Orientalisme: Asal-usul dan Ulasan Singkat

Blessing in Disguise :

Kontribusi Orientalisme terhadap Studi Islam

Moeflich Hasbullah

Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(Al-Qur’an, 2 : 216)

“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang berbicara!”

(Nabi Muhammad SAW)

"Anything that I say about Islam as a living faith is valid only in so far as Muslims can say 'amen' to it".

(Wilfred Cantwell Smith)

A negatif yang dirasakan oleh banyak kaum

dakah makna lain dari orientalisme selain negatif? Pada konteks tertentu, makna

Muslimin ini banyak benarnya. Tetapi bila kita membuka fikiran dan sedikit lapang dada, sesungguhnya orientalisme tidak melulu negatif, banyak juga sisi manfaatnya bagi umat Islam. Katakanlah semacam a blessing in disguise (hikmah tak terduga). Tak pelak, bagi banyak kalangan Islam, istilah orientalisme menyiratkan konotasi pejoratif. Ini disebabkan oleh relasi yang

tidak nyaman selama berabad-abad antara Islam dan Barat (Kristen): konflik- konflik dalam kontak awal ketika Islam menyebar ke Eropa, dua ratus tahun Perang Salib, kolonialisme Eropa ke negara-negara Muslim dan kebijakan Amerika Serikat terhadap dunia Islam terutama di Timur Tengah. Kontak panjang sejarah ini –kadang-kadang dilalui dengan harmoni dan seringnya dengan konflik– telah menghantarkan pada pembentukan image dimana yang satu mencurigai yang lain sepanjang sejarah. Dalam pandangan Kristen, perkembangan agama Islam tidak hanya secara historis dikagumi tapi juga dilihat tidak nyaman selama berabad-abad antara Islam dan Barat (Kristen): konflik- konflik dalam kontak awal ketika Islam menyebar ke Eropa, dua ratus tahun Perang Salib, kolonialisme Eropa ke negara-negara Muslim dan kebijakan Amerika Serikat terhadap dunia Islam terutama di Timur Tengah. Kontak panjang sejarah ini –kadang-kadang dilalui dengan harmoni dan seringnya dengan konflik– telah menghantarkan pada pembentukan image dimana yang satu mencurigai yang lain sepanjang sejarah. Dalam pandangan Kristen, perkembangan agama Islam tidak hanya secara historis dikagumi tapi juga dilihat

Lebih dari 1.400 tahun, sejak kebangkitan Islam di Arab Saudi dan meluasnya imperium dan peradaban Islam ke pantai-pantai timur dan barat Mediteranian, sebetulnya Islam dan Kristendom telah hidup berdampingan – baik sebagai tetangga, sebagai saingan, walaupun juga kadang-kadang sebagai

musuh. 1 Tetapi, memang pada kesempatan lain, Lewis juga mengakui kenyataan bahwa, “selama berabad-abad, bahkan milenium, hubungan antara keduanya

menunjukkan satu pola saling menaklukan dan saling menyerang.” 2 Ketegangan itu, ditambah mitos-mitos dan mispersepsi yang banyak mewarnai sejarah

hubungan Islam-Kristen yang masih terjadi hingga kini. Salah satu gejala ini dapat ditemukan dalam konteks orientalisme. Secara umum, menurut sarjana Muslim dan non-Muslim sendiri, para orientalis telah menciptakan –meminjam istilah Lewis– “polusi intelektual” dalam pemikiran Islam berdasarkan motif- motif tersembunyi orientalisme dan keterbatasan kapasitas pemahaman Islam mereka.

Namun demikian, di sisi lain, sebenarnya ada juga keuntungan- keuntungan atau dampak positif dari orientalisme bagi dunia Islam. Mengingat tesis ini sangat jarang dikemukakan para sarjana, tulisan ini akan mengeksplorasi kontribusi tak terduga orientalisme terhadap dunia Islam dalam aspek-aspek pemikiran, pengayaan literatur studi, pendirian lembaga-lembaga dan juga, tak bisa dipungkiri, proses kebangkitan Islam. Sebelum mendiskusikan ini, kupasan singkat terhadap orientalisme perlu dikemukakan terlebih dahulu.

Orientalisme: Asal-usul dan Ulasan Singkat

Lahirnya orientalisme tidak bisa dipisahkan dari kejayaan Islam dalam sejarahnya, 3 terutama ketika kegemilangan Islam bertemu dengan komunitas-

komunitas dan masyarakat lain, terutama Kristen. Gustave Le Bon mencatat dalam karyanya The World of Islamic Civilization bahwa ketika orang-orang Islam Arab tengah berada dalam puncak supremasi kejayaan peradabannya yang kreatif, pengaruhnya terhadap masyarakat-masyarakat lain sungguh tidak ada

1 Lewis, Bernard, Islam and the West, Oxford University Press, 1993, vii. 2 Ibid, p. 102. 3 Ihsan Ali Fauzi, dalam tulisannya, “Orientalisme di Mata Orientalis: Maxime Rodinson tentang

Citra dan Studi Barat atas Islam,” membahas sejarah orientalisme dengan membicarakan karya- karya Maxime Rodinson: 'The Western Image and Western Studies on Islam' dalam Joseph Schacht and C.E Bosworth, (eds.), The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1974, hal. 9-62. Dan, ‘Rodinson, Europe and the Mystique of Islam,’ trans. by Roger Veinus, Seattle & London: University of Washington Press, 1987, hal. 3-82. Semua sebutan tentang Rodinson dalam tulisan ini diambil dari tulisan Fauzi tersebut. Lihat, Jurnal Ulumul Qur’an, Volume III, No. 2 Th. 1992. hal. 4 - 22.

bandingannya dalam sejarah. 4 Pada abad kesembilan dan sepuluh, ketika kekuatan Islam merangsek masuk ke Spanyol, peradaban Islam sedang berada di

puncak hegemoni dan kemajuannya. Pada saat yang sama, pusat-pusat intelektual di Barat hanyalah berupa gedung-gedung yang dihuni oleh bangsawan-bangsawan barbar yang bangga dengan ketidakmampuannya

membaca. 5 Di Mesir dan Syria, hanya ada beberapa orang Kristen yang masih percaya pada gereja. Dan di Afrika Utara, rumahnya St. Augustine berikut gereja-

gereja sudah hancur secara total tidak ada pengikutnya.

Profesor Louis Massignon (1883-1962), orientalis besar Perancis. Ia menguasai bahasa Arab dengan lancar. Menulis paling tidak 17 buah buku tentang Islam, kebanyakan dalam bahasa Perancis. Ia dengan sangat mendalam menulis dua jilid buku tebal tentang sufi besar Abu Mansur Al-Hallaj.

Sebagai konsekuensi dari penyebarannya, Islam secara tak terhindarkan mengalami beberapa konflik dengan komunitas-komunitas lain di luar jazirah

Arab. Salah satu dari mereka adalah umat Kristiani. 6 Kristen merasa terancam dengan perkembangan

politik Islam yang terus meluas dan menguat. Secara sosiologis dan politik, semakin Islam meluaskan wilayah kekuasaan politiknya tentu semakin buruk bagi Kristen. Oleh karena itu, Kristen harus

menghadapi dan membendung pertumbuhan kekuasan Islam. Untuk melakukan itu, yang bisa mereka lakukan adalah menciptakan imej yang buruk tentang

Islam dan kaum Muslimin. 7 Sejak itu, ibarat penyebaran virus, banyak sekali mitos-mitos muncul di kalangan masyarakat Kristen dan Yahudi mengiringi

pertumbuhan Islam dan kaum Muslimin. Pada gilirannya, mitos-mitos ini bercampur dan berbaur dengan kesan-kesan yang masuk akal yang muncul dari

kontak langsung Islam dan Kristen. 8 Kemuculan orientalisme sangat kuat berhubungan dengan penciptaan

imej-imej ini. Pada abad kesebelas, gambaran Barat tentang dunia Islam menemukan bentuknya yang jelas. Sementara itu, Kristen yang sedang tumbuh

4 Le Bon, Gustave, The World of Islamic Civilization, 1974, hal. 138. 5 Ibid, hal. 139.

6 Menurut Maxime Rodinson, orang-orang Kristen telah mengenal Saracen, atau orang-orang Arab, jauh sebelum periode Islam. Sebuah gambaran pada abad keempat, misalnya,

menginformasikan bahwa kaum Saracen memiliki segalanya dalam kehidupan mereka sebagai hasil dari menduduki dan harta rampasan peperangan. Ada yang menyebutkan bahwa “Saracen” berasal dari kata “Sarah,” istrinya Nabi Ibrahim. Rodinson mengatakan bahwa orang-orang Kristen mengetahui itu dari pergaulan mereka diantara orang-orang Muslim Moro di Spanyol. Penyebaran ini jelas menggambarkan beberadaan orang-orang Kristen yang merasa sedang terancam. Fauzi, Orientalisme ... hal. 6.

7 Imej-imej buruk tentang Islam ini banyak sekali diproduksi oleh kalangan Kristen sepanjang konflik dan permusuhan itu terutama tentang Islam, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin. Lihat

catatan kaki no. 192. 8 Ibid, hal. 6 catatan kaki no. 192. 8 Ibid, hal. 6

perang Islam–Kristen yang paling bersejarah adalah Perang Salib. 9 Konflik panjang ini mencapai waktu hingga 200 tahun (1096-1291). Perang Salib, menurut

Rodinson, “telah menciptakan pasar yang luas bagi pembentukan imej yang lengkap, penuh nafsu dan memuaskan tentang ideologi musuh.” 10

Hal ini terjadi karena Perang Salib merupakan pintu gerbang melalui mana sejumlah besar informasi tentang Timur Tengah dan Islam memasuki Eropa lebih banyak jauh dari sebelumnya. Sebelum Perang Salib, informasi tentang Islam masuk ke masyarakat Kristen melalui kerajaan Bizantium. Karenanya, informasi itu penuh dengan citra dan cerita-cerita negatif tentang Islam dan penghinaan-penghinaan tentang Islam dan Nabi Muhammad SAW. Gambaran-gambaran negatif tersebut secara khusus disebarkan sebagai senjata psikologis untuk menyambut dan mendorong terjadinya Perang Salib yang dahsyat itu.

Akibatnya, gambaran-gambaran keliru dan pelecehan tentang Islam dalam pandangan dunia Barat menemukan bentuk definitifnya pada periode Perang Salib tersebut. Lebih dari itu, antara tahun 10 dan 1300, dunia Eropa melakukan

standarisasi dalam memandang Islam. 11 Mispersepsi, antipati dan konflik terhadap Islam diciptakan dalam tiga level: teologis, ekonomi-politik dan

kultural. 12 Menurut Norman Daniel, kecurigaan dan salah pengertian yang telah dibentuk selama periode itu, pada dasarnya, masih terus terjadi dan menjadi

pegangan umum mayoritas masyarakat Eropa. Daniel menuliskan, Reaksi-reaksi paling awal Kristen terhadap Islam relatif sama dengan yang

ditunjukkan pada masa-masa belakangan. Tradisi itu masih terus berlangsung dan masih hidup. Secara alami, ada keragaman dalam kesatuan tradisi yang lebih luas, dan Eropa Barat (juga Amerika) sudah lama memiliki karakteristik pandangannya sendiri yang terbentuk selama

9 Sebagaimana sejarah mencatat, Perang Salib adalah perang dalam rangka memperebutkan tanah Palestina yang dianggap suci oleh tiga agama samawi: Islam, Kristen dan Yahudi. Perang Salib

terjadi beberapa kali. Perang pertama terjadi antara tahun 1096-1099 ketika Yerussalem jatuh ke tangan tentara Eropa. Pada tahun 1187, kota itu direbut kembali oleh pasukan tentara Islam pimpinan Shalahuddin Al-Ayubi, Sultan Bani Saljuk (berkuasa antara 1204 -1261), Tentara Eropa Barat kemudian menduduki Istanbul (Bizantium). Perang berakhir pada 1291 ketika pasukan tentara Eropa meninggalkan tanah Palestina pada tahun tersebut.

10 Ibid. hal. 8. 11 Norman Daniel membahas tentang penetapan standar ini dalam salah satu bab bukunya, Islam

and the West, The Making of an Image, Oneworld Publications Ltd, Third Edition, 1993, hal. 267- 301. Kemudian, Watt secara jelas mengemukakan empat standarisasi yang dibuat Eropa dalam memandang: Pertama, Islam itu salah dan merupakan penyimpangan dari kebenaran. Kedua, Islam adalah agama yang disebarkan dengan kekerasan dan pedang. Ketiga, Islam adalah agama yang merasa benar sendiri (self-indulgence). Keempat, Muhammad adalah seorang anti Yesus. Lihat, William Montgomery Watt, Muslim-Christian Encounters, Perceptions and Misperceptions, Routledge, London and New York, 1991. hal. 85-86.

12 Azyumardi Azra, kata pengantar untuk Steenbrink (1995: xxv).

dua abad atau setelah tahun 1100, dan yang telah dimodifikasi sedikit- sedikit setelah itu. 13

Kendati kecurigaan dan kesalahfahaman itu tetap terjadi, namun persepsi- persepsi yang lebih baik juga mulai muncul dalam beberapa hal. Tahun 1120 hingga 1291 adalah tahun-tahun dimana beberapa sarjana Barat mulai

memproduksi gambaran yang lebih baik tentang Islam dan kaum Muslimin. 14 Dalam memasuki abad pencerahan, sejarah kemanusiaan ditandai oleh

perkembangan humanisme, rasionalisme, empirisme dan spesialisasi yang kemudian menjadi dasar-dasar sains modern. Berbarengan dengan kecenderungan ini, pandangan Eropa terhadap Islam secara gradual mulai berubah, terutama sejak abad ke-18 yang didukung oleh kepenasaranan untuk memahami dunia Timur dari sisi pandang yang lebih berimbang. Kuriositas Eropa pada gilirannya kemudian mendorong penemuan-penemuan eksotisme dunia Timur pada abad ke-19. Hal ini terjadi, yang menimbulkan daya tarik besar orang-orang Barat, tidak hanya disebabkan oleh beberapa perubahan yang terjadi dalam hubungan Timur-Barat tapi juga terjadinya transformasi internal dalam masyarakat Barat sendiri yang reseptif atas hal-hal yang bersifat baru dan asing.

Perkembangan eksotisme Timur yang romantis ini pada gilirannya kemudian mendorong pertumbuhan studi-studi oriental. Romantisme eksotis Timur tidak hanya menyuguhkan sesuatu yang asing, menarik dan ketagihan untuk dipelajari tetapi juga bersifat spiritual. Kehidupan spiritual Timur sudah lama hidup dan berkembang. Menurut Muhsin Mahdi, filosof asal Iran, fenomena ini mendorong romantisisme Jerman untuk menyadari bahwa Barat harus belajar dari Timur. Mahdi mencatat,

“There was something fundamentally wrong with the excesses of scientism or rationalism or philosophy in the modern West and that it was necessary to supplement it with the poetic, religious, and spiritual dimension of human life, which can be found in the East. The West was incomplete and needed to complete itself with what it had somehow lost during its recent development. It needed to unify the shattered pieces of human experience; and the way to achieve this unity was to learn about it from the East where it continued to exist and where the missing part --the poetic-- had survived.”

15 (Ada sesuatu yang salah secara mendasar sebagai ekses saintifisme atau

rasionalisme atau filsafat di dunia Barat modern dan adalah penting untuk menambahkan puisi, agama dan dimensi-dimensi spiritual dari kehidupan manusia yang dapat ditemukan di Timur. Peradaban Barat tidak lengkap dan perlu melengkapi dirinya dengan sesuatu yang hilang dalam periode

13 Daniel, Islam and the West, hal. 11. 14 Filosof Inggris, Roger Bacon (1214-1292) misalnya menulis: “Di Yunani, filsafat dicanangkan oleh

Aristoteles; dan di Arab dikukuhkan oleh Ibn Sina.” Fauzi, Orientalisme, hal.12. 15 Lihat Muhsin Mahdi, ‘Orientalism and the Study of Islam Philosophy’, Journal of Islam Studies 1

(1990) hal. 73-98.

perkembangannya. Barat perlu menyatukan kepingan-kepingan yang hancur dari pengalaman manusia; dan jalan untuk menemukan kesatuan ini adalah belajar dari Timur dimana kepingan-kepingan itu masih hidup dan dimana bagian-bagian yang hilang itu – sesuatu yang puitis– tetap bertahan).

Rodinson menulis bahwa siapa saja di Barat yang ingin mengambil studi- studi awal tentang bahasa dan peradaban Timur Dekat harus belajar ke Ecole des langues orientales vivantes di Paris. Lembaga ini, kata Rodinson, adalah pusat Studi Oriental yang sangat termashur saat itu yang dibangun pada 1795 atas

inisiatif Louis Mathieu Langles (1758-1838). 16 Seiring dengan menguatnya tendensi terhadap obyektifitas, spesialisasi

dan penelitian ilmiah yang diikuti oleh munculnya pendirian sejumlah institusi- institusi tentang studi oriental pada abad ke-19, 17 istilah orientalisme mulailah

muncul. Kata “orientalist” pertama kali lahir di Inggris pada tahun 1799. Sebuah disiplin yang mempelajari tentang dunia Timur mulai terbentuk. 18 Orientalisme

adalah sebuah studi yang didefinisikan oleh William dan Chrisman, “focused on what could be called colonial discourse –the variety of textual

forms in which the West produced and codified knowledge about non- metropolitan areas and cultures, especially those under colonial control.” 19

(memfokuskan pada apa yang disebut sebagai diskursus kolonial –variasi bentuk-bentuk teks dimana Barat memproduksi dan mengkodifikasi pengetahuan tentang wilayah-wilayah dan kebudayaan non-metropolitan, terutama yang berada di bawah kontrol kolonial).

Namun, sebagai ditunjukkan Daniel, kecurigaan dan kesalahfahaman tentang Timur tetap terjadi hingga kini karena orientalisme, lebih dari sekadar studi tentang sebuah obyek, sesungguhnya telah diciptakan sebagai sebuah

proyek Barat 20 menyangkut kepentingan Barat untuk mempertahankan

16 Fauzi, Orientalisme.... hal. 13. 17 Untuk menyebut beberapa diantaranya, pada 1821, Society Asiatique Paris didirikan pada 1823,

dan menerbitkan Journal Asiatique. Pada 1834, Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland diterbitkan. Pada 1839, lembaga ini menerbitkan juga Journal of Asiatic Society of Bengal. Dan pada 1814, cabangnya di Bombay, India, didirikan. Setahun kemudian, The American Oriental Society juga didirikan. Dan pada tahun 1847, Zeitschrift der deutschen morgenlandischen Gesellschaft didirikan di Leipzig oleh German Oriental Society.

18 Ibid.

19 Patrick William and Laura Chrisman (ed.), Colonial Discourse and Post-colonial Theory, A Reader, Prentice Hall/Harverster Wheatsheaf, 1993, hal. 5.

20 Lihat Edward Said, Orientalism, Penguin Books, 1995, hal. 4–9. Berangkat dari observasi besar tentang Vico yang menyatakan bahwa ‘manusia menciptakan sejarahnya sendiri’ (men make their

own history), yaitu apa yang mereka bisa ketahui adalah apa yang bisa mereka buat, Edward Said melakukan analisis tentang entitas geografis dan kultural. Entitas-entitas lokal, regional dan geografis seperti “Timur” dan “Barat,” kata Said, adalah sebuah konstruksi. Dari sini, ia kemudian mengungkapkan tesis-tesisnya: Pertama, adalah keliru menyimpulkan bahwa Timur pada own history), yaitu apa yang mereka bisa ketahui adalah apa yang bisa mereka buat, Edward Said melakukan analisis tentang entitas geografis dan kultural. Entitas-entitas lokal, regional dan geografis seperti “Timur” dan “Barat,” kata Said, adalah sebuah konstruksi. Dari sini, ia kemudian mengungkapkan tesis-tesisnya: Pertama, adalah keliru menyimpulkan bahwa Timur pada

Orientalisme Modern

William Montgomery Watt, salah seorang generasi orientalis modern yang pandangan-pandangan lebih bersimpati kepada Islam. Watt mengatakan kemajuan dunia Barat berhutang budi kepada peradaban Islam yang menjadi fundasi kemajuan Barat. Ia menulis lebih dari 34 buku tentang Islam. Ketika menulis biografi Nabi Muhammad SAW karena terpesona oleh kepribadiannya, Watt diam-diam mempercayai bahwa Muhammad memang seorang Nabi.

Namun, sejak abad ke-19 wajah orientalisme telah mulai mengalami perubahan. Sejak itu, para orientalis modern mempelajari Timur tidak lagi sepenuhnya dimotivasikan oleh ketidaksukaan melainkan oleh adanya upaya untuk saling memahami (mutual understanding) antara Islam

dan Kristen serta usaha-usaha untuk memperbaiki hubungan dan kontak-kontak mereka sebelumnya. 21 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam situasi politik

global, pergeseran-pergeseran kekuasaan, adanya kesadaran baru masyarakat Eropa disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi pendorong terjadinya perubahan untuk hidup dalam koeksistensi damai.

Lebih rinci, Montgomery Watt menjelaskan, perubahan itu terjadi disebabkan empat faktor yang melatabelakanginya. 22 Pertama, perluasan

kekuasaan politik dinasti Turki Utsmani. Dari abad empat belas hingga delapan belas, Turki Utsmani terus meluaskan pengaruh Islam hingga periode kemundurannya ketika orang-orang Turki secara getir disebut sebagai “orang sakit dari Eropa” (the sickman of Europe). Kemenangan-kemenangan Turki dalam banyak peperangan ini meningkatkan minat dan perhatian baru masyarakat

dasarnya adalah sebuah ide atau sebuah kreasi dari realitas-realitas yang berhubungan. Kedua, ide-ide, kebudayaan dan sejarah tidak bisa difahami tanpa kekuatan-kekuatannya, atau lebih tepatnya, konfigurasi kekuasaannya pun harus dipelajari. Ketiga, seseorang harus menyadari bahwa struktur orientalisme tidak lain adalah struktur kebohongan atau mitos dimana kebenaran tentang mereka dikatakan dari luar (oleh Barat). “Saya sendiri percaya,” kata Said, “orientalisme pada kenyataannya lebih sebagai simbol kekuasaan Eropa-Atlantik terhadap Timur daripada diskursus tentang Timur itu sendiri (yang secara akademik dan kesarjanaan diklaim seperti itu).”

21 Tentang usaha-usaha perbaikan hubungan ini, lihat misalnya, Mohammed Abdou Yamami, ‘Islam and the West: The Need for Mutual Understanding’, The American Journal of Islamic Social

Sciences (AJISS), Volume 14, Spring 1997, Number 1; Seyyed Hossein Nasr, “Islam and the West: Yesterday and Today”, AJISS, Volume 13, Winter 1996, Number 4; Watt, Muslim-Christian Encounters, 1991; Norman Daniel, Islam and the West, 1993, dan yang lainnya.

22 Lihat, Muslim-Christian Encounters: Perceptions and Misperceptions, hal. 89-99.

Eropa untuk mendalami pemahaman mereka tentang Islam. 23 Kedua, kolonialisme Eropa. Kolonialisme dimulai sejak penemuan Vasco da Gama atas India Timur tahun 1498. Kemudian, Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda datang ke Hindia Timur atau Asia Tenggara untuk melakukan perdagangan yang diikuti kolonialisasi agar dapat mengangkut kekayaan dari negeri-negeri jajahan seperti rempah-rempah dan barang-barang manufaktur lainnya ke Eropa dengan melewati wilayah-wilayah, masyarakat dan bangsa-bangsa Islam. Ketiga, munculnya gerakan intelektual baru di Eropa. Dengan renaisan, Eropa memasuki era baru yang menjadi dasar-dasar ilmu pengetahuan modern. Tetapi, di sisi lain, renaisan juga dipandang sebagai penemuan warisan Eropa dari masa kejayaan Yunani dan Roma. Konsekuensinya, dalam upaya menemukan kejayaan masa lalunya itu, orang-orang Eropa harus menjalin hubungan dan mengakses literatur atau tradisi keilmuan Arab dimana mereka dulu belajar. Keempat, sebagai efek dari ilmu pengetahuan modern dan dampak perkembangan teknologi. Empat faktor ini mengarahkan konflik Islam Kristen pada suatu nuansa relasi baru. Karya-karya Kristen mulai dinafasi semangat untuk mencari kebenaran infomasi tentang Islam. Pendekatan yang lebih rasional ini berdampak pada berkurangnya sikap emosional dan prasangka. Banyak karya-karya baru Eropa mulai menghargai dan menghormati Nabi Muhammad dan Al-Qur'an.

Namun demikian, harap dicatat, perubahan ini tetap tidak dapat dipisahkan dari konteks kolonialisme (sense of colonialism). Pasca pencerahan Eropa tidak bisa dipisahkan dari kolonialisasi atas bangsa-bangsa Muslim. Banyak bukti menunjukkan, Islam dan masyarakat Muslim dipelajari “seobyektif mungkin” dalam rangka memperoleh informasi yang lebih baik dan akurat dalam rangka kepentingan kolonialisasi bahkan Kristenisasi. Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda melakukan ini untuk mempertahankan kolonialismenya di Asia Tenggara. Inggris merasa banyak sekali masukan dari catatan-catatan tekunnya Thomas Stamford Raffles yang kemudian menjadi buku berharga The History of Java. Pemerintah kolonial Belanda secara khusus mengutus Snouck Hurgronje untuk mempelajari Islam “dari dalam” bahkan dengan berpura-pura masuk Islam, menunaikan ibadah haji, berganti nama menjadi Abdul Ghafur semata- mata untuk pelestarian penjajahan. Setelah diangkat menjadi penasehat pemerintah Belanda di Hindia Timur, atas ide-ide Snouck Hurgronje, Belanda dapat memecah belah (devide et impera) dan melumpuhkan perlawanan heroik pemberontakan Aceh selama 39 tahun (1873 – 1912) yang telah banyak merugikan aspek finansial pemerintah Belanda.

Pada abad ke-20, orientalisme lebih maju lagi dengan dicirikan oleh karya- karya yang lebih ilmiah tentang Islam. Dalam periode ini, orientalisme digunakan secara mendalam untuk memahami dunia Timur yang menyuguhkan dunia eksotis bagi kepentingan studi para ilmuwan Barat. Semakin dalam Timur digali semakin eksotis dan menarik bagi para orientalis. Dalam tradisi baru studi ini,

23 Hal yang sama terjadi secara menarik pasca peristiwa pemboman World Trade Center di Amerika Serikat pada 9 Nopember 2001. Setelah peristiwa yang dituduhkan sebagai “kebiadaban

Islam” ini, justru tercatat 20.000 orang masuk Islam setiap tahunnya di negara Paman Sam ini. Lihat tulisan terakhir dalam buku ini, Islam di Amerika: Sebuah Keajaiban Bernama 9/11.

teks-teks dan literatur Arab dan Islam klasik memiliki tempatnya tersendiri. Dunia Barat menemukan sebuah belantara khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan, hutan lebat teks-teks dan literatur yang luar biasa kaya. Dari periode orientalisme modern inilah, lahir nama-nama besar baik dari Barat maupun dari dunia Islam sendiri seperti Ignaz Goldziher, Louis Massignon, Sir Thomas Arnold, Sir Hamilton A.R Gibb, Bernard Lewis, William Montgomery Watt, Wilfred Cantwell Smith, Marshal Hudgson, Frithjof Schuon, Annemarie Schimmel dan segudang penulis-penulis prolifik lainnya.

Sir Hamilton A.R. Gibb terkenal dengan ucapanya: “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekadar sistem ketuhanan saja, tapi juga sebuah peradaban yang lengkap). Ucapan ini banyak dikutip oleh para sarjana Islam.

Sir Hamilton A.R. Gibb menguasai bahasa Arab dan percakapannya. Dia diangkat menjadi anggota Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi (Institut Ilmu Pengetahuan Arab) di Damaskus dan Majma’ al-Lughah al- ‘Arabiyyah (Institut Bahasa Arab) di Kairo, Mesir. Ia melihat Islam sebagai agama yang dinamis dan memperlakukan Nabi Muhammad dengan terhormat. Gibb menulis 20 buku tentang Islam dan ditengarai

sebagai salah satu orientalis terbesar. Sebagaimana Gibb, Louis Massignon (1883- 1962) juga mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Arab dengan lancar. Selain diangkat menjadi anggota Majma’ al-‘Arabi and Majma’ al-Lughaw, ia juga mengajar Filsafat Islam di Cairo University. Bagi Massignon, karena unsur tasawwuflah, Islam tetap eksis sebagai agama internasional dengan ratusan juta

pengikutnya di seluruh dunia. 24 Nama-nama lainnya adalah W.C Smith, Schimmel, Bernard Lewis dan lain-lain. Karena karya-karya mereka yang banyak

tentang Islam, literatur Islam modern kemudian muncul dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Arab dan bahasa Eropa (Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Belanda dll ) sehingga menjadi referensi berharga bagi masyarakat Eropa dan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

Dalam perspektif inilah kontribusi orientalisme bisa diidentifikasi dalam perkembangan studi-studi Islam bagi masyarakat Barat. Orientalisme, selain memiliki kesan buruk, di sisi lain menjadi jembatan masyarakat Barat non Muslim untuk mengetahui Islam, walaupun tentu saja, masih sangat banyak diwarnai misperspesi tentang Islam. Namun demikian, orientalisme sesungguhnya berperan strategis mengingat begitu banyaknya sumber-sumber tentang Islam yang dapat dibaca dan dipelajari oleh masyarakat Barat sebagai produk dari studi-studi yang sangat serius. Sementara prinsip-prinsip Islam tentu saja tidak akan mengalami perubahan oleh banyaknya hasil studi mereka, di sisi lain, malah semakin memperbanyak literatur Islam. Selain itu, dari aksesnya

24 Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, cet 3. 1994. hal. 57.

terhadap literatur yang lebih obyektif yang dilahirkan oleh orientalisme modern, mulailah mereka menemukan dan melihat bahwa Islam sesungguhnya merupakan sebuah agama yang dinamis, rasional dan fleksibel dalam menghadapi tantangan zaman yang disebabkan oleh modernisasi dan perubahan-perubahan di bidang sosial, politik, dan kebudayaan modern.

Kontribusi Orientalisme

Pertama-tama harus jujur dikatakan bahwa sebenarnya cukup sulit mengakses kontribusi orientalisme terhadap dunia Islam. Medannya sangat luas sehingga merupakan sebuah pekerjaan berat karena harus masuk ke dalam belantara literatur Barat untuk mengidentifikasi kontribusi positif orientalisme. Di sisi lain, pandangan positif terhadap orientalisme bagi sebagian kaum Muslimin mungkin tidak bisa diterima. Tetapi, juga harus diakui, adalah kenyataan bahwa kontribusi itu ada dan tidak bisa ditolak. Di bawah ini akan dicobauraikan, apa saja yang telah disumbangkan oleh orientalisme terhadap dunia Islam, khususnya terhadap studi-studi Islam (Islamic studies). Satu hal yang harus diakui adalah orientalisme telah menjadikan Islam sebagai sebuah obyek studi yang sangat historis dan sosiologis. Karena itu, orientalisme sebenarnya tidak masuk ke dalam wilayah keyakinan kebenaran Islam. Kebenaran Islam tidak pernah terganggu. Ia berada dalam keimanan dan kepercayaan pemeluk-pemeluknya. Yang dikembangkan orientalisme adalah Islam historis dan sosiologis. Dengan demikian, kontribusi terpenting orientalisme adalah menyuguhkan kajian Islam sebagai realitas historis dan sosiologis yang memperkaya wawasan yang dialam komunitas Islam lebih banyak didominasi oleh unsur keyakinan yang bersifat subyektif. Dengan tradisi studi Islam historis dan sosiologis, Islam tidak lagi hanya sebagai ajaran keimanan melainkan juga sebagai –meminjam Foucault– “human sciences” atau ilmu-ilmu kemanusiaan.

Pertama, Kekayaan Literatur Islam

Kontribusi pertama yang harus diakui sebagai dampak positif orientalisme adalah produksi teks yang membuat literatur Islam mengalami pengayaan luar biasa. Selain pengayaan dari aspek kuantitas, juga pengayaan kualitas berupa nutrisi studi dari sisi metodologis. Secara apologetis bisa saja kita mengatakan, sebenarnya tanpa orientalisme pun literatur dunia Islam berkembang luar biasa seperti terjadi pada abad pertengahan. Pada abad itu karya-karya para para ilmuwan Muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina (Avicenna), al-Farabi, al-Khawarizmi, Al-Kimiyya, Al-Jabbar, Ibn Taimiyya, al-Ghazali, Ibn Rushd (Averroes), Al- Mawardi, Ibn Khaldun dan lain sebagainya sungguh luar biasa. Karya-karya mereka bahkan belum ada yang menyamainya di zaman modern dan tidak ada yang meragukan sumbangsih para ilmuwan Islam itu termasuk dunia Barat. Montogomery Watt dan banyak ilmuwan Barat mengakui mereka berhutang besar pada dunia Islam. Ilmu pengetahuan Barat dewasa ini tidak berkembang pesat seperti dewasa ini tanpa peran yang dimainkan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim abad pertengahan. Namun, harus dinyatakan bahwa karya-karya mereka Kontribusi pertama yang harus diakui sebagai dampak positif orientalisme adalah produksi teks yang membuat literatur Islam mengalami pengayaan luar biasa. Selain pengayaan dari aspek kuantitas, juga pengayaan kualitas berupa nutrisi studi dari sisi metodologis. Secara apologetis bisa saja kita mengatakan, sebenarnya tanpa orientalisme pun literatur dunia Islam berkembang luar biasa seperti terjadi pada abad pertengahan. Pada abad itu karya-karya para para ilmuwan Muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina (Avicenna), al-Farabi, al-Khawarizmi, Al-Kimiyya, Al-Jabbar, Ibn Taimiyya, al-Ghazali, Ibn Rushd (Averroes), Al- Mawardi, Ibn Khaldun dan lain sebagainya sungguh luar biasa. Karya-karya mereka bahkan belum ada yang menyamainya di zaman modern dan tidak ada yang meragukan sumbangsih para ilmuwan Islam itu termasuk dunia Barat. Montogomery Watt dan banyak ilmuwan Barat mengakui mereka berhutang besar pada dunia Islam. Ilmu pengetahuan Barat dewasa ini tidak berkembang pesat seperti dewasa ini tanpa peran yang dimainkan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim abad pertengahan. Namun, harus dinyatakan bahwa karya-karya mereka

Annemarie Schimmel, menaruh perhatian besar pada sufi dan tasawuf dalam Islam. Menulis biografi Nabi Muhammad SAW dan para sufi besar. Seperti yang lain, karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh dunia.

pengembangan para ilmuwan modern, termasuk ilmuwan- ilmuwan Barat didalamnya, ilmu pengetahuan tidak akan berkembang lebih pesat lagi seperti sekarang ini. Sifat ilmu itu terus berkembang, saling melengkapi dan saling mengisi. Tidak bisa sebuah komunitas menafikkan kontribusi jasa-jasa pihak lain yang telah turut ambil

bagian. Dengan kata lain, produksi teks keislaman oleh orientalisme bukan berarti tidak berharga. Paling tidak, karya-karya itu sangat berharga bagi orang Barat yang ingin mendalami Islam. Selebihnya, adalah pengayaan studi yang luar biasa dari sisi historis dan sosiologis seperti dijelaskan di atas. Dan adalah kenyataan bahwa tak satupun ilmuwan Islam, termasuk dari para kritikus Muslim modern atas dunia Barat seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Muthahhari mengabaikan kutipan-kutipan teori dari para sosiolog dan sejarawan Barat.

Mereka mengutipnya sekaligus mengkritiknya. Buku-buku bahasa Inggris tentang Islam juga tidak hanya ditulis oleh orang Barat non Muslim tapi juga oleh orang Barat yang masuk Islam selain oleh orang-orang Islam sendiri yang berada di Barat.

Produksi dan reproduksi teks dan literatur keislaman di zaman modern yang dihasilkan orientalisme telah menghasilkan jumlah koleksi yang sangat luar biasa. Bila pada abad pertengahan, karya-karya magnum opus ditulis dan diproduksi oleh para ilmuwan Muslim, di era modern, karya-karya besar itu dihasilkan oleh orientalisme. Edward Said mencatat, antara tahun 1800 hingga

1950, oreintalisme telah menghasilkan sekitar 60.000 judul buku. 25 Karya-karya tersebut tertulis dalam bahasa Inggris, Arab, Perancis, Itali, Belanda dan bahasa-

bahasa Islam lainnya. Tahun 2000, yaitu 50 tahun kemudian, Said tidak melaporkan lebih lanjut. Mungkin produksi itu sudah dua kali lipat jumlahnya.

Walau kesan negatif masih mengiringi karya-karya orientalisme, kuantitas produksi ilmu pengetahuan itu terlalu berharga untuk diabaikan. Steenbrink mengajurkan karya-karya itu agar dibaca dan dipelajari oleh kaum Muslimin. Dia memberikan dua alasan mengapa umat Islam harus mengaksesnya: Pertama, seluruh buku-buku teks dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan modern seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, teknologi, kedokteran dan lain sebagainya datang dari Barat. Jika studi-studi Islam tidak ingin tertinggal, maka harus mempertahankan dialog dengan karya-karya yang ditulis oleh orang-orang Barat,

25 Edward Said, Orientalism, hal. 204.

terutama dalam lapangan studi-studi Islam. Kedua, dalam mengkoleksi, merawat dan menyimpan buku-buku perbendaharaan lama berikut manuskrip-manuskrip tua, orientalisme memiliki tradisi yang kuat dan panjang. Adalah kenyataan bahwa banyak karya-karya yang sulit tersedia atau ditemukan di masyarakat- masyarakat Muslim, mudah ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Barat yang menyimpan koleksi itu dengan rapih dan terawat. 26

Dari koleksi besar itu, tidaklah diragukan bahwa kaum Muslim telah banyak mengambil manfaatnya. Studi dan penelitian para sarajan Islam disediakan literatur akademis Islam yang sangat melimpah, bervariasi dan komplit. Karena itulah, banyak kaum terpelajar Islam yang sesudah berkenalan dengan karya-karya Barat memilih, memiliki dan lebih suka membaca karya- karya mereka ketimbang karya orang-orang Islam sendiri. Ini karena mereka menemukan bahwa Islam dianalisis dengan lebih rasional, akademis dan bahkan lebih liberal. Bagi generasi baru Muslim yang kurang suka dengan pemahaman Islam yang bersifat doktriner, kaku dan dogmatis, membaca karya-karya yang lebih analitis dan akademis pasti lebih menarik. Sementara buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh ulama-ulama banyak yang bersifat doktriner atau kurang menekankan sisi analisis, karya-karya yang ditulis oleh orang-orang Barat menjadi alternatif. Pada sisi ini, tidak ada salahnya, karena sebagai studi dan sebagai ilmu, Islam harus menonjolkan analisis dan akademisnya. Secara psikologis dan alamiah, kebenaran yang dijelaskan dengan uraian ilmiah dan analisis yang mendalam akan lebih memuaskan daripada yang melalui pendekatan doktriner. Apalagi bahwa buku-buku tersebut sesungguhnya lebih banyak membicarakan masyarakat Islam atau Islam sejarah daripada Islam ideal atau yang tertulis dalam kitab suci.

Tanpa orientalisme, literatur dunia Islam hanya ditulis oleh kaum Muslimin yaitu orang dalam (insider) yang “subyektif.” Dalam konteks ini, orientalisme harus diakui memberikan banyak keuntungan: Pertama, mengenalkan studi Islam dengan pendekatan yang lebih akademis dengan menonjolkan analisis. Kedua, melalui orientalisme pandangan masyarakat non- Muslim atau ilmuwan Barat tentang Islam bisa diidentifikasi. Ada yang obyektif, simpatik, ilmiah dan akademis, ada juga yang sinis, tidak akurat dan penuh prasangka. Tetapi, tetap saja, pandangan pihak lain tentang kita sering kita butuhkan sebagai peneguhan asumsi-asumsi atau introspeksi. Pada dasarnya, pandangan luar adalah masukan dan sebuah cermin untuk mengaca diri. Tafsir, asumsi dan tatanan masyarakat yang sudah dibangun oleh kaum Muslimin tidak berarti sudah sempurna. Inilah makna dari karya-karya para penulis Barat atau orientalis tentang Islam. Orientalisme bisa dimaknai sebagai penerjemahan dari perintah Nabi: “tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina!” Karena kebenaran ada dimana saja, bisa saja kaum Muslimin menemukan hikmah didalamnya. Nabi pernah menyatakan bahwa hikmah adalah milik kaum Muslimin, dimana pun berada, maka ambillah. Lebih akuratnya, Nabi jelas-jelas mengajarkan agar kita bersikap dewasa, bijaksana dan obyektif dalam masalah ilmu: “Undzur mâ qâla

26 Karel Steenbrink, ‘Berdialog dengan Karya-karya kaum Orientalis, Jurnal ‘Ulumul Qur’an Volume III, No. 2 Th. 1992.

wala tandzur man qâla!” (Lihatlah apa dibicarakan, jangan melihat siapa yang berbicara).

Kedua, Menjamurnya Institusi-institusi Kajian Keislaman

Pada masa kejayaan Islam abad pertengahan, mungkin tidak ada institusi- institusi non-Muslim yang melakukan kajian-kajian agama (Islam). Religious studies di Barat pun baru muncul pada zaman modern seiring dengan kemunculan orientalisme. Di dunia Islam pun, hanya bisa dihitung dengan jari. Bila pun ada, seperti Baitul Hikmah yang terkenal, hanyalah lembaga yang melakukan penerjemahan katya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Lembaga ini dibangun oleh Khalifah Harun al-Rashid dan dilanjutkan oleh penggantinya al-Makmun. Lembaga ini melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dunia Islam. 27 Pada zaman modern, kaum

Muslimin dapat menemukan banyak sekali pusat-pusat lembaga kajian Islam atau Islamic studies di Barat. Apapun kepentingannya, institusi-insitusi kajian Islam dan Islamic studies di Barat memiliki peranan penting dalam perkembangan keilmuan Islam dan masyarakat.

Prof. Bernard Lewis, orientalis besar yang menulis

30 buku tentang Islam. Ketika masyarakat Kristen Eropa pada abad

pertengahan pertama kali menyadari bahwa mereka tertinggal jauh oleh dunia Islam terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka menemukan bahwa kuncinya adalah bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah

bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat, dengan demikian mereka harus mempelajarinya. Program besar-besaran mempelajari bahasa Islam itu kemudian diselenggarakan. Mereka kemudian memasukan pengajaran bahasa Arab ke dalam kurikulum universitas-universitas Eropa seperti di Universitas Bologna, Itali pada 1076, di Universitas Chartres di Perancis pada 1117, kemudian di Oxford Inggris pada 1167 dan di Paris pada 1170. 28 Program ini kemudian diperluas pada

abad ke-13 dan 14. Di Itali pengajaran Bahasa Aran diselenggarakan di Roma pada

27 Untuk membaca transformasi ilmu pengetahuan dari Yunani ke dunia Islam dan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, lihat diantaranya Edward Grant, The Foundations of Modern

Science in the Middle Age, Their Religious, Institutional, and Intellectual Context, Cambridge University Press, 1996.

28 Ensiklopedi Islam..... hal. 56. Selain sebagai pintu gerbang kepada warisan ilmu pengetahuan Islam, terdapat tiga alasan mengapa bahasa Arab sangat penting saat itu: Pertama, kepentingan

agama sendiri (Kristen terhadap Islam). Kedua, ada tujuan-tujuan bisnis dan komersial dan ketiga, ada alasan-alasan sekuler dan kepentingan-kepentingan ilmiah untuk mengejar kemajuan bahasa-bahasa Islam seperti bahasa Persia dan Turki. Lihat, resensi George Saliba atas buku yang diedit oleh Russell berjudul “The Arabick” Interest of the Natural Philosophers in Seventeenth- Century England’, dalam Journal of the American Oriental Society, Volume 117, Number 1, January- March 1997, hal. 175-177. Informasi lain tentang signifikansi peranan Bahasa Arab pada abad pertengahan, lihat Edward Grant, The Foundation ...... hal. 172-173.

1303, di Florencia tahun 1321, di Padua tahun 1362, dan Gregoria pada 1553. Di Perancis, diselenggarakan di Toulouse (1217), Montpellier (1221), and Bordeaux (1209). Dari proyek ini, lahirlah generasi pertama para penerjemah bahasa Arab seperti Constantinus Africanus (w.1087) dan Gerald Cremonia (w.1187).

Munculnya institusi-institusi ini pada abad pertengahan di Barat, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi akar-akar studi kawasan atau wilayah tentang Timur di universitas-universitas Barat zaman modern. Orientalist Congress (Kongres Orientalis), misalnya, mengganti namanya menjadi International Congress on Asia and North Africa dan kongres tersebut telah mendirikan pusat-pusat studi ketimuran (centres of oriental studies) seperti Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1975) di Paris. Studi kawasan dan stuti-studi agama sekarang sudah berkembang sangat pesat di universitas-universitas Barat modern. Beberapa diantaranya misalnya The School of Oriental and African Studies (SOAS), London University didirikan pada 1917; Oosters Instituut, Leiden University (1917); Institut voor het Moderne Nabije Oosten, Amsterdam University (1956). Insititusi-institusi kajian ketimuran lain misalnya Societe Asiatique (1822) in Paris; American Oriental Society in The United States (1842); Royal Asiatic Society di Inggris dan Oosters Genootschap in Nederland di Leiden (1929). Selain contoh-contoh tersebut, orientalisme juga menerbitkan sejumlah banyak sekali jurnal dan majalah tentang Timur yaitu Journal Asiatique (1822) di Paris; Journal of the Royal Asiatic Society (1899) di London; Journal of the American Oriental Society (1849) di Amerika Serikat; Revue de Monde Musulman (1907) di Perancis; Der Islam-Zeitschrift fur Geschichte und Kultur des Islamischen (1910) di Jerman; The Muslim World (1917) di Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental and African Studies (1917) di London. Hampir semua jurnal-jurnal ini masih terbit hingga sekarang.

Sejumlah besar universitas-universitas di Amerika Serikat seperti Harvard University, Columbia University, Ohio State of University, UCLA, Wisconsin University, University of Boston, Syracuse University, Yale University dan lain- lain memiliki program religious studies dimana buku-buku atau literatur tentang Islam dan umat Islam diterbitkan, dipelajari dan diperlihara dengan sangat baik. Dalam usahanya untuk membangun relasi yang haromis antar agama-agama, Sir Wilfred Cantwell Smith menginisiasi fakultas Islamic Studies di McGill University yang sejak akhir abad ke-20 telah menjadi fakultas termashur tentang studi Islam. Semua universitas, fakultas dan lembaga-lembaga tersebut memiliki semangat yang tinggi dalam menjalankan studi Islam yang serius, mendalam dengan pendekatan ilmiah. Terlepas dari adanya kecurigaan tentang adanya kepentingan dibalik itu seperti kolonialisasi, atau murni dalam rangka keilmuan, dunia Barat secara umum atau orientalisme khususnya telah berperan penting dalam mengembangkan dan memajukan studi-studi Islam (Islam sebagai ilmu dan kajian) yang dilakukan pendekatan ilmiah. Hal ini tentu saja memperkaya dan memberi nutrisi pada Islam sebagai kajian ilmu. Islamic studies di Barat tidak perlu dikhawatirkan karena kebenaran Islam (the truth of Islam) tidak akan terpengaruh oleh menjamurnya studi-studi Islam di Barat. Bahkan, semacam blessing in disguise atau “pagar makan tanaman,” studi-studi modern tentang

Islam justru banyak yang membantu membuktikan kebenaran Islam itu sendiri. Aksiomanya adalah semakin Islam dipelajari dan didalami oleh kalangan non- Muslim atau dunia Barat, justru semakin menguntungkan karena sering membuka dan membuktikan kebenaran-kebenaran ajaran Islam. Kasus yang paling mutakhir tentang ini terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika. Pemboman gedung kembang World Trade Center di New York pada 9 November 2001, mengundang kepenasaran masyarakat Amerika untuk mempelajari dan mendalami Al-Qur'an dengan asumsi kitab itu mengajarkan tindakan biadab: teror dan bom. Setelah membaca Al-Qur'an secara langsung, menghayati ayat demi ayat dan biografi kehidupan Nabi Muhammad SAW, hasilnya seperti diberitakan stasiun televisi NBC, 20.000 orang masuk Islam setiap tahunnya di

negara sekuler itu dengan proses yang “tidak masuk akal.” 29

Ketiga, Menguatnya Tradisi Ilmiah dalam Mempelajari Islam

Salah satu kelemaham umat Islam dalam memahami Islam adalah melihat kebenaran Islam sebagai barang jadi, sebagai taken for granted tanpa keresahan, kegelisahan, pencarian dan penelitian ilmiah. Di sisi lain, sikap apologetik juga kuat yaitu melihat Islam sebagai ajaran dan sistem ideal tanpa rumusan- rumusan, pergulatan pemikiran dan argumen-argumen empiris. Dengan kata lain, bukan merupakan hasil studi dan pengembaraan pemikiran melainkan kesimpulan yang berangkan dari keyakinan. Melihat Islam seperti ini tidak salah tapi tidak kuat, kesimpulan ini tidak keliru tapi sulit dijelaskan secara logika, argumen dan akal fikiran.

Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang mutlak benar yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Ini sering berarti kaum Muslimin melihat Islam lebih sebagai keyakinan dan prinsip dasar tanpa pandangan kebenaran itu diperkuat oleh bukti-bukti historis yang kuat dan tak terbantahkan. Konsekuensinya, ketimbang memahami dengan secara rasional, umat Islam sering berbicara secara aoplogetik tentang kebenaran Islam. Macdonald dan H.A.R Gibb adalah para orientalis yang tertarik dengan Islam sejarah. Macdonald dalam bukunya The Religious Attitude and Life in Early Islam (1909) dan Gibb dalam Modern Trends in Islam (1949), mengingatkan bahwa studi tentang Islam hanya dari sisi normatif dan mengabaikan kenyataan historis umat seperti telah dirumuskan oleh para ulama,

bisa berbahaya. 30 Bahayanya paling tidak kegamangan yang akan muncul ketika menemukan ketidaksesuaian–ketidaksesuaian atau kontradiksi-kontradiksi

antara ‘Islam yang dibayangkan’ (imagined Islam) dengan ‘kenyataan historis’ (historicized Islam).

Para sarjana Barat secara umum, di sisi lain, telah mempelajari Islam dari pendekatan historis-sosiologis. Walaupun pendekatan ini problematik, 31 para

29 Lihat tulisan terakhir buku ini, Islam di Amerika: Sebuah Keajaiban Bernama 9/11. 30 Azyumardi Azra, ‘Studi Islam di Timur dan di Barat: Pengalaman Selintas, Jurnal ‘Ulumul

Qur’an No. 3, vol. V, Tahun 1994.

31 Problematikanya adalah kesimpulan-kesimpulan para sarjana Barat tentang Islam sejauh ini banyak yang tidak bisa diterima oleh kaum Muslimin kecuali pendekatan-pendekatan historis, 31 Problematikanya adalah kesimpulan-kesimpulan para sarjana Barat tentang Islam sejauh ini banyak yang tidak bisa diterima oleh kaum Muslimin kecuali pendekatan-pendekatan historis,