuk menambah wawasan mengenai fungsi Harae-kiyome di kuil Takekoma 3). Bagi peneliti dan pembaca diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bila meneliti masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

  1.6 Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode

  Deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

  Untuk mendapatkan data tertulis, penulis menggunakan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan (Library Research), yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain, yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku atau reverensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HARAI-KIYOME DAN KUIL TAKEKOMA

2.1 HARAI-KIYOME

  2.1.1 Definisi Harai-Kiyome Dilihat dari kamus kanji modern harai (

  祓) memiliki arti menyucikan atau mengusir setan atau roh jahat. Harae atau harai ( 祓 atau 祓 い) adalah istilah umum untuk ritual penyucian di Shinto. Harae adalah salah satu dari empat elemen penting yang terlibat dalam upacara Shinto. Tujuannya adalah menghilangkan atau membersihkan dosa (tsumi) dan kekotoran (kegare). Ini juga termasuk untuk menghilangkan nasib buruk dan penyakit. Harae sering digambarkan sebagai penyucian, tetapi juga dikenal sebagai pengusiran setan sebelum dilakukan penyembahan. Dalam ritual harae umumnya tidak membutuhkan air sebagai alat penyuciannya. Harae yang sering dilakukan di awal sebelum melakukan festival atau ritual keagamaan dalam Shinto adalah

  

Shubatsu. Sedangkan ritual harae yang paling besar yang dilakukan setahun 2 kali

yang dikenal dengan ritual Nagoshi oharai dan Toshikoshi Oharai.

  Sama halnya dengan kiyome (bersuci) yang merupakan bagian dari penyucian shinto yang juga datang dari kata kerja ( 清め atau 浄め ) dalam Kamus

  Kanji Modern Jepang Indonesia juga memiliki arti memurnikan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Secara Etimologi Kiyome ( 清め atau 浄め) dilihat dari bentuk kanjinya bushu sanzui (

  氵) yang memiliki makna air jika digabungkan dengan karakter lain, maka makna yang dihasilkan selalu berkaitan dengan air dan semua yang menyangkut sifat dan keadaan air, misalnya hanyut, aliran, larutan, menguap, bermuara dan sebagainya. Oleh karena itu dalam ritual penyucian Shinto, penyucian diri yang menggunakan air seperti misogi, kessai dan temizu lebih dikenal dengan sebutan kiyome. Harai-kiyome merupakan penggabungan dan bermakna penyucian.

  2.1.2 Sejarah Harai-Kiyome Pada zaman dahulu, harae berarti menghilangkan kegare (kekotoran) dan

  

tsumi (dosa) dengan mempersembahkan sesuatu kepada dewa. Pada saat itu,

  mempersembahkan sesuatu dipandang sebagai sebuah hukuman untuk menebus kejahatan dan kelakuan buruk seseorang. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi penghukuman dalam harae menghilang dan saat ini harae hanya merupakan ritual penyucian (Ishikawa, 1986: 110).

  Pada zaman Heian oharae dilaksanakan untuk mendoakan kemakmuran keluarga kaisar, dan meredam meluasnya wabah penyakit menular, pertikaian dan malapetaka. Pada awalnya, oharae dilaksanakan setiap kali terjadi malapetaka, tetapi sejak terbentuknya sistem pemerintahan ritsuryo, maka ritual ini menjadi agenda pemerintah, dan akhirnya dilaksanakan 2 kali dalam 1 tahun. (Alimansyar 2017 : 120 ).

  Oharae adalah salah satu ritual keagamaan yang dilaksanakan pada zaman

  kuno dan zaman pertengahan. Tujuan dilaksanakan oharae adalah agar terhindar dari bencana atau malapetaka dengan cara membersihkan diri dari kekotoran

  (kegare) dan dosa (tsumi) yang tanpa sadar diperbuat (Namiki, 1994:225).

  Segala bentuk ketidaksucian (kegare) dan dosa (tsumi) dapat dibersihkan dengan melakukan penyucian. Dalam Shinto, penyucian diri dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menggunakan air, garam,api, pasir atau sake. Penyucian diri yang dilakukan dengan menggunakan air disebut juga misogi Dalam Kojiki dikisahkan bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, sehingga harus pindah ke Yomi no Kuni (dunia orang mati).

  Izanagi kemudian menyusul Izanami ke Yomi no Kuni dan berharap agar Izanami mau kembali ke dunia orang hidup. Tetapi, disana Izanagi mendapatkan jenazah istrinya yang sudah penuh ulat. Melihat hal tersebut, Izanagi kemudian lari, dan kembali ke dunia orang hidup. Istrinya merasa dipermalukan akibat tindakan suaminya tersebut, lalu bersumpah bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup. Sang suami juga bereaksi dan menjawab dengan mengatakan bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi.

  Karena merasa dirinya kotor dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi kemudian menyucikan dirinya dengan cara misogi (mandi) di Awagihara, prefektur Miyazaki saat ini. Melalui ritual misogi tersebut, lahirlah beberapa dewa penting di antaranya adalah Amaterasu Omi Dewa yang diyakini sebagai nenek moyang kaisar, dan dewa sentral ajaran Shinto. Misogi yang dilakukan pertama kali ini menjadi cikal bakal orang jepang melakukan misogi.

  Ishikawa (1986: 110-111) mengemukakan bahwa pada zaman dahulu,

  

misogi merupakan sebuah pemikiran yang memiliki arti yang berbeda tergantung

  pada kepercayaan bahwa kekuatan spiritual dewa air dapat meremajakan kembali seseorang. Pada masa tersebut, misogi hanya dilakukan di tempat-tempat tertentuyang dianggap suci bagi dewa air, seperti pantai, dekat mulut sungai tertentu, atau di pinggir danau. Jika komunitas masyarakatnya berada dipegunungan, misogi dilakukan di dekat cabang sungai besar. Saat ini, upacara peremajaan ini berkembang menjadi sebuah ritual penyucian dengan menggunakan air yang dilakukan sebelum menyambut kedatangan dewa ke tengah-tengah mereka.

  Membersihan diri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan ritual keagamaan. Masyarakat Jepang melakukan penyucian diri dari segala jenis kotoran. Ini berdasarkan kepercayaan yang mereka yakini, bahwa Dewa tidak mau menghampiri jiwa yang kotor. (Abdullah, 1987:133)

  2.1.3 Jenis-Jenis Harai-Kiyome

A. Harai

  1. Shubatsu, yaitu ritual penyucian yang dilakukan oleh pendeta agama Shinto sebelum memulai upacara besar. sebelum memulai ritual shubatsu, pendeta Shinto harus menyucikan diri sebelum hari pelaksanaan festival skala besar dan menengah, atau pada hari yang sama dengan pelaksanaan festival skala kecil. Selama waktu penyucian diri, mereka harus membersihkan tubuh mereka dengan air, memakai pakaian bersih, tinggal di ruangan khusus, menahan diri dari makan dan minum, berfikir, berbicara dan berprilaku dengan benar dan tidak bersentuhan dengan kotoran.

  2. Nagoshi-oharae dilaksanakan pada tanggal 30 Juni pukul 15:00 setiap tahun. Di tanggal 30 juni Nagoshi-oharae dilangsungkan yang juga merupakan bagian perputaran aktivitas tiap tahun yang mengisi kehidupan para pendetadi kuil Shinto. Nagoshi-oharae adalah ritual penyucian berskala besar karena diikuti oleh ribuan orang yang termasuk berjalan melintasi sebuah lingkaran besar yang sakral yang disebut chinowa yang terbuat dari alang-alang yang disimpul dengan tidak terlalu kuat, dibangun di depan honden (kuil utama) . Ritual ini dilaksanakan di halaman kuil, tetapi bila turun hujan maka akan dialihkan ke dalam gedung. Sama seperti ritual Nagoshi-oharae, Toshikoshi oharai dilaksanakan pada tanggal 31 Desember yang diikuti oleh ribuan orang dan dilaksanakan di halaman kuil. tetapi dalam pelaksaan ini tidak memakai chinowa.

  B . Kiyome

  1. Kessai adalah penyucian diri lahir dan batin yang dilakukan sebelum memulai ritual penting. Kessai bisa dikatakan mirip dengan berpuasa untuk menghindar hawa nafsu dan menghindari tsumi. Kessai adalah kegiatan menjauhkan diri dari kekotoran (kegare) yang dilakukan oleh seorang pendeta sebelum melaksanakan ritual dan festival, dan bersuci guna membersihkan fisik dan mental agar dapat memenuhi syarat sebagai seorang pendeta yang bertugas melaksanakan ritual dan festival. Tsushiro dalam Alimansyar (2017:75).

  Kessai di sini bermakna kegiatan pendeta menyucikan fisik dan mentalnya dalam waktu tertentu sebelum melaksanakan upacara keagamaan. Seorang pendeta yang bertugas melaksanakan ritual dan festival wajib menjaga agar dirinya selalu dalam keadaan bersih. Apalagi, dalam menjalankan tugasnya, seorang pendeta bersentuhan dengan banyak orang yang tanpa disadari akan terkontaminasi kekotoran.

  2. Misogi, ritual penyucian diri yang dilakukan dengan air sebagai elemen utama. Misogi dilakukan dengan metode pembenaman diri ke dalam air sebagai perlambang Izanagi yang menyucikan diri di sungai setelah pergi ke dunia kematian.

  Misogi adalah ritual bersuci dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh, dan membersihkan hal-hal buruk, noda dan kekotoran yang melekat di tubuh (Nishioka dalam Alimansyar 2017:79).

  2.1.4 Peralatan yang Digunakan 1. Ōnusa Ōnusa (

  dalam

  大麻 atau 大幣) adalah salah satu alat untuk ritualatau tongkat dari kayu shiraki.

  Pada salah satu ujung ōnusa dipasang Ōnusa 麻苧) (tali yang dibuat dari kayu shiraki disebut haraegushi. Istilah ōnusa berasal dari kata nusa yang berarti persembahan untuk dan kemudian diganti dengan Oleh karena itu, kain dan kertas yang dipakai untuk ritual Shinto disebut ōnusa.

  Ōnusa digerakkan ke kiri, kanan, kiri di atas benda atau kepala orang yang

  menjalani ritual penyucian atau pengusiran roh jahat. Gerakan ini dipercaya menyerapke dalam ōnusa. Pada zaman kuno, ōnusa dipegang oleh orang yang menjalani ritual penyucian, dan kegare dipercaya berpindah ke dalam ōnusa. Setelah ritual harae, ōnusa dibersihkan dengan memercikkan air (air panas bercampur garam dapur). Air dipercikkan dengan ranting pohon dan daun sakaki.

  Gambar Pendeta menggunakan onusa https://www.britannica.com/topic/harai- gushi)

  2. Air Air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian karena air mempunyai kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh

  Schumacher (2007), bahwa air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian. Hal ini dikarenakan bahwa air dianggap sebagai air mata dewa sehingga memiliki kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Penyucian diri yang dilakukan dengan menggunakan air disebut juga misogi, temizu dan kessai yang akan di bahas pada bab selanjutnya.

  3. Garam Garam sering dilibatkan dalam ritual penyucian dan tradisi dalam ajaran

  Shinto. Dalam ritual garam berfungsi untuk meminta izin dan perlindungan dari dewa dan dewi penjaga bumi ini. Selain itu Garam dipercaya mampu menghilangkan energi jahat serta menolak bala. Garam juga digunakan dalam ritual sebelum pertandingan sumo di mulai.

  Dalam arakan-arakan Mikoshi, garam ditaburkan dijalan yang akan dilalui oleh mikoshi karena garam memiliki fungsi untuk menyucikan segala kekotoran, sehingga jalanan diluar kuil harus terlebih dahulu disucikan dengan cara menaburkan garam. (Alimansyar : 2017 : 140 )

  Menurut Picken ( 1994: 174), garam juga dipergunakan sebagai salah satu alat penyucian. Hal ini dikarenakan karena garam memiliki kekuatan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan air biasa. Garam juga dipergunakan sebagai persembahan dan diletakkan di altar Shinto bersamaan dengan air dan nasi. Selain garam Schumacher (2007) mengatakan bahwa api, air biasa, dan juga sake juga digunakan sebagai alat penyucian atau Oharai.

  Gambar Garam (http://ashleyjewelt.blogspot.com/2013/)

  4.Kinpei Terbuat dari bahan logam berwarna emas yang apabila digerakkan akan menimbulkan suara gemericing dari gesekkan. Dipercaya dapat melunturkan kekotoran dan dosa. Kinpei terletak dekat persemayaman Dewa (dewa). (Alimansyar 2017: 112 )

  Gambar Kinpei (https://store.shopping.yahoo.co.jp/yamakoshowten/kinpei tyu.html#&gid=itemImage&pid=1)

  5. Harae no Kotoba Salah satu norito (doa) yang berfungsi untuk membersihkan manusia dari dosa (tsumi) dan kekotoran (kegare) (Alimansyar 2017 : 97 ). Isi doa

  • doa tersebut mengungkapkan rasa terima kasih kepada dewa serta memohon kepada dewa dengan tujuan untuk meminta kesejahteraan atau perlindungan kepada dewa.

2.2 Kuil Takekoma

  Kuil Takekoma terletak di kota Iwanuwa prefektur Miyagi. Dari kota Sendai, Ibukota prefektur miyagi perjalanan menuju Kuil Takekoma dapat ditempuh menggunakan kereta listrik dan memakan waktu sekitar 30 menit.

  Berbeda dengan kuil pada umumnya yang terletak di atas perbukitan, Kuil Takekoma terletak di daerah datar sama dengan lokasi tempat tinggal masyarakat biasa. Kuil Takekoma termasuk Inari-kuil terbesar di Jepang setelah Fushimiinari-taisha di Prefektur Kyoto, Kasama-inari-taisha di Prefektur Kyoto,

  Kasamainari-kuil di Prefektur Ibaraki. Inari-kuil adalah kuil yang mengabadikan Dewa pertanian. Tugas dewa pertanian adalah menjaga tanaman tumbuh subur sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Jumlah Inari-kuil di Jepang sekitar 2924 buah, menempati urutan ke-4 setelah Hachiman, Ise, dan Tenjin.Kuil Takekoma dibangun pada tahun 842 pada masa pemerintahan kaisarke 54 Ninmyo (810-850). Dewa yang diabadikan di Kuil Takekoma berjumlahtiga yaitu: 1) Ukano-mitama, 2) Ukemochi, 3) wakumusuhi. Pada awalnya Inari Odewa dipercaya sebagai dewa pertanian saja, tetapi seiring dengan berkembangnya dunia industri dan perdagangan, sejak zaman pertengahan hinggazaman modern, Inari-Odewa bukan hanya disembah oleh petani saja, tetapi jugaoleh para penguasa, pedagang, nelayan dan lain-lain. Para jamaah yang datangpada saat hatsumode (kunjungan pertama awal tahun), festival besar, menengahdan kecil, serta ritual harian lainnya.

  Pendeta Shinto yang bekerja di Kuil Takekoma berjumlah 15 orang. Terdiri dari 1 orang guji (kepela pendeta), 1 orang gon-guji (wakil kepala pendeta), 2 orang negi, 9 orang gon-negi, dan 2 orang shusshi. Selain itu ada 7 orang miko yang sehari-hari membantu tugas pendeta dalam melaksanakan ritual dan festival di kuil (lihat table 1). Kuil adalah badan hukum layaknya sebuah perusahaan. Sehingga seorang pendeta memiliki tugas ganda, melaksanakan ritual dan festival serta melaksanakan tugas-tugas administrasi. Di Kuil Takekoma, terdapat 4 divisi kerja.

  1. Divisi ritual dan festival. Divisi ini melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaa ritual dan festival.

  2. Divisi Dakwah. Divisi ini melaksanakan tugas yang berkaitan dengan dakwah, menghitung jumlah pengunjung, membuat selebaran dan iklan festival dan sebagainya.

  3. Divisi Humas. Divisi ini melaksanakan tugas sebagai penghubung pihak kuil dengan pihak lain.