BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa - NONI INDRIANTI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Kelapa merupakan salah satu jenis tumbuhan dari keluarga Palmae.

  Kelapa merupakan satu-satunya spesies dalam genus Cocos, dengan ketinggian mencapai 30 m. Pohon kelapa biasanya tumbuh di daerah pantai.

  Kesemua bagian pohon kelapa berguna kecuali kemungkinannya bagian akar. Pohon kelapa mampu menghasilkan hingga 75 butir kelapa dalam 1 tahun

  Menurut (Palungkun 1992) tanaman kelapa dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu:

  1. Kelapa Dalam (Tall Variety) Kelapa jenis ini umumnya terdapat di Indonesia, mempunyai diameter batang sampai 30 cm atau lebih dan tingginya mencapai 20 meter. Pohon mulai berproduksi sekitar umur 5–10 tahun dan masih berproduktif sampai umur 50 tahun. Biasanya buah kelapa jenis ini umumnya berukuran besar. Beberapa kelapa yang termasuk golongan ini antara lain: tipe Jepara, tipe Banyumas, tipe Bali (Palungkun 1992).

  2. Kelapa Genjah (Dwarf Variety) Kelapa jenis ini jumlahnya sedikit dan lebih umum sebagai tanaman hias. Tinggi batang antara 1–5 meter, kadang-kadang lebih.

  Pohon mulai berproduksi sekitar umur 3–5 tahun, masih berproduktif sampai umur 25 tahun lebih dan peka terhadap hama penyakit. Batang, daun dan buah relatif lebih kecil dibandingkan jenis kelapa dalam.

  Beberapa kelapa yang termasuk golongan kelapa genjah antara lain : Kelapa gading, Kelapa Raja, Kelapa Puyuh (Palungkun 1992).

  3. Kelapa Hibrida Kelapa jenis ini merupakan hasil persilangan antara Kelapa Dalam dan Kelapa Genjah. Kelapa jenis ini mulai berproduksi sekitar umur 3–5 tahun, masih berproduktif sampai 15 tahun lebih dan tinggi batang 1–5 meter (Palungkun 1992).

2.2 Air Kelapa

  Air kelapa kerap kali diasumsikan sebagai limbah. Padahal air kelapa memiliki khasiat dan nilai gizi yang tinggi. Jika diteliti lagi, dalam air kelapa juga terdapat berbagai vitamin. Sebut saja asam nikotinat, asam pantotenat, asam folat, biotin, riboflavin, dan sebagainya. Oleh karena itu, air kelapa baik untuk pertumbuhan bakteri (Palungkun 1992).

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Air Buah Kelapa

  Sumber air kelapa (dalam 100 g) Air kelapa muda Air kelapa tua Kalori 17,00 kkal 18,50 kkal Protein 0,20 g 0,14 g Lemak 1,00 g 1,50 g Karbohidrat 3,80 g 3,60 g

  • Kalsium 15,00 g
Fosfor 8,00 g 6,90 g

  • Besi 0,20 g Asam askorbat 1,00 g - Air 95,50 g 91,50 g
  • Bagian yang dapat dimakan 100 g Sumber: (Palungkun 1992)

  Selain tingkat kematangan kelapa dan jenis kelapa, faktor lingkungan yaitu iklim dan lingkungan mempengaruhi kandungan kimia kelapa. Air kelapa yang dihasilkan dari kelapa tua akan memberikan pertumbuhan bakteri yang lebih cepat bila dibandingkan dengan kelapa muda (Nurmiati 2010).

2.3 Acetobacter xylinum

  Starter nata merupakan mikroorganisme yang diinokulasi ke dalam medium fermentasi pada saat fase pertumbuhan eksponensial. Starter yang baik memenuhi kriteria sebagai berikut: sehat dan aktif, dapat digunakan dalam jumlah medium fermentasi, bebas kontaminasi, dan dapat membatasi kemampuannya untuk memproduksi produk akhir. Starter yang digunakan pada pembuatan nata de coco biasanya berasal dari kultur cair yang disimpan selama tiga sampai empat hari sejak inokulum (Collado 1986; Nurmiati 2010). Mikroba yang aktif dalam pembuatan nata adalah bakteri pembentuk asam asetat yang tergolong dalam Genus Acetobacter yaitu Acetobacter xylinum.

  Acetobacter xylinum mempunyai tiga enzim yang aktif, yaitu enzim kinase, enzim ekstraseluler selulosa polimerase, dan enzim protein sintetase. Enzim ekstraseluer selulosa polimerase aktif pada pH 4 yang berfungsi untuk membentuk benang-benang selulosa (nata). Enzim protein sintetase aktif pada pH 3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang mengandung C, H, O, dan N menjadi protein (Jay, Loessner et al. 2005). Dalam medium cair,

  Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai

  ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang-benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium (Iguchi, Yamanaka et al. 2000). bersentuhan dengan udara karena sifat dari bakteri ini aerob. Selama proses fermentasi dijaga agar tidak ada goncangan, maka gel akan terus tumbuh kedalam permukaan dimana oksigen masuk melalui gel sampai tidak dapat menembus permukaan gel. Faktor nutrisi dan kondisi fermentasi mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan (Budhiono, Rosidi et al. 1999; Iguchi, Yamanaka et al. 2000).

  Mekanisme pembentukan gel dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat awal pertumbuhan bakteri akan meningkat dengan konsumsi oksigen sebelum terbentuk lapisan yang ditandai dengan berkeruhnya larutan. Ketika pertumbuhan tersebut, hanya bakteri yang berada dalam permukaan yang bisa kontak dengan udara akan menghasilkan selulosa dengan bentuk lembaran gel. Setelah terbentuk lapisan selulosa yang menutupi konsumsi oksigen, bakteri tidak mengalami pertumbuhan secara eksponensial akan tetapi berada pada fase stationary. Pada saat ini bakteri dapat dikatakan tidur sampai digunakan untuk kultur baru (Iguchi, Yamanaka et al. 2000; Skinner and Cannon 2000).

  Adapun tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal dapat dilihat pada gambar 2.1 (Rao 2005): dalam kondisi normal

  Keterangan:

  a. Fase adaptasi Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0–24 jam atau ± 3 hari sejak inokulasi.

  b. Fase pertumbuhan awal Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam. c. Fase pertumbuhan eksponensial Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter

  xylinum , fase ini dicapai dalam waktu antara 3-10 hari tergantung pada

  kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak–banyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.

  d. Fase pertumbuhan diperlambat Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.

  e. Fase stasioner Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

  f. Fase menuju kematian Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya. g. Fase kematian Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya.

  2.3.1 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi adalah sebagai berikut: a. Sumber karbon nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis adalah sukrosa atau gula pasir (Edria, Wibowo et al. 2008).

  b. Sumber nitrogen Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan

  Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast

  dan kasein. Namun, ammonium sulfat dan ammonium fosfat (di pasar dikenal ZA) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber N lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea (Budhiono, Rosidi et al. 1999). c. Tingkat keasaman (pH) Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5 bakteri

  Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH

  4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini mengalami gangguan metabolisme selnya (Nurmiati 2010).

  d. Temperatur Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri

  Acetobacter xylinum adalah 28ºC-31ºC. Kisaran suhu tersebut

  merupakan suhu kamar. Pada suhu dibawah 28ºC, pertumbuhan akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata (Iguchi, Yamanaka et al. 2000).

  e. Udara (oksigen) Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik.

  Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata de coco tidak boleh ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup ventilasi.

2.4 Nata de Coco

  Nata didefinisikan sebagai suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi. Nata de coco adalah jenis nata dengan media fermentasi air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba (Collado 1986; Iguchi, Yamanaka et al. 2000). Nata de coco adalah bahan padat seperti agar-agar tapi lebih kenyal, atau seperti kolang- kaling, tetapi lembek berwarna putih transparan. Sejenis makanan penyegar atau pencuci mulut yang umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan. bahan baku air kelapa dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Nata adalah lapisan polisakarida ekstraseluler (selulosa) yang dibentuk oleh mikroba pembentuk kapsul. Lapisan ini mempunyai tekstur kenyal, putih, menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan (Iguchi, Yamanaka et al. 2000). Nata de coco memiliki kandungan selulosa ±2,5% dan lebih dari 95% kandungan air. Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%, lemak 0,35% dan sisanya air (Palungkun 1992).