Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Tiruwila Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan

(1)

STUDI DESKRIPTIF MUSIK DALAM KONTEKS UPACARA ADHI TIRUWILA PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI SINGGAMMA KALI KOIL MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

DESTRI DAMAYANTI PURBA NIM : 060707010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

STUDI DESKRIPTIF MUSIK DALAM KONTEKS UPACARA ADHI TIRUWILA PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI SINGGAMMA KALI KOIL MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

DESTRI DAMAYANTI PURBA NIM : 060707010

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Rithaony Hutajulu, M.A Drs. Kumalo Tarigan, M.A NIP.196311161990032001 NIP. 195812131986011002 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

Disetujui

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan

Hari :

Tanggal :

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.Si NIP.195110131976031001

PANITIA UJIAN

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( ) 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd ( ) 3. Dra. Rithaony Hutajulu, M.A ( ) 4. Drs. Kumalo Tarigan, M.Si ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat dan kemurahan-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Trimakasih Ya Bapa...atas kebaikan-Mu kepada penulis. Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Tiruwila Pada Masyarakat Hindu Tamil di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisikan hasil penelitian mengenai deskripsi upacara Adhi Tiruwila, transkripsi ritem dan melodi ansamble urumee melam dan nagasvaram. Selain transkripsi, penulis juga membuat grafik mantra serta nada yang dipakai dalam mantra tersebut, serta membahas fungsi dan tujuan dari upacara Adhi Tiruwila.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh bantuan yang luar biasa banyak dan baik dari Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., selaku pembimbing II. Kedua pembimbing ini sangat membantu penulis selama penyelesaian skripsi. Mereka juga memberikan banyak pelajaran kepada penulis terutama hal kesabaran, keberanian dan kepandaian dalam penulisan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi, serta seluruh dosen-dosen dan pegawai di lingkungan


(6)

Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan secara moril kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Anan Kumar yang telah bersedia menjadi informan pangkal di saat penulis melakukan proses penelitian lapangan. Ucapan terima kasih juga kepada informan pokok yaitu Bapak Supiah yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kuil dan juga orang yang pertama kalinya berkomunikasi kepada penulis tentang keadaan upacara yang akan diteliti dan juga sudah memberikan waktunya kepada penulis untuk mengadakan wawancara.

Ucapan terima kasih juga kepada orangtua saya tercinta, My papa sayang St. Merdin Purba Tambak, Spd., My mom sayang St. Elperida Sinaga. Mereka orangtua yang sangat paham dengan penulis sebagai seorang anak, sangat sabar mendukung dan menantikan penulis hingga sampai menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih pae, mae buat pengertiannya selama proses penyelesaian skripsi ini. Terkadang penulis lebih meminta uang setiap bulannya, tapi mereka tidak pernah lelah untuk memberikannya, bahkan sebelum mengerjakan skripsi ini juga, mereka sudah terlebih dulu memfasilitasi penulis guna untuk mendukung proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis bangga memiliki orangtua yang care seperti mereka. Secara khusus trima kasih buat doa-doa Bapak dan Mamak terutama inang pangintubu yang selalu setia mendoakan penulis. Mungkin sudah banyak berlinang airmata di pipi mereka sepanjang membesarkan penulis hingga saat ini, tapi biarlah itu semua dicukupkan oleh Tuhan kepada mereka. Terima


(7)

kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudaraku yang kusayangi yaitu abang ipar dan kakakku Kel Ricky F. Hutapea dan Lenni S. Purba Spd., ( papa dan mama K’Oyin pea) kakakku K’Khana H. Purba S.E., adik-adikku Rinaldo Purba dan Winner Purba. Terima kasih buat doa dan perhatian kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah bagian dari hidupku yang takkan pernah tergantikan sampai kapanpun.

Special thanks, buat abang yang sangat penulis sayangi dan cintai yaitu Sy. Pandapotan Pangihutan Haloho, S.E., yang selalu mengingatkan bahkan memotivasi penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Terima kasih untuk cinta kasih kam bange, walaupun terkadang penulis merasa stres oleh tingkahnya, tapi dia menjadi “inspirasi” dalam hidup penulis. Terima kasih buat doa-doanya, perhatian dan pengertiannya selama ini. Semoga kita berdua semakin yang terbaik dan menjadi berkat bagi oranglain. Sekali lagi, Terima kasih buat semuanya bange. Bahkan terima kasih buat Bou dan Kela yang sudah memperhatikan dan mendoakan penulis selama proses penyelesaian skripsi ini. Dan buat nang-nong juga yaitu adekku Mesra Waty Haloho yang selalu bertanya dan memotivasi penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kelompok kecilku “PRAYER” yaitu K’Dia, Rina, Inta dan Florent. Terima kasih buat perhatian dan doa-doa kalian. Sampai kapanpun kalian tidak bisa terlupakanku karena dari kelompok inilah penulis mengetahui kebenaran dan awal pertumbuhan rohani penulis juga. Bahkan buat “adik-adik kelompokku” yaitu Reni, Pera, Nita, Martin, Herman, Dicky dan Jonatan. Walaupun sudah lama tidak kelompok, tapi kakak


(8)

tidak pernah melupakan kalian. Terima kasih juga buat perhatian kalian sama kakak selama ini.

Ucapan trima kasih kepada seluruh pemuda GKPS Padang Bulan dan keluarga besar KMBI yang selalu bertanya bahkan mendoakan penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Terutama buat adek Elikson Damanik yang sudah memberikan waktunya dalam pengerjaan Transkripsi. Penulis sangat berterima kasih buat Elikson karena bantuannya proses transkripsi bisa terselesaikan. Bahkan buat teman-teman seperjuangan yang sudah saya anggap keluarga selama proses perkuliahan yaitu ETNOLSIX angkatan 2006 yaitu Rina, Inta, Rebecka, Vanesia, Evi, Nova, Jery, Tety, Jefri, Amran, Jonedi, Daniel, Yunika, Sansri, Heidy, Chikal, Ananda, Eva, Diah, Ucok, Boby, Sigit, Efraim dan Yogi. Terima kasih telah menjadi saudara buatku. Tidak terasa sudah 5 tahun kita merasakan susah senang selama duduk dibangku perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-temin satu kos “MARTIPUL” yaitu k’Khana, Jokeng, Reni, Tiwi, Ardi, Dear, Tombos dan kiki. Mereka adalah saudara seperjuangan merasakan bagaimana enaknya anak kos. Terima kasih buat kalian semua.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf apabila ada kata yang kurang berkenan dalam hati. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf apabila ada nama yang lupa penulis cantumkan. Semoga hasil penelitian dari skripsi ini dapat berguna bagi kebudayaan masyarakat Tamil, bagi pembaca dan juga kepada peneliti berikutnya. Syalom!!!


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK. ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 11

1.3.1Tujuan ... 11

1.3.2Manfaat ... 12

1.4 Konsep dan Teori ... 12

1.4.1Konsep ... 12

1.4.2Teori ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 21

1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian ... 22

1.5.2 Pemilihan Informan ... 23

1.5.3 Metode Pengumpulan Data ... 24

1.5.3.1 Studi Kepustakaan ... 24

1.5.3.2 Penelitian Lapangan ... 24

1.5.3.3 Kerja Laboratorium ... 27

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI SINGGAMMA KALI KOIL MEDAN 2.1 Umat Hindu Tamil ... 28


(10)

2.2 Kedatangan Orang Tamil ke Kota Medan dan Sekitarnya ... 29

2.3 Aspek Kesejarahan ... 31

2.4 Fungsi Kuil ... 33

2.5 Pantangan memasuki Kuil ... 35

2.6 Lokasi Kuil ... 35

2.7 Mata Pencaharian Masyarakat Hindu Tamil ... 36

2.7.1 Agama/Kepercayaan ... 36

2.7.2 Veda, Kitab Suci Umat Hindu ... 40

2.7.2.1 Pengertian Veda ... 40

2.7.2.2 Pembagian dan Isi Veda ... 41

BAB III DESKRIPSI UPACARA ADHI TIRUWILA 3.1 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan Upacara ... 44

3.2 Tempat Pelaksanaan Upacara ... 47

3.3 Komponen Upacara ... 48

3.3.1 Saat Upacara ... 48

3.3.2 Benda-benda dan Alat-alat Upacara ... 48

3.3.2.2 Puspa (Bunga) ... 50

3.3.2.3 Tirtha/Toya (Air Suci) ... 50

3.3.2.4 Upakara ... 51

3.3.2.4.1 Penjor ... 51

3.3.2.4.2 Daun Nimi ... 52


(11)

3.3.2.4.4 Bendera ... 54

3.3.2.4.5 Ciwambha (Argha) ... 54

3.3.3 Pendukung Upacara ... 54

3.3.3.1 Guru Kal ... 54

3.3.3.2 Panitia dan Jemaat ... 55

3.4 Kronologis Upacara ... 55

3.4.1 Tahap Persiapan Upacara ... 64

3.5 Fungsi Puja Dewi Dhurga Dalam Upacara Adhi Tiruwila ... 66

3.5.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 66

3.5.2 Fungsi Perlambangan ... 68

3.5.3 Fungsi Komunikasi ... 69

3.5.4 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... 69

3.5.5 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan ... 70

3.5.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 70

3.5.7 Fungsi Hiburan ... 71

3.6 Puja Dan Doa Dalam Melaksanakan Persembahyangan ... 71

3.7 Puja Dewi Dhurga ... 72

BAB IV ANALISIS MUSIK PUJA DEWI DHURGA DALAM UPACARA ADHI TIRUWILA ... 74

4.1 Analisis Musik Puja Dewi Dhurga ... 74


(12)

4.1.2 Nada Dasar ... 76

4.1.3 Wilayah Nada (Range) ... 78

4.1.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... 78

4.1.5 Interval ... 79

4.1.6 Formula Melodi (Bentuk) ... 81

4.1.7 Pola Kadensa ... 84

4.1.8 Kontur ... 84

4.1.9 Model Notasi ... 86

BABV PENUTUP ... 99

5.1 Kesimpulan ... 100

5.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu1

Menurut penelitian para ahli, secara umum dapat dikatakan bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu berasal dari India, berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, kemudian kontak kebudayaan yang menyebar secara perlahan-lahan dari daerah pesisir hingga sampai masalah agama dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia

, akan tetapi pemerintah tidak mencampuri hal-hal yang menyangkut materi ajaran dan tata cara peribadahan masing-masing agama.

Adapun yang berwenang dalam mengatur materi ajaran dan tata cara peribadahan untuk Hindu adalah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Lahirnya Parisada Hindu pada tahun 1961 telah banyak membantu mempercepat pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu di Indonesia.

2

. Kedatangan agama Hindu ke Indonesia erat hubungannya dengan datangnya masyarakat Tamil pada zaman VOC pada tahun 1602 oleh Belanda.

1

. UUD 1945 pasal 19:1 2


(14)

Berikutnya setelah zaman kemerdekaan diperoleh, kemudian pada tanggal, 3 Januari 1946 Departemen Agama Republik Indonesia berdiri, sebagai salah satu bentuk jaminan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adanya pemantapan struktur organisasi Departemen Agama, maka dapat dirasakan telah dapat memberikan pelayanan kepada semua umat beragama, termasuk umat Hindu di Indonesia.

Indians first came to the East and the West coasts of North Sumatera long before the Christian Era, to bring the Hindu religion (Prof. Coomalaswamy) “and later on also the Buddhist religion especially during the favourable monsoon from mainland India to Barus during the months November and December. Sumber: Buku orang India di Sumatera Utara (The Indians in North Sumatera) tahun 2008.

Kedatangan berbagai etnis India ke pantai Timur Sumatera dan pantai Barat Sumatera Utara sudah jauh sekali sebelum masehi, yaitu membawa Hindu dan terakhir kemudian juga Budha terutama masa arus angin dari India ke Barus pada bulan Nopember dan Desember.

Menurut Prof. Coomalaswamy mengatakan bahwa Sumatera yang mula-mula sekali dari sejak sebelum Masehi menerima pendatang India3

Di Lobu Tua (Barus) Pantai Barat propinsi Sumatera Utara telah ditemukan batu bersunat, tetapi atas perintah pembesar Belanda kepada Raja Barus Sutan Mara Pangkat sebagian telah dihancurkan. Adapun

sisa-. Kaitannya erat dengan datangnya masyarakat Tamil, yang membawa pengaruh atas perdagangan dan adat budaya kepada masyarakat di tepi pantai barat Sumatera Utara dan mereka menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta (Sakti, 1993:14).

At Lobu Tua (in Barus) on the western coast of Sumatra Province, stone inscription was found but by the order of the Duth Controller to the Raja of Barus named SUTAN MARA PANGKAT, half of the stonewas destroyed. The remains of the inscription have been still preserved in the archeological section of the Central Museum in Jakarta.

3


(15)

sisa dari pecahan batu prasasti itu disimpan di seksi arkeologi Museum Pusat Jakarta.

Prasasti Lobu Tua itu dapat kita ketahui bagaimana eratnya hubungan perdagangan dan budaya “benua” India dengan Sumatera (Buku orang India di Sumatera Utara tahun 2008 halaman 1). Hindu mayoritas etnik Tamil. Tamil adalah sebuah kelompok etnis Tamil yang berasal dari Asia Selatan. Komunitas Tamil yang paling tua berasal dari India bagian selatan Sri Lanka bagian Timur Laut. Mereka memiliki sejarah yang ditulis lebih dari 2.000 tahun. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Tamil dan agama mereka adalah agama Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Saat ini, hampir di seluruh provinsi di Indonesia telah terdapat umat Hindu yang tersebar akibat pemerataan pembangunan dan program transmigrasi sehingga pendidikan-pendidikan formal untuk mendalami ajaran agama Hindu juga mulai berkembang, dengan berdirinya sekolah Hindu.

Selain sekolah Hindu, mereka juga membangun Kuil sebagai tempat beribadah atau sembahyang bagi Hindu Tamil. Sampai sekarang ini hampir di seluruh propinsi di Indonesia terdapat Kuil, tempat umat Hindu bersembahyang memuja Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Selain acara persembahyangan, Kuil juga sebagai tempat melaksanakan upacara. Salah satu upacara yang ada di Kuil, secara khusus di Kuil Shri Singgamma Kali Koil yaitu upacara Adhi Tiruwila.

Upacara Adhi Tiruwila merupakan acara penghormatan dan persembahan syukur kepada Dewi Dhurga yang sudah berjasa memohon kepada Dewa yang mereka yakini melalui doa yang dipanjatkan oleh Dewi Dhurga. Dhurga adalah Dewanagari yang berarti sakti. Dewi Dhurga atau Betari Dhurga yaitu ibu dari


(16)

Dewa Ganesa dan Dewa Kumara (Kartikeya) yang digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Dalam bahasa Sansekerta, Dhurga adalah yang tidak bisa dimasuki atau terpencil. Adapun doa yang dipanjatkan kepada Dewa berisi tentang permohonan supaya Dewa tidak menurunkan penyakit kolera dan cacar karena penyakit ini pada masa lampau sangat membahayakan dan dapat mengakibatkan kematian. Hal inilah yang membuat umat Hindu Tamil melaksanakan upacara Adhi Tiruwila. Upacara Adhi Tiruwila tidak terlepas dari Musik. Musik dalam upacara Adhi Tiruwila berfungsi sebagai penghibur hati Dewi Dhurga sebagai penghancur keangkara. Ensamble musik yang digunakan yaitu ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram. Ensamble Urumee Melam terdiri dari Khanjari, Simbal, Idakka, Thavil, Pampai, Thumbnail, dan Udukai.

Sedangkan ensamble Nagasvaram4

Khanjari dan Simbal adalah instrumen perkusi yang tergolong kedalam idiofon. Khanjari sama dengan Tamborin. Idakka dianggap Devavadyam

hanya diiringi dengan Tabla. Tabla berasal dari bahasa Arab yaitu “tabl” yang artinya “drum”. Tabla tergolong ke dalam membranofon. Instrumen perkusi dalam ensamble Urumee Melam dan Nagasvaram berasal dari India Selatan. Instrumen perkusi Idakka, Thavil, Pampai, Thumbnail, dan Udukai dimainkan dengan menggunakan stik yang terbuat dari rotan. Instrumen ini sering digunakan pada saat upacara yang diadakan di Kuil.

4

Dalam hal ini ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram berasal dari India Selatan sedangkan instrumen Tabla berasal dari India Utara. Hal ini disebabkan karena pemain musik yang mengiringi upacara Adhi Tiruwila tersebut berasal dari Malaysia, yang pada dasarnya di Malaysia adalah mayoritas India Utara.


(17)

(instrumen ilahi), lazim dimainkan di Kuil. Instrumen perkusi Idakka berbentuk drum yang tergolong ke dalam membranofon. Instrumen perkusi Thavil berbentuk barrel yang tergolong ke dalam membranofon. Instrumen perkusi Pampai tergolong ke dalam membranofon, yaitu instrumen sepasang drum yang berkepala ganda. Instrumen perkusi Thumbnail juga tergolong ke dalam membranofon. Instrumen perkusi Udukai berbentuk drum yang tergolong ke dalam membranofon.

Dalam upacara Adhi Tiruwila, musik memiliki aturan tertentu, dengan kata lain tidak sesuka hati untuk dimainkan. Sebelum upacara Adhi Tiruwila dimulai, musik ensemble Urumee Melam dimainkan terlebih dahulu di dalam Aula yang bertujuan untuk menyenangkan hati Dewi Dhurga dan menghibur orang-orang yang hadir pada saat upacara dilaksanakan. Setelah selesai ensamble Urumee Melam dimainkan, acara dilanjutkan dengan pembukaan upacara atau penaikan bendera yang diberi lambang singa berwarna kuning sebagai lambang Dewi Dhurga, yang diiringi dengan ensamble Nagasvaram. Bahkan upacara yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut selalu diiringi oleh musik yaitu ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram.

Pada perayaan upacara Adhi Tiruwila, ada beberapa tahap yang dilaksanakan oleh masyarakat Tamil di Kuil Shri Singgamma Kali. Mereka melaksanakan upacara ini selama tiga hari yaitu pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Pada hari pertama Jumat hari pemujaan Dewi, hari kedua Sabtu yaitu Trobathi Amma, dan pada hari yang ketiga Minggu disebut Phu Kargem. Acara yang dilaksanakan selama tiga hari ini yaitu untuk kemenangan dan


(18)

menyenangkan hati Dewi Dhurga. Penutupan upacara Adhi Tiruwila adalah upacara kurban, yaitu upacara pemotongan kambing sebanyak 31 ekor yang dilaksanakan pada hari Selasa.

Upacara Adhi Tiruwila bukan hanya dihadiri oleh masyarakat Hindu Tamil saja, tetapi juga masyarakat yang beragama Islam, Kristen, dan Budha. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari juga, jemaat yang ikut sembahyang di Kuil Shri Singgamma Kali Koil ini bukan jemaat Hindu Tamil saja, tetapi agama yang lain juga, antara lain Islam, Kristen dan Budha. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mereka ketika mendapatkan kesembuhan penyakit dan peningkatan perekonomian yang baik setelah beribadah dari Kuil. Upacara Adhi Tiruwila dihadiri jemaat bahkan orang luar yang menyaksikan upacara ini sebanyak lebih kurang 1000 orang.

Upacara Adhi Tiruwila adalah upacara doa bersama dan ritual tahunan Dewi Dhurga sebagai penghancur keangkara murkaan5

5

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Anan Kumar pada tanggal 10 Januari 2011 di Kuil Singgamma Kali.

. Salah satu unsur penting dalam upacara Adhi Tiruwila adalah mantra. Istilah bagi mereka ketika mengucapkan mantra atau dengan kata lain chanting yaitu Manthire Upethesem. Mantra dalam upacara keagamaan merupakan doa atau kata-kata yang diucapkan atau dinyanyikan oleh pemimpin upacara yaitu Guru Kal, yang memiliki arti dan terkadang rahasia sifatnya. Mantra wajib hadir dalam setiap upacara, tiada upacara yang lengkap tanpa mantra.


(19)

Mantra berasal dari dua suku kata yaitu ‘ man ‘ dan ‘ tra ‘6

6

Kitab catur veda, yaitu kitab suci agama Hindu.

. Suku kata ‘ man ‘ merupakan singkatan dari kata ‘ manan ‘ yang berarti berfikir, sedangkan kata ‘ tra ‘ berasal dari kata ‘ trana ‘ yang berarti bebas, bebas dari keterikatan, sengsara dan penderitaan. Berdasarkan pengertian mantra secara etimologi di atas maka untuk memperoleh berkat dari pengucapan mantra itu diperlukan persyaratan tertentu, misalnya kesucian hati atau keheningan hati, pengertian akan makna mantra, kekhusukan pikiran pada saat melafalkan mantra.

Tidak semua umat Hindu mampu memenuhi persyaratan itu, oleh karenanya hanya orang-orang tertentu yang telah disucikan saja yang dapat melatih diri dengan tekun dapat menguasai mantra itu. Mantra-mantra ini biasanya hanya dapat dinyanyikan oleh para Guru Kal, Pendeta, dan pemimpin upacara keagamaan lainnya.

Mantra yang demikian merupakan ucapan atau nyanyian suci yang ditujukan kepada Tuhan atau roh-roh halus, bersifat rahasia, mengandung makna yang tersembunyi dan kekuatan gaib yang sulit dimengerti dengan akal biasa dengan gaya-gaya atau getaran sangat hebat, meskipun tidak semua mantra yang demikian.

Tujuan dari merahasiakan mantra adalah agar tidak disalahgunakan untuk hal yang tidak baik seperti : mengendalikan orang lain, menyakiti sesama dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ilmu mantra baru boleh diajarkan setelah pemahaman dan penghayatan keagamaan seseorang itu telah kuat.


(20)

Walaupun demikian ada mantra yang sifatnya universal yang wajib diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Mantra ini dikenal dengan nama Mantra Koodi Maram dan mantra Gauri Storasa-namaha yaitu mantra yang harus diucapkan oleh umat Hindu setiap upacara Adhi Tiruwila yang ditujukan kepada Dewi Dhurga. Pada upacara keagamaan, mantra ini dinyanyikan oleh Guru Kal dan umat dalam bentuk lagu pujian atau doa dalam bentuk syair.

Mantra memiliki banyak jenis dan ragam. Ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tiga, atau lima suku kata, seperti : om, Aum, Om Ang Ah, Aum Ung Mang, Sang bang, Ang, Ing, dan sebagainya. Mantra semacam ini disebut bija mantra atau pranawa. Bija Mantra yaitu suara yang merupakan simbol.

Bija-bija inilah yang harus diingat dan dikenal baik-baik bila belajar mengucapkan karena kekuatan dari mantra ada dalam bija tersebut7

(1) Sadhana. Sadhana adalah jalan yaitu yang meliputi adanya guru, adanya upacara abhiseka atau diksa yakni upacara yang diadakan bertujuan agar mendapat restu dan ijin mengucapkan mantra.

. Mantra yang mempunyai kekuatan dan gaya-gaya yang sangat kuat dan hebat harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :

(2) Adanya Dewata yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan menurut nama sifat dengan segala sifatnya.

(3) Percaya dan yakin kepada kebenaran dan kekuatan mantra itu. (4) Adanya suara- suara inti sebagai bija (benih) yang diucapkan.

7

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Welaidem di Kantor Kuil Shri Mariamman pada tanggal 27 Januari 2011.


(21)

Bila keempat hal tersebut diatas dipenuhi maka mantra akan mempunyai kekuatan tertentu. Kekuatan inilah yang hendak diwujudkan dalam mengucapkan mantra, sehingga tercapai tujuan dari mantra tersebut. Mantra pada upacara Adhi Tiruwila ini merupakan suatu penyajian yang menarik perhatian penulis. Mantra merupakan kata-kata atau doa. Disini yang menjadi objek penelitian penulis adalah musik. Yang dimaksud musik dalam upacara Adhi Tiruwila yaitu musik instrumen dan musik vokal. Musik instrumen terdiri ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram, sedangkan musik vokal yang dimaksud penulis yaitu mantra dinyanyikan tanpa diiringi musik.

Di dalam mantra ini terdapat teks yang berisi doa. Melodi teks mantra mengandung unsur musikal yang berhubungan dengan bahasa, sehingga mengkombinasikan keseluruhan mantra ini menjadi sebuah nyanyian (musik vokal). Mantra ini dinyanyikan sebagai media komunikasi spiritual terhadap Dewi Dhurga dan alam gaib. Sedangkan bahasa yang digunakan pada waktu menyanyikan mantra dalam upacara ini adalah bahasa Sansekerta.

Dalam menjelaskan mantra sebagai musik vokal di atas, penulis mengacu kepada teori Malm, (1977:4) yang mengatakan bahwa peristiwa bunyi mana saja dapat dianggap dan diteliti sebagai musik bila mengandung kombinasi elemen-elemen yaitu nada, ritem, dan dinamika.

Adapun teks mantra berasal dari kitab Mantra yang dimiliki oleh umat Hindu yaitu kitab Catur Veda. Kitab ini tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra ini termasuk nyanyian yang logogenik, dimana mengutamakan teks dari pada struktur musiknya (Malm, 1977:13). Dengan mengetahui teks mantra lagu


(22)

yang terdiri dari kata-kata, rangkaian kalimat, serta makna-makna yang diungkapkan oleh isi teks, dapat dilihat bagaimana perilaku umat Hindu sebagai pendukung upacara ini, sehingga dapat diketahui tujuan apa yang akan diinginkan dari nilai-nilai religius yang tercermin dari mantra ini. Hal ini lebih lanjut dinyatakan oleh Merriam, (1964:187) bahwa salah satu sumber atau bahan yang paling jelas mengenai perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah teks lagu.

Alasan lain mengapa penulis memilih judul di atas dengan mengacu pada teori Nettl, (1964:5) yang mengatakan salah satu studi Etnomusikologi yang mempelajari musik bukan hanya batasan tetapi juga penting untuk mengetahui dan mempelajari kebudayaan masyarakatnya. Berangkat dari sinilah penulis ingin mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkait dengan deskripsi upacara, musik dan teks mantra yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Adhi Tiruwila.

Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan. Dengan demikian penulis memberi judul: “STUDI

DESKRIPTIF MUSIK DALAM KONTEKS UPACARA ADHI TIRUWILA PADA MASYARAKAT TAMIL DI KUIL SHRI SINGGAMMA KALI KOIL MEDAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Dari sekian banyak upacara yang diadakan di Kuil Shri Singgamma Kali Koil, salah satu adalah upacara Adhi Tiruwila. Upacara ini menggunakan


(23)

ensemble musik yaitu Nagaswaram dan ensamble Urumee Melam. Selain Nagasvaram dan Urumee Melam yang memegang peran penting adalah Mantra.

Mantra diucapkan atau dinyanyikan oleh Guru Kal dan ada yang dinyanyikan oleh umat selama upacara berlangsung. Berangkat dari fokus penelitian tersebut, maka penulis akan membatasi penulisannya pada pokok-pokok permasalahan berikut:

1. Mendeskripsikan upacara Adhi Tiruwila dan unsur-unsur pendukung upacara Adhi Tiruwila pada masyarakat Hindu Tamil di Kuil Singgamma Kali Koil. Adapun unsur-unsur pendukung upacara tersebut menurut (Koentjaraningrat, 1985:243) adalah: waktu, tempat, benda-benda dan perlengkapan, pemimpin, dan peserta upacara.

2. Bagaimanakah makna yang tercermin dari teks Puja Dewi Dhurga tersebut?

3. Bagaimanakah aspek musikal dari Puja Dewi Dhurga yang dinyanyikan dengan melihat hubungan musik dengan teks Puja Dewi Dhurga dalam upacara Adhi Tiruwila pada masyarakat Hindu Tamil di Kuil Singgamma Kali Koil Medan?

4. Bagaimana fungsi musik dalam upacara Adhi Tiruwila?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulis mengadakan penelitian dan penulisan ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara Adhi Tiruwila pada masyarakat Hindu Tamil di Kuil Singgamma Kali Koil Medan.


(24)

2. Untuk mendeskripsikan musik yang dipakai pada upacara Adhi Tiruwila

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang jalannya upacara Adhi Tiruwila pada masyarakat Hindu Tamil di Kuil Singgamma Kali Koil Medan.

2. Memberikan suatu kajian musikologis suatu upacara religi yang melibatkan unsur-unsur musikal dalam disiplin ilmu Etnomusikologi secara khusus, dan ilmu pengetahuan secara umum.

3. Salah satu bahan referensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. R. Merton mendefinisikan: “Konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan hubungan empiris” (Merton,1963: hal.89).

Adapun konsep musik dalam konteks upacara Adhi Tiruwila yang dimaksud penulis adalah musik instrumen dan musik vokal. Musik instrumen terdiri dari ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram, sedangkan musik vokal yang dimaksud yaitu mantra. Adapun konsep penulis terhadap judul


(25)

skripsi ini adalah sebagai berikut: Upacara Adhi Tiruwila adalah upacara doa bersama dan ritual tahunan Dewi Dhurga sebagai penghancur keangkara murkaan.

Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya (KBBI 2005:258). Upacara dalam konteks agama menurut Koentjaraningrat, (1992:252) disebut sebagai kelakuan agama (perasaan cinta, hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri dan lain sebagainya) yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib.

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, (1983:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu.

Selain itu, Soerjono menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Dhurga adalah Dewanagari yang berarti sakti. Dewi Dhurga atau Betari Dhurga yaitu ibu dari Dewa Ganesa dan Dewa Kumara (Kartikeya) yang digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Dalam bahasa Sansekerta, Dhurga adalah yang tidak bisa dimasuki atau terpencil.

Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar


(26)

memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya (KBBI edisi kedua 1995 halaman 1024). Puja Dewi Dhurga dalam upacara Adhi Tiruwila pada masyarakat Tamil di Kuil Singgamma Kali Koil secara ilmiah menghasilkan bentuk musik seperti yang dikemukakan oleh Malm. Pernyataan ini didasari pemahaman bahwa bunyi yang dihasilkan proses mekanis organ tubuh manusia dan peristiwa bunyi yang dihasilkan.

Upacara Adhi Tiruwila bertujuan untuk menolak bala atau penyakit bagi masyarakat Hindu pada masa lampau hingga sampai saat ini upacara Adhi tiruwila dilaksanakan guna untuk menolak bala atau penyakit8

1. Upacara Adhi Tiruwila adalah merupakan upacara doa bersama dan ritual tahunan Dewi Dhurga sebagai Dewi penghancur keangkara murkaan. Dinamakan Adhi karena dilaksanakan pada saat bulan Adhi berdasarkan hitungan bulan India jatuh pada bulan Juli dan berakhir pertengahan bulan Agustus, maksudnya adalah jemaat yang sudah ber-nazar memulai puasa pada bulan Juli pertengahan sampai bulan Agustus hingga waktu puasa mereka genap sebulan atau minimal 21 hari. Upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan pada tanggal 13 sampai dengan 15 Agustus 2010.

. Upacara Adhi Tiruwila memiliki beberapa makna bagi umat Hindu Tamil, yaitu:

Upacara Adhi Tiruwila mempunyai makna philosofis yang tersirat. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia yang sederhana, Adhi Tiruwila berarti bulan

8

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Naransami (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia) Sumatera Utara pada tanggal 7 Februari 2011.


(27)

Adhi, dimana kegiatannya yang utama adalah upacara masak bubur secara massal (upacara tuang bubur bersama).

2. Upacara Adhi tiruwila dapat digunakan sebagai media untuk menyembah Dewi Dhurga yang sudah berjasa bagi umat Hindu, sehingga penyakit yang dapat membahayakan umat Hindu pada masa lampau tidak timbul lagi. Menurut keyakinan mereka, umat Hindu yang baru pertama kali mengikuti upacara dan yang telah rutin akan memperoleh berkat melalui doa-doa yang dipanjatkan, yang dilakukan oleh Guru Kal dan bersembahyang bersama.

Konsep tentang penyajian mantra secara etnomusikologi dikategorikan sebagai musik vokal, penulis berpedoman kepada teori Malm, (1977:4) dan Willi Apel, (1972:918) yang telah diuraikan sebelumnya, dan unsur musikal seperti inilah yang terdapat di dalam penyajiannya.

Mantra adalah ucapan atau nyanyian suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan roh-roh halus yang diyakini keberadaannya9

Berdasarkan pemahaman ini, penulis secara Etnomusikologis menyatakan bahwa peristiwa Puja Dewi Dhurga yang mengandung pola-pola melodis dapat . Mantra ada yang diucapkan dan dinyanyikan. Konsep tentang penyajian mantra secara etnomusikologi dikategorikan sebagai musik vokal, penulis berpedoman kepada teori Malm, (1977:4) dan Willi Apel, (1972:918). Pinandita adalah seorang rohaniawan Hindu yang bertugas selaku pembantu mewakili Pendeta.

9


(28)

dikategorikan sebagai bentuk nyanyian dan penyajian dan ensambel Urumee Melam dan Nagaswaram dalam bentuk aspek ritmis dikategorikan sebagai bentuk musik. Peristiwa bunyi yang terjadi pada masyarakat Hindu Tamil ini terangkum dalam sebuah kegiatan ritual yang mereka sebut upacara Adhi Tiruwila.

Dalam mendeskripsikan upacara Adhi Tiruwila, penulis menggunakan konsep unsur-unsur pendukung upacara yang dikemukakan Koentjaraningrat (1985:168) bahwa upacara keagamaan terbagi atas 4 komponen, yaitu : (a) tempat upacara, (b) saat upacara, (c) benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Kecuali (1) menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, teori itu juga; (2) memberi kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian; (3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; (4) mengisi lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan.

Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan judul di atas. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat koentjaraningrat (1977:30) yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari


(29)

buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini. Upacara Adhi Truwila juga menggunakan doa-doa dari kitab suci yang dinyanyikan, yang sebagaimana istilah tersebut adalah Chanting10

1. In general, music which is song in accordance with prescribed ritual or tradition

, yaitu:

2. In particular, uncaccompanied vocal music used for service of Christian church, ambrosian chant, gregorian chant (also called “plain chant”or”plain song);

3. In anglican church used only of singing psalms and canticles 4. Song, singing, voice.

Artinya yaitu:

1. Secara umum, musik yaitu lagu yang disesuaikan dengan suatu ritual atau tradisi.

2. Sesuai dengan fakta, musik vokal yang tidak diiringi digunakan sebagai bentuk pelayanan dalam gereja kristen, chanting ambrosian, chanting gregorian (atau disebut juga dengan “plain chant” atau “plain song”).

3. Di gereja Anglikan digunakan hanya menyanyi Mazmur dan Kidung.

4. Lagu, menyanyi, suara. Berikut ini teori-teori yang digunakan, yaitu :

1. Untuk mengkaji upacara Adhi Tiruwila, penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat, (1980:24) yaitu :

“Upacara adalah merupakan suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku, kelakuan keagamaan tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan menjalin hubungan dengan alam gaib”.

10


(30)

Untuk mengkaji teks mantra yang disajikan secara musikal pada konteks upacara ini, penulis mengacu kepada teori Merriam, (1964:187) yang mengatakan salah satu sumber yang pokok yang dapat kita pakai untuk memperdalam pengertian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah pada teks nyanyian. Teks itu tentu saja perilaku bahasa bukan musik, tetapi teks adalah bagian integral daripada musik. Dan disini jelas bahwa bahasa yang digunakan pada musik berbeda dari bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Unsur teks yang akan di analisis adalah makna denotatif (sebenarnya) konotatif, dan gaya bahasa. Musik merupakan peristiwa bunyi yang mengandung kombinasi elemen-elemen nada, ritem dan dinamik yang mengkombinasikan atau sama sekali tidak berhubungan dengan bahasa yang dituturkan sehari-hari (Malm, 1977:4). Dari pengertian musik tersebut, dapat dipahami bahwa musikal merupakan hal yang berkenaan atau mengandung unsur musik.

2. Untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan fungsi mantra sebagai musik vokal pada upacara Adhi Tiruwila, penulis mengacu kepada teori penggunaan dan fungsi musik. Teori ini seperti yang dikemukakan oleh Merriam, (1964:219-222) mengatakan secara implisit bahwa penggunaan (uses) dilakukan dalam konteks upacara, yang dapat dilihat saat itu juga, sedangkan fungsi (function) mempunyai dampak yang lebih jauh dan dalam. Merriam menawarkan ada sepuluh fungsi musik antara lain : (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3) fungsi hiburan (4) fungsi perlambangan, (5) fungsi reaksi jasmani, (6) fungsi komunikasi, (7) fungsi kesinambungan kebudayaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (9) fungsi pengesahan


(31)

lembaga sosial dan upacara keagamaan, (10) fungsi pengintegrasian masyarakat, tetapi Merriam tidak mengadakan pembatasan, mungkin fungsinya lebih dari sepuluh.

3. Teori tangga nada (weighted scale) yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi, penulis mengacu pada teori Malm, (1977:7-9) yaitu ada delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk menganalisis, seperti : (1) tangga nada ; (2) nada dasar ; (3) wilayah nada ; (4) jumlah nada-nada ; (5) jumlah interval ; (6) pola-pola kadensa ; (7) formula-formula melodik ; (8) kontur.

Untuk melihat hubungan antara teks mantra dengan melodi, penulis menggunakan teori Malm, (1977:8) mengatakan apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel (suku kata), gaya ini disebut silabis, sebaliknya bila suatu silabel dinyanyikan dengan nada-nada yang berjumlah banyak disebut melismatis. Kedua teori ini penulis gunakan untuk menganalisis melodi mantra.

4. Dalam hal transkripsi terhadap mantra, penulis berpedoman kepada teori Nettl, (1964:98) yang memberikan dua pendekatan yaitu :

1. Kita dapat menguraikan dan menganalisis apa yang kita dengar. 2. Kita dapat menulis apa yang kita dengar tersebut di atas kertas, dan kita mendeskripsikan apa yang kita lihat tersebut. Dalam hal notasi musik, penulis mengacu kepada tulisan Charles Seeger, (1971:24-34), yang mengemukakan bahwa ada dua jenis notasi yang dibedakan menurut tujuan notasi tersebut :


(32)

Pertama adalah notasi preskriptif, yaitu notasi untuk seorang penyaji (bagaimana ia harus menyajikan sebuah komposisi musik), selanjutnya dikatakan notasi ini merupakan pedoman tentang bagaimana musik tertentu itu dapat diwujudkan oleh pemain musik.

Kedua adalah notasi deskriptif, yaitu suatu laporan yang disertai notasi secara lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu musikal dalam suatu pertunjukan diwujudkan. Transkripsi ini digunakan untuk analisis. Untuk pendekatan analisis, penulis menggunakan dan membuat transkripsi yang deskriptif.

Untuk mendukung pembahasan dari segi musikologis tersebut diperlukan suatu transkripsi. Menurut Nettl, (1964:99) bahwa pengertian transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, membuat bunyi menjadi sumber visual. Dalam membicarakan pendeskripsian dari ritem, analisis bentuk, frase dan motif-motif.

Selanjutnya, Nettl, (1964:148-150) menyarankan bahwa untuk mendeskripsikan ritem sebaiknya dimulai dengan membentuk harga-harga not yang dipakai dalam sebuah komposisi dan menerangkan fungsi dan konteks masing-masing nada. Selanjutnya pola ritem yang sering diulang, sebaiknya dicatat.

Merriam membagi penggunaan musik kedalam 5 (lima) kategori, yaitu: 1) Hubungan musik dengan kebudayaan material, 2) Hubungan musik dengan kelembagaan sosial, 3) Hubungan musik dengan manusia dan alam, 4) Hubungan musik dengan nilai-nilai estetika, 5) hubungan musik dengan bahasa. Penggunaan


(33)

(uses) musik berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan (folkways) memainkan musik tersebut, baik sebagai aktifitas yang berdiri sendiri atau dalam aktifitas yang lain.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti upacara Adhi Tiruwila ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong, (1990:3) yang mengatakan11

“Penggunaan metode sangat tergantung kepada orientasi teoritis dan asumsi-asumsi dasar yang digunakan, khususnya yang melandasi tujuan-tujuan tersebut (Alan P Merriam)”

:

“Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”.

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri.

Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian dan etika penelitian. Dalam disiplin Ilmu Etnomusikologi, ada beberapa pendapat yang mengemukakan prinsip dasar dari penggunaan metode yang digunakan dalam sebuah penelitian Etnomusikologi. Salah satunya adalah sebagai berikut:

12

11

Dalam Buku Metode-Metode Penelitian Masyarakat. 12

Kutipan dari Alan P Merriam. Lihat juga dari Rahayu Supanggah 1995:89.


(34)

Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Nikon, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara Adhi Tiruwila pada bulan Agustus. Untuk mendukung data yang diperoleh dari kerja lapangan, penulis melakukan wawancara, yang dalam hal ini adalah wawancara terbuka dan wawancara yang tidak berstruktur.

Menurut Koentjaraningrat, (1977:173-176) menyebutkan wawancara terbuka adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan dengan jawaban-jawaban atau cerita-cerita yang panjang, tidak terbatas jawaban ya atau tidak. Dalam wawancara ini para informan tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui juga apa maksud dari wawancara tersebut.

Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama.

Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.


(35)

1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Kuil Shri Singgamma Kali Koil, yang terletak di Jalan Karya Mesjid, Gang Aman No. 23 E Medan. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan alasan yaitu :

Kuil Shri Singgamma Kali Koil merupakan satu-satunya Kuil yang melaksanakan upacara Adhi Tiruwila di Medan. Di sini penulis mendapat ijin dari pihak panitia upacara Adhi Tiruwila dan Pendeta untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya upacara ini, sebagai sarana tempat penelitian penulisan dan tokoh-tokoh adat yang mengetahui tata cara upacara ini masih ada yang berdomisili di Medan.

Selain itu juga, jemaat yang ada Kuil Shri Singgamma Kali Koil dengan tangan terbuka mau menerima penulis serta memberikan informasi-informasi berharga yang berkaitan dengan objek penelitian yang menjadi objek penulisan skripsi ini.

1.5.2 Pemilihan Informan

Untuk pengumpulan data yang diperlukan, penulis memilih beberapa informasi yang dapat memberikan informasi-informasi yang berhubungan dengan objek penelitian ini. Hal ini didukung oleh pendapat Koentjaraningrat, (1977:163-164) mengenai informan pangkal dan informan pokok.


(36)

1. Informan pangkal adalah informan yang memberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya individu lain dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan yang diperlukan. 2. Informan pokok (kunci) adalah informan yang ahli tentang

sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui. Dalam penelitian ini yang menjadi informan pokok (kunci) adalah Bapak Supiah selaku Pendeta, dan beberapa informan pokok lainnya. Untuk penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah Bapak Jonni yaitu yang telah memberikan informasi tentang upacara Adhi Tiruwila dan lokasi penelitian Kali Koil Singgamma.

1.5.3 Metode Pengumpulan Data

1.5.3.1 Studi kepustakaan

Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian upacara Adhi Tiruwila dalam hubungannya dengan mantra masih sulit didapat.

Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Tamil yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.


(37)

1.5.3.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:

1. Observasi (Pengamatan)

Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar, (1990:114-115) bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara.


(38)

Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi tersebut (seperti konsep-konsep etnosains, ajaran agama Hindu dalam upacara ini dan lainnya) penulis melakukan wawancara.

Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi (Koentjaraningrat, 1981:162).

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat, (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara,

teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

3. Perekaman

Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara :

1. Perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan Handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal.


(39)

2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan Kamera Digital merk Nikon. Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia dan Pendeta.

1.5.3.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Pada tahap kerja laboratorium, seluruh hasil kerja yang telah diperoleh dari studi kepustakaan dan dari hasil penelitian di lapangan di olah, diseleksi, disaring untuk dijadikan data dalam penulisan skripsi ini. Data yang dipergunakan dalam penulisan ini merupakan data-data yang sesuai dengan kriteria disiplin ilmu Etnomusikologi.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat, (1981:328), setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan dan laboratorium, tahap berikutnya yang dilakukan adalah tahap analisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Analisis hasil penelitian yang digunakan untuk mengerjakan penelitian ini ialah analisis kualitatif dan yang menjadi teknik penyajian dalam bentuk tulisan ialah deskriptif. Dengan menggunakan teknik analisis ini, hasil penelitian akan dijelaskan dan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh. Analisis kualitatif yang digunakan oleh penulis selanjutnya dipakai untuk membahas komponen pendukung upacara Adhi Tiruwila masyarakat Tamil di Kuil Shri Singgamma Kali Koil. Dan jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka


(40)

penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.


(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI SINGGAMMA KALI KOIL MEDAN

2.1 Umat Hindu Tamil

Menurut N.Daaldjoeni dalam Edwin (1995:16-17) bahwa orang Tamil menurut sejarah merupakan rumpun bangsa Dravida. Disebutkan bangsa Dravida dalam mendiami India kira-kira 1000 tahun SM. Kulit mereka berwarna gelap. Kemudian kurang lebih 3500 tahun yang lalu negeri itu kedatangan bangsa dari Persia yaitu Aria. Kedatangan bangsa Aria diperkirakan melalui Barat laut India, yaitu Selat Kaiber. Bangsa Aria berkulit putih dan berbahasa Sanskrit. Lalu bangsa Aia menyerang bangsa Dravida dan berhasil menaklukkannya yang kemudian terdesar ke bagian selatan India. Dari adanya ras berkulit putih (Aria) dan berkulit hitam (Dravida) maka penduduk India adalah hasil pencampuran keduanya. Warna kulit dijadikan dasar penggolongan masyarakat yang disebut Kasta. Semakin terang warna kulitnya, maka semakin tinggi kastanya, demikian juga sebaliknya (Jhonny Edwin, 1995:16).

Dalam penggolongan masyarakat (kasta) tersebut, ada tiga pendapat mengenai bangsa-bangsa berkulit hitam tersebut yang sulit dimasukkan kedalam klasifikasi ras umat manusia (N.Daldjoeni, 1991:131-132), yaitu:

1. Pada mereka tidak terdapat ciri-ciri bangsa Negro, mereka juga tidak dapat digolongkan kedalam ras campuran seperti yang di Amerika, disebutkan kaum Mulat (blasteran ras putih dan hitam).

2. Mereka juga tidak dapat digolongkan kedalam bangsa Negro yakni bangsa kerdil berkulit hitam seperti yang tersebar di Filipina dan Indonesia Utara.


(42)

Namun ada kemiripan dengan Negrito, yakni selain pendek posturnya, hidung, pipi dan rambut amat keriting.

3. Adapun bagian ketiga dan terpenting yaitu banyak diantara mereka mirip dengan bangsa Aborigin di benua Australia.

Pada masa sekarang ada empat negara bagian di India Selatan yang termasuk kedalam rumpun bangsa Dravida. Keempat negara bagian tersebut masing-masing memiliki sistem budaya termasuk bahasa dan aksara (kesemuanya tergolong rumpun bangsa Dravida) yang berbeda-beda terkecuali agama. Pada umumnya penduduk India Selatan beragama Hindu. Keempat negara bagian itu adalah:

1. Tamil Nadu 2. Andhra Pradesh 3. Karnataka 4. Kesala

Untuk Tamil Nadu, bahasa yang dipakai adalah bahasa Tamil, negara bagian Andhra Pradesh memakai bahasa Telugu, Karnataka berbahasa Kanada atau Kannarese dan negara bagian Kesala bahasa yang dipakai adalah bahasa Malayam. (N.Daldjoeni dalam bukunya yang berjudul Ras-ras Umat Manusia, 1991:131-132).

2.2 Kedatangan Orang Tamil ke Kota Medan dan Sekitarnya

Ada beberapa catatan yang menguraikan tentang kedatangan orang Tamil ke Kota Medan dan sekitarnya. Salah satu diantaranya berpendapat bahwa suku bangsa ini adalah sebenarnya telah datang ke Indonesia ribuan tahun yang lalu. Menurut sejarah, ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia ke India


(43)

tahun 334-362 SM mengakibatkan bangsa India cerai berai dan banyak melarikan diri karena ketakutan. Penduduk di lembah sungai Indus lari ke bahagian Selatan India dan banyak yang terus lari ke Nikobar, Andaman dan pulau Sumatera (Brahma Putro, 1981:38). Pada dasarnya keterangan tersebut tidak menjelaskan mengenai bangsa India beretnis Tamil, tapi yang pasti kedatangan mereka ke Pulau Sumatera banyak mempengaruhi budaya setempat seperti adat-istiadat, religi, bahasa dan kesenian. Dari keterangan tersebut di atas dapat diduga bahwa bangsa India dan masuknya agama yang mereka anut di Sumatera Timur khususnya Deli Serdang sudah terjadi pada abad IV SM (Sinar, 1988:5).

Sejarah tentang kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang dapat dipastikan pada abad I Masehi. Keterangan tersebut didapat dari buku tua yang berjudul Manimagelaikarangan pujangga sitesar yang aslinya terbit pada abad I Masehi dan sangat populer di India (Brahma Putro, 1981:43). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa orang-orang India beretnis Tamil bersama rombongannya tiba di sebuah kampung yang bernama Haru (sekarang menjadi Karo).

Gelombang terakhir kedatangan orang Tamil ke Kota Medan dan sekitarnya yaitu pada tahun 1872 sebagai kuli kontrak perkebunan bersama dengan orang-orang Jawa yang dipekerjakan pada waktu itu sekitar ratusan orang, (Brahma Putro, 1981:43). Mereka didatangkan dari India Selatan, Malaysia dam Singapura untuk menutupi kekurangan tenaga kerja perkebunan-perkebunan milik Belanda. Sebahagian orang Tamil yang bekerja di perkebunan banyak melarikan diri ke Medan untuk mencari perlindungan sewaktu Jepang berkuasa serta tahun 1946 sebahagian orang Tamil kembali ke negara asalnya. (Burju Matua N, 1990:20-22).


(44)

2.3 Aspek Kesejarahan

Sejarah berdirinya Kuil Shri Singgamma Kali Koil dengan ditemukannya patung nenek Dewi Dhurga di tepi sungai Deli oleh Bapak Supiah. Oleh karena itu, mereka memohon kepada seorang Bapak yang kaya raya yang memiliki tanah dan rumah di dekat Kuil Shri Singgamma Kali koil agar bersedia memberikan tanah dan juga rumahnya kepada umat Hindu Tamil yang ada disekitar Kuil Shri Singgamma Kali Koil yang ada sekarang ini.

Kemudian, dengan diberikannya tanah dan juga rumah oleh Bapak tersebut, maka umat Hindu Tamil yang ada disekitar Kuil Shri Singgamma Kali Koil dengan senang hati mempersiapkan Kuil sedemikian rupa. Pada awalnya Kuil Shri Singgamma bukan berbentuk Kuil yang sebenarnya, tetapi rumah yang kecil yang hiasannya dibuat seperti bentuk Kuil.

Patung yang pertama sekali yang dibuat diatas altar dalam Kuil adalah patung Dewa Ganesha (sebagai guru), Dewa Murga (sebagai pengawal), Dewa Singgamma Kali (sebagai ketua). Ketiga patung ini dibuat sedemikian rupa dan dihias dengan bunga yang berwarna-warni. Sampai saat ini, hiasan yang dibuat di dalam Kuil adalah foto-foto Dewa Hindu yang dibingkai dengan rapi.

Altar adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi yang terdapat di Kuil. Kuil sebagai tempat beribadah atau bersembahyang bagi umat Hindu Tamil untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kuil berdiri pada tahun 1981 yang didirikan oleh:

1. Bapak R. Supiah


(45)

3. Bapak K. Mariappan (Alm) 4. Bapak Hendry J. Siagian (Alm)

Kuil ini diberi nama Shri Singgamma Kali Koil yang memiliki lambang Singa. Singga yang berarti Singa, Amma adalah melindungi bumi. Singgamma Kali adalah nama nenek (Dewi Dhurga) umat Hindu Tamil. Melihat kondisi jemaat yang datang bersembahyang ke Kuil semakin bertambah, maka Bapak Supiah selaku Pendeta di Kuil Shri Singgamma Kali Koil, menganjurkan untuk membangun Aula. Kemudian pada tahun 2009, Aula dibangun dengan mendapatkan sumbangan dari jemaat yang ekonominya menengah ke atas.

Sebelum Kuil Shri Singgamma dibangun, umat Hindu Tamil yang ada di Medan setiap hari-hari raya dan hari-hari suci keagamaan lainnya melaksanakan persembahyangan di Kuil lain yang ada di Medan, bahkan sistem organisasi Kuil Shri Singgamma Kali Koil ini dapat dikatakan tidak ada. Sistem yang mengatur tatacara dalam Kuil Shri Singgamma Kali Koil diatur oleh Bapak Supiah selaku Pendeta yang bertugas sebagai pemimpin upacara dan persembahyangan yang dilaksanakan setiap hari Selasa dan Jumat dan sekaligus orang yang membersihkan Kuil dan Aula. Dapat dikatakan bahwa Kuil Shri Singgamma Kali Koil ini berdiri sendiri tanpa ada sistem organisasinya tetapi dibawah pimpinan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia).


(46)

2.4 Fungsi Kuil

Setiap umat beragama memiliki tempat ibadah. Bagi umat beragama Hindu tempat ibadah itu, lebih sering disebut tempat suci, yang disebut dengan Kuil. Kuil bagi umat Hindu Tamil memiliki arti dan fungsi yang sangat penting, yaitu untuk memuja Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) oleh umat Hindu baik secara pribadi ataupun di dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat, atau tempat umat mendekatkan dirinya dengan sang pencipta yakni Tuhan itu sendiri.

Selain itu juga tempat untuk dialog/komunikasi sosial masyarakat, tempat kesaksian suatu aktifitas, dan sebuah lembaga pendidikan non formal dalam mengasah dan mendidik generasi muda agar berguna dalam masyarakat. Kuil sebagai tempat suci tidak hanya sekedar tempat sembahyang saja, tetapi sebagai tempat sujud jiwa raga kepada Ida Sang Hyang Widhi. Sujud dalam arti kata patuh dan taat, merendahkan diri dan setia.

Siap sedia menjunjung serta menjalankan segala perintah, nasehat, petunjuk ajaran-Nya, dan menjauhkan segala larangan-larangan-Nya pada setiap segi kehidupan. Pada saat upacara Adhi Tiruwila, setiap umat Hindu Tamil berkumpul di Kuil. Di Kuil, mereka mempunyai kesempatan untuk bertukar pikiran, saling mengenal satu dengan yang lainnya. Kuil adalah tempat pelipur duka lara, tempat menunjukkan segala isi hati atas peristiwa yang menimpa dirinya kepada Tuhan.

Dengan pergi ke Kuil terasa lebih dekat dengan Tuhan, sehingga hati merasa terhibur karena bertemu dan berkumpul dengan sahabat dan kawan. Sebelum masuk ke Kuil untuk sembahyang, jemaat sudah membawa sesajen dari rumah masing-masing berupa: buah-buahan, bunga, kelapa muda dan lain-lain


(47)

untuk di persembahkan kepada Dewa sebagai ucapan syukur atas segala berkat dan rahmat yang diberikan Tuhan kepada umat Hidu Tamil.

Sesajen yang dibawa jemaat ke Kuil tidak diharuskan, tetapi karena inisiatif jemaat yang merasakan berkat yang lebih dari yang biasa mereka terima dan mereka merasakan perlindung Tuhan bagi mereka atas kesehatan setiap jemaat. Kuil singgamma Kali Koil, selain sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi, di Kuil ini juga membuat setiap umat saling mengenal satu dengan yang lainnya dan memperbesar rasa kegotongroyongan diantara mereka. Hal ini merupakan suatu bukti dengan adanya Kuil Shri Singgamma Kali Koil menambah semangat umat Hindu Tamil untuk melestarikan kebudayaan mereka, walaupun berada di daerah lain yang jauh berbeda dengan istiadatnya.

Dilihat dari fungsinya, Kuil juga terbuka untuk umum dalam arti tidak dibatasi hanya untuk masyarakat hindu saja13

13

Wawancara dengan Bapak Anan Kumar pada tanggal 14 Agustus 2010 pada siang hari pukul 13.25 Wib pada saat istrahat.

, tetapi juga masyarakat luar Hindu. Banyak umat yang bersembahyang dan yang mengikuti upacara Adhi Tiruwila bukan orang Tamil ataupun beragama Hindu, tetapi yang beragama Islam, Kristen dan Budha juga ada yang bersembahyang ke Kuil ini bahkan ikut melaksanakan upacara.

Hal ini disebabkan oleh berkat yang mereka terima sesudah mereka mendapatkan penyembuhan penyakit, pemulihan ekonomi sejak mereka sembahyang dari Kuil itu. Sudah banyak jemaat non-Hindu yang terdaftar di Kuil Shri Singgamma Kali Koil yang sudah meyakini iman mereka setelah mendapatkan pemulihan dari Tuhan melalui Dewa yang mereka yakini yang mereka terima dari Kuil.


(48)

2.5 Pantangan memasuki Kuil

Dalam kehidupan beragama dari umat Hindu Tamil, di samping kondisi sehat dan bersih maka keadaan suci dan tidak suci sangat diperhitungkan, karena berpengaruh besar terhadap pelaksanaan kegiatan keagamaan. Sebelum memasuki Kuil, umat terlebih dahulu membersihkan kaki, tangan, dan muka di depan sudut aula yang sudah disediakan yaitu berupa kran air dan tempat itu sudah dibuat sedemikian rupa guna untuk tempat jemaat mempersiapkan diri sebelum masuk ke dalam Kuil. Bagi umat wanita yang sedang haid atau mens tidak dapat memasuki Kuil. Untuk itu mereka menunggu sampai selesai haid atau mens kemudian membersihkan diri pribadi di rumah. Bagi umat yang pria tidak ada larangan atau persyaratan untuk masuk ke Kuil.

2.6 Lokasi Kuil

Kuil Shri Singgamma Kali Koil berlokasi di Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan Barat Kotamadya Medan, yaitu di Jalan Karya Mesjid Gang Aman No. 23 E Medan. Bangunan Kuil menghadap ke Timur (ke arah laut/kelod) dan memasuki Kuil menuju kea rah Barat (arah gunung/kaja)14

Dalam mengikuti perjalanan upacara Adhi Tiruwila selama tiga hari berturut-turut, penulis juga banyak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. . Selain dari Kuil ini, masih banyak terdapat Kuil di Medan bahkan di seluruh Indonesia juga. Kuil Shri Singgamma Kali Koil adalah salah satu Kuil tempat umat Hindu Tamil melaksanakan sembahyang dan upacara-upacara keagamaan bersama.

2.7 Mata Pencaharian Masyarakat Hindu Tamil

14

Konsep arah bagi masyarakat Hindu Tamil sangat penting artinya ketika memasuki Kuil. Oleh karena itu arah sembahyang menghadap ke barat (gunung/kaja), karena gunung dan bukit-bukit dianggaptempat para Dewa dan juga tempat para leluhur yang suci atau yang sudah disucikan. Oleh karena itu, maka gunung dan bukit-bukit dianggap suci dan keramat.


(49)

Selain bersosialisasi, penulis juga mengamat-amati setiap jemaat yang datang ke Kuil bahkan orang-orang yang ikut melaksanakan upacara Adhi Tiruwila.

Pada saat acara sudah selesai, penulis mewawancarai salah satu jemaat Kuil Shri Singgamma yaitu Bapak Anan Kumar dengan maksud menanyakan mata pencaharian jemaat Kuil tersebut. Dapat dikatakan bahwa mata pencaharian jemaat sebagian besar sebagai Wiraswasta yaitu sebagai pedagang dan karyawan. Selain itu, ada juga yang bekerja sebagai Pegawai Negeri. Bagi yang wanita, kebanyakan hanya sebagai ibu rumah tangga dibandingkan dengan wanita yang bekerja sebagai pedagang.

2.7.1 Agama/Kepercayaan

Manusia mengekspresikan perasaan dan pikirannya untuk mencari hubungan dengan dunia gaib adalah merupakan titik permulaan lahirnya agama. Ekspresi perasaan dan pikiran yang berwujud kalimat-kalimat singkatan didukung dengan sesuatu wujud materi yang sarananya diambil dari lingkungannya dengan alasan-alasan yang mengandung kekuatan gaib. Semua ini merupakan permulaan dari upacara keagamaan yang menggunakan sarana-sarana tertentu, namun demikian tidak semua agama memiliki ritual yang sama. Hal ini tergantung pada latar belakang lahirnya agama itu dan ditentukan oleh lingkungan tempat lahirnya.

Masuknya ajaran-ajaran Hindu ke Indonesia adalah dengan jalan evolusi dengan dasar kesamaan dan penyesuaian dalam pertemuan dari yang sudah ada dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh masyarakat Hindu. Jadi dengan kata lain, bahwa perkembangan agama Hindu sebagai”message of synthesis” yaitu menghormati kepercayaan yang ada dan mencari kesatuan jiwa untuk meninggikan hidup kerohanian dan tidak memperlihatkan kekerasan atau


(50)

kebencian, merendahkan atau melenyapkan apa yang ada yang berarti dapat melenyapkan kepribadian bangsa itu sendiri. Sistem kepercayaan kuno agama Hindu adalah penyembuhan terhadap leluhur atau nenek moyang dan kekuatan gaib. Dengan pengaruh Hindu terjadilah sinkritisme antara kepercayaan kuno dengan kepercayaan Hindu secara evolusi.

Dalam ajaran agama Hindu, Tuhan adalah sebagai pencipta alam semesta isinya. Umat Hindu di Indonesia memberi gelar SangHyang Widhi Wasa. Widhi artinya takdir dan Wasa artinya maha kuasa. Widhi Wasa artinya maha kuasa dan mentakdirkan segala yang ada. Selain bergelar SangHyang Widhi, Ia disebut juga dengan nama Bhatara sebagai pelindung Dewa tertinggi, Sanghyang Parameswara sebagai raja termulia, dan lain-lain.

Di dalam manifestasinya sebagai Dewa, Ia dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yang disebut dengan Tri Murti yang terdiri dari:

1. Dewa Brahma berfungsi sebagai pencipta dan disimbolkan dengan A. 2. Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara dan pelindung dan

disimbolkan dengan U.

3. Dewa Siwa berfungsi sebagai pralina (pelebur segala isi alam kepada asalnya) dan disimbolkan dengan M.

Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan disimbolkan dengan aksara OM atau AUM, yang selalu ada pada setiap pembacaan doa. Hal ini memberikan arti bahwa Ida SangHyang Widhi mempunyai sifat yang Esa yang disebut dalam nama ketiga Dewa sekaligus. Penyembahan terhadap leluhur atau nenek moyang dengan kekuatan gaib ditambah dengan penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama Hindu percsys dengan adanya Panca Cradha (kepercayaan) yakni:


(51)

1. Percaya akan adanya Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)

Ida Sanghyang Widhi adalah Ia yang berkuasa atas segala yang ada. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Ida Sanghyang Widhi dipanggil Brahma sebagai pencipta. Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pengembali segala sesuatunya.

2. Percaya akan adanya Atma (roh leluhur). 3. Percaya akan adanya Hukum Karma Phala

Karma adalah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Kata phala berarti buah atau hasil. Sehingga karma phala berarti segala karma (perbuatan) akan mengakibatkan karma phala (hasil/buah perbuatan).

4. Percaya terhadap adanya Purnarbhawa (Samsara)

Purnarbhawa atau Samsara kelahiran kembali ke dunia. Kelahiran kembali ke dunia adalah untuk memperbaiki diri.

5. Percaya akan adanya Moksa

Bila seseorang terlepas dari ikatan dunia ini ia mencapai Moksa. Moksa berarti kelepasan. Inilah tujuan akhir dari pemeluk agama Hindu. Orang yang telah mencapai tidak lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Ida Sanghyang Widhi.


(52)

Kegiatan agama dan kepercayaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu Tamil di Kuil Shri Singgamma Kali Koil dapat dibagi atas:

1. Sembahyang, yang diadakan setiap hari Selasa dan Jumat. Sembahyang dimulai dari pukul 18.00 wib-22.00 wib. Acara persembahyangan wajib dilakukan jika tidak ada halangan pada hari yang sudah ditentukan. Pakaian yang digunakan harus bersih, rapi, dan sopan.

2. Upacara Adhi Tiruwila, yang dirayakan pada bulan Agustus setiap tahunnya. Upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan untuk memuja Dewi Dhurga yang bertujuan untuk menyenangkan hati Dewi Dhurga sebagai penghancur keangkara.

3. Vinayagar Cathurthi, yang dirayakan pada bulan September setiap tahunnya. Acara ini merupakan hari kemenangan Dewa bagi umat Hindu Tamil.

4. Setiap hari Kamis, jemaat dan Pendeta mengadakan pemandian Patung Dewa, yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan antara lain: susu lembu, air putih, jeruk nipis, bunga, bubuk kunyit, bubuk cendana dan pewangi yang terbuat dari bunga. Semua bahan-bahan tersebut dicampur di dalam tempayan dan diramu sedemikian rupa.


(53)

2.7.2 Veda, Kitab Suci Umat Hindu 2.7.2.1 Pengertian Veda

Kata Veda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan estimologi (kata dasar) dan berdasarkan semantik (pengertiannya). Kata Veda berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata dasar Vid, yaitu pengetahuan dari kata dasar ini berubah menjadi kata benda yang artinya kebenaran, pengetahuan suci, kebijaksanaan, dan secara semantik berarti kitab suci yang mengandung abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu.

Sebagai kitab suci agama Hindu maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan (mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih dahulu bahwa isinya memberikan petunjuk atau ajaran untuk hidup suci. Sebagai kitab suci,

Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali dan memberikan pengaruh terhadap kitab-kitab kesusastraan Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda atau Bruti mengalirlah ajaran Veda pada kitab Sarti, Itihasa, Purane, kitab-kitab agama Tantra, Darsana, dan Tattwa yang diwarisi di Indonesia. Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan pada saat pralaya (kiamat) nanti. Veda menuntun tindakan umat tidak terbatas pada tuntutan hidup


(54)

individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Segala tuntutan hidup ditunjukkan kepada umat dalam kitab suci Veda.

2.7.2.2 Pembagian dan Isi Veda

Menurut Maurice Winternitz, kitab-kitab Veda terdiri dari tiga pengelompokan dan masing-masing kelompok tersebut dari sejumlah besar atau kecil yang diterima oleh para Rsi (nabi) berupa mantra-mantra, baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam kelompok. Sebagian mantra-mantra itu dapat diselamatkan dan sebagian lagi hilang dalam perjalanan waktu. Pengelompokan itu adalah:

1. Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain.

2. Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang Ketuhanan/Theologi observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan individu, kelompok, maupun upacara-upacara besar lainnya.

3. Aranyaka dan Upanisad, yang pertama mengandung ajaran tentang meditasi atau kehidupan menjadi bertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, tentang dunia dan kehidupan umat manusia.

Ada empat jenis Samhita yang masing-masing memiliki perbedaan satu dengan lainnya, yaitu:


(55)

1. Rg Veda Samhita, yakni himpunan rc atau rk. Rg. Veda artinya pengetahuan suci yang berhubungan dengan nyanyian pemujaan dan bila dihubungkan dengan Veda akan menjadi Rg. Veda.

2. Yajurveda Samhita, yakni kumpulan Mantra Yajus, pengetahuan suci tentang upacara korban.

3. Samaveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Saman, pengetahuan suci tentang irama (melodi) mengembangkan mantra-mantra Veda.

4. Atharveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Atharvan, pengetahuan suci yang memberikan manfaat berhubungan dengan kehidupan di dunia.

Keempat jenis mantra ini disebut Catur Veda. Kitab Catur Veda dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dikembangkan lagi sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri, yaitu:

1. Kelompok yang membahas aspek Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas berbagai macam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaan-Nya, termasuk theologi, kosmologi, dan lain-lain yang bersifat metafisik. Kata Vijnana berarti kebijaksanaan tertinggi.

2. Kelompok yang membahas aspek karma, yaitu kelompok mantra mengenai berbagai aspek atau jenis karma sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia.

3. Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan Sanghyang Widhi.


(56)

4. Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni.

Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam di bidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut.

“Tasmad yajnat sarvahuta roah samani yahnire, chandamsi yajnire tasmad yajus tasmad ajayata”.

(Yajur Veda XXXI.7.)

(Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai Yajna, daripada-Nyalah muncul Rg Veda dan Sama Veda, daripada-Nyalah pula muncul Yajur veda dan Atharva Veda.)


(57)

BAB III

DESKRIPSI UPACARA ADHI TIRUWILA 3.1 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan Upacara

Umat Hindu percaya bahwa alam semesta dengan bintang, dan benda-benda di ruang angkasa yang tidak terlihat oleh, sebenarnya di dalam tubuh Ida Sanghyang Widhi. Bumi ini tidak lebih dari sebuah sel dalam tubuh-Nya. Cara yang paling mudah dan paling indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui rasa.

Untuk membangkitkan rasa cinta kepada Tuhan maka diperlukan suatu kondisi tertentu, kondisi yang dapat membuat agar rasa keTuhanan muncul dan hidup dengan mantap. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu membuat Kuil di tempat-tempat yang indah, bersejarah atau yang dapat membangkitkan kekaguman akan kebesaran Tuhan, disamping dekat dan mudah dicapai umat-Nya.

Yo devo’ gnam yo’ psu Yo visnam bhuvana mavivesa Ya osadhisu yo vanaspatisu tasmai Devaya namo namah

(Svetasvataropanisah II.7)15

Dalam kondisi yang demikian maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Tuhan, dan rasa ego atau keakuan mulai lenyap diganti rasa kagum dan hormat maka konsentrasi pikiran kepada Tuhan pun akan lebih mantap dan terpusat. Bahan dan bentuk Kuil pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat Terjemahan :

Sujud pada Tuhan yang ada dalam api, yang ada di air, yang meresapi seluruh alam semesta, yang ada dalam tumbuh- tumbuhan, yang ada dalam pohon kayu.

15


(58)

tinggal ataupun gedung. Bagi umat Hindu Kuil adalah kahyangan tempat memuja kekuasaan Tuhan, karena itu dibuatlah Kuil dengan bentuk dan bahan berbeda dengan yang lain, sehingga bila kita memasuki kuil maka perasaan pun seperti masuk ke kahyangan, dan Tuhan pun seperti ada di Kuil tersebut.

Perwujudan rasa hormat tersebut terlihat pada etika hidup masyarakat Hindu dimana arah kaja yaitu gunung dianggap sebagai hulu (kepala). Gunung dan matahari terbit adalah merupakan kiblat (arah) dimana umat Hindu menundukkan kepala kehadapan Ida sanghyang Widhi pada saat bersembahyang, sebagai perwujudan rasa bakti. Gunung dikenal dengan nama Acala Lingga yang berarti tempat Tuhan yang tidak bergerak, karena kenyataannya gunung memang tidak dapat dipindahkan sehingga umat Hindu yakin gunung adalah sebagai linggih Ida Sanghyang Widhi.

Di samping arah gunung, arah matahari terbit yaitu arah timur adalah arah yang dianggap suci. Letak bangunan Kuil umat Hindu sebagian besar terletak di arah timur menghadap ke barat, sehingga umat yang sembahyang pun akan menghadap ke timur. Hal ini didasari oleh keyakinan umat Hindu bahwa matahari adalah simbol kekuasaan Ida Sanghyang Widhi, karena matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap hidup dan keselamatan umat manusia. Karena kekuatan yang diciptakan matahari menyebabkan bumi berputar, aingin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bias hidup, bila matahari tidak ada maka bumi pun mati.

Maka pada waktu sembahyang, umat Hindu mencakupkan tangannya memuja Tuhan ke arah matahari terbit (timur) atau ke arah gunung. Tempat darimana Ida Sanghyang Widhi telah menyampaikan kasih berupa anugerah yang


(59)

berlimpah kepada semua makhluk, darimana datangnya kasih tersebut melalui itu pula umat Hindu menundukkan kepala menyatakan terimakasih.

Bagi umat Hindu penyucian suatu tempat suci (Kuil) adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Sebuah tempat suci harus tetap dijaga kesuciannya karena merupakan Sthana (tempat tinggal) dari Ida Sanghyang Widhi. Adapun hal yang melatarbelakangi upacara adalah disebabkan karena adanya rasa syukur dan kekaguman umat Hindu Tamil pada masa lampau kepada Dewi Dhurga sebagai Dewi yang sudah berjasa melawan keangkara maut dan penyakit supaya pada masa lampau penyakit itu tidak diturunkan kepada umat Hindu, karena penyakit cacar dan kolera dapat menyebabkan kematian.

Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu Tamil merayakan upacara ini yang bertujuan untuk meyenangkan hati nenek mereka (Dewi Dhurga). Kemudian permohonan yang dilakukan Dewi Dhurga kepada Dewa Hindu dikabulkan, maka mereka membuat perayaan ini sebagai ungkapan syukur mereka kepada Dewi Dhurga.

Dikatakan upacara Adhi Tiruwila karena pengertian Adhi yaitu Bulan dan Tiruwila adalah panas. Maka Adhi Tiruwila adalah bulan panas yang mereka anggap karena banyak para umat pada masa lampau terkena penyakit yang dapat mematikan masyarakat terutama penyakit cacar dan kolera. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu Tamil ini menyediakan bubur pada saat upacara dilaksanakan karena bubur bagi mereka dapat mendinginkan suasana yang panas pada masa lampau.


(60)

3.2 Tempat Pelaksanaan Upacara

Dalam membahas tempat pelaksanaan upacara Adhi Tiruwila, penulis akan menyebutkan satu-persatu seperti yang penulis saksikan pada saat upacara dilaksanakan. Tempat awal upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan di Kuil dan Aula Shri Singgamma Kali Koil yang diselenggarakan mulai pagi sampai dengan siang hari. Di dalam Kuil tepatnya di Altar telah dipersiapkan patung Dewa Ganesha (sebagai Guru), Dewa Murga (sebagai Pengawal), dan Dewa Singgamma Kali (sebagai Ketua) sebagai alat perantara umat Hindu Tamil kepada Ida Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk setiap permohonan setiap umat pada saat acara persembahyangan. Dan dibagian bawah Altar adalah sebagai tempat sesajen atau persembahan jemaat kepada Dewa16

Upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan setiap akhir bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus yang dilaksanakan sekali dalam setahun, yang artinya acara puasa dimulai sejak akhir bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus

Hindu.

Pada malam harinya, upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan di Kuil yang jaraknya tidak jauh dari Kuil Shri Singgamma yaitu kira-kira 100 Meter. Kemudian pada hari Minggu, upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan di pinggir Sungai Deli dan setelah upacara selesai kembali lagi ke Kuil Shri Singgamma Kali Koil.

3.3 Komponen Upacara 3.3.1 Saat Upacara

16

Dewa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu div yang berarti sinar cahaya (nur). Dewa-dewa yang dihubungkan untuk satu aspek tertentu dari fenomena alam semesta ini. Tiap aspek dikuasai oleh satu dewa atau lebih dengan ciri-ciri atau lambang-lambangnya yang khusus pula. Dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam semesta ini, untuk mengendalikannya. Dewa bukanlah Tuhan.


(1)

(2)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Upacara Adhi Tiruwila adalah merupakan upacara doa bersama dan ritual

tahunan Dewi Dhurga sebagai Dewi penghancur keangkara murkaan. Upacara

Adhi Tiruwila bertujuan untuk menolak bala atau penyakit bagi masyarakat

Hindu pada masa lampau hingga sampai saat ini upacara Adhi Tiruwila dilaksanakan guna untuk menolak bala atau penyakit. Adapun rangkaian acara dalam upacara Adhi Tiruwila yaitu :

1. Upacara Shakti Kargem 2. Upacara Trobathi Amma 3. Upacara Phu Kargem 4. Upacara Kurban

Pada setiap pelaksanaan upacara keagamaan selalu dilaksanakan persembahyangan oleh umat Hindu, dimana dalam persembahyangan Puja Dewi

Dhurga selalu dinyanyikan oleh Guru Kal melalui mantra. Puja Dewi Dhurga

merupakan doa dalam persembahyangan yang berarti tiga kali menghubungkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi.

Salah satu unsur penting dalam upacara Adhi Tiruwila adalah musik. Pada umumnya upacara tidak terlepas dari musik, sama halnya dengan upacara Adhi


(3)

Nagasvaram hanya diiringi instrument Tabla. Dalam hal ini ensamble Urumee Melam dan ensamble Nagasvaram berasal dari India Selatan sedangkan instrumen Tabla berasal dari India Utara. Hal ini disebabkan karena pemain musik yang

mengiringi upacara Adhi Tiruwila tersebut berasal dari Malaysia, yang pada dasarnya di Malaysia adalah mayoritas India Utara.

Adapun fungsi Puja Dewi Dhurga dalam kehidupan umat Hindu adalah (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi perlambangan, (3) fungsi komunikasi, (4) fungsi kesinambungan kebudayaan (5) fungsi pengesahan upacara agama, (6) fungsi pengintegrasian masyarakat, dan (7) fungsi hiburan. Untuk memperoleh hasil analisis dari musik ansamble Urumee Melam dan Nagasvaram, penulis melakukan transkripsi. Ditinjau dari segi musikal, tangga nada ansamble

Urumee Melam tersebut tergolong kepada Oktaf (Bb, C, Db, D, E, F, G, A’).

Bentuk dari ensamble Urumee Melam adalah Repetitive. Analisis kontur ensamble

Urumee Melam pada umumnya Pendulous dan sesekali Teracced. Sedangkan

ansamble Nagasvaram, penulis hanya membuat ke dalam bentuk ritme saja.

Akhir dari upacara Adhi Tiruwila adalah dengan mengadakan upacara kurban yaitu dengan memotong kambing sebanyak 21 ekor untuk persembahan kepada Dewi Dhurga dan untuk ucapan syukur seluruh umat atas terlaksananya upacara selama tiga hari yang dilaksanakan pada hari Selasa. Upacara ini merupakan acara penutup dari upacara Adhi Tiruwila.


(4)

5.2 Saran

Penulis mengakui bahwa dalam meneliti upacara Adhi Tiruwila ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakan penelitian di bidang yang sama agar peneliti dapat melihat perkembangan yang lebih baik lagi.

Selain itu, penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti upacara Adhi Tiruwila secara pada bagian musiknya, karena penulis rasakan bahwa pada waktu mengadakan penelitian tidak menyadari adalah seorang Etnomusikolog sehingga tidak difokuskan kepada musiknya melainkan pada seluruh rangkaian upacara. Sehingga kajian ini tidak berhenti di sini saja, namun dapat menambah wawasan para peneliti berikutnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harja W. 1990. Pengamatan Sebagai Suatu metode Penelitian. Jakarta: Gramedia

Basarsyah, Tuanku Luckman Sinar.2008. Orang India Di Sumatera Utara ( The

Indians In North Sumatera): PT Forkala Sumut

Fisher, HTH.1980. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia

Koentjaraningrat. 1977,1990. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia

Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Malau, Liat Roy P.2007. Kajian Musikal Dan Tekstual Pembacaan Sutra

Amithaba Pada Upacara Uposatha masyarakat Buddha Mahayana Di Vihara Borobudur Medan Sumatera Utara. Medan: USU

Merriam, Alan.P. 1964. The Antropology of Music. North Western University. Moleong, Lexy. J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology (terjemahan). New York: The Free Press of Glencoe.

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka.

Rotua, Ida. 1993. Studi Deskriptif Dan Organologis Gonrang Sipitu-pitu Pada

Masyarakat Simalungun

Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Indonesia

Suyanto, Bagong, Sutinah.2008. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Kencana Wade, Bonnie C. 1979. Music India The Classical Traditions

Indian council for cultural relations New Delhi, february, 1995. Concise Dictionary Of Music Halaman 82


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Anan Kumar Umur : 20 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta Status : Belum Menikah

2. Nama : R.Supiah Umur : 73 Tahun Pekerjaan : Pendeta

Status : Sudah Menikah

3. Nama : Shiwa Kumar (Jooni) Umur : 32 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta Status : Belum Menikah

4. Nama : Welaidem Umur : 45 Tahun

Pekerjaan : Pinandita (Rohaniawan) Status : Sudah Menikah