Efek Antelmintik Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala) terhadap Cacing Ascaris suum secara In Vitro.

(1)

iv

ABSTRAK

EFEK ANTELMINTIK

EKSTRAK DAUN PETAI CINA (Leucaena leucocephala)

TERHADAP CACING Ascaris suum SECARA IN VITRO

Wan Haddis Violita, 2014, Pembimbing I : Prof. Dr. Susy Tjahjani, dr. M.Kes. Pembimbing II : dr. Decky Gunawan, M.Kes., AIFO Latar belakang Ascariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia dan juga Indonesia, terutama pada anak-anak. Hal ini berhubungan dengan keadaan sosioekonomi rendah, higiene, dan sanitasi lingkungan yang buruk. Penyakit infeksi ini dapat menimbulkan gejala ringan hingga berat dan dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga diperlukan antelmintik alami selain obat-obatan kimiawi yaitu seperti ekstrak daun petai cina (EDPC).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efek antelmintik ekstrak daun petai cina terhadap Ascaris suum secara in vitro.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental laboratorik sungguhan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), menggunakan 750 ekor cacing Ascaris suum yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu I, II, dan III berturut-turut diberi dosis EDPC 5%, EDPC 10%, dan EDPC 20%. Kelompok IV : kontrol negatif (NaCl) dan V : kontrol positif (pirantel pamoat, n=30, r=5). Data yang diukur adalah jumlah cacing paralisis setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu 37oC. Analisis data menggunakan Kruskal-Wallis dengan α = 0,05, dilanjutkan dengan Uji Mann-Whitney (p<0,05) menggunakan perangkat lunak komputer. Hasil penelitian rerata persentase jumlah cacing paralisis pada kelompok I : 12,13%; kelompok II : 12,75%; kelompok III : 13,90%, berbeda sangat bermakna (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok IV : 18,41% dan kelompok V : 2,36%. Simpulan ekstrak daun petai cina berefek antelmintik terhadap terhadap Ascaris

suum secara in vitro tetapi potensinya lebih lemah dari pirantel pamoat.

Kata kunci : Ascaris suum, askariasis, antelmintik, ekstrak daun petai cina (EDPC).


(2)

v

ABSTRACT

THE ANTHELMINTHIC EFFECT OF

DAUN PETAI CINA’S EXTRACT AGAINST Ascaris suum

IN VITRO

Wan Haddis Violita, 2014,1st Tutor : Prof. Dr. Susy Tjahjani, dr. M.Kes. 2nd Tutor : dr. Decky Gunawan, M.Kes., AIFO

Ascariasis is a public health problem in the world and also in Indonesia, especially in childrens. It is associated with low socioeconomic situation, low hygiene, and poor environmental sanitation. This infectious disease can give a signs from mild to severe and can disturbing growth of the child, so it needs a natural anthelmintic except chemical drugs, such as daun petai cina’s extract (DPCE).

The purpose of this research are used to assess the anthelmintic effect of daun

petai cina’s extract (DPCE) against Ascaris suum in vitro .

The research method used a real laboratory experimental research used completely randomized design (CRD), by using 750 Ascaris suum worms that are divided into 5 groups : I, II , and III are respectively DPCE given a dose of DPCE 5 % , DPCE 10 %, and DPCE 20 % . Group IV : negative control (NaCl) and group V : positive control (pyrantel pamoate, n=30, r=5). The data measured the number of worms paralysis after were been incubated for 3 hours at 37oC . Data were analyzed being used the Kruskal-Wallis with α=0.05, followed by Mann-Whitney Test (p<0.05) by using computer software.

The mean percentage of worms paralyzed at group I : 12,13 %, group II : 12,75 %; Group III : 13,90 % showed highly significant differences (p<0.01) compared with group IV : 18,41 % and group V : 2,36%.

The research concluded that daun petai cina’s extract has an anthelmintic effect of against Ascaris suum in vitro but the potential is lower than pyrantel pamoate. Keywords : Ascaris suum, ascariasis, anthelmintic, daun petai cina’s extract (DPCE).


(3)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 2

1.5 Kerangka Pemikiran & Hipotesis... 3

1.5.1 Kerangka Pemikiran ... 3

1.5.2 Hipotesis Masalah ... 3

1.6 Metode Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ascaris lumbricoides ... 5

2.1.1 Taksonomi ... 5

2.1.2 Morfologi ... 5

2.1.2.1 Cacing Jantan ... 6

2.1.2.2 Cacing Betina ... 6


(4)

ix

2.1.4 Tubuh ... 8

2.1.5 Habitat dan Siklus Hidup ... 8

2.2 Ascaris suum ... 9

2.2.1 Taksonomi ... 9

2.2.2 Morfologi ... 10

2.2.3 Siklus Hidup ... 10

2.3 Askariasis ... 11

2.4 Petai Cina ... 13

2.4.1 Taksonomi dan Morfologi ... 13

2.4.1.1 Batang ... 14

2.4.1.2 Daun ... 14

2.4.1.3 Bunga ... 14

2.4.1.4 Akar ... 14

2.4.1.5 Buah ... 15

2.4.2 Syarat Tumbuh ... 15

2.4.3 Kandungan Kimia Petai Cina ... 15

2.4.4 Efek dan Manfaat Farmakologis ... 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 16

3.1.1 Bahan Penelitian ... 16

3.1.2 Alat Penelitian ... 16

3.1.3 Objek Penelitian ... 16

3.1.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Metode Penelitian... 17

3.2.1 Desain Penelitian ... 17

3.2.2 Variabel Penelitian ... 17

3.2.2.1 Definisi Konsepsional Variabel Penelitian ... 17

3.2.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 17

3.2.3 Besar Sampel Penelitian ... 18


(5)

x

3.3.1 Pembuatan Simplisia ... 18

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Daun Petai Cina... 18

3.3.3 Persiapan Hewan Coba ... 19

3.3.4 Prosedur Penelitian ... 19

3.3.5 Metode Analisis dan Hipotesis Statistik ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 21

4.2 Pembahasan ... 24

4.3 Uji Hipotesis Penelitian ... 25

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 27

5.2 Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

LAMPIRAN ... 31


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Jumlah Cacing Ascaris suum yang Paralisis Setelah Perlakuan

dalam Persen (%) ... 21 Tabel 4.2 Rerata Cacing Ascaris suum yang Paralisis Setelah Perlakuan

dalam Persen (%), Setelah Transformasi ke Fungsi SQRT+0.5 ... 22 Tabel 4.3 Hasil Kruskal-Wallis Cacing Ascaris suum

Paralisis Setelah Perlakuan ... 22 Tabel 4.4 Hasil Uji Mann-Whitney Rerata % Jumlah Cacing Ascaris suum


(7)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi dan Telur

Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi ... 7 Gambar 2.2 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ... 9 Gambar 4.1 Diagram Hasil Uji Mann-Whitney Rerata % Jumlah Cacing


(8)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran I Oneway Anova... 31

Lampiran II Post Hoc Test ... 32

Lampiran III Homogeneous Test ... 33

Lampiran IV Kruskall-Wallis Test ... 34

Lampiran V Mann-Whitney Test ... 35


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Askariasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris

lumbricoides, yang ditularkan melalui tanah (soil-transmitted disease) yang

nantinya telur matang cacing tersebut akan mengkontaminasi makanan atau minuman yang kemudian akan masuk ke dalam tubuh dan akhirnya menginfeksi manusia (Sutanto, 1998).

Di dunia, askariasis menyerang 25 % dari penduduk dunia, yang tersebar luas di daerah-daerah beriklim tropis dan bersanitasi buruk. Menurut The Centers for

Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2005, prevalensi tertinggi askariasis

adalah di Asia Timur dan Pasifik (204 juta orang), diikuti oleh Afrika (173 juta orang), India (140 juta), Asia Selatan (97 juta), China (86 juta), Amerika Latin (84 juta), dan Asia Tengah dan Afrika Utara (23 juta) (CDC, 2005).

Di Indonesia, askariasis atau yang biasa disebut cacingan ternyata merupakan masalah kesehatan masyarakat utama, terutama pada anak-anak usia 2-10 tahun (Depkes RI, 2006). Di Indonesia sendiri penyakit askariasis masih menunjukkan prevalensi tinggi, yaitu kurang lebih 45-65 %, di wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi mencapai 80 %. Prevalensi askariasis tertinggi ditemukan di daerah perkebunan karet di Sukabumi Jawa Barat sebesar 93,1 % dan perkebunan kopi di Jawa Timur sebesar 80,69 %. Sosioekonomi rendah, lingkungan dan tempat tinggal yang kurang higienis, serta kebersihan diri yang kurang terjaga juga menjadi faktor yang meningkatkan insidensi dan prevalensi askariasis (Mardiana, 2008), khususnya daerah pedesaan (Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan, 2007).

Indonesia kaya akan hutan tropisnya, dimana terdapat 30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut, sekitar 9.600 spesies diketahui memiliki potensi untuk mengobati, tetapi baru 200 spesies saja yang dimanfaatkan untuk dijadikan obat tradisional. Banyak tumbuhan yang digunakan untuk mengobati cacingan,


(10)

2 seperti lidah buaya, temu hitam, kulit delima, bawang putih, dan petai cina (Agoes, 2010).

Selain menyembuhkan cacingan, daun petai cina juga berkhasiat menyembuhkan luka baru, diabetes melitus, bengkak, serta meningkatkan gairah seksual. Ditambah lagi tanaman ini juga dapat mencegah erosi, mengikat nitrogen (polutan), pupuk, dan menjadi makanan ternak (Agoes, 2010).

Komposisi kimiawi petai cina, yaitu kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, posfor, zat besi, hidrat arang, vitamin A, B1, dan C, alkaloid, flavonoid, dan tannin. Namun yang memberi efek antelmentik yaitu saponin (Agoes, 2010).

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah penelitian ini adalah apakah ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) berefek antelmintik terhadap cacing Ascaris suum secara in vitro.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian untuk mengetahui bahan-bahan alam yang berefek antelmintik. Tujuan penelitian untuk menilai efek antelmintik ekstrak daun petai cina terhadap cacing Ascaris suum secara in vitro.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua aspek manfaat, yaitu manfaat akademis (ilmiah) dan manfaat praktis. Manfaat akademis untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tanaman obat, khususnya tanaman yang berefek antelmintik sehingga dapat memberi sumbangsih kepada dunia kedokteran mengenai obat tradisional yang efektif mengatasi askariasis selain menggunakan obat kimiawi seperti biasanya.


(11)

3 Manfaat praktis untuk memberi informasi kepada masyarakat khususnya daerah pedesaan tentang manfaat ekstrak daun petai cina sebagai obat untuk mengobati cacingan.

1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

1.5.1 Kerangka Pemikiran

Pirantel pamoat merupakan salah satu contoh obat yang berefek antelmintik berspektrum luas. Mekanisme kerja pirantel pamoat yaitu dengan cara membuat cacing paralisis sehingga cacing dapat dikeluarkan oleh peristaltik usus manusia dengan mudah (Katzung, 2010).

Petai cina mengandungan beberapa zat aktif yang hampir sama dengan obat tersebut sehingga mekanisme kerja yang ditimbulkannya juga hampir sama. Kandungan yang berefek antelmintik daun petai cina adalah saponin yang merupakan senyawa alkaloid (Agoes, 2010). Senyawa tersebut dapat mengiritasi saluran pencernaan cacing dan mengganggu sistem saraf cacing sehingga pada akhirnya paralisis (Mills & Bone, 2000).

1.5.2 Hipotesis Masalah

Ekstrak etanol daun petai cina berefek antelmintik terhadap cacing Ascaris

suum secara in vitro.

1.6 Metode Penelitian

Desain penelitian eksperimental laboratorik sungguhan. Efek antelmintik di uji secara in vitro. Data yang diukur adalah jumlah cacing paralisis setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370C. Data jumlah cacing paralisis tadi dianalisis menggunakan ANAVA satu arah dengan α = 0,05, apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan Uji Tukey HSD. Kemaknaan ditentukan


(12)

4 berdasarkan nilai p<0,05. Pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak komputer.


(13)

27

BAB V

SIMPULAN

5.1Simpulan

Ekstrak daun petai cina berefek antelmintik terhadap cacing Ascaris suum betina secara in vitro, namun potensinya lebih rendah daripada pirantel pamoat.

5.2Saran

Penelitian tentang efek antelmintik terhadap cacing Ascaris suum betina secara

in vitro perlu dilanjutkan dengan : Melakukan penelitian secara in vivo.

 Melakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak daun petai cina secara in vitro sehingga didapatkan dosis efektif.

Melakukan penelitian dengan spesies cacing yang berbeda, terutama Ascaris


(14)

28

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, H. A. (2010). Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Amanullah, A. (2008). Uji Daya Antelmintik Infus Biji dan Infus Daun Petai Cina (Leucanea leucocephala) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia galli) secara In Vitro. Karya Tulis Ilmiah Universitas Diponegoro .

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan. (2007). Reset Kesehatan

Dasar(RISKESDAS) 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Bernadus, S. (2007). Nematoda-Phasmida - Ascaridoidea. In Buku 2

Helminthologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Bhattacharrya Tanusree, S. A. (2001). possible Approach for Serodiagnosis of Ascariasis by Evaluation of Immunology G4 Response Using Ascaris lumbricoides. Journal of Clinical microbiology Washing DC, USA , 2991-2994.

Brown, H. (1994). Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: PT GRAMEDIA.

CDC. (2005). Parasites-Ascariasis. Retrieved from

http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/epi.html

Corwin, R., & Tubbs, R. (1993). Common Internal Parasites of Swine. Columbia: University of Missouri.

Depkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan No.424. 2006. Pedoman

Pengendalian Kecacingan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Djaenudin, N., & Ridad, A. (2009). Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari

Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Dunn, A. (1978). Veterinary Helminthology. London: Williams Heinemann Medical Books LTD.


(15)

29 Ganiswara, S. (2007). Obat Otonom dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Garcia, L. (2001). Diagnostic Medical Parasitology. Washington: ASM Press. Katzung, B. G. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

Kotpal, R. L. (2010). Modern Text Book of Zoology Invertebrales. New Delhi, India: Rastologi Publication.

Kuntari, T. (2008). Daya Antelmintik Air Rebusan Ketepeng (Cassia allata L)

Terhadap Cacing Tambang Anjing In Vitro. Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia.

Levine, N. (1990). Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner (Prof Dr. Ashadi :

Editor). Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Mardiana, D. (2008). Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib

belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jakarta: JEK.

Mills, S., & Bone, K. (2000). Principles and Practice of Phytotherapy. London: Churchill Livingstone.

Miyazaki, I. (1999). An Illustrated Book of Helmintic Zoonoses. Tokyo: International Medical Foundation of Japan.

Moersintowarti, B. (1992). Pengaruh Cacingan Pada Tumbuh Kembang Anak.

Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Surabaya: Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga.

Noble, E. R., & Noble, G. A. (1989). Nematoda. In N. Soeripto (Ed.), Biologi

Parasit Hewan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Prianto, J. d. (2006). Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(16)

30 Roberts, L. S., & Janovy, J. J. (2005). Gerald D. Schmidt and Larry S. Roberts'

Foundation of Parasitology 7th edition. New York: McGraw-Hill

Companies.

Seltzer, E. B. (2006). Ascariasis. In Tropical Infectious Disease. Principles,

Pathogens & Practice (pp. 1256-1264). Philadelphia: Elsevier.

Shoff, W. H. (2009). Leptospirosis in Human. Retrieved August 2013, from www.emedicine.com/EMRG/topic/856.htm

Soedarto. (1990). Protozologi Kedokteran. Jakarta: Widya Medika.

Sutanto, I. (1998). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


(1)

3 Manfaat praktis untuk memberi informasi kepada masyarakat khususnya daerah pedesaan tentang manfaat ekstrak daun petai cina sebagai obat untuk mengobati cacingan.

1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

1.5.1 Kerangka Pemikiran

Pirantel pamoat merupakan salah satu contoh obat yang berefek antelmintik berspektrum luas. Mekanisme kerja pirantel pamoat yaitu dengan cara membuat cacing paralisis sehingga cacing dapat dikeluarkan oleh peristaltik usus manusia dengan mudah (Katzung, 2010).

Petai cina mengandungan beberapa zat aktif yang hampir sama dengan obat tersebut sehingga mekanisme kerja yang ditimbulkannya juga hampir sama. Kandungan yang berefek antelmintik daun petai cina adalah saponin yang merupakan senyawa alkaloid (Agoes, 2010). Senyawa tersebut dapat mengiritasi saluran pencernaan cacing dan mengganggu sistem saraf cacing sehingga pada akhirnya paralisis (Mills & Bone, 2000).

1.5.2 Hipotesis Masalah

Ekstrak etanol daun petai cina berefek antelmintik terhadap cacing Ascaris

suum secara in vitro.

1.6 Metode Penelitian

Desain penelitian eksperimental laboratorik sungguhan. Efek antelmintik di uji secara in vitro. Data yang diukur adalah jumlah cacing paralisis setelah diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370C. Data jumlah cacing paralisis tadi dianalisis menggunakan ANAVA satu arah dengan α = 0,05, apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan Uji Tukey HSD. Kemaknaan ditentukan


(2)

4 berdasarkan nilai p<0,05. Pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak komputer.


(3)

27

BAB V

SIMPULAN

5.1Simpulan

Ekstrak daun petai cina berefek antelmintik terhadap cacing Ascaris suum betina secara in vitro, namun potensinya lebih rendah daripada pirantel pamoat.

5.2Saran

Penelitian tentang efek antelmintik terhadap cacing Ascaris suum betina secara

in vitro perlu dilanjutkan dengan :

Melakukan penelitian secara in vivo.

 Melakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak daun petai cina secara in vitro sehingga didapatkan dosis efektif.

Melakukan penelitian dengan spesies cacing yang berbeda, terutama Ascaris


(4)

28

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, H. A. (2010). Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Amanullah, A. (2008). Uji Daya Antelmintik Infus Biji dan Infus Daun Petai Cina (Leucanea leucocephala) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia galli) secara In Vitro. Karya Tulis Ilmiah Universitas Diponegoro .

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan. (2007). Reset Kesehatan

Dasar(RISKESDAS) 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Bernadus, S. (2007). Nematoda-Phasmida - Ascaridoidea. In Buku 2

Helminthologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Bhattacharrya Tanusree, S. A. (2001). possible Approach for Serodiagnosis of Ascariasis by Evaluation of Immunology G4 Response Using Ascaris lumbricoides. Journal of Clinical microbiology Washing DC, USA , 2991-2994.

Brown, H. (1994). Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: PT GRAMEDIA.

CDC. (2005). Parasites-Ascariasis. Retrieved from http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/epi.html

Corwin, R., & Tubbs, R. (1993). Common Internal Parasites of Swine. Columbia: University of Missouri.

Depkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan No.424. 2006. Pedoman

Pengendalian Kecacingan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Djaenudin, N., & Ridad, A. (2009). Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari

Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Dunn, A. (1978). Veterinary Helminthology. London: Williams Heinemann Medical Books LTD.


(5)

29 Ganiswara, S. (2007). Obat Otonom dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Garcia, L. (2001). Diagnostic Medical Parasitology. Washington: ASM Press.

Katzung, B. G. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

Kotpal, R. L. (2010). Modern Text Book of Zoology Invertebrales. New Delhi, India: Rastologi Publication.

Kuntari, T. (2008). Daya Antelmintik Air Rebusan Ketepeng (Cassia allata L)

Terhadap Cacing Tambang Anjing In Vitro. Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia.

Levine, N. (1990). Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner (Prof Dr. Ashadi :

Editor). Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Mardiana, D. (2008). Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib

belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jakarta: JEK.

Mills, S., & Bone, K. (2000). Principles and Practice of Phytotherapy. London: Churchill Livingstone.

Miyazaki, I. (1999). An Illustrated Book of Helmintic Zoonoses. Tokyo: International Medical Foundation of Japan.

Moersintowarti, B. (1992). Pengaruh Cacingan Pada Tumbuh Kembang Anak.

Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Surabaya: Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga.

Noble, E. R., & Noble, G. A. (1989). Nematoda. In N. Soeripto (Ed.), Biologi

Parasit Hewan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Prianto, J. d. (2006). Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(6)

30 Roberts, L. S., & Janovy, J. J. (2005). Gerald D. Schmidt and Larry S. Roberts'

Foundation of Parasitology 7th edition. New York: McGraw-Hill

Companies.

Seltzer, E. B. (2006). Ascariasis. In Tropical Infectious Disease. Principles,

Pathogens & Practice (pp. 1256-1264). Philadelphia: Elsevier.

Shoff, W. H. (2009). Leptospirosis in Human. Retrieved August 2013, from www.emedicine.com/EMRG/topic/856.htm

Soedarto. (1990). Protozologi Kedokteran. Jakarta: Widya Medika.

Sutanto, I. (1998). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.