Pangguni Uttiram (Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara)

(1)

PANGGUNI UTTIRAM

(Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Ayu Sri Mahasti

NIM. 020905046

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

i

KATA PENGANTAR

Pangguni Uttiram adalah suatu deskripsi tentang kelompok masyarakat

Hindu-Tamil yang berusaha menjaga tradisinya. Seiring dengan berjalannya waktu, semua yang ada akan bertambah atau malah punah. Dengan memahami tradisi ini sebagai satu dari keragaman budaya di Indonesia, kita pun telah ikut menjaganya.

Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Apresiasi

setingginya untuk masyarakat Hindu-Tamil khususnya di Sumatera Utara. Terima kasih karena telah mengizinkan penulis memasuki “wilayah”nya. Kepada para informan yang sudah memberikan tempat dan waktu bagi penulis untuk belajar mengerti lebih banyak tentang arti toleransi beragama. Terima kasih untuk kerja samanya selama penulis melakukan studi lapangan.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Departemen Antropologi USU. Bapak Zulkifli Lubis, Bapak Agustrisno, Ibu Mariana Makmur, serta seluruh dosen pengajar, yang telah memberikan arahan dan bimbingan, ilmu dan pengetahuan, serta kesabaran dalam menghadapi penulis selama menjalani masa studinya.

Kepada orang-orang yang telah memberikan dukungan selama proses penulisan skripsi ini. Terima kasih setulusnya untuk Bapak dan Ibuku, yang terus berjuang menjadikanku, serta abang-abangku yang sudah banyak membantu. Maaf karena harus menunggu waktu yang lama. Terima kasih banyak buat sahabat-sahabatku: Imay, Ika, Kekem, Tere, Bewok, David, Novandi, Ika Agus, Nanda, dan teman-teman Antrop’02 lainnya. Terima kasih buat teman-teman di


(3)

KOMPAS-USU untuk semangat, doa, dan cerita yang ikut mewarnai proses pendewasaan penulis: Halima dan Bang Edrol, juga khususnya teman-teman Rabi Lapas. Terimaksih buat Sardi Asmet atas sumbangan fotonya. Terima kasih juga untuk teman-teman STIK-P: Dedy, Neti dan Wana yang ikut meliput. Untuk orang-orang yang pernah menjadi tempat keluh kesahku selama ini..terima kasih sudah menjadi teman yang baik.

Akhirnya penulis harus jujur, bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penulis. Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang dapat membangun. Semoga apa yang tertulis dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, akhir Mei 2008


(4)

vii

ABSTRAK

Agama Hindu banyak menjalani kepercayaannya melalui praktik upacara. Berbagai upacara pemujaan dilakukan sebagai bakti mereka kepada Dewa-dewanya. Meskipun pada hakekatnya ajaran Hindu di berbagai daerah semua sama, namun dalam praktik keagamaan yang tampak pada upacara-upacaranya mungkin berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari faktor kebudayaan. Agama Hindu menjadi agama yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemeluknya, seperti Hindu-Bali, Hindu Tamil, ataupun Hindu dalam kebudayaan yang berbeda lainnya. Atas dasar hal tersebutlah maka penelitian ini dilakukan.

Tujuan penelitian adalah mendapatkan gambaran mengenai konsep kepercayaan Hindu-Tamil dalam ritual keagamaan yang diberi nama Pangguni

Uttiram. Penelitian ini dilakukan di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk

Pakam, Sumatera Utara. Fokus penelitian adalah beberapa aspek upacara yang bisa memberikan pemahaman tentang kepercayaan Hindu-Tamil. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam terhadap informan dilakukan untuk memperoleh penjelasan makna setiap aspek upacara yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat yang digunakan dalam upacara, serta fungsi dari ritual tersebut.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Hindu-Tamil memiliki upacara keagamaan yang detail dan tersusun dalam keempat aspek yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat upacaranya. Melalui keempat aspek tersebut, dapat dilihat pemahaman masyarakat Hindu-Tamil mengenai konsep kepercayaannya. Ritual ini adalah pengulangan peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat di dalam mitologi Dewa Murugar. Umat Hindu-Tamil memaknai setiap ritual dengan nilai-nilai ajaran Hindu sebagaimana yang terkandung dalam mitologi Dewa Murugar. Selain itu ritual Pangguni Uttiram ternyata memiliki fungsi lain selain fungsi agama seperti fungsi sosial, seni, politik, dan pariwisata. Adanya unsur politik juga telah mempengaruhi masyarakat Hindu-Tamil dalam pelaksanaan upacaranya, yang secara perlahan akan merubah pemahaman mereka tentang ritual Pangguni Uttiram.

Kata Kunci: Ritual Pangguni Uttiram, Hindu-Tamil.


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Lokasi Penelitian ... 6

1.5 Kajian Pustaka ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TAMIL DI SUMATERA UTARA ... 17

2.1 Suku Bangsa Tamil ... 17

2.2 Lokasi ... 19

2.3 Asal-mula dan Sejarah Kedatangan Tamil ... 23

2.4 Bahasa ... 24

2.5 Pimpinan Masyarakat ... 25

2.6 Sistem Mata Pencaharian ... 26

2.7 Sistem Kekerabatan ... 27

2.8 Sistem Pengetahuan ... 30

2.9 Kesenian ... 31

2.10 Sistem Religi ... 33

2.11 Sejarah Tradisi Pangguni Uttiram di Lubuk Pakam ... 36

BAB III RANGKAIAN RITUAL PANGGUNI UTTIRAM ... 39

3.1 Aspek-aspek Upacara ... 39

3.1.1 Tempat Pelaksanaan ... 39


(6)

iv

3.1.3 Pelaku Upacara ... 48

3.1.4 Bahan dan Alat Upacara ... 51

3.2 Persiapan Ritual ... 56

3.2.1 Menjalani Puasa ... 56

3.2.2 Membentuk Panitia Penyelenggara ... 58

3.2.3 Puja-Puja Dewa ... 59

3.2.4 Penaikan Bendera Kuil ... 60

3.3 Pelaksanaan Upacara ... 62

3.3.1 Abhisegam ... 62

3.3.2 Archanai ... 64

3.3.3 Alagu ... 66

3.3.4 Arakan Kavadigal ... 68

3.3.5 Arakan Ratham ... 71

3.4 Ritual Penutup ... 72

BAB IV FUNGSI RITUAL PANGGUNI UTTIRAM ... 74

4.1 Fungsi Agama ... 74

4.2 Fungsi Sosial ... 75

4.3 Fungsi Seni dan Politik ... 76

4.4 Fungsi Pariwisata ... 78

BAB V KESIMPULAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 85  Daftar Informan


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Daerah Penyebaran Suku Bangsa Tamil di

Sumatera Utara ... 21 Gambar 2.2. Peta Kawasan dengan Komunitas Tamil yang Mulai Menyebar

di Kota Medan ... 22 Gambar 2.3. Nagasarem dan tabila, alat musik yang dimainkan saat

upacara ... 32 Gambar 2.4. “Sebuah Tubuh Manusia Diambil sebagai Bentuk Dasar, dan

Kuil Yang Merupakan Sebuah Tempat Pemujaan Dikonstruksi- kan dengan Bentuk Itu sebagai Dasarnya ... 44 Gambar 2.5. Peta Kelurahan Dimana Tertera Route (Jalur) Yang digunakan

untuk arak-arakan ... 45 Gambar 3.6. Achien, salah seorang peserta dari etnis thionghoa beragama

Budha saat ikut ritual Pangguni Uttiram ... 49 Gambar 3.7. Salah seorang peserta Alagu dari kalangan perempuan ... 50 Gambar 3.8. Aneka macam sesaji yang disiapkan untuk puja-puja khusus .. 52 Gambar 3.9. Peserta Wirtho yang sedang bersiap-siap mengikuti upacara ... 57 Gambar 3.10. Umat yang sedang melakukan puja-puja dengan membaca

doa-doa dan nyanyian ... 60 Gambar 3.11. Seorang pendeta sedang melakukan abhisegam, memandikan

arca Dewa dengan susu dan aneka bunga ... 63 Gambar 3.12. Seorang pendeta sedang melakukan archanai dibantu oleh

beberapa orang ... 65 Gambar 3.13. Sesaji yang disiapkan untuk archanai ... 65 Gambar 3.14. Peserta Alagu wajib melakukan mandi suci ... 66 Gambar 3.15. Prosesi Alagu seorang peserta yang dilakukan seorang

pendeta ... 67 Gambar 3.16. Jarum (alu) yang ditusukkan ke lidah dan punggung peserta ... 68


(8)

vi

Gambar 3.18. Pada arakan Kavadigal diisi dengan tari-tarian dan nyanyian .. 69 Gambar 3.19. Peserta dalam keadaan trance (tidak sadarkan diri) saat

diarak menuju kuil ... 70 Gambar 3.20. Kesenian tradisional Thionghoa (Barongsai) dan Jaran

Kepang yang ikut mewarnai arak-arakan ... 70


(9)

ABSTRAK

Agama Hindu banyak menjalani kepercayaannya melalui praktik upacara. Berbagai upacara pemujaan dilakukan sebagai bakti mereka kepada Dewa-dewanya. Meskipun pada hakekatnya ajaran Hindu di berbagai daerah semua sama, namun dalam praktik keagamaan yang tampak pada upacara-upacaranya mungkin berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari faktor kebudayaan. Agama Hindu menjadi agama yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemeluknya, seperti Hindu-Bali, Hindu Tamil, ataupun Hindu dalam kebudayaan yang berbeda lainnya. Atas dasar hal tersebutlah maka penelitian ini dilakukan.

Tujuan penelitian adalah mendapatkan gambaran mengenai konsep kepercayaan Hindu-Tamil dalam ritual keagamaan yang diberi nama Pangguni

Uttiram. Penelitian ini dilakukan di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk

Pakam, Sumatera Utara. Fokus penelitian adalah beberapa aspek upacara yang bisa memberikan pemahaman tentang kepercayaan Hindu-Tamil. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam terhadap informan dilakukan untuk memperoleh penjelasan makna setiap aspek upacara yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat yang digunakan dalam upacara, serta fungsi dari ritual tersebut.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Hindu-Tamil memiliki upacara keagamaan yang detail dan tersusun dalam keempat aspek yang meliputi tempat, waktu, pelaku, bahan dan alat upacaranya. Melalui keempat aspek tersebut, dapat dilihat pemahaman masyarakat Hindu-Tamil mengenai konsep kepercayaannya. Ritual ini adalah pengulangan peristiwa atau kejadian-kejadian yang terdapat di dalam mitologi Dewa Murugar. Umat Hindu-Tamil memaknai setiap ritual dengan nilai-nilai ajaran Hindu sebagaimana yang terkandung dalam mitologi Dewa Murugar. Selain itu ritual Pangguni Uttiram ternyata memiliki fungsi lain selain fungsi agama seperti fungsi sosial, seni, politik, dan pariwisata. Adanya unsur politik juga telah mempengaruhi masyarakat Hindu-Tamil dalam pelaksanaan upacaranya, yang secara perlahan akan merubah pemahaman mereka tentang ritual Pangguni Uttiram.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelompok suku bangsa Tamil di Indonesia berasal dari negara India bagian selatan. Kelompok suku bangsa Tamil ini banyak terdapat di Sumatera Utara seperti Pematang Siantar, Lubuk Pakam, Langkat, Binjai, dan Medan. Banyak dari mereka didatangkan pada zaman kolonial Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Kelompok suku bangsa Tamil kemudian berkembang secara turun-temurun hingga sekarang di Indonesia.

Suku bangsa Tamil adalah mayoritas pemeluk Agama Hindu.1 Meskipun pada hakekatnya ajaran Hindu di berbagai daerah semua sama, namun dalam praktik keagamaan yang tampak pada upacara-upacaranya mungkin berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari faktor kebudayaan. Agama Hindu menjadi agama yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemeluknya.

Agama Hindu banyak menjalani kepercayaannya melalui praktik upacara. Berbagai upacara pemujaan dilakukan sebagai bakti mereka kepada Dewa-dewanya. Seperti yang kita ketahui misalnya pada masyarakat Bali. Agama Bali2

1

Agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib ironis saja diberi nama agama. Dengan pangkal kepada Weda-weda yang terkandung di dalamnya dirinya adat-istiadat dan gagasan-gagasan salah satu atau beberapa suku bangsa, agama Hindu sudah bergulir terus di sepanjang abad hingga kini, sebagai suatu bola salju yang makin lama menjadi besar karena menghisap adat-istiadat dan gagasan-gagasan bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya (Harahap, 1994: 89).

2

Penyebutan Agama Bali mengacu kepada Agama Hindu yang terdapat di Bali. Penggunaan sebutan ini memang masih menjadi perdebatan di kalangan Hindu-Bali.


(11)

juga terwujud dalam upacara dan agama dalam bentuk upacara, diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya melalui praktik keagamaannya. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Bali dengan berbagai macam pelaksanaan upacaranya (Abdullah, 2002: 45). Hal serupa itu juga akan terlihat pada masyarakat Tamil.

Masyarakat Tamil di Indonesia adalah kelompok suku pendatang yang kemudian berkembang di Indonesia. Oleh karena masyarakat keturunan suku bangsa Tamil ini telah menjadi bagian dari warga negara Indonesia, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, terutama dalam kehidupan beragama.

Pada saat-saat tertentu, umat Hindu-Tamil melaksanakan upacara agama diantaranya Aadi Tirula, Ganisher Puja, Nawaratri, Pangguni Uttiram,

Kartigeya. Ritual ini biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu menurut

kalender Hindu-Tamil sebagai perayaan khusus kepada setiap Dewa-dewanya. Bentuk upacaranya sama yakni pemujaan Dewa, akan tetapi latar belakangnya berbeda. Beranjak dari hal tersebut, penulis mencoba memberi perhatian khusus pada salah satu ritual yang diberi nama Pangguni Uttiram.

Kata “pangguni uttiram” berasal dari penamaan salah satu bulan dari kalender Hindu-Tamil, yaitu bulan Pangguni, dan Uttiram adalah satu dari 27 bintang dalam astrologi Hindu-Tamil. Pangguni Uttiram adalah hari raya bagi umat Hindu-Tamil. Hari raya ini diperingati sebagai hari kelahiran atau ulang tahun Dewa Murugar. Bagi umat Hindu-Tamil, pelaksanaan ritual ini saatnya bagi mereka untuk meminta sesuatu atau saatnya bagi mereka yang ingin membayar niat mereka karena keinginannya telah terpenuhi.


(12)

3 Seperti yang dikisahkan oleh Bapak Thegu (70 Tahun):

“Murugar adalah anak pertama dari Dewa Siwa dan Amen (Dewi Parwati). Sifat Murugar lebih keras dari adiknya Ganisher (Dewa Ganesha). Hingga suatu hari Murugar ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang diberikan Amen kepada Ganisher. Murugar cemburu jika ia dibedakan dengan adiknya. Dalam perkelahian antara Murugar dan Ganisher, Amen pun mengirim Murugar ke bumi. Turunlah Murugar ke bumi untuk melihat kehidupan manusia di muka bumi. Ini sebagai hukuman karena Murugar telah menentang Amen. Dalam perjalanannya tersebut, Murugar melihat banyaknya manusia yang berbuat jahat karena godaan Asura (makhluk jahat). Ia menceritakan itu pada ibunya, lalu ibunya menjanjikan jika ia dapat mengalahkan Asura maka ia akan diberi kekuasaan untuk memimpin manusia di bumi. Dalam sebuah peperangan, kekuatan Murugar tidak dapat mengalahkan Asura. Lalu ibunya memberikan Vel (tombak) sebagai senjata untuk menyerang Asura. Murugar kemudian mencari jejak Asura dalam persembunyian. Dalam cerita itu Asura bersembunyi di lautan yang dalam dengan wujud sebuah pohon Mangga. Dengan kebesaran Murugar ia melemparkan Vel itu yang membelah pohon dan mematahkannya. Akhirnya ia dapat mengalahkan Asura. Asura mengakui Murugar sebagai Dewa dan memohon maaf. Sebagian diri Asura berubah menjadi Burung Merak yang siap melayani sebagai wahana Murugar, dan sebagiannya yang lain berubah menjadi seekor ular kemenangan. Keduanya ini yang menjadi identik dari Murugar. Atas kemenangannya membinasakan kejahatan, Murugar disambut meriah dengan nyanyian dan tari-tarian. Dia diarak ke seluruh penjuru kota dengan kereta kencana. Seluruh kota yang dilalui arak-arakan Murugar akan mendapatkan berkah atas kemenangan itu. ”

Dalam kisah itu kemudian Murugar menjadi Dewa yang dianggap memiliki kekuatan besar, pemberi berkah dan keselamatan, serta pemurah. Sehingga setiap peristiwa yang dialami Murugar diperingati dalam bentuk upacara keagamaan, seperti ulang tahun (hari kelahiran) yang diperingati setiap Bulan

Pangguni, atau pada Bulan Thai diperingati sebagai hari kemenangan karena telah

menang dalam peperangan.

Untuk menebus dosa, atau meminta berkah kepada Dewa Murugar bisa saja dilakukan pada saat upacara Thaipusam yang dilakukan pada Bulan Thai. Hal ini kembali lagi pada niat seseorang, kapan ia akan membayarnya. Namun sebagian orang melakukannya di Bulan Pangguni. Alasannya karena Pangguni

Uttiram hanya dirayakan di Kuil Murugar. Murugar sendiri merupakan Dewa


(13)

yang mendapat pemujaan khusus di kuil tersebut. Oleh karena itu, perayaan akan lebih meriah di kuil tersebut.

Sementara itu, ritual Pangguni Uttiram tidak hanya memiliki fungsi agama

saja, akan tetapi juga memiliki fungsi sosial. Selain menjalankan kewajiban agamanya, pada perayaan ini orang-orang Tamil dapat bertemu dan berkumpul dengan sesama suku bangsa Tamil dari berbagai daerah. Pertemuan ini dimanfaatkan untuk saling mengenal diantara mereka yang tinggal di daerah yang berjauhan. Sehingga dalam perayaan ini dapat juga menimbulkan rasa solidaritas bagi masyarakat Tamil itu sendiri.

Pada tahun 1880 Masehi untuk pertama kalinya ritual Pangguni Uttiram diadakan seiring dengan dibangunnya Kuil Shri Thendayudabani di Lubuk Pakam. Selain memberi fungsi agama dan fungsi sosial bagi masyarakat Tamil sendiri, ritual ini dapat menjadi salah satu tujuan wisata bagi masyarakat umum. Ini terlihat dengan antusiasnya masyarakat di luar Tamil yang turut menghadiri dan menyaksikan acara ini. Bagi masyarakat Tamil, ritual ini boleh saja diikuti oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, maupun golongan.

Di satu sisi, ritual Pangguni Uttiram adalah upacara keagamaan dimana para umat yang hadir menjalani ibadahnya sesuai ajaran Hindu. Namun di sisi lain, akan tampak keunikan mewarnai dalam pelaksanaannya. Sebab dalam pelaksanaan tersebut dijumpai juga unsur-unsur kebudayaan lain di luar budaya Tamil seperti seni pertunjukan Barongsai dan Jaran Kepang.

Tradisi Pangguni Uttiram telah dilakukan selama lebih dari seratus tahun.

Namun pada zaman pemerintahan Orde Baru, tradisi ini pernah dilarang. Alasannya, karena perayaan yang dilakukan di luar kuil ini dianggap dapat


(14)

5 mengganggu stabilitas keamanan pada waktu itu. Sehingga pada masa itu hanya dilakukan di dalam kuil. Dengan demikian ada beberapa ritual yang tidak bisa dilakukan secara lengkap. Tahun 1999 dari kalangan pemuda Tamil berupaya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengadakan kembali ritual ini secara utuh. Karena bagi mereka ritual yang dilakukan di luar kuil merupakan bagian dari ibadah yang wajib dijalani. Sehingga pada tahun 1999 ritual itu sudah dapat kembali dilakukan di luar kuil dan dapat disaksikan oleh masyarakat umum.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui secara mendalam mengenai ritual Pangguni Uttiram. Hal ini untuk melihat dan menggambarkan bagaimana umat Hindu-Tamil menjaga tradisi ini hingga masuknya unsur-unsur budaya lain dalam pelaksanaannya hingga saat ini.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Aspek-aspek upacara yang terkandung dalam ritual Pangguni Uttiram seperti tempat pelaksanaan, saat-saat (waktu) upacara dilaksanakan, benda dan peralatan upacara, serta orang-orang yang melakukan upacara tersebut;

2. Fungsi dari ritual Pangguni Utitiram pada aspek-aspek kehidupan yang lainnya.


(15)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran tentang tradisi Pangguni Uttiram di Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Selain itu juga untuk menggali lebih dalam tentang konsep kepercayaan Hindu-Tamil dalam praktik upacara keagamaannya, dengan memahami tradisi ini sebagai suatu kepercayaan umat Hindu-Tamil di Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi kalangan yang ingin mengkaji masalah religi dan bidang-bidang terkait, terutama bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan toleransi beragama, terutama dalam Agama Hindu. Hal ini dikarenakan antara Hindu-Bali, Hindu-Tamil, dan Hindu dengan latar belakang budaya masyarakat lainnya memiliki praktik yang berbeda.

Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi aset untuk pengembangan pariwisata budaya di daerah Sumatera Utara, khususnya di Kota Lubuk Pakam. Bahwa suku bangsa Tamil sebagai salah satu etnis yang kini banyak bermukim di Sumatera Utara memiliki tradisi unik yang dapat menambah keragaman budaya di Indonesia.

1.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pemilihan lokasi


(16)

7 penelitian di kuil ini karena pelaksanaan upacara lebih meriah atau besar di kuil Murugar atau Kuil Shri Thendayudabani.

Peneliti melakukan observasi maupun wawancara yang dilakukan di tempat-tempat dimana informan melakukan aktivitasnya. Namun dalam teknis di lapangan, penulis juga melakukan penelitian di Kota Medan karena harus mewawancarai Bapak Venggedassalam, seorang tokoh masyarakat Tamil untuk mendapatkan gambaran umum masyarakat Tamil di Sumatera Utara. Selain itu, untuk mendapatkan gambaran tentang agama Hindu, penulis harus mewawancarai Bapak Welayutham, seorang pendeta yang berkedudukan di Majelis Parisadha Hindu Dharma Medan.

1.5 Kajian Pustaka

Secara konseptual, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180).

Sebagai salah satu unsur kebudayaan universal menurut Koentjaraningrat,3 sistem religi tentu memiliki wujud dalam bentuk sistem keyakinan, sistem upacara, serta benda-benda suci dan benda-benda religi. Dalam hal ini, sistem upacara sebagai wujud dari sistem religi yang merupakan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Sebelum merujuk pada konsep mengenai sistem upacara keagamaan, penting bagi kita untuk memahami konsep agama sebagai kebudayaan dari suatu masyarakat berkaitan dengan upacara keagamaannya. Seperti pandangan Anthony

3

Unsur-unsur kebudayaan universal yaitu: 1) bahasa; 2) sistem pengetahuan; 3) organisasi sosial; 4) sistem peralatan hidup dan teknologi; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem religi; 7) kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 203-204).


(17)

F. Wallace dalam Haviland (1988: 195-196) tentang definisi agama, bahwa agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Upacara agama tersebut oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama atau “agama sebagai perbuatan” (religion in action).

Lebih lanjut Haviland (1988: 193) mengatakan bahwa agama dapat dianggap sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Banyak nilai agama berasal dari kegiatan yang timbul dari prakteknya. Keikutsertaan dalam upacara keagamaan dapat menimbulkan suatu rasa “transendensi pribadi” (personal transcendence), suatu gelombang keyakinan, rasa keamanan, dan bahkan rasa ekstase (ecstasy), atau rasa bersatu dengan sesama yang beribadat.

Terlepas dari pandangan di atas, pada hakekatnya menurut Suparlan (1982: 21), agama adalah sama dengan kebudayaan. Agama adalah suatu simbol atau suatu sistem pengetahuan yang diciptakan, mengolong-golongkan, meramu atau merangkaikan, dan menggunakan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya.

Perbedaan yang utama antara simbol-simbol agama dengan simbol-simbol lainnya adalah bahwa simbol-simbol agama itu digolongkan sebagai simbol suci, karena muatan-muatannya yang penuh dengan sistem-sistem nilai baik kalau dibandingkan dengan simbol-simbol lainnya.


(18)

9 Simbol-simbol yang dipakai dalam upacara sebagai alat komunikasi, juga menyuarakan pesan-pesan ajaran agama dan kebudayaan yang dipunyai (khususnya yang berkenaan dengan etos dan pandangan hidup) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh adanya upacara tersebut dan sesuai dengan keinginan yang ada pada warga masyarakat yang bersangkutan.

Secara harafiah, rites dalam bahasa Inggris berarti tindakan atau upacara keagamaan. Ritual sebagai kata sifat, adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual dances, ritual laws. Sedangkan sebagai kata benda, ritual adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara Gereja Katolik. Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus (Agus, 2006: 96).

Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, ada beberapa gagasan Robert Smith dalam Koentjaraningrat (1987: 67-68) mengenai upacara religi, yaitu:

1. Di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisa khusus. Dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah;

2. Upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada yang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena


(19)

mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial;

3. Manusia menyajikan sebagian dan seekor binatang, terutama darahnya kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Sebagai ilustrasi, upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat, atau tidak sebagai suatu upacara yang khidmad dan keramat.

Koentjaraningrat pun menambahkan (1987: 81) bahwa sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek-moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Ritual atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkai kan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa intoxikasi, bertapa dan bersamadi.

Ritual keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan keramat; inilah agama dalam praktek (inaction). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu mengganggu masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita. Karena itu


(20)

11 upacara dan praktek keagamaan sangat beraneka ragam bahkan upacara yang bagi kita kelihatan sangat ganjil dan eksotis dapat dibuktikan memiliki fungsi sosial dan psikologis (Haviland, 1988: 197-207).

Beberapa teori mencoba untuk mengilustrasikan upacara keagamaan sebagai bentuk dari emosi keagamaan dalam sistem kepercayaan. Upacara keagamaan dianggap sebagai tindakan dari suatu agama itu sendiri. Sehingga upacara keagamaan mulai dipahami tidak hanya memiliki fungsi keagamaan (religius) tetapi juga fungsi sosial.

Merujuk pada pemikiran Koentjaraningrat (1990: 337-338) berikut mengenai sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek, yakni:

1. Tempat upacara keagamaan dilakukan; 2. Saat-saat upacara keagamaan dijalankan; 3. Benda-benda dan alat-alat upacara;

4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

Koentjaraningrat (1990: 338) juga menambahkan bahwa upacara-upacara keagamaan itu sendiri banyak juga unsurnya, yakni:

1. Bersaji; 2. Berkorban; 3. Berdoa;

4. Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa; 5. Menari tarian suci;

6. Menyanyi nyanyian suci; 7. Berprosesi atau berpawai;


(21)

8. Memainkan seni drama; 9. Berpuasa;

10.Intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk;

11.Bertapa; 12.Bersamadi.

Ritual Pangguni Uttiram merupakan tradisi pada masyarakat Hindu-Tamil. Sebagai kebudayaan dalam masyarakat Tamil, ritual Pangguni Uttiram tentu berbeda dari upacara-upacara keagamaan yang dimiliki oleh kebudayaan lain. Di antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting. Tetapi ada juga agama yang tidak mengenal semua unsur-unsur itu. Sehingga pada setiap agama memiliki unsur yang berbeda pada upacara keagamaannya.

Sementara itu ada anggapan dasar bahwa kebudayaan selalu berubah. Sebagaimana yang dikutip dari Ihromi (1996: 32) bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat tertentu, pasti akan berubah dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu dan kebebasan individu memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu yang pada akhirnya dapat menjadi bagian dari suatu kebudayaan.


(22)

13 1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan data deskriptif berupa pemaparan dari informan baik secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan. Untuk mendapatkan gambaran mendalam mengenai konsep kepercayaan Hindu-Tamil dalam ritual Pangguni Uttiram serta hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual tersebut, maka penulis melakukan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi partisipasipan (partisipant observation).

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data kualitatif, penulis melakukan studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi Lapangan

Dalam studi lapangan, penulis menggunakan metode wawancara baik wawancara secara mendalam (depth interview) maupun wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Dalam teknis pengumpulan data di lapangan, peneliti mengalami kesulitan. Sedikitnya jumlah informan yang dapat menjelaskan detail mengenai upacara, ditambah lagi adanya konflik internal di dalam komunitas Tamil di Lubuk Pakam yang menyebabkan penulis harus melakukan pendekatan secara perlahan. Selain itu, pada saat tahap pengumpulan data belum selesai, salah


(23)

seorang informan kunci, Bapak Thegu, yang merupakan tokoh masyarakat Hindu-Tamil meninggal dunia. Sehingga ini menjadi kendala yang berarti bagi penulis.

Selain melakukan wawancara, penulis juga akan melakukan pengamatan langsung dengan menyaksikan langsung rangkaian upacaranya. Karena sadar akan terbatasnya daya pengamatan manusia, penulis menggunakan alat-alat yang dapat membantu dalam pengamatan kegiatan-kegiatan mereka. Alat pembantu tersebut berupa kamera foto dan video. Alat ini sangat berguna pada saat melakukan pengamatan setiap kegiatan atau peristiwa yang terjadi.

Beberapa hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam melakukan pengamatan, menurut Koentjaraningrat (1990: 122-124) bahwa suatu potret4 mengandung lebih banyak sangkutan daripada apa yang terlihat dengan mata saja. Apalagi jika sasaran pengamatan terdiri dari banyak orang, misalnya yang sedang mengadakan upacara. Pada upacara atau peristiwa lain dengan banyak orang, sukar sekali bagi seorang pengamat untuk mengikuti setiap kegiatan penting yang terwujud sebagai bagian dari peristiwa yang bersangkutan.

Dokumentasi foto dan video ini juga digunakan penulis dalam pengumpulan data. Foto dan video ini mempermudah penulis untuk memahami prosesi upacara langsung dari informan, mengingat banyaknya unsur upacara yang sukar diingat.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari data dari literatur yang berhubungan dengan masyarakat Tamil dan tradisi Pangguni Uttiram sebagai

4


(24)

15 sistem religi atau kepercayaan umat Hindu-Tamil. Literatur yang dimaksud bisa berupa laporan hasil penelitian, artikel, buku, media cetak, dan lain-lain.

1.6.3 Informan

Penulis memilih beberapa orang pemeluk Hindu-Tamil sebagai informan kunci. Yang dimaksud informan kunci adalah informan utama atau seseorang yang memiliki informasi relatif lengkap terhadap masalah yang diteliti, seperti pemuka agama Hindu-Tamil (pendeta), serta masyarakat Hindu-Tamil yang pernah mengikuti ritual dalam prosesi upacara Pangguni Uttiram. Di samping itu, informan biasa juga dibutuhkan penulis untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung data penelitian.

Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan “data jenuh” atau tidak terdapat informasi baru lagi.

1.6.4 Analisa Data

Salah satu tahapan dalam penelitian adalah tahap analisis data. Analisis data penelitian berupa proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan, dan dokumen yang terkumpul. Analisis bersifat terbuka, open-ended, dan induktif. Maksudnya analisis bersifat longgar, tidak kaku, dan tidak statis. Analisis boleh berubah, kemudian mengalami perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk (Endraswara, 2006: 174).

Proses analisis data dilakukan terus menerus baik di lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorikan data. Setelah itu baru


(25)

dicari tema yang menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini, diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya.

Dalam analisis ini, peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil pemahaman dari interpretasi informan terhadap simbol ritual. Dengan semacam ini, akan terlihat makna dan fungsi Pangguni Uttiram bagi umatnya, tanpa intervensi peneliti. Hal ini dilandasi asumsi, bahwa mereka yang melakukan ritual tersebut diharapkan juga mengetahui makna dan fungsinya bagi individu sebagai anggota masyarakat.


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TAMIL

DI SUMATERA UTARA

Sebagai sekelompok orang yang membatasi identitas budayanya, suku bangsa Tamil pasti memiliki cara hidup yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Orang Tamil masih sangat menghormati adat-istiadat. Meskipun tidak selalu terlihat mengenakan identitas budayanya. Ini disebabkan agar mereka dapat dengan mudah melebur dengan masyarakat setempat.

Untuk hal-hal yang bersifat sistem pengetahuan mengenai agama yang mereka miliki relatif rendah. Hanya sedikit orang, seperti tokoh tetua adat dan pendeta saja yang mengerti. Kebanyakan mereka hanya menjalankannya karena telah menjadi tradisi leluhurnya. Namun untuk hal-hal yang relijius, mereka sangat percaya dan taat menjalaninya. Seperti yang dipaparkan dalam gambaran umum masyarakat Tamil di Sumatera Utara khususnya masyarakat Tamil di Lubuk Pakam berikut ini.

2.1 Suku Bangsa Tamil

Suku bangsa Tamil termasuk dalam bangsa Dravida dari India bagian selatan. Masyarakat umum ada yang menyebutnya dengan sebutan “Orang Keling”. Kata “Keling” sendiri berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Kalingga, yang mengarah pada sebuah daerah di India bagian selatan. Dari segi sejarah, kata “Keling” merujuk kepada Benua Keling yang kini bernama India. Sebagaimana pula yang disebut dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah mengenai


(27)

pelayaran ke Benua Keling, Kampung Keling, dan lain-lain. Sebutan “Keling” ini kemudian menjadi lazim di seluruh tanah Melayu.5

Penggunaan sebutan “Keling” ini pernah ditujukan kepada semua orang-orang India. Namun penggunaan sebutan ini perlahan berubah. Di beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia, istilah ini sering dianggap suatu kata makian yang digunakan dengan hati-hati.

Kemungkinan perubahan itu disebabkan oleh orang India sendiri yang memandang rendah mereka yang berasal dari India bagian selatan. Mereka tidak mau dikaitkan dengan panggilan “Keling”. Kemungkinan lain adalah dari segi sejarah, bahwa kebanyakan pendatang dari India yang awalnya bekerja di ladang yang kemudian dikenal sebagai “Orang Keling”. Oleh karena itu, apabila mereka mencapai tahap ekonomi yang lebih tinggi, mereka akan menjauhkan diri dari sebutan yang memiliki stigma atau anggapan negatif yang berarti kelas bawahan.

Versi lain bahwa sebutan “Orang Keling” dimulai ketika seorang buruh perkebunan dari suku bangsa Tamil membunuh seorang Belanda. Kemudian orang-orang Belanda selalu memberi julukan killing man (pembunuh) yang akhirnya berubah menjadi “Orang Keling”.

Beragam versi muncul dari masyarakat yang memberi sebutan bagi orang-orang dari suku bangsa Tamil tersebut. Namun bagi masyarakat Tamil sendiri, sebutan “Orang Tamil” dianggap lebih tepat. Alasannya karena sebutan itu langsung mengarah pada identitas budaya mereka sebagai suku bangsa Tamil.

Suku bangsa Tamil yaitu orang-orang yang berlatar belakang suku bangsa dan pendukung kebudayaan Tamil yang berasal atau mempunyai daerah

5


(28)

19 kebudayaan dari India. Mereka mudah dikenal dari ciri-ciri fisiknya, seperti: kulit berwarna hitam atau gelap, dengan jambang atau bulu dada, di samping gigi yang putih bersih.

Bagi perempuan Tamil masih ada ciri-ciri lain yaitu adanya potte (tanda bulat yang diletakkan di dahinya dengan warna seperti hijau, merah, hitam, kuning, biru, dan lain-lain), pemakaian walille (gelang-gelang plastik berwarna merah, hijau, biru, atau kuning bercampur warna emas dan pemakaian tali

manggasutra manjakauri (tanda kawin) bagi yang telah menikah. Tanda kawin ini

biasanya digantungkan di leher.

Namun saat ini, ciri-ciri tersebut tidak begitu tampak. Seiring berjalannya waktu, terjadi pula perubahan pada diri orang Tamil. Penyebabnya antara lain karena terjadinya perkawinan campur dengan suku bangsa lain, proses adaptasi sosial agar bisa berbaur dengan masyarakat di luar Tamil, dan lain sebagainya.

2.2 Lokasi

Suku bangsa Tamil sudah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Tidak ada tahun yang pasti mengenai kedatangannya ke Indonesia untuk yang pertama kalinya. Namun berdasarkan penemuan arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) membuktikan pada abad ke-9 sampai abad ke-12 di Lobu Tua, Barus, telah terdapat perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, dan sebagainya.

Dalam situs Lobu Tua juga ditemukan prasasti dengan tulisan Tamil oleh pejabat Belanda, G.J.J Deutz tahun 1872. Setelah diterjemahkan oleh Prof. Dr. K.A Nilakanta dari Universitas Madras, India, menurutnya batu bertulis itu


(29)

bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan dan ketentuan lainnya. Ini semakin memperkuat bahwa suku tamil telah lama masuk ke Sumatera Utara.

Sejak kedatangannya sekitar akhir abad ke 18 dan awal abad ke-19, suku bangsa Tamil mulai menyebar ke beberapa daerah di Sumatera Utara, antara lain: Langkat, Binjai, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Daerah-daerah tersebut yang dikenal memiliki potensi besar di sektor perkebunan.

Awalnya orang Tamil bekerja sebagai buruh dan kuli angkut atau supir di perkebunan. Namun perlahan telah terjadi peralihan mata pencaharian. Dari yang awalnya bekerja sebagai kuli di perkebunan beralih menjadi pedagang, supir pengangkutan barang dagangan, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar orang Tamil mulai berpindah ke kota-kota yang dekat dengan sentra perdagangan.


(30)

21 Pada umumnya orang-orang Tamil hidup secara berkelompok. Biasanya, mereka membuat perkampungan sendiri. Daerah pemukiman orang Tamil yang sangat dikenal adalah Kampung Keling atau sebagian orang mengenalnya dengan “Kampung Madras”. Kawasan Kampung Keling terletak di Kota Medan, tepatnya di sekitar Kecamatan Medan Petisah dan Kecamatan Medan Baru. Selain di Kampung Keling, komunitas Tamil juga terdapat di Kampung Anggerung. Kawasan ini terletak di Kelurahan Anggerung, Kecamatan Medan Polonia.

daerah penyebarannya

Gambar 2.1. Peta daerah penyebaran suku bangsa Tamil di Sumatera Utara.


(31)

Namun di kawasan ini komunitas Tamil tidak banyak jika dibandingkan dengan kawasan Kampung Keling.

Kawasan Kampung Keling terbentang seluas 10 Hektar. Di sekitar kawasan Kampung Keling ini terdapat Kuil Shri Mariaman dan Kuil Shri Subramaniam. Tidak begitu jauh dari kawasan Kampung Keling berdiri Sekolah Raksana dan Sekolah Dharma Putra milik orang Tamil. Kawasan ini pernah mempunyai komunitas India yang besar. Namun karena keadaan ekonomi yang sulit sehingga banyak dari mereka yang berpindah ke kawasan atau ke daerah

Daerah Komunitas Suku Tamil di Medan

Gambar 2.2. Peta kawasan dengan komunitas Tamil yang mulai menyebar di Kota Medan, diantaranya di Kelurahan Petisah (Kecamatan Medan Petisah), Kelurahan Anggerung (Kecamatan Medan Polonia), dan Kelurahan Darat (Kecamatan Medan Baru).


(32)

23 lainnya agar perekonomiannya lebih baik. Sehingga saat ini, kawasan Kampung Keling banyak dihuni oleh orang-orang etnis Cina.

Kampung Keling diperkirakan telah ada sejak tahun 1884 Masehi. Ini dibuktikan dengan dibangunnya Kuil Shri Mariaman sebagai tempat ibadah suku bangsa Tamil yang beragama Hindu pada tahun 1884 Masehi tersebut. Kampung Keling ini memang bukan perkampungan Tamil tertua di Sumatera Utara. Ada sekitar lebih dari 13 daerah yang didiami suku bangsa keturunan Tamil, diantaranya yaitu di Tanjung Keling (Kuala), Tanjung Jati, Binjai, Buluh Cina, Sei Semayang, Glugur Rimbun, Medan Tuntungan, Helvetia (Kampung Banten), Saentis, Sampali, Batang Kuis, Lubuk Pakam, dan di daerah perkebunan Bekala.

Lubuk Pakam termasuk salah satu daerah sebaran terbesar komunitas Tamil di Sumatera Utara selain Medan dan Tebing Tinggi. Mereka bermukim di lahan seluas 2 Hektar yang disediakan pada zaman kolonial Belanda. Kini ada sekitar 300 jiwa atau 79 kk (kepala keluarga) bersuku bangsa Tamil.

2.3 Asal-mula dan Sejarah Kedatangan Tamil

Sekitar tahun 1836 Masehi seorang petani tembakau asal Belanda bernama J. Nienhius berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli untuk menanam tembakau. Usaha menanam tembakau-nya boleh dikatakan berhasil, sehingga Tembakau Deli cukup dikenal di pasaran dunia. Hal tersebut mengundang para penanam modal asing untuk menanam modalnya pada pengusaha perkebunan swasta seperti Medan Estate, Kesawan dan Marindal. Namun, akibat perkembangan dan pertumbuhan perkebunan yang begitu pesat, akhirnya berpengaruh terhadap tenaga kerja, karena di daerah tersebut tidak mampu


(33)

menyediakan tenaga buruh yang cukup untuk penanam tembakau tersebut. Untuk mengisi kekurangan tenaga kerja tersebut pihak perkebunan terpaksa mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatera, antara lain dari daratan Cina, orang-orang Tamil dari India, Penang, dan Singapura.

Para tenaga kerja tersebut didatangkan melalui Sistem Indenture yaitu sistem yang didasarkan atas dasar kontrak, dimana majikannya mengambil tenaga kerja dengan membayar ongkos pelayaran mereka, lalu mereka diharuskan bekerja selama beberapa tahun kepada majikan tersebut dengan syarat mematuhi peraturan yang berlaku. Cara lainnya adalah Sistem Kangani, dimana para Kangani atau mandor dari sebuah perkebunan akan bertindak sebagai perantara dalam usaha mendapatkan tenaga kerja dengan membayar uang persekot kepada mereka, lalu membawa mereka ke perkebunan yang dibutuhkan. Namun, pada tahun 1880 Inggris mengeluarkan sebuah peraturan yang disebut sebagai British

Protector of India Labour yaitu menyangkut tentang pengawasan atau semacam

proteksi bagi buruh-buruh Tamil yang masuk ke Sumatera. Akibat hal ini orang-orang Tamil mulai berpindah secara bebas atas usaha mereka sendiri. Demikianlah antara lain saluran yang dilalui orang Tamil yang datang ke Sumatera (Sianipar, 1997: 55-57).

2.4 Bahasa

Bahasa Tamil merupakan bahasa klasik dan bahasa utama dalam keluarga bahasa Dravida. Bahasa dravida adalah salah satu bahasa-bahasa kuno di dunia. Asal-usul bahasa Tamil tidak begitu jelas. Namun, bahasa ini berkembang di India sebagai bahasa yang kaya dengan sasteranya. Lebih dari 55 % catatan epigrafik di


(34)

25 India ditemukan dalam bahasa Tamil. Bahasa Tamil mempunyai sastera yang tertua di kalangan bahasa Dravida. Karya sastera ini di India dipelihara dalam manuskrip daun Palma (http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Tamil).

Orang Tamil di Indonesia, sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam berinteraksi dengan sesama orang Tamil maupun dengan etnis di luar Tamil. Interaksi sosial ini membuat mereka berbaur dengan masyarakat yang berbeda etnis. Ini yang mengakibatkan mereka generasi mudanya lebih fasih berbahasa Indonesia.

Saat ini hanya kalangan orang-orang tua saja yang masih menggunakan bahasa Tamil dalam berkomunikasi sesama kelompok orang Tamil. Jika di dalam keluarga para orang tua masih membiasakan menggunakan bahasa Tamil dengan anak-anaknya, namun para anak-anak lebih suka menjawab dengan bahasa Indonesia.

Untuk menjaga agar bahasa Tamil tidak hilang, maka dibukalah sekolah minggu yang diadakan di sekolah Raksana milik orang Tamil. Setiap hari Minggu anak-anak diberi pelajaran mengenai agama Hindu dan pelajaran tentang kebudayaan Tamil. Ini dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya karena muncul kekhawatiran bahwa anak-anak muda sekarang enggan menggunakan bahasa Tamil sebagai bahasa ibu.

2.5 Pimpinan Masyarakat

Pimpinan masyarakat menurut orang tamil adalah orang-orang yang biasa memimpin acara-acara keagamaan dan adat. Pemimpin agama yakni gurukkal atau aire (pendeta agung). Aire mempunyai kewajiban-kewajiban seperti belajar


(35)

dan mengajarkan Weda, baik untuk kepentingan sendiri atau untuk kepentingan orang lain.

Pemimpin agama yang lain adalah tawelen yaitu pemimpin kuil atau mereka sering menyebutnya dengan manajer kuil. Selain Tawelen ada pula pusari yaitu orang-orang yang duduk di Parisadha. Orang-orang ini harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah adat istiadat, sosial, dan lain-lain.

Selain pemimpin agama tersebut ada pula guru atau yang disebut theetchai atau walaka. Walaka juga dianggap pemimpin karena guru adalah orang pertama yang mengajarkan agama kepada pendeta atau pemimpin upacara dan yang memberi restu kepada pemimpin upacara sebelum upacara dimulai.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Pada awalnya suku bangsa Tamil bermata pencaharian sebagai buruh kebun dan berjualan rempah-rempah atau bumbu-bumbu masakan di pasar tradisional. Namun seiring perubahan perekonomian di Indonesia, mereka mulai beralih ke sektor lainnya. Sebagian ada yang menjadi supir pengangkutan barang, berjualan emas perhiasan, kain, makanan, dan lain-lain.

Seiring dengan kemajuan pendidikan yang diperoleh orang-orang Tamil, kemudian orang-orang Tamil mulai dikenal sebagai pengacara, dokter, ahli ekonomi, pengacara, guru agama, maupun pekerja seni. Secara khusus, Masyarakat Tamil di Lubuk Pakam sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang. Dahulu mereka bekerja sebagai kuli angkut atau supir di perkebunan. Sekarang mereka banyak yang berjualan kebutuhan pokok di pasar tradisional dan ada yang berjualan dengan membuka toko kelontong (toko serba ada) di


(36)

27 rumahnya. Aktivitas sehari-hari mereka adalah bekerja, dimulai dari pagi hingga sore hari. Sedangkan anak-anaknya, bersekolah di sekolah terdekat. Pada waktu sore hari, aktivitas di luar berhenti. Karena pada saat sore hari mereka harus melakukan ibadah sembahyang baik di kuil ataupun di rumah masing-masing.

2.7 Sistem Kekerabatan

Sesuai dengan anggapan adat lama, maka perkawinan pada suku bangsa Tamil dipengaruhi oleh Sistem Klen dan Sistem Kasta. Perkawinan mereka bersifat endogami klen. Misalnya, seseorang yang berasal dari Muntheliyer (pemilik modal) harus mencari jodoh dari klen yang sama. Namun golongan muda mengatakan adat seperti itu sudah tidak dipegang teguh lagi. Dalam penentuan jodoh, orang tua masih sangat berperan, dan sebagian para anak menyatakan kurang senang.

Perkawainan yang ideal adalah perkawinan taimamen yaitu perkawinan dengan anak laki-laki dari mamma (saudara laki-laki ibu). Mereka juga mengenal kawin lari dan onna sendekom atau perkawinan mengikut yang telah dijelaskan pada nomor perkawinan di atas.

Perkawinan incest atau perkawinan pantang yang dikenal disesuaikan

dengan ajaran Hindu yaitu antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

2. Berhubungan dengan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.


(37)

3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri.

4. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari satu orang.

5. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan anak susuan, suadara susuan, bibi dan paman susuan.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lainnya dilarang kawin.

Adat menetap setelah menikah adalah secara virilokal yaitu di rumah orang tua suami. Namun tidak sedikit juga yang menetap secara neolokal ataumencari rumah baru. Yang umum dilakukan ialah tinggal untuk sementara secara virilokal dan bila kehidupan sudah mapan akan membangun rumah sendiri.

Setiap keluarga biasanya terdiri dari keluarga batih yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak-anak yang belum kawin serta anak laki-laki yang sudah kawin. Garis keturunan dihitung secara patrilineal.


(38)

29 Diantara kerabat atau kelompok kerabat ada pula panggilan atau tutur sapa yang khas satu sama lain. Seperti yang dijelaskan pada bagan berikut:

B A A B

C D E F G H

I (Ego) J K

L M

N O

Keterangan dari bagan:

Laki-Laki Perempuan Perkawinan Keturunan A = Paddi (Nenek)

B = Tatta (Kakek)

C = Perriateh (Kakak Perempuan Ayah) / Senateh (Adik Perempuan Ayah) D = Perripa (Kakak Laki-laki Ayah) / Seteppa (Adik Laki-laki Ayah) E = Appa (Ayah)

F = Amma (Ibu)

G = Mamma (Kakak/Adik Laki-laki Ibu)

H = Perrimma(Kakak Perempuan Ibu) / Senemma (Adik Perempuan Ibu) I = Tambi (Adik Laki-laki Ego) / Ane (Kakak Laki-laki Ego)

J = Ego

K = Tanggice (Adik Perempuan Ego) / Aka (Kakak Perempuan Ego) L = Tambi (Anak Laki-laki ego) diikuti nama

M = Tangeben(Anak Perempuan Ego) diikuti nama N = Perpulle (Cucu Laki-laki Ego) diikuti nama O = Perpulle (Cucu Perempuan Ego) diikuti nama


(39)

Dalam pembagian warisan, yang berhak mendapatkan warisan ialah anak laki-laki. Namun, karena perkembangan adat Tamil itu sendiri, maka anak perempuan pun sudah berhak mendapatkan harta warisan. Mengenai banyak dan apa saja yang diberikan tergantung kepada yang membagi warisan (biasanya orang tua) tetapi anak laki-laki umumnya mendapat bagian yang lebih besar.

2.8 Sistem Pengetahuan

Pengetahuan orang Tamil sangat dipengaruhi oleh tradisi leluhur mereka. Sebagian besar kehidupan orang Tamil adalah hasil kebudayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga banyak dari mereka menjalankan apa yang telah diwariskan para leluhurnya tanpa mengetahui dengan jelas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, orang Tamil juga mempunyai buku petunjuk yang disebut

panchagem. Dimana di dalamnya berisi cara menghitung hari atau saat yang baik

untuk mengadakan hajatan atau keinginan. Buku ini juga memuat pertanggalan upacara-upacara keagamaan mereka.

Menurut keterangan dari Himpunan Parisadha Hindu Dharma Indonesia di Medan, orang-orang dari suku bangsa Tamil di Sumatera Utara telah banyak yang bergelar sarjana kedokteran dan sarjana hukum. Ini menunjukkan bahwa orang Tamil juga tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran dan hukum selain bidang ekonomi yang sebelumnya lebih banyak diminati.

Perubahan pola berfikir orang-orang Tamil terbukti dalam sistem mata pencaharian. Sebelumnya orang-orang Tamil hanya menjadi buruh kebun hingga


(40)

31 kemudian menjadi pedagang atau pekerjaan lain yang lebih baik lagi. Menurut mereka, bekerja dan tinggal di daerah perkebunan membuat mereka lambat atau ketinggalan perkembangan jaman.

Pada umumnya, orang Tamil berfikir secara praktis dalam hal pendidikan untuk anak-anaknya. Bagi mereka yang berekonomi menengah ke bawah, akan menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau SMA (Sekolah Menengah Atas). Jika mereka sudah bisa bekerja, biasanya si anak akan berhenti sekolah. Namun bagi orang Tamil yang berekonomi menengah ke atas, akan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dengan harapan nantinya akan menjadi pengusaha atau lebih sukses dari orang tuanya.

Pendidikan bagi masyarakat Tamil di Lubuk Pakam masih kurang penting. Sebagian besar anak-anak mereka mengalami putus sekolah. Kebanyakan mereka lebih memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah. Sehingga, diantaranya hanya tamat sekolah menengah pertama (SMP). Walaupun ada juga yang tamat sekolah menengah atas (SMA) tapi itu jumlahnya sangat sedikit.

2.9 Kesenian

Kebudayaan India dikenal dengan keseniannya yang kaya. Kesenian memiliki peran penting dalam kehidupan orang-orang Tamil. Kesenian menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Bagi orang Tamil kesenian dapat menjadi media untuk kepentingan tertentu. Misalnya, mereka menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anaknya melalui seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa.


(41)

Selain itu, kesenian tradisional ini juga berfungsi dalam berbagai pelaksanaan upacara. Dalam upacara-upacara adat maupun upacara keagamaan, kesenian tradisional selalu ditampilkan. Seperti tari-tarian, drama, serta nyanyian (kidung).

Dalam bidang seni tari, orang Tamil mengenal baratanatiem atau tarian sambutan. Tarian ini untuk penyambutan pada acara-acara adat maupun acara keagamaan. Baratanatiem memiliki beragam versi sesuai dengan tujuan dari acaranya.

Selain tari-tarian, ada beberapa alat musik khas Tamil seperti tabila yaitu alat musik perkusi yang berbentuk mirip gendang terdiri dari dua buah,

nagasarem yaitu alat musik tiup yang berbentuk seperti terompet dengan ukuran

yang panjang, molem yaitu alat musik berbentuk gendang besar yang digunakan dengan menggantungkannya di badan, dan wailing yaitu alat musik petik semacam gitar berbentuk bulat. Alat-alat musik tersebut masih dapat dijumpai pada acara-acara adat ataupun keagamaan hingga sekarang.

Gambar 2.3. Nagasarem dan tabila, alat musik yang dimainkan saat upacara. (dok. Ayu)


(42)

33 Seni drama juga menjadi ciri khas budaya India. Orang Tamil lebih mengenalnya dengan sebutan nadagem yaitu lagu dan tarian. Seni drama ini sudah jarang ditampilkan, hanya pada saat-saat tertentu seperti pada perayaan hari raya besar Hindu yang dikenal dengan Deepavali.

2.10 Sistem religi

Pada umumnya orang Tamil menganut agama Hindu. Pelaksanaan ibadah dilakukan setiap hari Selasa dan Jumat di kuil. namun mereka harus melaksanakan ibadah setiap hari di rumah. Untuk itu harus disediakan sebuah ruangan khusus sebagai tempat melakukan ibadah tersebut. Bila tidak mampu menyediakan sebuah ruangan khusus, paling tidak menyediakan sebuah peti sembahyang yang berbentuk seperti rumah kecil. Peti sembahyang ini dinamakan sami kumberte.

Sami Kumberte itu dianggap suci oleh mereka. Dengan demikian tempat

tersebut harus terhindar dari sesuatu yang tidak suci, misalnya orang yang sedang haid, atau orang yang belum membersihkan diri setelah melakukan hubungan suami-istri. Orang-orang yang masih dalam keadaan kotor tersebut dilarang masuk ke dalam ruangan atau tempat sembahyang tersebut. Untuk itulah orang Tamil selalu menyediakan sebuah ruangan khusus, kalaupun hanya sebuah peti, maka peti itu harus diletakkan di ruangan tidur anak-anak.

Sami Kumberte biasanya dilengkapi dengan, Sodo yaitu wangi-wangian

yang mirip kapur barus (kanfer), tua kalle yaitu mangkok tempat meletakkan bunga Melati, kama camawalki yaitu lampu, keno yaitu mangkok tempat air,

kalima yaitu gambar dewa yang diyakini.


(43)

Pelaksanaan sembahyang di setiap rumah biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari, dan sembahyang ini selalu dikerjakan oleh setiap orang. Ajaran Hindu menganggap bahwa mempelajari ke-Tuhan-an adalah merupakan hal yang terpenting, karena hanya denan mengenal Tuhan, manusia bisa mencapai kesempurnaan atau mencapai moksa atau nirwana yaitu kebahagiaan lahir dan batin.

Kitab suci agama Hindu yang dipercayai sebagai pegangan adalah Weda. Weda berarti kata-kata yang diucapkan dengan aturan tertentu atau dilagukan. Kitab Weda terdiri dari empat samhita (himpunan), yaitu: (1) Rig Weda atau Rig Weda Samhita yang merupakan himpunan syair-syair, mantra-mantra yang memuat ajaran umum dalam bentuk pujian atau pujaan; (2) Sama Weda atau Sama Weda Samhita yang berisikan himpunan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai lagu-lagu untuk upacara agama; (3) Yajur Weda atau Yajur Weda Samhita yang berisikan kumpulan mantra-mantra yang menuat ajaran umum mengenai pokok-pokok yajus yaitu doa yang berupa puisi dan prosa; (4) Atharwa Weda atau Atharwa Weda Samhita yang berisikan doa-doa, mantra-mantra yang memuat ajaran yang berisikan magis seperti untuk menyembuhkan penyakit, ilmu sihir dan sebagainya.

Ajaran Hindu juga mengenal adanya dua golongan zat yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu Dewa-dewa yang bersikap murah terhadap manusia dan berkenan menerima pujian manusia, dan para roh jahat yang bersikap memusuhi manusia, yang karena itu harus dilawan oleh manusia dengan pertolongan Dewata atau dengan upacara-upacara keagamaan.


(44)

35 Aktivitas keagamaan pada orang Tamil yang beragama Hindu terwujud pada sembahyang puja-puja yang dilakukan secara rutin setiap hari di rumah, seminggu sekali di kuil dan pada hari-hari tertentu di rumah dan di kuil. Aktivitas keagamaan yang menjadi pusat pemujaan adalah upacara keagamaan atau upacara berkorban. Upacara berkorban ini merupakan upacara persembahan agar mendapat kemurahan dari para dewa, untuk memuja roh leluhur.

Selain itu, ada empat konsep dasar Hindu yang menjadi pedoman bagi orang Tamil hingga sekarang. Keempat tingkatan tersebut yaitu:

1. Sarigai

Adalah suatu pemahaman yang didasari pada ritual dan perayaan yang tanpa diketahui arti dan makna yang terkandung pada ritual tersebut dan tidak pernah tahu secara jelas apakah upacara agama atau upacara adat. Pada tingkatan ini semua kegiatan dilakukan hanya berdasarkan firasat saja, tanpa ada peraturan dan arti yang bisa dipertanggungjawabkan oleh si pelaksana maupun pengikut, seperti kegiatan mengelilingi kuil, membersihkan kuil-kuil dan lain-lain, yang dilakukan secara sukarela ikhlas dan tanpa pamrih.

2. Kirigai

Pada tingkatan ini umat sudah mulai melakukan kegiatan agama dengan mantra dan sedikit tata cara yang bisa dimengerti oleh pengikut. Dimana mulai mencari pengetahuan agama dengan membaca, bertanya dan mengkritik. Sehingga sedikit mengerti bahwa agama Hindu memiliki semua yang diinginkan oleh pemeluknya.


(45)

3. Yogam

Pada tahap ini pemeluk agama Hindu diartikan sudah menguasai arti dan makna kedua tingkatan yang di atas dan dapat menjelaskannya dengan baik. Tingkatan ini pemeluk Hindu sudah dianggap sangat baik, karena telah masuk ke tahapan pra yogi. Meningkatkan kerohanian dengan cara membaca, diskusi dan menerima bimbingan guru suci secara teratur dan pada tingkatan ini dianggap siswa telah menjalani yoga dengan teratur.

4. Nyanem

Ini adalah tingkatan tertinggi dalam ajaran Hindu, tingkatan ini disebut juga tingkatan para yogi, pada tingkatan ini seseorang sudah 95% meninggalkan kesenangan duniawi dan telah menguasai dasar dan aspek agama Hindu secara menyeluruh dengan baik.

(Kobalen, 2001: 7-8)

Pangguni Uttiram dapat dimasukkan ke dalam tingkatan pertama. Namun

seiring berjalannya waktu, sebagian umat sudah berfikir untuk mengetahui makna dari suatu kegiatan agama. Sehingga, mereka juga mulai belajar dengan pendeta-pendeta dari India. Tingkatan ini akan bertambah naik jika mereka mau meningkatkan kerohanian dengan cara membaca, diskusi atau melanjutkan sekolah khusus agama Hindu.

2.11 Sejarah Tradisi Pangguni Uttiram di Lubuk Pakam

Pada tahun 1880 Masehi dibangun rumah ibadah umat Hindu yang disebut kuil. Kuil ini diberi nama Shri Thendayudabani yang terletak di Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Lubuk Pakam I-II, Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli


(46)

37 Serdang, Sumatera Utara. Kuil ini pertama kali didirikan oleh Orang-orang Cettiar, kemudian pembangunan dilanjutkan oleh masyarakat Tamil yang bermukim di daerah Lubuk Pakam.

Akses menuju kuil bisa ditempuh dari Kota Medan sekitar satu jam dengan kendaraan atau sekitar 20 Kilometer. Letaknya yang berada di pusat keramaian kota Pakam sangat mudah untuk dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Di sekitar kuil ini akan dijumpai pemukiman orang Tamil yang sudah berbaur dengan berbagai etnis.

Kuil Shri Thendayudabani adalah rumah ibadah umat Hindu Tamil. Kuil ini akan dikunjungi orang-orang yang akan melakukan sembahyang setiap harinya. Namun ada waktu tertentu, dimana setiap Hari Selasa dan Hari Jumat diadakan sembahyang bersama di kuil. Kuil ini juga dirawat dan dijaga oleh pengurus kuil. Orang-orang ini selain bertugas sebagai penjaga, juga bertugas menyiapkan segala macam keperluan sembahyang, seperti bunga-bungaan, dupa, api, dan sebagainya.

Kuil Shri Thendayudabani adalah salah satu kuil Hindu Tamil yang mempunyai arca utama Murugar. Dewa Murugar sendiri dalam mitologi Hindu adalah anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati (Amen). Bagi umat Hindu, Dewa Murugar dipercaya sebagai Dewa dapat yang memberi berkah keselamatan dan pemurah. Sehingga banyak masyarakat Tamil yang datang bersembahyang ke kuil untuk meminta atau memohon sesuatu yang diinginkan.


(47)

Seiring dengan dibangunnya kuil ini, Orang-orang Cetti6 memulai suatu ritual yang kemudian dilakukan pada saat perayaan Pangguni Uttiram. Ritual-ritual tersebut menjadi tradisi hingga saat ini. Perayaan ini tidak hanya diadakan tertutup di dalam kuil saja. akan tetapi juga di luar kuil. Sehingga pelaksanaannya juga melibatkan masyarakat umum di luar Tamil, baik yang turut menjadi pelaku upacara ataupun hanya menonton saja.

Di sekitar kuil tepatnya di bagian luar depan kuil terdapat jalan raya. Pada waktu pagi dan siang hari, jalan ini digunakan sebagai pasar atau tempat berjualan kebutuhan pokok masyarakat. Bangunan di sekitar kuil selain rumah, ada pula ruko (rumah toko). Sehingga dapat digambarkan bahwa kuil ini terletak di kawasan pasar atau sentra perdagangan Kota Pakam.

Keberadaan kuil dan orang-orang Hindu Tamil, sangat diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Toleransi beragama ini dibuktikan saat kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan orang Tamil. Masyarakat di luar Tamil juga memberi sambutan yang baik dengan cara ikut membantu mensukseskan acara tersebut. Sehingga antara orang Tamil dengan etnis di luar Tamil dapat berbaur di dalam kehidupan sosialnya.

6

Orang Cetti atau Cettiar adalah orang Tamil dari golongan atas yang lebih dikenal sebagai rentenir. Hampir semua kuil Murugar yang ada baik di Indonesia maupun negara lain dibangun oleh orang Cetti. Namun, kelanjutan pembangunan atau renovasinya dilakukan oleh seluruh orang Tamil.


(48)

BAB III

RANGKAIAN RITUAL PANGGUNI UTTIRAM

3.1 Aspek-aspek Upacara 3.1.1 Tempat Pelaksanaan

Upacara Pangguni Uttiram dilakukan di beberapa tempat yaitu di kuil,

sungai, dan jalan. Masing-masing tempat mempunyai tujuan dan makna tertentu. a. Kuil

Kuil adalah tempat suci umat Hindu Tamil. Kuil juga disebut dengan

Aalayam yaitu Aa yang merupakan singkatan Atma berarti jiwa, dan Layam

berarti bersamadhi. Jadi Aalayam berarti tempat dimana jiwa bersamadhi. Dalam konsep Hindu, Tuhan berada di semua tempat. Tuhan mengambil wujud agar jiwa dapat menyembah. Agar dapat mencapai tujuan diwujudkan dalam bentuk arca atau patung Dewa di kuil untuk mempermudah umatnya mengingat serta menyembahnya. Karena itu, di kuil banyak terdapat arca sehingga bangunan ini disebut sebagai rumah Tuhan.

Pada bangunan kuil terdapat beberapa bagian seperti: Raaja Koburam,

Thoobi, Vimaanam, Arthamandaban, Maha Mandabam Nirutha Mandabam, dan

lain sebagainya. Setiap bagian kuil ini memiliki makna masing-masing.

- Raaja Koburam, adalah bagian yang paling tinggi yang didirikan di atas pintu

utama. Raaja Koburam juga disebut Thoola Linggam. Bagian ini dianalogikan dengan bagian tubuh manusia yaitu kepala.


(49)

- Vimaanam, adalah tempat arca utama yang terdapat di kuil atau disebut juga karppa kiragam.

- Thoobi, adalah puncak atau bumbung di atas vimaanam.

- Arthamandaban, adalah ruang yang terdapat di hadapan vimaanam. Di sinilah

para pendeta berdiri untuk melakukan upacara.

- Mahamandaban, adalah ruang yang terdapat dihadapan aartamandaban yang

digunakan umat yang datang untuk bersembahyang.

- Vahanam, adalah wahana Dewa yang terletak dihadapan karpakiraham. Setiap

arca suci utama mempunyai vahanam masing-masing. Burung Merak merupakan vahanam bagi Dewa Murugar.

Seperti yang terlihat pada gambar di bawah, bangunan kuil dianalogikan dengan tubuh manusia.

Gambar 3.4. “Sebuah tubuh manusia diambil sebagai bentuk dasar, dan kuil yang merupakan sebuah tempat pemujaan dikonstruksikan dengan bentuk itu sebagai dasarnya.”


(50)

41 Setiap kuil akan diberi nama dengan mengacu pada arca suci utama yang berada di dalam kuil tersebut. Karena Kuil Shri Thendayudabani memiliki arca utama Murugar maka kuil ini dinamakan kuil Murugar.

Beberapa ritual dilakukan di bagian dalam bangunan utama dan bagian luar atau di halaman kuil. Seperti yang digambarkan dalam denah Kuil Shri Thendayudabani, Lubuk Pakam berikut ini:

Keterangan:

Halaman Depan: (No. 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 adalah arca suci) No. 1 = Permal

2 = Amen (Dewi Parwati atau Shri Mariaman) 3 = Siwen

4 = Sanisparem 5 = Muniandi 6 = Idemben No. 19 = gapura kuil

I

halaman depan

bangunan utama


(51)

Bangunan utama:

No. 7 = arca suci utama (Murugar) No. 16,17 = arca Ganisher 8 = arca Murugar 18 = Mulestanem 9 = arca Ganesha (Ganisher) 14 = tiang bendera 10,11 = arca Dewane & Walli (istri Murugar) 15 = arca Ganisher 12 = Mail Waganem (wahana Merak) 20 = kereta kencana 13 = Pilipidem (radoo) 21 = tempat untuk umat bersembahyang

Bangunan utama kuil terdiri dari beberapa ruangan yang memiliki fungsi masing-masing. Seperti keterangan pada gambar (tanda: I) adalah ruangan yang tepat berada di bawah thoobi (bumbungan kuil), dimana dalam ruangan ini diletakkan arca suci utama. Arca suci utama ini menghadap ke arah Timur atau matahari terbit. Sejajar di hadapan arca suci utama terdapat wahana Burung Merak sebagai kendaraan dan mulastanem (tombak yang ujungnya berbentuk w atau tri sula) sebagai senjata kebesaran Murugar.

Arca suci tidak hanya di dalam bangunan utama kuil. Tepatnya di halaman depan kuil ada beberapa arca yang juga turut dipuja. Diantaranya arca Dewa Shri Mariaman (Amen), Siwen, Permal, Sanisparem, Ganisher, Muniandi dan

Idemben. Muniandi adalah penjaga kuil. Di setiap kuil akan dijumpai arca Muniandi. Ganisher yang diletakkan di depan tiang bendera, hanya arca biasa,

namun juga dihormati.

Paling belakang bangunan kuil adalah aula. Ruangan berukuran panjang ini adalah tempat yang digunakan untuk acara makan bersama. Setiap perayaan yang diadakan di kuil akan dilakukan ritual makan bersama yang makanannya disediakan oleh pengurus kuil. Dalam bangunan aula ini ada pula dapur dan kamar mandi.


(52)

43 Ada beberapa ketentuan dalam memasuki kuil. Jika seseorang dalam keadaan kotor, dilarang memasuki bangunan utama kuil. Ia hanya boleh berada di luar bangunan utama atau di aula saja. Begitu juga seseorang yang sedang berduka. Jika anggota keluarganya meninggal dunia, selama 3 bulan ia tidak boleh memasuki kuil.

Kuil Shri Thendayudabani yang terletak di Kota Pakam adalah kuil Murugar yang dibangun pada tahun 1880 Masehi. Kuil ini didirikan oleh Orang-orang Cetti. Pada umumnya setiap bangunan kuil memiliki bagian yang sama. Namun, ada beberapa bagian yang ternyata tidak terdapat di Kuil Shri Thendayudabani ini.

Bagi masyarakat Hindu Tamil, semua kuil memiliki fungsi yang sama. Selain sebagai tempat ibadah, kuil juga menjadi tempat pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara-upacara perkawinan.

b. Sungai

Sungai menjadi salah satu tempat pelaksanaan upacara. Ritual yang dilakukan di sungai adalah Alagu atau alu yang berarti jarum yakni ritual menusuk bagian tubuh dengan besi-besi yang bentuknya beragam. Saat para peserta akan melakukan Alagu, terlebih dahulu mereka melakukan mandi suci. Mandi suci ini dilakukan di Sungai Tangsi, Lubuk pakam.

Dalam mitologi Hindu, ada sungai yang dianggap suci oleh umat Hindu. Sungai Gangga dianggap memberi kesucian dan kemakmuran bagi masyarakat India. Sehingga dalam ajaran Hindu, mandi suci menjadi ritual penting sebelum melaksanakan upacara keagamaan. Hal serupa juga dilakukan masyarakat Hindu


(53)

Tamil di Lubuk Pakam dengan menjadikan Sungai Tangsi sebagai tempat untuk mensucikan diri. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pendeta Nadhin (40 tahun):

“Setiap peserta wajib mengikuti ritual mandi suci ini. Ini dimaksudkan agar mereka diberi kekuatan dan kelancaran selama tubuhnya ditusuk. Mandi suci ini dilakukan di dalam air yang mengalir. Sesudah mandi, peserta wirtho (yang menjalani puasa) akan menjalani ritual cucuk (Alagu). Untuk memanggil kekuatan dari Dewa, maka ritual ini harus dilakukan di tempat terbuka. Jika kekuatan telah merasuk ke dalam tubuh peserta, maka tidak ada hambatan saat menusukan besi ke tubuh peserta.”

Saat satu persatu peserta mencelupkan diri ke dalam sungai, selanjutnya mereka melakukan persiapan di pinggir sungai. Semua bahan dan peralatan yang digunakan diletakkan di area yang dijaga secara ketat. Area ini akan dijaga agar tidak tersentuh pengaruh yang jahat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ingin menggagalkan acara. Untuk itu, pendeta akan membaca mantra di sekitar area di pinggir sungai.

Setelah peserta dibacakan mantra-mantra khusus, satu persatu akan ditusuk lidah atau bagian tubuh lainnya dengan besi-besi yang bentuknya beragam. Sementara yang lainnya berdoa mengharapkan keselamatan dari Dewa.

Dalam ritual mandi suci ini, air menjadi sarana penting yang diberi makna suci agar seseorang yang melakukannya merasa bersih dari hal-hal yang kotor. Mandi suci ini dilakukan sebelum melakukan Alagu. Peserta wajib bersih atau dalam keadaan bersih.

c. Jalan

Jalan raya yang biasa dilalui kendaraan umum juga menjadi tempat pelaksanaan upacara. Jalur yang dilalui sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia penyelenggara. Pemilihan route (jalur) mengambil lokasi yang banyak terdapat rumah orang Hindu Tamil. Route ini mengambil jalan kota Lubuk Pakam, antara lain sebagai berikut: Kuil - Jl. Sultan Hasanuddin - Jl. K.H. Ahmad Dahlan - Jl.


(54)

45 Sutomo - Jl. Tuanku Imam Bonjol - Jl. Sultan Hasanuddin - Jl. Tengku Fachruddin - Jl. Teuku Cik Di Tiro - Jl. Sultan Hasanuddin - Kuil. Seperti yang terlihat pada peta jalan berikut (Gambar 4).

Jalur jalan yang dilalui setiap tahun atau setiap pelaksanaannya bisa berubah. Pada route jalan ini, diperhitungkan sekitar 2 Kilometer jauhnya jarak yang ditempuh pada arak-arakan Kavadigal dan Ratham dilakukan. Sebenarnya tidak ada ketentuan khusus seberapa jauh jalan yang harus dilalui. Namun, pihak panitia harus memberi kesempatan waktu kepada masyarakat yang ingin memberikan persembahan kepada Dewa, dengan mendatangi rumah-rumah masyarakat.

Arak-arakan Kavadigal adalah ritual dimana setelah seorang wirtho yang

sebelumnya telah berniat untuk menusuk bagian tubuhnya dengan besi, kemudian Gambar 3.5. Peta Kelurahan dimana tertera route (jalur) yang digunakan untuk arak-arakan.

Kuil Shri Thendayudabani


(55)

diarak keliling kota dari sungai menuju kuil. Pada arak-arakan ini, peserta lainnya ada yang membawa susu, rangkaian bunga, dan buah-buahan. Pada saat arak-arakan, ada pula pertunjukkan kesenian tradisional seperti Barongsai dan Jaran

Kepang. Jalannya arak-arakan ini diatur atau dikendalikan oleh pendeta-pendeta

yang memiliki ilmu magis. Ini dikarenakan sebagian peserta dalam kondisi trance (tidak sadarkan diri).

3.1.2 Saat-saat (Waktu) Upacara

Pangguni adalah bulan ke-12 dari 12 bulan yang terdapat dalam kalender

Hindu di India. Uttiram adalah bintang ke-12 dari 27 bintang dalam astrologi Hindu. Uttiram juga berarti purnama atau bulan terang. Sehingga saat-saat seperti ini umat Hindu melakukan sembahyang kepada Dewa. Seperti yang dituturkan oleh Bapak Salam (60 tahun), seorang tokoh masyarakat Tamil:

“Pada bulan ke-12 tepatnya full-Moon Day (malam purnama) di Kuil Murugar, diadakan sebuah upacara sembahyang yang ditujukan kepada Shri Murugar yang mencerminkan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi cahaya. Dalam upacara tersebut, umat Hindu memohon agar terhindar dari kegelapan dalam kehidupannya.”

Untuk menyambut perayaan ini, masyarakat Tamil melakukan persiapan. Bagi setiap orang yang berniat melakukan Alagu diwajibkan melakukan ritual berpuasa. Berpuasa adalah menahan haus dan lapar, serta menghindarkan diri dari segala yang kotor baik sesuatu yang bersifat amis atau sesuatu yang mengandung darah maupun perbuatan tidak baik yang dapat mengotori niat mereka. Ritual puasa ini dilakukan selama 48 hari. Puasa dilakukan selama 24 jam. Jika dimulai siang hari atau jam 12 siang maka akan diakhiri jam 12 siang keesokan harinya. Karena beratnya persyaratan ini, ritual ini hanya dijalankan oleh orang-orang tua saja. Sedangkan peserta yang masih berusia muda hanya menjalankan sesuai kemampuannya.


(56)

47 Perayaan Pangguni Uttiram berlangsung selama 5 (lima) hari. Dimana pada hari pertama dilakukan ritual sebagai berikut: penaikan bendera kuil dan puja khusus di kuil. Pada hari ketiga dilakukan ritual seperti, Abhisegam, Archanai, arakan Kavadigal, dan arakan Ratham. Memasuki hari kelima dilakukan ritual puja Idumban dan penurunan bendera kuil. Namun setelah penurunan bendera kuil masih terdapat ritual yang juga penting yaitu makan bersama. Pada selang waktu yakni hari kedua dan hari keempat, umat Hindu hanya melakukan kebaktian atau puja-puja di kuil. Puja-puja yang dilakukan adalah sembahyang yang biasa dilakukan sehari-hari.

Seluruh umat Hindu Tamil yang telah menjalani puasa dari hari-hari menjelang masuknya hari Pangguni Uttiram masih terus menjalani puasa hingga penurunan bendera kuil. Setelah penurunan bendera kuil selesai dilakukan, barulah mereka boleh memakan apa saja tanpa ada pantangan seperti pada saat berpuasa. Pada saat penurunan bendera kuil selesai maka itu pertanda perayaan

Pangguni Uttiram telah berakhir.

Makan bersama menjadi ritual yang tidak bisa dilepaskan dalam sebuah upacara keagamaan. Pada saat perayaan Pangguni Uttiram, mulai dari hari pertama hingga hari kelima atau hari terakhir, panitia akan menyediakan waktu dan tempat untuk semua yang hadir dalam perayaan untuk makan bersama. Pada saat-saat di atas, makanan yang dimakan tetap tidak boleh mengandung amis. Namun, pada saat upacara berakhir, ada sebuah ritual dimana orang Tamil akan mempersembahkan kambing atau lembu untuk Muniandi (yang menjadi penjaga kuil). Daging hewan tersebut akan dimasak dan dimakan bersama-sama.


(57)

Ritual yang tampak dilakukan secara berulang-ulang adalah puja-puja atau sembahyang para Dewa. Seperti pada hari pertama yang ditandai dengan penaikan bendera kuil. Sebelum dan sesudah menaikkan bendera, peserta melakukan puja-puja Dewa dipimpin oleh pendeta. Begitu juga pada saat akan melakukan ritual

alagu, akan dilakukan puja-puja di kuil.

3.1.3 Pelaku Upacara

Pelaku upacara adalah orang-orang yang melakukan ritual serta upacara baik yang bertindak sebagai pemimpin, peserta upacara, maupun umat yang datang hanya untuk bersembahyang.

a. Pemimpin upacara.

Pemimpin upacara adalah orang yang bertugas memimpin jalannya upacara. Pemimpin upacara antara lain gurukkal dan pendeta atau pandarem. Namun tidak semua pendeta dapat memimpin suatu upacara. Biasanya, seperti pendeta kuil hanya bertugas memimpin sembahyang atau puja-puja dewa. Sedangkan jika untuk upacara besar, akan dipimpin oleh gurukkal yang telah berpengalaman dan memiliki pengetahuan agama yang dalam.

Dalam setiap upacara pada umumnya dipimpin oleh satu pendeta. Jika tampak ada beberapa yang ikut memimpin upacara, mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh pemimpin upacara untuk membantu tugasnya. Sebelum upacara dimulai akan ada ritual sembahyang dimana orang-orang tersebut akan dibekali kekuatan dengan membacakan mantra-mantra khusus.

Beberapa ritual terutama yang bersifat magis seperti pada ritual Alagu akan tampak ada beberapa orang yang turut mengendalikan jalannya upacara. Mereka bertugas memanggil roh-roh atau kekuatan gaib. Seperti pada arak-arakan


(58)

49 Gambar 3.6. Achien, salah seorang peserta dari etnis thionghoa

beragama Budha saat ikut ritual Pangguni Uttiram. (dok. Sardi)

Kavadigal, pemipimpin upacara akan dibantu oleh beberapa orang yang ikut

menjaga jalannya prosesi agar terhindar dari ilmu-ilmu jahat yang ingin menggagalkan upacara.

b. Peserta

Peserta adalah orang yang ikut di dalam upacara. Peserta harus mematuhi segala persyaratan dan ketentuan menurut ajaran agama Hindu. Dalam sistem upacara Pangguni Uttiram ini tidak pernah membatasi jenis kelamin, suku, agama, dan usia. Setiap orang diperbolehkan menjadi peserta.

Dalam pelaksanaannya ternyata ada pula peserta yang berasal dari luar Hindu-Tamil. Achien (45 tahun), seorang Budha yang selalu mengikuti perayaan

Pangguni Uttiram beberapa tahun ini. Baginya, kepercayaan Hindu dengan Budha

hampir sama. Seperti yang diungkapkannya:

“Saya sudah beberapa tahun ini mengikuti upacara Pangguni Uttiram. Karena saya pernah berniat jika keinginan saya terpenuhi maka saya akan membayarnya pada saat hari raya Pangguni Uttiram. Bagi saya, ketika menjalani ritual ini bersama-sama, saya melakukan cara yang sama dengan umat Hindu-Tamil lainnya, tapi pikiran dan jiwa saya tetap tertuju pada Tuhan saya (Sang Budha).”


(59)

Dalam ritual Alagu, peserta lebih banyak dari kaum laki-laki. Ini

disebabkan persyaratan untuk mengikuti ritual Alagu yang berat untuk dijalankan oleh kaum perempuan. Persyaratannya antara lain, menjalani puasa (selama 48 hari, 21 hari, atau 7 hari tanpa putus), memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat kotor seperti barang-barang yang pernah terkena darah atau amis. Diharapkan peserta harus menjaga dirinya agar bersih selalu.

Jika ada dari kaum perempuan yang pernah memiliki keinginan dan terwujud, biasanya hanya membayarnya dengan memberi sesaji berupa susu sapi, buah-buahan, bunga, kelapa, dan bentuk sesaji lainnya sesuai yang telah diniatkan. Mereka akan membawa susu atau sesaji yang sebelumnya telah dibacakan mantra oleh pendeta, kemudian dibawa di atas kepala dan berkeliling mengikuti arak-arakan Kavadigal. Namun, jika ada dari kaum perempuan yang memenuhi persayaratan tersebut di atas, ia boleh saja mengikuti ritual Alagu. Meskipun itu sudah jarang sekali ditemukan.

Gambar 3.7. Salah seorang peserta Alagu dari kalangan perempuan. (dok. Sardi)


(60)

51 3.1.4 Bahan dan Alat Upacara

Pelaksanaan upacara tidak terlepas dari bahan dan peralatannya. Berbagai macam bahan dan peralatan harus disediakan oleh peserta. Bahan-bahan dan peralatan ini berbeda-beda sesuai dengan makna dan tujuan yang ingin dicapai.

a. Penaikan Bendera Kuil

Untuk penaikan bendera kuil, peserta baik panitia maupun peserta yang tinggal di kuil harus menyiapkan bahan-bahan sebagai berikut: daun Mint, daun Mangga, daun Kunyit, dan tali. Semua ini akan diikat ke tiang bendera. Jumlahnya bisa 3 (tiga) atau 5 (lima) buah.

Peralatan yang digunakan antara lain: 2 (dua) buah bendera kuil dan sebuah Idemban serta lonceng. Bendera kuil adalah kain berwarna kuning dan bergambar Ayam Jago. Warna kuning melambangkan kesucian dan Ayam Jago sebagai lambang kemenangan Murugar. Selain bendera kuil, ada pula Idemban yaitu sebuah besi panjang atau tombak yang salah satu ujungnya berbentuk simbol

AUM7 yang melambangkan kekuatan Murugar. Lonceng akan digunakan pada saat pendeta membacakan mantra. Bunyi lonceng berfungsi sebagai seruan untuk memanggil umat mendatangi kuil. Selain itu bunyi lonceng akan membuat konsentrasi pada pusat acara.

b. Puja Khusus

Puja khusus adalah sembahyang yang berupa pemujaan kepada Murugar. Pada saat ini digunakan bahan-bahan antara lain: kelapa, bunga, nasi manis,

7

AUM (Ang-Ung-Mang) atau yang dibaca “Om”. Ang menunjukkan dunia yang bangun, Ung menunjukkan dunia yang bermimpi, dan Mang menujukkan dunia yang tertidur pulas. Panava

AUM ini yang digunakan sebagai salam pembuka maupun penutup bagi sesama umat Hindu.


(61)

kacang hijau yang ditumis, pisang, sirih, pinang, kapur barus (sudem), kemenyan, minyak makan, serta buah-buahan yang beraneka macam.

Setelah semua bahan-bahan di atas dipersembahkan kepada Dewa, dilanjutkan dengan memberi persembahan atau yang disebut dengan Akiom. Pada saat Akiom digunakan bahan -bahan dan peralatan antara lain:

1. Kayu (dengan formasi: 21 macam, 128 macam, 100 macam); 2. Minyak sapi;

3. Sudem (kapur barus);

4. Buah-buahan (jumlahnya harus ganjil); 5. Kepala Muda (6 buah);

6. Gula Merah dan Gula Batu; 7. Batu Bata (60 biji).

Pada saat akiom ini bermacam sesaji dimasukkan ke dalam api pembakaran. Ini diwujudkan sebagai persembahan kepada Dewa Murugar.

c. Abhisegam

Abhisegam adalah ritual memandikan arca Dewa-dewa di kuil. Abhisegam

pada perayaan Pangguni Uttiram tidak seperti biasanya yang dilakukan setiap Gambar 3.8. Aneka macam sesaji yang disiapkan untuk puja-puja khusus. (dok. Ayu)


(1)

83

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik

2002 Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Jakarta, Buku Antar Bangsa.

Agus, Bustanuddin

2006 Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Endraswara, Suwardi

2006 Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi, Yogyakarta, Pustaka Widyatama.

Harahap, Syahrin

1994 Sejarah Agama-Agama: Sejarah, Ajaran, dan Pengembangan, Medan, Pustaka Widyasarana.

Haviland, W.A.

1988 Antropologi Jillid 2, Jakarta, Penerbit Erlangga. Ihromi, T.O.

1996 Pokok-pokok Antropologi Budaya/editor T.O. Ihromi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Kobalen, A.S

2001 Tata Cara Sembahyang dan Pengertiannya, Surabaya, Paramita.

Koentjaraningrat

1987 Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta, Penerbit UI-Press. 1990 Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Sianipar, Oberhausen

1997 Kehidupan Sosial Ekonomi Lima Keluarga Suku Bangsa Tamil Pengemudi Pick Up (Studi tentang Sektor Informal di Kotamasya Medan), Medan, Skripsi Jurusan Antropologi FISIP-USU.

Suparlan, Parsudi

1982 Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian Antropologi. Makalah yang disampaikan pada peserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Departemen Agama RI, IAIN Jakarta, Ciputat


(2)

14 September 1981, Jakarta Ikatan Kekerabatan Antropologi FS-UI.

Sumber-sumber lain:

Http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_India_Indonesia Http://www.kompas.com/kompas_cetak/0503/28/Bingkai Http://www.murugar.com

Http://ms.wikipedia.org/wiki/Keling


(3)

85

LAMPIRAN

Daftar Informan

1. Nama : Thegu

Umur : 70 Tahun

Alamat : Jl. Dr. Cipto, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang

2. Nama : Nadhin

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jl. S.T. Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang, Pendeta

3. Nama : Welayutham Umur : 45 Tahun

Alamat : Jl. Dusun VII Pule Rejo 59 Sei Semayang, Deli Serdang Pekerjaan : Pegawai Parisadha, Pendeta

4. Nama : Ramish Umur : 25 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang

5. Nama : Venggedassalam Umur : 65 Tahun

Alamat : Jl. Sriwijaya No.10 Medan Pekerjaan : Pendeta

6. Nama : Kalifa

Umur : 45 Tahun

Alamat : Jl. Cik Di Tiro, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang

7. Nama : Gunde

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jl. Dr. Sutomo, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang

8. Nama : Gunde

Umur : 50 Tahun

Alamat : Kampung Banten, Kelurahan Helvetia, P. Brayan Pekerjaan : Pedagang, Pendeta


(4)

9. Nama : Achien

Umur : 45 Tahun Alamat : Pakam Pekerjaan : Pedagang

10. Nama : Sathi

Umur : 40 Tahun

Alamat : Kampung Anggerung, Medan Pekerjaan : Pedagang

11. Nama : Vijay Kumar Umur : 65 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pendeta

12. Nama : Ambalagen Umur : 50 Tahun

Alamat : Jl. S.T Hasanuddin, Lubuk Pakam Pekerjaan : Pedagang


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Ayu Sri Mahasti

NIM : 020905046

Departemen : Antropologi

Judul : PANGGUNI UTTIRAM ( Suatu Ritual Hindu-Tamil di

Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam Sumatera Utara)

Pembimbing Skripsi

(Drs. Agustrisno, MSP) NIP. 131659306

Medan,

Ketua Departemen

(Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP. 131882278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131757010


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji Departemen Antropologi pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul : Tempat :

Tim Penguji :

Ketua :

Anggota I :