Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kebutuhan manusia akan informasi merupakan pendorong yang sangat kuat
bagi para pengembang teknologi. Banyak penemuan-penemuan dalam bidang teknologi
komunikasi dan informasi yang terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Salah satu media yang memenuhi kebutuhan informasi masyarakat adalah perangkat televisi.
Meskipun banyak media lain yang dapat dipilih dan digunakan oleh masyarakat, televisi tetap
menjadi primadona pilihan masyarakat sehingga televisi menjadi salah satu bagian penting
dalam masyarakat saat ini, khususnya masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih memilih
menggunakan televisi daripada radio ataupun internet yang mempunyai akses lebih luas
daripada televisi. Pada dasarnya televisi lebih dipandang sebagai sesuatu yang baru daripada
sebagai suatu penemuan yang serius atau sesuatu yang memberikan sumbangan terhadap
kehidupan social (MCQuail, 1987:16).
Televisi telah menjadi media paling banyak dikonsumsi masyarakat. Survei dari
Nielsen mengenai perilaku konsumen digital di Asia Tenggara, terutama di Indonesia,
mengungkapkan penduduk Indonesia menggunakan waktu untuk menonton televisi sebanyak
20 jam 18 menit seminggu. Survei ini dilakukan di sembilan kota besar melalui wawancara
tatap muka dan online terhadap pengakses internet berusia di atas 15 tahun. Hasil survei ini
menyebutkan pula bahwa 55% pengguna bisa mengakses sekaligus (multitasking) internet

dan televisi, 45% hanya mengakses internet atau televisi, 20% mengakses internet dan radio
serta 9% menggunakan televisi dan radio bersamaan; sekitar 70% dari mereka menonton
televisi dan mengakses internet melalui ponsel.1 Itu berarti televisi memiliki peranan sangat
besar dalam menyapa masyarakat dan menyita sebagian waktu kehidupan masyarakat,
Seiring berkembangnya jumlah stasiun televisi swasta di Indonesia, maka dunia
periklanan televisi pun juga memiliki kesempatan untuk berkembang. Dari antara yang ikut
berkembang adalah frekuensi penayangan iklan produk dan iklan jasa di televisi. Iklan
merupakan pesan yang menawarkan sebuah produk atau jasa kepada khalayak lewat suatu
media yang bertujuan membujuk khalayak agar mencoba dan akhirnya membeli produk yang
1

http://tekno.kompas.com/read/2011/11/15/14212638/Survei.Orang.Indonesia.Hanya.Online.2.Jam.Per.Hari.
diakses tgl 6/12/2013 1:15

ditawarkan, Menurut Kotler ( 2002 : 635) iklan adalah segala bentuk penyajian secara non
personal dan promosi ide, barang atau jasa oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan
pembayaran.
Dalam penayangan iklan tentu terdapat batasan-batasan yang telah dibuat oleh Komisi
Penyiaran Indonesia agar iklan yang ditayangkan itu layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat
tanpa melanggar norma-norma yang ada serta tidak menimbulkan masalah atau

kesalahpahaman pemirsanya, mengingat Indonesia merupakan negara dengan bermacam latar
belakang penduduk. Meskipun telah dibentuk peraturan yang harus dipenuhi tetap saja masih
ada satu dua tayangan iklan yang belum memenuhi kriteria aman untuk dikonsumsi oleh
masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam Renstra Kemkominfo tahun 2010-2014 yang
menyebutkan bahwa 10 dari 75 tayangan televisi Indonesia merupakan tayangan yang
bermasalah dan perlu ditinjau ulang.
Kode etik merupakan tuntunan bagi terbinanya dunia periklanan yang tertib, bersih,
sehat, dan bertanggung jawab. Kode etik periklanan dibuat oleh pemerintah dengan
melibatkan berbagai pihak, untuk mengatasi kebingungan informasi di dalam iklan. Pelaku
iklan diminta menghormati tata krama yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).
Ketaatan terhadap EPI diamanahkan dalam ketentuan pasal 29 ayat 1 Peraturan KPI tentang
Pedoman Perilaku Penyiaran yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib berpedoman pada
Etika Pariwara Indonesia.” Selain berfungsi untuk melindungi pihak yang berpartisipasi
dalam pembuatan tayangan khususnya iklan, kode etik ini juga berfungsi untuk melindungi
masyarakat dari terpaan iklan yang dibuat oleh produsen iklan. Anak-anak dan wanita
merupakan point utama yang diperhatikan sebagai pihak yang harus dilindungi dari akibat
penyimpangan pembuatan dan penayangan iklan. Tema eksploitasi anak dan wanita dalam
pembuatan dan penayangan iklan merupakan bahasan yang selalu dianggap serius oleh
pemerintah dalam dunia penyiaran. Iklan yang dibuat harus sesuai aturan namun juga harus
dapat bersaing dengan iklan produksi yang lain sehingga tetap menarik untuk diketahui

bagaimana tingkat kreativitas para pelaku iklan dalam menciptakan informasi yang akan
disampaikan melalui iklan kepada masyarakat.
Perjalanan iklan di Indonesia seiring dengan perkembangan serta perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, terlihat pada gaya, isi, dan fungsi iklan yang terus mengalami
perubahan. Iklan sekarang lebih menekankan pada penciptaan simbol produk dan citra nilai
maknanya bagi konsumen daripada sekedar menawarkan fungsi produk kepada calon
konsumen. Sekarang ini banyak iklan televisi di Indonesia yang melibatkan anak-anak
sebagai model iklan yang dengan terang-terangan menampilkan produk-produk komersial,

mulai dari mie instan sampai pada produk untuk orang dewasa. Bahkan, belakangan ini
sebuah provider telepon seluler menggunakan model iklan yang seluruhnya anak-anak.
Tri merupakan produk layanan telekomunikasi dari PT. Hutchison Telecomunication
yang secara resmi beroperasi di Indonesia pada tahun 2007. Persaingan yang semakin kuat
menuntut Tri untuk lebih kreatif dalam menawarkan produk serta inovasi yang dibuatnya.
Dengan mengusung visi

menghadirkan layanan telekomunikasi yang inovatif, terjangkau,

dan memiliki nilai penawaran terbaik, perusahaan ini mampu meraih penghargaan dari MURI
sebagai operator dengan layanan termurah. Salah satu produknya adalah Indie+ yang

merupakan layanan yang menggabungkan keuntungan prabayar dengan kenyamanan
pascabayar. Iklan yang mendukung penjualan layanan ini menggunakan slogan “pake dulu,
bayar kapan kamu suka”.
Iklan versi indie+ ini menampilkan anak-anak sebagai endorser yang narasinya
menceritakan kegiatan orang dewasa, yang sebenarnya belum layak dibicarakan oleh anakanak. Salah satunya adalah iklan Tri Indie+ yang ditayangkan pada tahun 2013. Iklan ini
dikerjakan oleh biro iklan Pantarei dan disutradarai oleh Michael Sewandono dengan konsep
permasalahan akhir bulan para target pasar. Iklan ini dibuat dengan menggunakan kurang
lebih 40 anak-anak sebagai pemeran (endorser), dan menggunakan gaya satire atau sindiran
yang tujuan utamanya adalah menyindir target utama yaitu para pekerja muda. Iklan ini
menggambarkan realita kehidupan para pekerja muda di lingkungan kota metropolitan pada
umumnya. Para pekerja muda biasanya mempunyai gaya hidup yang cukup mewah pada
awal bulan hingga kadang melupakan cara untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan
pendapatan sehingga pada akhir bulan akan mengalami keadaan ekonomi yang sangat sulit.
Penggunaan anak-anak dalam pembuatan iklan ini bertujuan untuk memperkuat
sindiran terhadap persoalan akhir bulan yang kerap terjadi itu. Kepolosan anak-anak
digunakan untuk menggambarkan pemikiran dan dorongan yang dipunyai oleh kaum muda
yang sedang belajar mandiri. Ironi lainnya adalah mungkin anak-anak ini juga akan
mengalami keadaan yang sama dimasa depan.
Melalui alur cerita inilah Tri menyisipkan ide menjadi penyelamat saat akhir bulan saat
pulsa mulai menipis dan keuangan juga menipis. Dengan menyodorkan produk bernama

Indie+, Tri menawarkan layanan yang dapat memberikan kelonggaran pembayaran pulsa
dengan sistem kantong pulsa, yaitu pemakaian pulsa yang dapat dibayarkan ketika sudah ada
anggaran untuk beli pulsa dengan sistem pembayaran yang tidak ditentukan. Ide ini
dituangkan dengan slogan “pakai dulu, bayar belakangan” dengan tagline “Tri Indie+ untuk
kamu yang sudah gede”.

Pada tahun yang sama (20130 iklan Tri mendapat kecaman keras dari Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menganggap iklan ini tidak layak untuk ditayangkan pada
sembarang waktu, dan dinilai telah melanggar etika pariwara. Tribunews menyebutkan
betapa geramnya KPI dengan iklan Tri; salah seorang anggotanya menilai iklan tersebut
“sangat tidak mendidik”, iklan tersebut tidak pantas menampilkan anak kecil yang
mengomentari persoalan manusia dewasa, padahal bukan pemikiran orisinal anak-anak itu.2
Terhadap kecaman tersebut, pembuat iklan berkilah bahwa penggunaan anak-anak
dalam iklan tersebut bertujuan memperkuat sindiran (gaya satire) yang diusung oleh iklan
itu.3 Dengan kata lain, pembuat iklan hendak mengatakan bahwa hal yang dilakukannya
adalah semata-mata persoalan kreativitas (seni kreatif) bukan pelanggaran etika. Akan tetapi
dengan alasan bahwa iklan tersebut sangat tidak mendidik karena menampilkan anak-anak
yang mengomentari persoalan kehidupan orang dewasa, maka iklan Tri versi indie+ itu
akhirnya diberhentikan penayangannya oleh KPI.
Perdebatan antara iklan sebagai sebuah karya seni kreatif dan pelanggaran etika kerap

terjadi dalam dunia pariwara di Indonesia. Sebab indikator penilaian untuk kedua hal itu
memang berbeda dan absurd, bergantung dari sudut mana dan siapa yang melakukan
penilaian itu. Sebelum kasus iklan Tri Indie+ ini, sudah ada pula kasus iklan parfum axe versi
‘malaikat’ yang dilarang tayang oleh KPI karena dinilai tidak etis dan mengundang konflik
SARA. Kasus tersebut juga sedang diteliti oleh salah seorang mahasiswa Fiskom-UKSW
guna penyusunan skripsinya .
Mengingat bahwa hal yang melatarbelakangi perdebatan iklan 3 indie+ ini berbeda
dengan kasus iklan-iklan sebelumnya yang telah diteliti, maka penulis tertarik untuk meneliti
isi iklan tersebut dengan betolak dari pertanyaan mendasar, benarkah iklan tersebut telah
mengeksploitasi anak-anak?
Pertanyaan ini penting dijawab sebab data AGB Nielsen pada 2008 menyebutkan
bahwa dalam seminggu anak-anak Indonesia menonton rata-rata 35 hingga 45 jam atau dalam
setahun 1.560 hingga 1.820 jam. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia dalam sehari
menonton televisi selama rata-rata delapan jam.4 Berdasarkan kenyataan itu, maka
seandainya benar bahwa iklan 3 indie+ itu mengandung unsur eksploitasi anak, maka dapat
2

(http://www.tribunnews.com/2013/06/29/kpi-iklan-3-parah),
http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/31520-peringatan-tertulis-untuk-11-stasiun-tv-perihal-iklan-triindie-semua-versi-versi-anak-laki-laki-dan-anak-perempuan diakses 13/02/2014pkl 8:50
4

http://edukasi.kompas.com/read/2013/07/16/1333418/Model.Iklan.Anak-anak.dan.Nilai-nilai.Pesimisme.
pukul 1:59
3

dibayangkan berapa banyak anak Indonesia yang otaknya selama berjam-jam setiap hari
dijejali oleh nilai-nilai yang kurang patut dan tidak tepat untuk dikonsumsi oleh mereka
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan di atas, maka penulis berniat melakukan
penelitian ini dengan topik Representasi Eksploitasi Anak Dalam Iklan.

1.2 . Rumusan Masalah
Berdasar pembahasan di atas maka penulis mengajukan rumusan persoalan untuk
penelitian ini sebagai berikut:
“Bagaimana representasi eksploitasi anak dalam iklan 3 indie+ yang diperdebatkan itu?.”

1.3 . Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran representasi eksploitasi anak dalam iklan
3 indie+ yang diperdebatkan itu.

1.4 . Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
tentang dunia periklanan di Indoneisa serta menambah perbendaharaan
kepustakaan bagi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) Salatiga. Penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi mahasiswa yang
mengadakan penelitian serupa di masa yang akan datang.
1.4.2 Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi para pengiklan dalam
mengembangkan kreativitasnya tanpa melanggar peraturan periklanan yang ada.

1.5 . Kerangka Pikir Penelitian

PERSAINGAN IKLAN DI
MEDIA TELEVISI

PEMBUATAN IKLAN YANG
MELIBATKAN ANAK-ANAK

PELANGGARAN ETIKA
PERIKLANAN
(KPI)


SENI KREATIF UNTUK
MEMPERKUAT TEMA
(Pengiklan)

SEMIOTIKA ROLAND
BARTHES

REPRESENTASI
EKSPLOITASI ANAK DALAM
IKLAN 3 INDIE

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB V

0 1 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB II

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB IV

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB V

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jogja Istimewa: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Keistimewaan Jogjakarta Pada Lirik lagu “Jogja Istimewa” T1 362009024 BAB I

0 0 11