Pesona Orientalisme Sunda.

--

o Senin o Selasa

123

4

,.\\.!!

~O

18
Jan

19

0

Peb


5
20

o Mar

~ibun
Jabar
o
.
o
Rabu

6
21
OApr

7
22

OMei


0

Ka.nis

8

9

23

@

o

JUl.

10

0


Jumat

11

25
Jut

0

12

7~
Ags

o Minggu

Saotu

27


o Sep

13

.

14

28
Okt

15
29
ONov

16
30

31


ODes

Pesona Orientalisme Sunda
... -.......-..

--

-- - -- -

-

KIT A acap mendengar istilah orientalisme. Istilah ini
biasanya diperhadapkan
dengan oksidentalisme walaupun yang pertama jauh
lebih populer ketimbang
yang kedua. Orientalisme
merujuk kepada kajian ilmiah yang dilakukan orang
Barat tentang dunia Timur,
sementara yang,kedua (oksidentalisme)

justru kebalikannya.
Bagi manusia Barat, dunia
Timur bukan hanya memukau lingkungannya saja,
tapi juga kekayaan alam
batinnya. Maka menjadi
sangat tidak aneh misalnya
di perguruan tinggi yang
ada Barat kajian ten tang
ketimuran menjadi program studi tersendiri. Timur
menjadi objek studi yang
tidak habis dikaji dengan
segala motif di belakangnya, baik motif politis-ekonomis maupun tendensi
akademis.
Harus diakui bahwa salah
satu kelebihan kajian kaum
orientalis yang kerapkali
tidak dimiliki ilmuwan kita
adalah tingkat keingintahuannya yang tinggi yang
kemudian menyebabkan
mereka melakukan riset

terhadap satu objek dengan
serius dan langsung merujuk kepada sumber-sumber primer setelah terlebih
dulu tentu saja memahami
dengan baik bahasa dan budaya setempat. Dengan begitu, kelak sepenipggal mereka
karya-karya
itu
menjadi warisan penting
sebagai pintu masuk untuk
mengetahui budaya tersebut.
Konteks Kesundaan
Dalam konteks kesundaan, tidak aneh kalau dari
tangan kaum orientalis kita
mendapatkan
khazanah
intelektual berharga karena
keberhasilannya menyingkap rahasia budaya kesundaan, bahkan seringkali
penelitiannya itu jauh lebih
bagus daripada tulisan dan
penelitian yang dilakukan
oleh orang Sundanya sendiri. Bagaimana mereka

mampu menyelami jan-

Kli~in9

podium
ASEP SALAHUDIN
Kandidat Doktor
Universitas Padjadjaran
Bandung Pengamat
Kebudayaan Sunda

tung peradaban Sunda Kuna yang biasanya disajikan
dalam tiga bentuk: prasasti,
naskah dan pantun.
Kita sebut, di antaranya,
Coolsma .(Soendaneesche
spraakkunst,1904), CosterWijsman (Uilespiegel-verhalen in lndonesie, in het
biezonder in de Soendalanden,
1929), Eringa P.s. (Loetoeng
Kasaroeng;Een-mythologisch

verhaal uit West Java (eerste
gedeelte) Bijdragetot de Soendasche tool-en letterkunde,
1949), Nicolaas Johannes
Cornelis (Badujs en Moslims
in Lebak Parahiang, Zuid
Banten, 1952). Haan (de
'Priangan; De Preanger-Regentschappen onder. het Nederlandsch bestuur tot 1811),
Holle (Vlugtig bericht omtrent eenige lontar-handschriften, afkomstig uit de
Soenda-Ianden, door Raden
Saleh aan het Bataviaasch
Genootschapvan K. en W. ten
geschenke gegeven, met toepassing op de inscription van,
1867). RA Kern. (Soendasche
,1904). Noorduyn (Over het
eerste gedeelte van de OudSoendase carita Parahyangan
1962), CM. Pleyte (Badoesjsche geesteskinderen 1910),
Wim van Zanten (Tembang
Sunda; An ethnomusicological
study of the Cianjuran music
in West Java, 1987).

Bahkan seorang orientalis
kenamaan yang ban yak
mengkaji Islam, Snouck
Hurgronje, sendiri ternyata
terpikat juga untuk mengkaji Sunda melalui karib

Humas

Un~ad

2009

dflg)trW~1H!ljjJj~~iU:LMJ!~:
antara dua orang yang
berlainan budaya dan agama ini betul-betul berada
dalam relasi simbiosis mutualisma. Atas rekomendasi
Snouck, Haji Hasan Mustapa menjadi penghulu di
Aceh sekaligus menempati
posisi penghulu
di Bandung dalam kurun waktu yang lama.

Bahkan pertemanan intelektual ini terus berlanjut melintasi
tapal batas kebudayaan Sunda:
melakukan
pengembaraan kultural ke berbagai
Jawa
pelosok
dan Madura pada 1889 seperti
didokumentasikannya
dalam
Aan teken ingen
over Islam en
Volklore in West
en Midden Java
Tiga pesona
Salah
satu
karya berharga
orientalis yang
ditulis

bareng

naskah itu tapi juga sekaia~i, ketiga miskah kuna tersebut semakin menampakkan kilatan daya pesonanya.
Kita dapat membayangkan bagaimana pergulatan
Noorduyn
untuk menghasilkan karyanya itu. Mi-

J.

Noorduyn
dan
A. Teeuw adalah
Three Old 5undanese Poems, yang
baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, TigaPesona
5unda
Kuna
(2009).
Sebuah hasil
studi sarjana Belanda ini dengan
jernih dan menukik menelaah sisi filologi, bahasa,
dan sejarah yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Sunda dari abad ke16. Telaah kajiannya berpusar pada tiga peninggalan,
Sunda Kuna: Para Putera
Rama dan Rawana; Pendakian Sri Ajnyana dan Kisah
Bujangga
Manik: Jejak
Langkah Peziarah.
Di tangan kedua orientalis ini, yang disajikan tidak
. sekadar tafsir kreatif atas

salnya saja ketika dia harus
menggali makna dari prasasti, dia harus dihadapkan
kepada satu kesulitan: langkanya prasasti yang berbahasa Sunda dan seandainya
ditemukan maka biasanya
teksnya sangat pendek dan
itu pun sangat musykil
ditafsirkan. Dan sisanya
prasasti itu menggunakan
bahasa Sansekerta seperti
prasasti tertua diJawa Barat
atau berbahasa Jawa Kuna
sebagaimana prasasti dari

tahun 932 Maseru.
Karya-karyaorientalis irU
menjadi penting untuk diapresiasi di tengah suasana
teks-teks Sunda Kuna yang
sekarang sudah berada di
ambang batas pelapukan
yang sangat mengkhawatirkan di satu sisi, di sisi lain
sarjana yang memiliki kemampuan untuk memba. ca naskah kuna itu
pun kian langka.
Dengan menyajikan puisi panjang
Sunda Kuna ini
minimal
sang
orientalis itu telah
memberikan
pijakan kultural
yang jelas bagi
manusia
Sunda
yang tengah gering nangtungngalanglayung, dalam
suasana kebatinan
budaya
Sunda
yang sedang tertimpa penr.akit
akut jati ka sllih ku
junti.
Kita patut berterima kasih kepada
orientalis
yang
telah mengkhidmatkan nalarnya
untuk mengkaji
budaya Sunda. Sekaligus karya mereka itu adalah
undangan kepada
manusia
Sunda
untuk melakukan
kajian lebih lanjut
baik dari sisi bahasa, sastra, maupun sejarah Sunda
dalam
makna
yang lebih luas lagi.
Akankah kita terpesona
oleh karya yang dihasilkan
kaum orientalis itu? Atau kita
lebih terpikat untuk hanya
mengenal Sunda melalui
gempita politik Sunda mutakhir yang hanya berputar
sekitar upacara kesundaan
dalam makna permukaan
dan selebihnya hanya retorika untuk meraih kuasa dengan menunggangi gerakan
kesundaan, memperlakukan
kebudayaan Sunda? (*)