PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

(1)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN PEMBERIAN ETAKRIDIN

LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL

(Skripsi)

Oleh

CHARLA GUTRI FARMITALIA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

(3)

(4)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN PEMBERIAN ETAKRIDIN

LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL

Oleh

CHARLA GUTRI FARMITALIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN TINGKAT

KESEMBUHAN LUKA SAYAT LUKA SAYAT TERBUKA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN PEMBERIAN

ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL

Nama Mahasiswa : Charla Gutri Farmitalia

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011107

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr.Evi Kurniawaty M. Sc Ibu Soraya Rahmanisa S.si,M.Sc NIP 197601202003122001 NIP 198504122010122003

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dr.Sutyarso, M.Biomed NIP 195704241987031001


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr.Evi Kurniawaty M.Sc

Sekretaris : Ibu Soraya Rahmanisa S.si,M.sc

Penguji Bukan

Pembimbing : dr. Susianti M.Sc

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP 195704241987031001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 Desember 1991, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak dr.Ansyori Razak dan Ibu Hayani.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyah Jakarta Barat, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negri 3 Kuripan Kota Agung Tanggamus pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negri (SLTP) 1 Kotaagung pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Mandiri (UM). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa BEM sebagai anggota dari Dinas Minat dan Bakat,, GEN-C FK Unila sebagai anggota periode 2010-2011.


(8)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ” Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Sayat Terbuka Tikus Putih (Rattus norvegicus) Dengan Pemberian Etakridin Laktat Dan Pemberian Propolis Secara Topikal ” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda (Hayani) dan ayahnda (Ansyori), atas segala kasih sayang yang telah diberikan, restu


(9)

dan doa yang terus dipanjatkan, segala pelajaran dalam hidup serta terus memberi semangat untuk berjuang hinnga saat ini kepada penulis ;

2. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

3. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

4. dr. Evi Kurniawaty, M. Sc selaku Pembimbing Pertama atas semua saran, motivasi, masukan, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini;

5. Ibu Soraya Rahmanisa S. Si, M. Sc selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, bimbingan, saran, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini; 6. dr. Susianti, M. Sc selaku pembahas yang telah memberikan banyak

masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini;

7. dr. Hana Mutiara selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama 3 tahun perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini;

8. Kakak-adikku tercinta Rini Gutri Raesya dan Rafi Gutra Aslam, yang selalu memberikan semangat, doa, serta tempat untuk berbagi canda tawa bagi penulis selama menjalani perkuliahan.

9. Seluruh staff Dosen FK Universitas Lampung, terima kasih telah banyak memberikan pemahaman dan tambahan wawasan ilmu pengetahuan serta pengalaman untuk mencapai cita-cita;

10.Terima kasih untuk Teman terdekat saya M. Iqbal Tafwid dan keluarga yang selalu ada untuk bertukar fikiran saat suka dan duka, memberi saran,


(10)

motivasi, dan semangat saat masa-masa sulit, dan menjadikan cerita yang berwarna dalam hidup selama perkuliahan dimulai hingga diselesaikanya skripsi ini

11.Terima kasih kepada Ir. Diza Noviandi yang turut memberikan dukungan, motivasi, masukan dan saran saat awal masuk perkuliahan hinnga diselesaikanya skripsi ini.

12.Terima kasih kepada teman satu tim skripsi, Cyntia Amanda atas kesempatan berharga yang diberikan untuk menjadi sahabat sepenelitian dan menjadi sahabat wanita terdekat dari awal masuk perkuliahan hingga saat ini, serta tempat berbagi dalam suka dan duka, untuk semua kerjasama, bantuan, motivasi,dan masukannya.

13.Terima kasih kepada sahabat karibku semasa SMA dan perkuliahan, Vindita Mentari, yang selalu mewarnai setiap hari hari dengan datar namun begitu manis selama berteman, untuk setiap arahan, motivasi dan pembelajaran sampai saat ini.

14.Utari Gita, Riska Tiarasari, Intan PP, Evi Febriani, Nirmala Astri, atas keakraban, semangat, nasihat, dan doa yang telah kalian berikan sampai. 15.M. Aprimond S, Prataganta, Achmad Fariz, Pasca Yogatama, , Hario Tri

Hendroko atas keakraban, canda tawa, dukungan, kebersamaannya selama ini yang telah kalian berikan;

16.RA Siti Marhani, Angga Nugraha , Nora Ramkita terima kasih atas segala bantuan, semangat yang kalian berikan selama berjalannya penelitian kami dari pagi hingga sore tiap harinya ;


(11)

17.Teman-teman seperjuangan kelompok propti “Gastrointestinal” (Cyntia Amanda, Lewi Martafuri, H.Sadiah, Aprilia Elizabeth, Shinta Trilusiani, Arri Kurniawan, Harli Feryadi, Evi Febriani Lubis, Ali, Ryan Wahyudo) atas kekompakannya dari awal hingga saat ini;

18.Saudara-saudara baru KKN Sukamernah (Deki Pranata, Lyanda Ali, Sarah Aviva, Gita Rosa, Ade, Erlangga, dan Cindar BWN) atas keakraban dan telah menjadi keluarga baru yang luar biasa sampai saat ini,

19. Sahabat-sahabat Alumni SMAN 1 Bandar Lampung, terima kasih atas cinta, persaudaraan, pengalaman dan dukungannya;

20.Sahabat-sahabat tutorial dari awal masuk hingga selesai yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas pelajaran hidup, kerja sama serta bantuannya; 21.Teman-teman FK Unila angkatan 2009 yang tak bisa disebutkan satu per

satu, atas kebersamaanya selama ini baik suka dan duka selama 3,5 tahun.

22.Seluruh sejawat Kakak-kakak dan adik-adik tingkatku angkatan 2002-2012 FK Unila yang tidak dapat disebutkan satu–persatu atas kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya.

Bandar Lampung, Januari 2013


(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

1 I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka merupakan salah satu proses kerusakan atau hilangnya komponen jaringan secara spesifik yang terjadi mengenai bagian tubuh tertentu, tergantung dari tingkat keparahan luka yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi. Jenis luka salah satunya adalah luka sayat, dimana penyebab cidera traumatik dapat berupa pisau dan benda tajam, hal ini mungkin disengaja seperti insisi bedah ataupun kecelakaan yang tidak diharapkan. Sehingga luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel lalu diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut (Wibisono, 2008).

Berdasarkan penyebabnya luka sayat (Vulnus scisum) adalah salah satu jenis trauma yang sering terjadi, karena sebagai organ tubuh yang terletak paling luar dan terbesar serta fungsinya sebagai pelindung tubuh, kulit mudah terjadi luka baik itu ringan maupun berat. Proses penyembuhan dari luka sayat secara normal dapat terjadi menggunakan bantuan atau secara alami, beberapa bahan perawatan dapat digunakan untuk membantu dan mendukung proses penyembuhan luka tersebut, selain itu penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor yang bersifat lokal atau sistemik (Monaco et al., 2003).


(18)

2 Salah satu contoh penyembuhan luka yaitu dengan penggunaan rivanol (etakridin laktat) yang sering digunakan dalam proses perawatan dan penyembuhan luka sayat karena memiliki sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan kuman), juga tidak bersifat iritatif untuk kulit, sehingga cocok sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2001).

Dewasa ini pemilihan bahan-bahan alami seperti propolis juga mulai diminati oleh masyarakat untuk proses penyembuhan luka sayat, karena propolis merupakan campuran sejumlah lilin lebah dan resin yang dikumpulkan oleh lebah madu dari tanaman, terutama dari bunga dan kuncup daun. Propolis telah terbukti dapat membunuh bakteri paling aktif yang menjadi musuh lebah, yaitu larva Bacillus penyebab busuk brood Amerika (Sulimanovic et al., 1982).

Senyawa utama resin terdiri dari flavanoid dan asam fenolat atau esternya merupakan kandungan utama dari propolis, banyak uji telah menunjukkan kontrol positif dari organisme dengan berbagai ekstrak dari konsentrasi propolis, efek sinergis telah di laporkan dari ekstrak propolis yang digunakan secara bersama dengan antibiotik (Chernyak, 1971). Penelitian menyebutkan bahwa manfaat dari penggunaan propolis ini baik untuk kesembuhan luka, karena beberapa kandungan zat yang memiliki sifat antibakteri, antiinflamasi, antifungi, antiprotozoa, antioksidan dan antivirus yang berhubungan langsung dengan faktor ekstrinsik penyembuhan luka tersebut. Karena latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mempelajari perbandingan proses kesembuhan pada luka sayat dengan pemberian etakridin laktat dan propolis.


(19)

3 B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat perbedaan tingkat kesembuhan luka sayat tikus putih (Rattus novergicus) dengan pemberian propolis dan etakridin laktat secara topikal?

C. TUJUAN PENELITIAN

1.Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan tingkat kesembuhan luka sayat antara tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberikan ethakridin laktat dengan dan propolis secara topikal

D. MANFAAT

1. Memberikan informasi terhadap masyarakat tentang perbandingan tingkat kesembuhan luka sayat antara propolis dengan pemberian etakridin laktat 2. Memberikan informasi baru serta tambahan yang dapat di pergunakan

untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan perkembanganya.

3. Menambah wawasan dan khasanah di bidang ilmu pengetahuan penulis khususnya tentang perbandingan tingkat kesembuhan luka sayat anatara pemberian propolis dengan pemberian etakridin laktat.


(20)

4

E. KERANGKA TEORI

Propolis mengandung flavonoid, asam fenolat termasuk caffeic acid phenylesthylester (CAPE), asam amino, arginin, mineral, etanol, vitamin C, vitamin E, phenol, dan cinnamic acid. Karena adanya kandungan-kandungan kimia yang terdapat dalam propolis sehingga propolis bersifat antimikroba, antiinflamasi, antioksidan, antivirus dan antikanker. Penyembuhan luka akan lebih cepat pada pemberian propolis karena memiliki sifat antimikroba, sehingga dapat mencegah infeksi terhadap luka sayat pada kulit dengan cara menghambat pembelahan sel bakteri, menghancurkan dinding sel bakteri dan sitoplasma. Propolis dengan sifat antiinflamasinya mempengaruhi rasa nyeri dan menghambat pelepasan sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrin dan tromboksan yang merupakan mediator mediator inflamasi yang ada.

Ethakridin laktat adalah zat yang memiliki sifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman, hal ini dilakukan dengan cara mengganggu proses vital pada asam nukleat sel mikroba. Efektifitas rivanol cenderung lebih kuat pada bakteri gram positif dari pada gram negatif, sifat rivanol yang tidak menimbulkan iritasi ini dapat digunakan untuk membersihkan luka, baik untuk mengompres luka atau bisul. Juga dapat digunakan untuk membersihkan luka yang bersih atau tidak terkontaminasi (Gennaro, 1990).


(21)

5 Gambar 1.Kerangka Teori

LUKA SAYAT TERBUKA Faktor Host

 Umur

 Jenis Kelamin  Status Gizi

METODE

ENVIRONMENT  Metode

perawatan  Ruang

perawatan

Ethakridine laktat

PROPOLIS

PENYEMBUHAN FAKTOR AGEN  Mikroorganisme  Penyebab infeksi


(22)

6

F. KERANGKA KONSEP

Gambar 2. Kerangka konsep penelitian

G. HIPOTESIS

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di jabarkan sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat kesembuhan lebih cepat pada pemberian propolis dibanding pemberian ethakridine laktat terhadap luka sayat terbuka pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Kontrol

Propolis Ethakridine

laktat Tikus dengan

luka sayat

 Gambaran Klinis kulit tikus  Gambaran

histopatologi kulit tikus


(23)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kulit Manusia

Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas ukurannya yaitu 15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit terbagi atas 3 lapisan pokok yaitu, epidermis, dermis dan subkutan atau subkutis. Tikus putih (Rattus novergicus) memiliki struktur kulit dan homeostatis yang serupa dengan manusia (Wibisono, 2008).


(24)

8 1. Epidermis

Terbagi atas beberapa lapisan yaitu : a. Stratum basal

Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak dibagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel di atasnya dan merupakan sel-sel induk.

b. Stratum spinosum

Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan.

c. Stratum granulosum

Stratum ini terdiri dari sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut hanya terdapat 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit.

d. Stratum lusidum

Langsung dibawah lapisan korneum, terdapat sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma.

e. Stratum korneum

Stratum korneum memiliki sel yang sudah mati, tidak mempunyai inti sel dan mengandung zat keratin.

2. Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya yang bisa dilihat sebagai tanda


(25)

9 yaitu mulai terdapat sel lemak pada bagian tersebut. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah pars retikularis (stratum retikularis).

3. Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan sel lemak dan di antara gerombolan ini berjalan serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan inti yang terdesak kepinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada setiap tempat.

Fungsi penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau pegas bila terdapat tekanan trauma mekanis pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Dibawah subkutis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot. Vaskularisasi kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang terdapat pada dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, sedangkan pleksus yang di subkutis dan di pars retikular juga mengadakan anastomosis, dibagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening (Djuanda, 2003).


(26)

10 4. Adneksa Kulit

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar palit.Terdapat 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang berukuran kecil, terletak dangkal pada bagian dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental (Djuanda, 2003).

B. Histologi Kulit

Gambar 4. Histologi kulit (Yahya, 2005)

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora et al., 2009). Histologis pada


(27)

11 bagian epidermis dimulai dari stratum korneum, stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki (Djuanda, 2003). Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Pada bagian selanjutnya adalah stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.

Diantara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin dan diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel ini makin dekat kepermukaan makin gepeng bentuknya dengan inti terletak ditengah-tengah. Protoplasma sel berwarna jenrih pada stratum spinosum karena mengandung banyak glikogen (Djuanda, 2003). Stratum germinativum atau basal terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda,


(28)

12 dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (Djuanda, 2003).

Pada bagian dermis, baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut-serabut yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut elastin biasanya bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis (Djuanda, 2003).

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan dan dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan kelenjar getah bening.

Pada bagian adneksa terdapat banyak kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku. Pada bagian kelenjar kulit terbagi lagi seperti kelenjar keringat contohnya yang memiliki kelenjar enkrin, saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat diseluruh permukaan kulit dan terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan emosional (Djuanda, 2003).

Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila, areola mamae, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu lahir berukuran kecil, tetapi pada pubertas


(29)

13 mulai besar dan mengeluarkan sekret, seperti keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8 (Djuanda, 2003).

C. Luka

Terdapat banyak istilah yang dapat mendefinisikan suatu luka, salah satunya luka dapat diartikan sebagai gangguan atau kerusakan integritas dan fungsi jaringan pada tubuh (Suriadi, 2007).

Jenis jenis luka

a. Jenis -jenis luka berdasarkan mekanisme terjadinya luka :  Luka insisi (Incised wounds)

Dapat terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Contohnya adalah luka yang terjadi karena pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi).

 Luka memar (contusion wound)

Terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

 Luka lecet (abrased wound)

Terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

 Luka tusuk (punctured wound)

Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.


(30)

14  Luka gores (lacerated wound)

Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.  Luka tembus (penetrating wound)

Luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

 Luka bakar (combustio)

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).

b. Jenis jenis luka berdasarkan tingkat kontaminasinya :  Clean wounds (luka bersih)

Merupakan luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi.

Clean contamined wounds (luka bersih terkontaminasi)

Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.  Contamined wounds (luka terkontaminasi)

Termasuk luka terbuka, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran


(31)

15 cerna, pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

Dirty or infected wounds (luka kotor atau infeksi)

Merupakan luka yang terdapat ditemui mikroorganisme pada luka.

c. Jenis jenis luka berdasarkan kedalaman dan luasnya luka : a. Stadium I :

Luka superfisial (non blanching erithema), yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II :

Luka partial thickness, yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial adanya tanda klinis seperti abrasi, dan blister atau lubang yang dangkal c. Stadium III :

Luka full thickness yaitu, hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV

Luka full thickness, merupakan luka yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas.


(32)

16 d. Jenis jenis luka menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :

a. Luka akut adalah suatu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.

b. Luka kronis adalah suatu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

D. Luka Akibat benda Tajam

Setiap luka memiliki nama berbeda sesuai dari penyebab terjadinya seperti luka bakar akibat zat yang panas, luka iris/sayat karena benda yang tajam, luka memar akibat benda yang tumpul dll, berbagai benda yang dapat mengakibatkan luka sayat adalah benda yang memiliki sisi tajam, baik berupa garis maupun runcing yang bervariasi dari alat-alat seperti pisau, golok, dan sebagainya hingga kepingan kaca, gelas, logam, sembilu, bahkan tepi kertas atau rumput sekalipun. Luka akibat benda tajam dapat berupa:

a. Luka iris atau sayat b. Luka tusuk

c. Luka bacok (Budiyanto, 1997)

Luka sayat/ iris

Luka sayat adalah sebuah luka yang terjadi karena terpotongnya kulit dengan rata dan tidak ada pemisahan atau penarikan kulit seperti pada kasus laserasi atau abrasi, dan memiliki gambaran umum luka yaitu, tepi dan dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar luka


(33)

17 berbentuk garis atau titik. Kedua sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang luka. Sudut luka yang lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang berdekatan akibat pergeseran senjata sewaktu ditarik atau akibat bergeraknya korban. Bila diikuti gerak memutar, dapat menghasilkan luka yang tidak selalu berupa garis (Budiyanto, 1997).

Karakteristik luka sayat

Kita dapat menemukan karakteristik pada luka sayat seperti panjang dan kedalaman yang berbeda dengan luka tusuk, pada dasarnya sebuah luka sayat diakibatkan oleh goresan pisau atau instrumen tajam yang lain melalui permukaan tubuh. Tidak ada niat untuk memasukkannya kedalam jaringan atau kedalam rongga tubuh jadi dapat kita lihat hasilnya terhadap luka yaitu, panjangnya luka lebih besar dari pada dalamnya. Jadi dengan demikian area klasik untuk terjadinya luka sayat yang fatal adalah di leher dan di pergelangan tangan, jarang sebuah luka sayat di kaki atau lipat paha telah dibuktikan fatal.

Memar tidak di temukan pada luka jenis ini, oleh karena sifat alami dari suatu luka sayat merupakan, suatu sayatan yang rata di akibatkan oleh goresan sebuah instrumen yang mengenai permukaan kulit tanpa tekanan pada jaringan dan tidak terdapat memar. Luka sayat penampakan umumnya regular meskipun terdapat sebuah celah pada jaringan yang terpotong. Mereka bisa lurus tetapi kadang-kadang berbentuk kurve namun dapat tergantung dari gerakan, dan tejadi perdarahan yang banyak, salah satu gambaran dari luka sayat adalah terdapat sejumlah besar volume darah yang biasanya hilang, hal ini


(34)

18 berhubungan dengan sayatan yang rata dari pembuluh darah yang terletak dekat dengan kulit.

Pada kasus luka tusuk terjadi luka yang lebih dalam sehingga sebagian besar darah yang keluar akan masuk kedalam rongga tubuh oleh karena itu tidak terlihat oleh pengamatan, berbeda dengan luka sayat yang tidak melibatkan rongga tubuh karena darah akan keluar melalui permukaan dan biasanya dapat terlihat. Infeksi jarang terjadi dalam kebanyakan kasus luka sayat, suatu luka sayat biasanya tidak terlalu dalam dan terdapat aliran darah yang lancar sebagai konsekuensinya, infeksi pada luka itu jarang terjadi serta jaringan parut yang terjadi pun minimal.

E. Fase Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan fenomena komplek dan melibatkan berbagai proses dengan urutan sebagai berikut:

 Inflamasi akut menyusul terjadinya kerusakan jaringan.  Regenerasi sel parenkimal.

 Migrasi dan proliferasi sel parenkimal.  Sintesis protein extra celuller matrix (ECM).

 Remodeling jaringan ikat dan komponen parenkimal.  Kolagenasi dan akuisisi kekuatan luka.

Pada prosesnya penyembuhan secara normal memiliki 3 fase utama yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi, antara satu dan fase selanjutnya merupakan suatu kejadian yang berkesinamabungan dan tidak dapat dipisahkan .


(35)

19 Proses penyembuhan luka yang alami (Kozier, 1995):

1) Fase inflamasi

Fase inflamasi atau lag phase berlangsung pada hari ke -5. Akibat luka terjadi pendarahan sehingga akan muncul trombosit dan sel-sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur kekuatan dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema. Dengan demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit akan menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman (proses fagositosis).

Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan, respon yang pertama terjadi dan melibatkan platelet yang menyebabkan vasokonstriksi hal ini menyebabkan hemostasis sehingga mencegah perdarahan lebih lanjut. Pertautan pada fase ini oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).


(36)

20 2) Fase proliferasi

Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblas memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi, dimulai dengan :

Proses granulasi (mengisi ruang kosong pada luka) Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru )

Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan), peristiwa fisiologi yang menyababkan penutupan pada luka, dan terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen dimana ukuran luka akan tampak mengecil dan menyatu (Hunt, 2003).

Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas (menghubungkan sel-sel) yang berasal dari sel-sel mesenkim fibroblas menghasilkan mukopolisakarid dan serat kolagen yang terdiri dari asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarid mengatur deposisi serat-serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Serat-serat baru terbentuk dan diatur, kemudian mengkerut, sedangkan yang tidak diperlukan dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut atau mengecil.

Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru akan membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tidak rata disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempat itu akan diisi oleh hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, setelah seluruh permukaan luka


(37)

21 tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka meliputi proses penyatuhan kembali dan penyerapan yang berlebih.

3) Fase maturasi atau Remodelling

Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan bulan dan berakhir hingga tanda radang sudah hilang, dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka (Mansjoer, 2000).

Kolagen adalah komponen kunci pada fase dari penyembuhan luka, paparan kolagen fibriler ke darah akan menyebabkan agregasi dan aktivasi trombosit dan melepaskan faktor faktor kemotaksis yang memulai proses penyembuhan luka. Fragmen-fragmen kolagen melepaskan kolagenase leukositik untuk menarik fibroblas ke daerah injuri. Selanjutnya kolagen menjadi pondasi untuk matrik ekstraseluler yang baru.

Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi. Penyembuhan luka yang ideal adalah kembalinya secara normal struktur kulit, fungsinya, dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik. Seperti fungsi dari kulit juga yaitu sebagai organ reseptor yang selalu berhubungan dengan lingkungan dan melindungi organisme dari cedera benturan dan gesekan (Junquiera, 2007).


(38)

22 F. Etakridin Laktat (rivanol)

Nama resmi : Aethacridini Lactas Nama lain : Etakridin laktat, rivanol Rumusan molekul : C18H21N3O4H2O

Rumus bangun :

Gambar 5. Rumus bangun rivanol

Pemerian : Serbuk hablur, kuning, tidak berbau, rasa sepat dan pahit

Kelarutan : Larut dalam 50 bagian air,dalam 9 bagian air panas

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik dan terlindung oleh cahaya

K/P : Antiseptikum eksterna

Merupakan basa ammonium kuartener disebut juga etakridin (rivanol), adalah turunan aridin yang berupa serbuk berwarna kuning dan konsentrasi 0,1% kegunaanya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2000). Sifat bakteriostatik (menghamabat pertumbuhan kuman) ethakridin laktat dilakukan dengan mengganggu proses vital pada asam nukeleat sel mikroba, efektifitas ethakridin laktat cenderung lebih kuat pada


(39)

23 bakteri gram positif daripada gram negatif, meskipun fungsi antiseptiknya tidak sekuat jenis lain.

Kemampuan ethakridin laktat sering digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan luka, karena sifat ethakridin laktat juga tidak menimbulkan iritasi dan sering digunakan untuk membersihkan luka, baik untuk mengompres luka maupun bisul, ethakridin laktat juga sebaiknya dipakai untuk membersihkan luka yang bersih (Gennaro, 1990).

Aturan pakai

Basahi kapas denga ethakridin laktat lalu tempelkan pada bagian kulit yang sakit lalu balut menggunakan kain kasa.

G. Propolis

Propolis merupakan salah satu produk alami yang dihasilkan lebah madu, dan telah banyak dimanfaatkan sebagai obat atau suplemen, pencuci mulut, antiperadangan, terapi penyakit, mempercepat penyembuhan luka, dan lain-lain. Propolis banyak memiliki manfaat dan potensi khusus, karena memiliki sifat sebagai antibakteri, anti-virus, dan dapat menghambat pertumbuhan kanker, oleh sebab itu Aristoteles menyarankan penggunaan propolis untuk merawat abses dan luka (Salatino et al., 2005).


(40)

24  Definisi propolis

Propolis merupakan bahan resin yang melekat pada bunga, pucuk dan kulit kayu. Sifatnya pekat, bergetah, berwarna coklat kehitaman, mempunyai bau yang khas, dan rasa pahit. Lebah menggunakan bahan propolis untuk pertahanan sarang, mengkilatkan bagian dalam sarang dan menjaga suhu lingkungan (Toprakci, 2005).

Komposisi propolis

Dalam penelitian menyatakan bahwa propolis dapat berfungsi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, karena bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral atau seluler karena mengandung flavanoid sekitar 15 % (Krell, 1996).

Komponen utama dari propolis adalah flavonoid dan asam fenolat, termasuk caffeic acid phenylesthylester (CAPE) yang kandungannya mencapai 50% dari seluruh komposisi. Flavonoid terdapat hampir disemua spesies bunga. Komposisi yang terkandung dalam propolis dijelaskan pada tabel berikut, yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.


(41)

25 Tabel I. Komposisi kimia propolis (Krell, 1996).

Kelas Komponen Jumlah Grup Komponen

Resin 45-55 % Flavonoid, asam fenolat, dan

esternya

Lilin dan asam Lemak 25-53 % Sebagian besar dari lilin

lebah beberapa dari tanaman

Minyak esenssial 10 % Senyawa volatile

Protein 5 % Protein kemungkinan dari

pollen dan amino bebas Senyawa organik lain

dan mineral

5 % 14 macam mineral yang

paling terkenal adalah Fn dan Zn sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La dan sb.

Senyawa organik lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vit. B3.

Manfaat propolis a. Antioksidan

Komposisi propolis dapat berfungsi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler karena mengandung flavonoid sekitar 15% (Krell, 1996).

Kemampuannya sebagai antioksidan dapat menangkap radikal hidroksi dan superoksida kemudian menetralkan radikal bebas sehingga melindungi sel dan mempertahankan keutuhan struktur sel dan jaringan serta dapat


(42)

26 melindungi membran lipid terhadap reaksi yang merusak (Bendich et al., 1992).

b. Antibiotik dan antivirus

Propolis bisa disebut sebagai antibiotik karena memiliki kandungan flavanoid yaitu bahan aktif yang memiliki sifat anti peradangan dan antivirus, menurut penelitian Moriyasu dari jepang juga sifat ini yang dapat memacu aktifitas makrofag untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Penelitian melaporkan bahwa propolis menghambat pembelahan sel bakteri dan juga menghancurkan dinding sel bakteri dan sitoplasma, seperti halnya cara kerja antibiotik yang dijual di pasaran (Takaisi KikuniNB, 1994).

Penelitian melaporkan bahwa propolis hasil ekstrak etanol 70% dapat digunakan sebagai senyawa antibakteri, baik bakteri gram positif (staphilococcus aureus dan bacillus subtilis), maupun bakteri gram negatif (escherichia coli) (Hasan, 2006).

c. Anti tumor

Propolis dapat berperan sebagai antitumor, dijelaskan bahwa propolis dapat merangsang sistem kekebalan secara langsung dan melepaskan unsur yang merespon imunitas seluler melalui mekanisme fagositosis (Wade, 2005) Salah satu contoh sel yang dapat melakukan fagositosis adalah sel darah putih, sel darah putih berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh karena berperan dalam membunuh bakteri, parasit dan mikroorganisme asing yang berbahaya terhadap tubuh (Wade, 2005).


(43)

27 d. Antiinflamasi

Mekanisme propolis dalam menghambat inflamasi disebabkan karena propolis menghambat sintesis eikosanoid. Penghambatan ini akan menyebabkan penurunan kandungan asam arakidonat pada jaringan membran fosfolipid sel yang lebih lanjut akan mengakibatkan terhambatnya pelepasan sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrin dan tromboksan yang merupakan mediator mediator inflamasi.

e. Antiprotozoa

Propolis juga menghambat perkembangan protozoa serta memberi efek regenerasi pada jaringan, meningkatkan aksi enzim dan sitostatik. Pada protozoa propolis telah dibuktikan berefek pada trichomonas vaginalis dan dilaporkan juga menghambat pertumbuhan protozoa lain yaitu giardia lantblia sebesar 98%. Pada trypanozoma cruzi suatu protozoa darah, pemberian propolis secara oral sebagai ekstrak memberikan efek secara in vitro dan aktif pada ketiga stadium parasit dan menghambat tingkat infeksi. f. Antikanker

Kandungan etanol yang terdapat dalam propolis, juga mempunyai manfaat sebagai antikanker berdasarkan penelititan yang dilakukan S. Scheller dkk, yang menguji efektifitas antikanker dari ekstrak etanol propolis (EEP) pada mencit yang diinduksi dengan ehrlich carcinoma cells menunjukkan, mencit yang bisa bertahan hidup lebih banyak setelah diberi EEP. Efek antikanker EEP terhadap Ehrlich Carcinoma cells ini berkaitan dengan kandungan flavonoid pada propolis. Flavonoid mempengaruhi tahapan metabolisme sel kanker misalnya dengan cara menghambat penggabungan timidin, uridin, dan


(44)

28 leucin dengan sel kanker tersebut sehingga dapat menghambat sintesis DNA sel kanker. Peranan flavonoid sebagai antikanker juga diperkuat oleh eksperimen lain yang menggunakan hidrokarbon aromatik polisiklik sebagai penginduksi kanker.

Dalam propolis terdapat zat CAPE (caffeic acid phenylesthylester) yang berfungsi juga untuk mematikan sel kanker. Dengan pemakaian zat CAPE secara teratur selama 6 bulan dapat mereduksi kanker sebanyak 50% (Lembaga Riset Kanker Columbia, 1991).


(45)

29 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Perlakuan hewan coba dilakukan di dua tempat yaitu Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pada pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan (Desember 2012).

B. Alat dan Bahan

1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu: ethakridin laktat, alkohol 96%, melia propolis, plaster, arloji, anestesi lidokain, kassa steril, aquades tikus putih jantan dewasa galur Sprague Dawley, pakan dan minum tikus.

2. Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk membuat preparat histopatologi yaitu dengan metode paraffin meliputi: alkohol absolut,larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, xylol, pewarna Hematoksilin dan Eosin, alkohol 96%, dan entelan (FK UNILA, 2012).


(46)

30 3. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01g untuk menimbang berat mencit, pisau cukur dan gagangnya, bengkok, kom, silet, jas lab, gunting plester, pinset anatomis, spuit 1cc dan jarum, gunting untuk mencukur rambut/bulu tikus, penggaris, sarung tangan steril, kassa steril, arloji, kandang serta botol minum tikus, mikroskop cahaya, object glas, cover glass, deck glass, tissue cassette, rotary microtome, oven, water bath, platening table, autotechnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan parafin dispenser.

C. Subyek Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini populasi yang akan digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley berumur 3-4 bulan.

2. Sampel

Pemilihan sampel digunakan dengan cara simple random sampling, pada penelitian ini diperlukan 3 kali perlakuan dan variabel yang di uji adalah numerik berpasangan sehingga perhitungan sampel dihitung dengan rumus (Dahlan, 2011):

[ ]

Dengan nilai α = 5 % (zα = 1,96), β = 20 % (zβ = 0,84), simpangan baku = S dan perbedaan selisih rerata skor histopatologi yang diharapkan sebagai ( ).


(47)

31 S = 1,5

[

]

[ ]

[ ]

Maka jumlah minimal sampel adalah 18 ekor tikus. Jadi tiap perlakuan dibutuhkan minimal 6 sampel ( ≥6) untuk masing-masing perlakuan dan jumlah perlakuan sebanyak 3 kali, sehingga total sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebanyak 18 sampel yang didapatkan pada 6 ekor tikus putih dari populasi yang ada. Namun pada penelitian ini digunakan 12 sampel ekor tikus putih.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Inklusi :

1. Sehat (aktif, tidak tampak sakit dan rambut/bulu tidak rontok) 2. Memiliki berat badan sekitar 150-180 gram.

3. Berjenis kelamin jantan 4. Berusia sekitar 3-4 bulan Eksklusi :

1. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.


(48)

32 E. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent variable)

Zat aktif yang diberikan pada tikus putih yaitu : a. Ethakridin laktate

b. Propolis

2. Variabel Terikat (Dependent variable)

Tingkat kesembuhan kulit tikus dengan luka sayat, yaitu : a. Gambaran histopatologi kulit tikus

b. Gambaran klinis kulit tikus. F. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Ukur

Ethakridin laktat Ethakridin laktate adalah basa ammonium kuartener

disebut juga etakridin, adalah turunan aridin yang berupa serbuk berwarna kuning dan konsentrasi 0,1% kegunaanya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi

Numerik

Propolis Propolis adalah suatu zat yang dihasilkan lebah dari

berbagai pucuk daun-daun muda yang dicampur dengan air liurnya. Propolis atau lem lebah digunakan untuk menambal dan mensterilkan sarang lebah.

Numerik

Gambaran

histopatologi kulit tikus (Mikroskopis)

Sediaan histopatologi dilihat pada pembesaran 40x pada lapangan pandang acak disetiap spesimen menggunakan hasil pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi insisi luka yang mencakup tingkat pembentukan epitelisasi, kolagen dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru.

Numerik

Gambaran klinis kulit tikus (Makroskopis)

Gambaran klinis didapat dengan menghitung rata-rata panjang penyembuhan luka yang dihitung pada hari pertama dan ke 6 kemudian dihitung persentase dengan rumus:

px = [(p1-px)/p1] x 100%

dengan hari pertama sebagai acuan.


(49)

33 G. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only controlled group design. Sebanyak 12 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley berumur 3-4 bulan yang dipilih secara random. Penelitian ini menggunakan tikus jantan yang bertujuan untuk menghindari adanya pengaruh hormonal yang dapat mempengaruhi respon reaksi imunologis. Adapun penjelasannya :

1). Sampel kontrol yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka sayat dengan panjang 2 cm dan sedalam ± 0,5 cm sampai lapisan subkutan (Muchlas, 2012) yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian perlakuan. 2). Sampel perlakuan etakridin laktat yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka

sayat dengan panjang 2 cm dan sedalam 0,5 cm sampai lapisan subkutan (Muchlas, 2012), selama proses penyembuhan akan diberikan etakridin laktat dengan nama dagang Rivanol yang dibuat oleh PT. Molex Ayus Pharmaceutical, diberikan secara topikal 2 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

3). Sampel perlakuan propolis yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka sayat dengan panjang 2 cm 0,5 cm sampai lapisan subkutan (Muchlas, 2012), selama proses penyembuhan luka diberikan propolis yang diproduksi oleh Herbal Science SDN, BHD Malaysia, yang mengandung 900 mg propolis likuid, dan masih tersegel dan tertutup dengan baik secara topikal 2 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.


(50)

34 H. Prosedur Penelitian

Sebelum dilakukan perlakuan kepada semua tikus laboratorium, terlebih dahulu tikus diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium selama tujuh hari kemudian dilanjutkan dengan prosedur penelitian berikutnya.

1. Pembuatan Luka Sayat Terbuka

Cukur bagian punggung dari tikus putih. Lakukan anestesi pada area kulit yang akan dibuat luka sayat dengan dosis 0,2 cc lidokain dalam 2 cc aquades (Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2009). Kulit disayat dengan silet sepanjang 2 cm dengan kedalaman kira-kira 0,5 cm.

2. Prosedur Penanganan Luka Sayat Terbuka

Penanganan dilakukan sebanyak dua kali sehari (Handian, 2006) dan selalu dibersihkan sebelum mengaplikasikan ethakridin laktat dan propolis ke tikus putih dengan cara, membersihkannya dengan air aquades. Berikut runtutan prosedur penanganan luka sayat yang akan diaplikasikan.

a. Tempelkan perlak yang dilapisi kain dibawah luka yang akan dirawat. b. Pakai sarung tangan steril

c. Siapkan kasa.

d. Olesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan ethakridin laktat setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka dan dengan propolis untuk luka yang lain.

e. Tutup luka dengan kasa steril

f. Untuk kelompok kontrol tanpa balutan dan tidak diberikan zat aktif apapun.


(51)

35 3. Prosedur Operasional Pembuatan Slide

Metode pembuatan preparat histopatologi Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Univrsitas Lampung.

a. Prosedur pembuatan slide :

1. Organ telah dipotong secara melintang dan telah difiksasi menggunakan formalin 10% selama 3 jam.

2. Bilas dengan air mengalir sebanyak 3-5 kali. 3. Dehidrasi dengan :

- Alkohol 70% selama 0,5 jam - Alkohol 96% selama 0,5 jam - Alkohol 96% selama 0,5 jam - Alkohol 96% selama 0,5 jam - Alkohol absolut selama 1 jam - Alkohol absolut selama 1 jam - Alkohol absolut selama 1 jam - Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam 4. Clearing dengan menggunakan :

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I dan II masing-masing selama 1 jam.

5. Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65°C. 6. Pembuatan blok parafin :

Seblum dilakukan pemotongan blok parafin, parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome dengan menggunakan disposable knife. Pita parafin dimekarkan pada water


(52)

36 bath dengan suhu 60°C. Dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin eosin.

b. Prosedur pulasan HE :

Setelah jaringan melekat smpurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

1. Dilakukan deparafinisasi dalam : - Larutan xylol I selama 5 menit - Larutan xylol II selama 5 menit - Etahnol absolut selama 1 jam 2. Hydrasi dalam :

- Alkohol 96% selama 2 menit - Alkohol 70% selama 2 menit - Air selama 10 menit

3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan : - Haris hematoksilin selama 15 menit - Air mengalir

- Eosin selama maksimal 1 menit

4. Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan : - Alkohol 70% selama 2 menit

- Alkohol 96% selama 2 menit - Alkohol absolut 2 menit 5. Penjernihan :


(53)

37 - Xylol I selama 2 menit

- Xylol II selama 2 menit

6. Mounting dengan entelan lalu tutup dengan deck glass. Populasi Tikus

Ditimbang

Diadaptasi selama 7 hari Pengambilan sampel

Diberi luka sayat dengan silet

Diberi perawatan selama 7 hari Hari ke-1

Hitung Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 panjang hari Dibersihkan dengan Dibersihkan dengan Dibersihkan dengan pertama dan 6 aquades 1x /hari aquades & dressing aquades & dressing

rivanol 10% propolis 2x / hari 2x / hari

Hari ke 7

Tikus dinarkosis dengan klorofom

Diambil sampel biopsi pada daerah luka sayat

Sampel dikirim ke Lab. Histologi dan Patologi Fak. Kedokteran Unila untuk pembuatan sediaan preparat

Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya

Interpretasi hasil


(54)

38 I. Cara Pengumpulan Data dan Analisis Data

1. Klinis

Dalam penelitian ini digunakan teknik observasi eksperimen, dimana 3 perlakuan pada masing-masing tikus dilakukan pengamatan setiap dua hari sekali untuk melihat penyembuhan secara makroskopis. Pengamatan ini mulai dilakukan dari awal pemberian terapi sampai hari terakhir penyembuhan untuk mengetahui perubahannya dengan batas waktu penelitian selama 7 hari.

Lalu untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus :

px = [(p1-px)/p1] x 100%

dimana :

px = Persentase hari ke x p1 = panjang hari ke 1 px = panjang hari ke x

2. Histopatologi

Penyembuhan luka sayat diobservasi pada fase proliferasi. Sampel biopsi diambil satu kali dan serentak pada hari ke 7. Gambaran yang dinilai adalah panjang reepitelisasi dengan sistem skoring pada pembesaran 40x yaitu :


(55)

39 Tabel 3. Tabel penilaian mikroskopis.

Parameter dan Diskripsi Skor

Derajat terjadinya epitelisasi

 Epitelisasi normal/lapang pandang kecil mikroskop  Epitelisasi sedikit/lapang pandang kecil mikroskop  Tidak ada epitelisasi/lapang pandang kecil mikroskop

3 2 1 Jumlah pembentukan pembuluh darah baru

 Lebih 2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 3 mikroskop

 1-2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 2 mikroskop

 Tidak ada pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 1 mikroskop

Derajat pembentukan kolagen

 Kepadatan kolagen lebih dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

 Kepadatan kolagen sama dengan jaringan normal/ lapang pandang kecil mikroskop

 Kepadatan kolagen kurang dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

3 2 1 3 2 1

3. Analisis Data

Hasil penelitian lalu akan dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, akan dilanjutkan dengan metode uji parametrik


(56)

40 repeated ANOVA. Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik, akan dilakukan transformasi. Jika pada uji ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Apabila hasil transformasi tidak memenuhi syarat digunakan uji Friedman dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon.Pengolahan data menggunakan perangkat lunak computer (Dahlan, 2011)


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Abram, S.E. 2000. Pain Pathways and Mechanism ; The pain Clinic Manom, 19-20

Block, L.H. 1990. Medicated Application, in Gennaro, AR.(Ed.), Remington's Pharmaceutical Science, 18thed. Mack Publishing Company, East on Pensylvania, 1596-1614

Budianto, A. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi: 1. Cetakan 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI.

Chernyak, N.F. 1973. On Synergistic effect of propolis and some antibacterial drugs Antibiotic, 18 : 259-261

Cordeiro, M.F. 2002. Beyond Mitomycin: TGF-beta and wound healing. Prog Retin Eye Res; 21 : 75–89

Daeley, C. 2005. The care of wounds : A guide for nurses . Victoria : Blackwell Publishing

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Jakarta: Salemba Medika

Djuanda, A. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;. p. 7-8

Djuanda, Adhi. 2003. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FKUI Gennaro, A. R. 1990. Remingtoris Pharceuhcal Science 18 Tahun Ed. Mack

Publishng Company, Pensylvania 786.

Greenaway, W., Scaysbrook, T., and Whatley, F.R. The composition and plant origins of propolis: A report of work at Oxford, Bee World 1990; 71: 107–18.

Handian, F.I. 2006. Efektivitas Perawatan Menggunakan Madu Nektar Flora Dibandingkan Dengan Silver Sulfadiazine Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Terinfeksi Pada Marmut. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.


(58)

Hasan, A.M. 2006. Mikroba Dasar. Gorontalo: Nurul Jannah

Hill, R. 2000. Propolis-The Natural Antibiotic. www.Arkson.com/resources/i-propolis .

Hollmann, W. Markus, E. Durieux. 2000. Local anasthetics and inflammatory respone : A new Tharapeutics indication Anesthesiology. 93 :858-75 Hunt, T.K. 2003. Oxygen and its role and wound healing.

www.etcbiomedical.com

Junqueira, L.C. 2007. Histologi Dasar : Teks dan Atlas. Edisi: 10. Jakarta : EGC. Kanzaki T, Moraski N, Shiina R, Saito Y. 1998. Role of Transforming Growth

Factor-β Pathway in The Mechanisme of Wound Healing By Saponin from Ginseng Radix Rubra. Br.J. Pharmacol. 125: 255-62.

Krell, R. 1996. Value-Added Products From Beekeeping; FAOAgricultural Services Bulltein No.124. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome 1996. www.fao.org/docrep.htm.

Kozier, Barbara. 2004. Fundamental of Nursing: Concepts, Process and Practice. California: Addition Weasley inc.

Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. 2007. Buku ajar patologi. 7nded , Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 189-1

Letterio, J.J, Roberts, A.B. 1998. Regulation of immune responses by TGF-beta. Annu Rev Immunol. 16:137–161

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Midwood, K.S., Williams L.V., and Schwarzbauer J.E. 2004 , Tissue Repair And

The Dynamics of The Extracellular Matrix: The International Journal Of Biochemistry & Cell Biology; 36(6): 1031-1037.

Mlagan, V and Sulimanovic, D. 1982. Action of propolis solutions on Bacillus larvae. Apiacta, 17:16-20

Monaco, J.L. and Lawrence, W.T. 2003. Acute wound healing: an overview. ClinPlastic Surg. 30: 1-12.

Muchlas, F. 2012. Uji Efektifitas Puyer Daun Salam (Syzygium polyanthum) Sebagai Penyembuh Luka Sayat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar. (Skripsi). Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang.


(59)

Nijveldt R.J, Van Nood E, Van Hoorn E, Boelens PG, Van Norren K, Van Leeuwen . 2001. Flavonoids: a review of probable mechanisms of action and potential application. Am. J. Clin. Nutr;74: 418-25.

Parker, B. 2001. Conceptuals foundations : the bridge to professional nursing practice. St. Louis : Mosby

Sabir, A. 2005. Aktivitas antibakteri flavonoid propolis trigona sp terhadap streptococcus mutans (in vitro). Dent J 38:135-141

Salatino, A., Teixeira, EW., Negri G, and Message, D. 2005. “Evid Based Complement”. Altrn Med. 2:33-38.

Schwartz, B.F. and Neumeister, M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9

Slavin, J. 1996 . The role of cytokines in wound healing. J Pathol. 178(1):5–10 Structure of collagen and wound healing. Available

from:URL:http://www.woundcare .org/news vol 2n3 / ed 2.htm

Sudigdo, S. and Sofyan, I. 2002. Dasar dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. Hlm 247-249

Suriadi. 2007. Manajemen Luka. STIKEP Muhammadiyah. Pontianak. Takaisi-Kikuni, N.B. Schilcher, H. 1994. Electron microscopic and

microcalorimetric investigations of the possible mechanism of the antibacterial action of a defined propolis provenance. Planta Med ; 60(3): 222–7

Toprakci, M.B.S. 2005. Kompilasi Keterangan-Keterangan Mengenai Propolis. www.zaaba313.coms.ph/catalog.html. Diakses tanggal 9 Mei 2005 Tortora, GJ., and Derrickson, B.H. 2009. Principles of anatomy and

physiology. 12th ed. Hlm 643-74.

Wade, C. 2005. Can Bee Propolis Rejuvenate The Immune System? www.thenaturalshopper.com/buybee-supplements/article.htm.

Wibisono. 2008. Perbedaan Lama Penyembuhan Luka Bersih Antara Perawatan Luka Dengan Menggunakan Gerusan Bawang Merah (Allium cepa L.) Dibandingkan Dengan Providone Iodin 10% Pada Tikus Putih (Rattus novergicus Strain Wistar. (Skripsi). Fakultas Kedokteran, Jurusan Keperawatan Universitas Brawijaya Malang.

Yahya, H. 2005. Rahasia Kekebalan Tubuh :


(1)

38 I. Cara Pengumpulan Data dan Analisis Data

1. Klinis

Dalam penelitian ini digunakan teknik observasi eksperimen, dimana 3 perlakuan pada masing-masing tikus dilakukan pengamatan setiap dua hari sekali untuk melihat penyembuhan secara makroskopis. Pengamatan ini mulai dilakukan dari awal pemberian terapi sampai hari terakhir penyembuhan untuk mengetahui perubahannya dengan batas waktu penelitian selama 7 hari.

Lalu untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus :

px = [(p1-px)/p1] x 100%

dimana :

px = Persentase hari ke x p1 = panjang hari ke 1 px = panjang hari ke x

2. Histopatologi

Penyembuhan luka sayat diobservasi pada fase proliferasi. Sampel biopsi diambil satu kali dan serentak pada hari ke 7. Gambaran yang dinilai adalah panjang reepitelisasi dengan sistem skoring pada pembesaran 40x yaitu :


(2)

39 Tabel 3. Tabel penilaian mikroskopis.

Parameter dan Diskripsi Skor

Derajat terjadinya epitelisasi

 Epitelisasi normal/lapang pandang kecil mikroskop  Epitelisasi sedikit/lapang pandang kecil mikroskop  Tidak ada epitelisasi/lapang pandang kecil mikroskop

3 2 1 Jumlah pembentukan pembuluh darah baru

 Lebih 2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 3 mikroskop

 1-2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 2 mikroskop

 Tidak ada pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 1 mikroskop

Derajat pembentukan kolagen

 Kepadatan kolagen lebih dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

 Kepadatan kolagen sama dengan jaringan normal/ lapang pandang kecil mikroskop

 Kepadatan kolagen kurang dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

3

2

1

3

2

1

3. Analisis Data

Hasil penelitian lalu akan dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, akan dilanjutkan dengan metode uji parametrik


(3)

40 repeated ANOVA. Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik, akan dilakukan transformasi. Jika pada uji ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Apabila hasil transformasi tidak memenuhi syarat digunakan uji Friedman dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon.Pengolahan data menggunakan perangkat lunak computer (Dahlan, 2011)


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abram, S.E. 2000. Pain Pathways and Mechanism ; The pain Clinic Manom, 19-20

Block, L.H. 1990. Medicated Application, in Gennaro, AR.(Ed.), Remington's Pharmaceutical Science, 18thed. Mack Publishing Company, East on Pensylvania, 1596-1614

Budianto, A. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi: 1. Cetakan 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI.

Chernyak, N.F. 1973. On Synergistic effect of propolis and some antibacterial drugs Antibiotic, 18 : 259-261

Cordeiro, M.F. 2002. Beyond Mitomycin: TGF-beta and wound healing. Prog Retin Eye Res; 21 : 75–89

Daeley, C. 2005. The care of wounds : A guide for nurses . Victoria : Blackwell Publishing

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Jakarta: Salemba Medika

Djuanda, A. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;. p. 7-8

Djuanda, Adhi. 2003. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FKUI Gennaro, A. R. 1990. Remingtoris Pharceuhcal Science 18 Tahun Ed. Mack

Publishng Company, Pensylvania 786.

Greenaway, W., Scaysbrook, T., and Whatley, F.R. The composition and plant origins of propolis: A report of work at Oxford, Bee World 1990; 71: 107–18.

Handian, F.I. 2006. Efektivitas Perawatan Menggunakan Madu Nektar Flora Dibandingkan Dengan Silver Sulfadiazine Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Terinfeksi Pada Marmut. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.


(5)

Hasan, A.M. 2006. Mikroba Dasar. Gorontalo: Nurul Jannah

Hill, R. 2000. Propolis-The Natural Antibiotic. www.Arkson.com/resources/i-propolis .

Hollmann, W. Markus, E. Durieux. 2000. Local anasthetics and inflammatory respone : A new Tharapeutics indication Anesthesiology. 93 :858-75 Hunt, T.K. 2003. Oxygen and its role and wound healing.

www.etcbiomedical.com

Junqueira, L.C. 2007. Histologi Dasar : Teks dan Atlas. Edisi: 10. Jakarta : EGC. Kanzaki T, Moraski N, Shiina R, Saito Y. 1998. Role of Transforming Growth

Factor-β Pathway in The Mechanisme of Wound Healing By Saponin from Ginseng Radix Rubra. Br.J. Pharmacol. 125: 255-62.

Krell, R. 1996. Value-Added Products From Beekeeping; FAOAgricultural Services Bulltein No.124. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome 1996. www.fao.org/docrep.htm.

Kozier, Barbara. 2004. Fundamental of Nursing: Concepts, Process and Practice. California: Addition Weasley inc.

Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. 2007. Buku ajar patologi. 7nded , Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 189-1

Letterio, J.J, Roberts, A.B. 1998. Regulation of immune responses by TGF-beta. Annu Rev Immunol. 16:137–161

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Midwood, K.S., Williams L.V., and Schwarzbauer J.E. 2004 , Tissue Repair And

The Dynamics of The Extracellular Matrix: The International Journal Of Biochemistry & Cell Biology; 36(6): 1031-1037.

Mlagan, V and Sulimanovic, D. 1982. Action of propolis solutions on Bacillus larvae. Apiacta, 17:16-20

Monaco, J.L. and Lawrence, W.T. 2003. Acute wound healing: an overview. ClinPlastic Surg. 30: 1-12.

Muchlas, F. 2012. Uji Efektifitas Puyer Daun Salam (Syzygium polyanthum) Sebagai Penyembuh Luka Sayat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar. (Skripsi). Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang.


(6)

Nijveldt R.J, Van Nood E, Van Hoorn E, Boelens PG, Van Norren K, Van Leeuwen . 2001. Flavonoids: a review of probable mechanisms of action and potential application. Am. J. Clin. Nutr;74: 418-25.

Parker, B. 2001. Conceptuals foundations : the bridge to professional nursing practice. St. Louis : Mosby

Sabir, A. 2005. Aktivitas antibakteri flavonoid propolis trigona sp terhadap streptococcus mutans (in vitro). Dent J 38:135-141

Salatino, A., Teixeira, EW., Negri G, and Message, D. 2005. “Evid Based Complement”. Altrn Med. 2:33-38.

Schwartz, B.F. and Neumeister, M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9

Slavin, J. 1996 . The role of cytokines in wound healing. J Pathol. 178(1):5–10 Structure of collagen and wound healing. Available

from:URL:http://www.woundcare .org/news vol 2n3 / ed 2.htm

Sudigdo, S. and Sofyan, I. 2002. Dasar dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. Hlm 247-249

Suriadi. 2007. Manajemen Luka. STIKEP Muhammadiyah. Pontianak. Takaisi-Kikuni, N.B. Schilcher, H. 1994. Electron microscopic and

microcalorimetric investigations of the possible mechanism of the antibacterial action of a defined propolis provenance. Planta Med ; 60(3): 222–7

Toprakci, M.B.S. 2005. Kompilasi Keterangan-Keterangan Mengenai Propolis. www.zaaba313.coms.ph/catalog.html. Diakses tanggal 9 Mei 2005

Tortora, GJ., and Derrickson, B.H. 2009. Principles of anatomy and physiology. 12th ed. Hlm 643-74.

Wade, C. 2005. Can Bee Propolis Rejuvenate The Immune System? www.thenaturalshopper.com/buybee-supplements/article.htm.

Wibisono. 2008. Perbedaan Lama Penyembuhan Luka Bersih Antara Perawatan Luka Dengan Menggunakan Gerusan Bawang Merah (Allium cepa L.) Dibandingkan Dengan Providone Iodin 10% Pada Tikus Putih (Rattus novergicus Strain Wistar. (Skripsi). Fakultas Kedokteran, Jurusan Keperawatan Universitas Brawijaya Malang.

Yahya, H. 2005. Rahasia Kekebalan Tubuh :


Dokumen yang terkait

EFEK PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL TERHADAP PERTUMBUHAN JARINGAN GRANULASI PADA LUKA SAYAT TIKUS

0 3 16

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 38 62

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU BUNGA AKASIA TOPIKAL, OXOFERIN, DAN OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN DEWASA GALUR Sprague Dawley

1 13 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 7 82

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

1 14 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN TOPIKAL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TUMBUK DAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

3 24 41

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROPOLIS SALEP 2,5 %, PROPOLIS SALEP 5%, DAN PROPOLIS SALEP 7,5% TERHADAP WAKTU KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus).

0 7 64

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

0 0 7