ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN BANYUWANGI, KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN MADIUN, SERTA KABUPATEN TUBAN.

1

ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN
BANYUWANGI, KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN MADIUN,
SERTA KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
J urusan Ekonomi Pembangunan

Oleh :
Ardhana Nikwari
1011010037/FE/IE

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
J AWA TIMUR
2014


1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

i

SKRIPSI
ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN
BANYUWANGI, KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN MADIUN
SERTA KABUPATEN TUBAN
Disusun Oleh :

Ardhana Nikwari
NPM 1011010037
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima
oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada Tanggal : 14 Maret 2014
Pembimbing :

Pembimbing Utama

Tim Penguji :
Ketua

Prof. Dr. Syamsul Huda, SE, MT

Prof. Dr. Syamsul Huda, SE, MT
Sekertaris

Dra. Ec. Niniek Imaningsih, MP
Anggota

Dr. Ec. Wiwin Priana, MT

Mengetahui
Dekan Fakultas Ekonomi
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

Dr s. H. Dhani Ichsanuddin Nur, SE, MM

NIP 196309241989031001

i

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ii

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan mengambil judul:
“Analisis

Tingkat

Kemandirian


Keuangan

Di

Kabupaten

Banyuwangi, Kabupaten Blitar Dan Kabupaten Madiun Serta Kabupaten
Tuban”.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dengan maksud untuk melengkapi
persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar sarjana ekonomi pada
jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan serta
pengarahan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti dengan
kerendahan hati yang tulus ikhlas mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada banyak pihak, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah memberikan
banyak bantuan berupa sarana fasilitas dan perijinan guna pelaksanaan skripsi
ini.


ii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

iii

2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, SE, MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Ec. Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Prof. Dr. Syamsul Huda, SE, MT selaku dosen pembimbing dan
dosen wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu dosen serta staf karyawan Fakultas Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah dengan ikhlas
memberikan banyak ilmu pengetahuannya selama masa perkuliahan dan
pelayanan akademik bagi peneliti.
6. Secara khusus saya persembahkan kepada kedua orangtua yang sangat saya

sayangi. Romo dan Ibu. Terimakasih buat semua kasih sayang, doa,
pengorbanan dan semangat yang telah diberikan.
7. Kepada suami dan putra saya yang sangat sayangi. Terimaksih telah menjadi
penyemangat saya dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada para teman-teman saya angkatan 2010 khususnya yang
telah memberi semangat dan dukungan kepada saya yang telah mengerjakan
skripsi hingga selesai.

iii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

iv

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
demikian skripsi ini diusahakan sesuai dengan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dan semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi yang membutuhkan serta bagi pembaca untukpenelitian
selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Surabaya, Maret 2014

Peneliti

iv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

v

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

...................................................................................

i


Daftar Isi

...................................................................................

iv

Daftar Tabel

...................................................................................

ix

Daftar Gambar

...................................................................................

xi

Daftar Lampiran


...................................................................................

xii

Abstraksi

...................................................................................

xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................

1

1.2. Perumusan Masalah ...............................................................

5

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................


6

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................

6

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian terdahulu ......................................................

8

2.2. Landasan Teori.......................................................................

11

2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal ..................................

11


2.2.2. Otonomi Daerah .........................................................

13

v

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

vi

2.2.2.1. Definisi Otonomi Daerah .............................

13

2.2.2.2. Tujuan Otonomi Daerah...............................

15

2.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) ...........................................................................

18

2.2.3.1. Pengertian dan Unsur-unsur APBD ..............

18

2.2.3.2. Struktur APBD ............................................

19

2.2.4. Pendapatan Asli Daerah ..............................................

19

2.2.4.1. Definisi Pendapatan Asli Daerah..................

19

2.2.4.2. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah .............

21

2.2.5. Dana Perimbangan ......................................................

35

2.2.5.1. Dana Bagi Hasil ...........................................

36

2.2.5.2. Dana Alokasi Umum (DAU) ........................

36

2.2.5.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) .......................

39

2.3. Kerangka Pikir ......................................................................

40

2.4. Hipotesis ................................................................................

41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Definisi oprasional dan Pengukuran variabel ..........................

43

3.2. Teknik Pengumpulan Data................................................. ......

44

vi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

vii

3.2.1. Jenis Dan Sumber Data ...............................................

44

3.2.2. Pengumpulan Data ......................................................

45

3.3. Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ..........................................

45

3.3.1. Indeks Desentralisasi Fiskal ........................................

45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ...................................................

50

4.1.1. Kabupaten Banyuwangi .............................................

50

4.1.1.1. Keadaan Geografis
Kabupaten Banyuwangi ..............................

50

4.1.1.2. Kependudukan Kabupaten Banyuwangi .......

51

4.1.2. Kabupaten Blitar ........................................................

52

4.1.2.1. Keadaan Geografis Kabupaten Blitar ..........

52

4.1.2.2. Kependudukan Kabupaten Blitar .................

53

4.1.3. Kabupaten Madiun .....................................................

53

4.1.3.1. Keadaan Geografis Kabupaten Madiun .......

53

4.1.3.2. Kependudukan Kabupaten Madiun .............

54

4.1.4. Kabupaten Tuban .......................................................

55

4.1.4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Tuban .........

55

vii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

viii

4.1.4.2. Kependudukan Kabupaten Tuban ................

55

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian .....................................................

56

4.2.1. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi...................................................

56

4.2.2. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Blitar .............................................................

57

4.2.3. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Madiun ..........................................................

58

4.2.4. Perkembangan Penerimaan Pemerintah
Kabupaten Tuban ............................................................

59

4.3. Analisis Dan Pengujian Hipotesis ...........................................

60

4.3.1. Uji Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal.....................

60

4.3.1.1. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar
Dan Kabupaten Madiun Serta Kabupaten Tuban
....................................................................... . 60
4.3.1.2. Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
(BHPBP) Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar Dan Kabupaten Madiun
Serta Kabupaten Tuban................................... 64
4.3.1.3. Rasio Sumbangan Daerah (SD)
Kabupaten Banyuwangi,Kabupaten Blitar Dan
Kabupaten Madiun Serta Kabupaten Tuban
....................................................................... . 69

viii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ix

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ...........................................................................

78

5.2. Saran ...................................................................................

80

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

x

DAFTAR TABEL

3.1. Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal............................................

51

3.2. Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah............. ...

53

4.1. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi................................ ...

60

4.2. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Blitar........................................... ...

61

4.3. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Madiun........................................ ...

62

4.4. Penerimaan Pemerintah Kabupaten Tuban.......................................... ...

63

4.5. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD,
Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban
Tahun 2009..............................................................................................

64

4.6. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD,
Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban
Tahun 2010..............................................................................................

66

4.7. Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD,
Rasio SB terhadap TPD pada Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban
Tahun 2011..............................................................................................

67

4.8. Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBH
terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal) Tahun 2009................................................

x

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

69

xi

4.9. Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBH
terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal) Tahun 2010................................................

70

4.10. Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBH
terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal) Tahun 2011................................................

71

4.11. Hasil Perhitungan Untuk Menetahui Tingkat Kemandirian Daerah.... ...

73

xi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambar Kerangka Pikir............................................................ 41

xii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi
Lampiran 2 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar
Lampiran 3 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Madiun
Lampiran 4 : Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.
Lampiran 5 : Rata-rata Rasio PAD Terhadap TPD, BHPBP Terhadap TPD dan
Rasio SD Terhadap TPD Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban.
Lampiran 6 : Sektor Pertanian Lumbung Kedelai Nasional Purwoharjo
Kabupaten Banyuwangi.
Lampiran 7 : Sektor Perdagangan Pasar Legi Kabupaten Blitar.
Lampiran 8 : Sektor Industri Brem Kabupaten Madiun.
Lampiran 9 : Sektor Pertambangan Bukit Kapur Kabupaten Tuban.

xiii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

xiv

ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DI KABUPATEN
BANYUWANGI, KABUPATEN BILTAR DAN KABUPATEN MADIUN
SERTA KABUPATEN TUBAN
Oleh
Ardhana Nikwari
Abstraksi
Dalam melaksanakan otonomi daerah di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban diperlukan kemampuan untuk
meningkatkan penerimaan sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sudah ada
maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada
serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam melaksanakan
upaya peningkatan penerimaan daerah, perlu diadakan analisis potensi dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), peningkatan terhadap Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP),
dan Sumbangan Daerah.
Agar dapat menopang penerimaan daerah digunakan suatu indikator untuk
mengukur emampuan keuangan daerah tersebut. Indikator desentralisasi fiskal adalah
rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD),
rasio antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Pendapatan
Daerah (TPD), dan rasio Sumbangan Daerah (SD) terhadap Total Pendapatan Daerah
(TPD). Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah PAD, BHPBP, SD, Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban. Teknik
analisa yang digunakan yaitu Indeks Desentralisasi Fiskal, sedangkan pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan BPS (Badan Pusat
Statistik).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dengan perhitungan Indeks Desentralisasi
Fiskal menunjukkan hasil bahwa kondisi kemampuan keuangan daerah Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban masih
belum mandiri karena peranan PAD dan juga BHPBP sangatlah kecil apabila
dibandingkan dengan bantuan dana dari pusat. Pola hubungan yang terjadi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan
Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban adalah pola hubungan intsruktif.
Kata kunci : Desentralisasi fiskal, Kemandirian, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban.

xiv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian

masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhirakhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah
tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah (pemerintah daerah), yang
di kenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan,
potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. (Haryati, 2006 : 1)
Alasan-alasan yang menyebabkan lahirnya tuntutan tersebut. Adalah
pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah
dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Hal
tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga
pemerintahdaerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan,
dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua,

1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

otonomi daerah merupakan jawaban untuk memasuki era new game yang
membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan
datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas,
pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada
perdagangan internasional, informasi, serta transaksi keuangan (Mardiasmo, 2002
: 3-4).
Pembangunan Nasional harus dilaksanakan melihat berbagai potensi yang
ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat keterbatasan tenaga
yang profesional maupun dana yang tersedia maka Pembangunan Nasional
dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan jangka pendek, menengah, dan
jangka panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat
besar. Kondisi yang demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan
untuk lebih berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas Desentralisasi maka dalam rangka
melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna, dan berhasil guna maka
dibentuklah Daerah Otonomi (Anonim, 2004 : 8)
Otonomi bagi daerah mempunyai banyak tujuan, salah satunya adalah
guna menambah kelancaran pembangunan di daerah dan terciptanya suatu
kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasilhasilnya. Guna mewujudkan fenomena diatas satu hal yang harus dimiliki oleh
daerah yaitu kemampuandalam penyediaan pembiayaan pembangunan yang
bertumpu pada sumber Pendapatan Asli Daerah yang lebih besar. Kebutuhan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

penyediaan dan pembangunan ini dirasa sangat penting dan relevan dengan
konsepsi Otonomi Daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab karena
pada dasarnya yang hendak dibangun serta ditingkatkan adalah kekuatan
pembangunan dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam melaksanakan otonomi daerah di Kabupaten Banyuwangi dan
Kabupaten

Madiun

maka

diperlukan

kemampuan

untuk

meningkatkan

kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah
ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang sesuai dengan ketentuan yang
ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam
melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), perlu diadakan
analisis potensi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan peningkatan
terhadap Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak agar dapat menopang dari suatu
penerimaan daerah tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur
kemampuan keuangan daerah tersebut adalah indikator desentralisasi fiskal.
Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan
daerah.
Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan oleh karena secara
struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan
yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat.
Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pusat. Adapun
PAD pada Kabupaten Banyuwangi tahun 2009 adalah Rp. 1.049.309.732,-, pada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

tahun 2010 PAD Kabupaten Banyuwangi meningkat sebesar Rp. 1.060.226.491,-,
pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi Rp. 1.211.463.765,-. PAD
Kabupaten Blitar pada tahun 2009 sebesar Rp. 901.207.592,-, tahun 2010
mengalami peningkatan sebesar Rp. 928.965.249,-, PAD Kabupaten Blitar tahun
2011 mengalami peningkatan Rp. 1.118.580.455,-. Pada Kabupaten Madiun tahun
2009 PAD sebesar Rp. 638.594.835,-, pada tahun 2010 meningkat sebesar Rp.
683.032.120,-, kemudian pada tahun 2011 PAD meningkat menjadi Rp.
861.905.959,-. PAD Kabupaten Tuban tahun 2009 adalah Rp. 752.572.365,-, pada
tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar Rp. 821.582.427,-, pada tahun 2011
PAD Kabupaten Tuban juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 1.049.552.188,-.
(Anonim, 2011 : 515-544)
Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan
anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa
terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat
kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan melihatkemampuan atau
tingkat kemandirian daerah. Oleh karena itu untuk terciptanya kemandirian pada
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Madiun, pemerintah pusat memberikan
otonomi

kepada

pemerintahan

daerah

agar

dapat

menyelenggarakan

pemerintahannya sendiri. Dengan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas sehingga pembangunan di daerah diarahkan agar lebih mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

Berdasarkan uraian di atas, perlu diteliti mengenai kinerja keuangan
daerah di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Madiun dalam masa otonomi
daerah. Oleh karena itu penulis mengambil judul Skripsi dengan judul “Analisis
Tingkat Kemandirian Keuangan di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar Dan Kabupaten Madiun Serta Kabupaten Tuban.”

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikemukakan perumusan masalah

sebagai berikut :
1. Apakah PAD (Pendapatan Asli Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban untuk menuju mandiri ?
2. Apakah BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dapat mendukung
Kabupaten banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta
Kabupaten Tuban untuk menuju mandiri ?
3. Apakah

SD

(Sumbangan

Daerah)

dapat

mendukung

Kabupaten

Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban untuk menuju mandiri ?
4. Apakah indeks desentralisasi fiskal di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten
Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban sudah mandiri ?

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

1.3.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat mendukung
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta
Kabupaten Tuban menjadi daerah yang mandiri.
2. Untuk mengetahui BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) dapat
mendukung Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten
Madiun serta Kabupaten Tuban menjadi daerah yang mandiri.
3. Untuk mengetahui SD (Sumbangan Daerah) dapat mendukung Kabupaten
Banyuwangi Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban menjadi daerah yang mandiri.
4. Untuk mengetahui indeks desentralisasi fiskal di Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban sudah
mandiri.

1.4.

Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan yang telah di kemukakan di

atas maka dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan otonomi daerah agar dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Serta masukan dalam rancangan
penyusunan keuangan daerah (APBD) dalam program pembangunan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Tuban serta Kabupaten
Blitar dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya yang berkaitan
dengan

peningkatan

Pendapatan

Asli

Daerah

(PAD)

kabupaten

Banyuwangi, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Madiun, serta Kabupaten
Tuban, dan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang lain untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten Tuban.
3. Sebagai sumber atau bahan informasi bagi penelitian-penelitian yang
selanjutnya dan dapat memberikan manfaat yang berhubungan dengan
penelitian ini.
4. Sebagai bahan penerapan teori-teori yang diperoleh dari bangku kuliah
baik diperoleh secara langsung maupun tidak langsung serta dapat
membandingkan

dengan

kenyataan

yang

ada,

khususnya

yang

berhubungan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Madiun serta Kabupaten
Tuban.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA

2.1.

Hasil Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian dan penulisan skripsi yang mana ada keterkaitan atau

hubungan dengan permasalahan keuangan daerah yang pernah dilakukan, berikut
ini yang dikemukakan dalam hasil penelitian atau skripsi yang dilakukan oleh :
Menurut

Sholikhah

(2011)

dengan

judul

“Analisis

Kemampuan

Kemandirian Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2000-2009”. Berdasarkan rasio
kemampuan keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angkarasio rata-ratanya
adalah sangat kurang karena hanya memiliki rata-rata 6,68% menunjukkan bahwa
tingkat kemandirian/kemampuan keuangan Kabupaten Wonogiri masih rendah
dalam

melaksanakan

otonominya.

Serta

kemampuan

keuangan

daerah

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (growth).
Menurut Fauzyni (2013) tentang “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH)
Pajak/Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten/Kota Provonsi
Jawa Tengah Tahun 2003-2011”. Variabel penelitian terdiri dari variabel terikat
yaitu Pertumbuhan Ekonomi (Y) dan tiga variabel bebas yaitu Pendapatan Asli
Daerah(X1), Dana Alokasi Umum (X2), dan Dana Bagi Hasil (X3). Berdasarkan

8

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

estimasi Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
PDRB dengan tingkat signifikasi 5 %, dimana nilai koefisiennya adalah sebesar
2.654913. Berdasarkan estimasi Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB dengan tingkat signifikasi 5 % dimana nilai
koefisiennya adalah sebesar 6.916613. Berdasarkan estimasi Dana Bagi Hasil
Pajak/Bukan Pajak berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap PDRB
dengan 97 tingkat signifikasi 5 % dimana nilai koefisiennya adalah sebesar
1.960468. Berdasarkan Model FEM dihasilkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan siginifikan terhadap PDRB
sedangkan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap PDRB. Dari pengolahan data diperoleh nilai Chi-Sq Statistic
adalah 8.1507066 dengan nilai Chi square tabel pada d.f (3) α = 5% adalah 7,81.
Menurut Ladjin (2011) tentang

“.Analisis Kemandirian Fiskal di Era

Otonomi Daerah (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah) Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat yaitu Kemandirian
Fiskal dan variabel bebasnya yaitu investasi dan PDRB perkapita. Derajat
kemandirian fiskal Propinsi Sulawesi Tengah selama kurun waktu penelitian
(2006–2011) disimpulkan Untuk proporsi PAD terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) diperoleh hasil rata-rata sebesar 24,18 persen. Untuk proporsi bagi
hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah
diperoleh hasil rata-rata sebesar 6,24 persen. Untuk proporsi Dana Alokasi Umum
dan Dana Alokasi Khusus terhadap Total Penerimaan daerah (TPD) diperoleh

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

hasil rata-rata sebesar 61,36 persen. Untuk proporsi Pinjaman Daerah sebesar
0,77% dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu sebesar 6,67%. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa kemandirian keuangan daerah Propinsi
Sulawesi Tengah di era otonomi daerah masih rendah, atau dapat dinyatakan
bahwa tingkat ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih cukup tinggi. Hal
ini ditandai dari proporsi DAU dan DAK terhadap TPD yang relatif semakin
besar. Sebaliknya, kontribusi PAD dan BHPBP terhadap TPD yang masih sangat
rendah.
Agastari (2010), dengan judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal Pada
Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) I Provinsi Jawa Timur”. Derajat
desentralisasi fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah
(PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi hasil pajak
dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai
dengan 2008, sebesar 22.37% yang menunjukkan bahwa DDF SWP I Jawa Timur
rendah dan mempunyai pola hubungan keuangan.
Menurut Savitry (2013), dengan judul “Analisis Kemampuan Keuangan
Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 Di Kota
Makassar”. Tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam
pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 dianggap masih kurang.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan
daerah selama lima tahun terakhir yang menghasilkan jumlah rata-ratanya sebesar
18,30% dengan pola hubungan yang instruktif. Dari hasil tersebut, tergambar

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

dengan jelas masih besarnya ketergantungan pemerintah Kota Makassar terhadap
sumber-sumber dana bantuan dari pihak ekstern, baik dari pemerintah pusat
maupu dari pemerintah provinsi, dengan komponen bantuan terbesar adalah Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Penyesuaian.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun menunujukkan
angka rata-rata sebesar 15,39% dengan kemampuan keuangan yang tergolong
kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah Kota Makassar belum mampu
membiayai pengeluarannya sendiri. Pemerintah Kota Makassar masih bergantung
kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pengeluaran.
Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin daerah,
yang sering disebut juga dengan Rasio IKR (Indeks Kemampuan Rutin) rata-rata
hanya sebesar 24,99% dengan pola kemampuan keuangan yang masih berada
dalam interval 20,01% - 40,00% yang dinilai kurang. Artinya, PAD Kota
Makassar belum mampu membiayai belanja rutin yang dilakukan oleh pemerintah
kota.

2.2.

Landasan Teori

2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

Desentralisai fiskal merupakan konsekuensi logis dari diterapkan
kebijakan otonomi daerah. Prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah money
follow functions, artinya penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah
membawa

konsekuensi

anggaran

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan

kewenangan tersebut. Perimbangan keuangan dilakukan melalui mekanisme dana
perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna
menjalankan

fungsi-fungsi

pemerintahan

dalam

kerangka

desentralisasi.

(Ehtisham, 2002).
Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan
pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi
landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan
barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan
kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih
mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program
dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi
penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya
guna (Sumarsono dan Utomo, 2009:53).
Tiga variasi desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat
kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah yaitu (Bird dan
Vaillanccourt, 2000:4 dalam Y Sri Susilo, 2002) :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

1. Desentralisasi, yang berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam
lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau pemerintah
daerah.
2. Delegasi yang berhubungan dengan situasi, yaitu daerah bertindak sebagai
perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama
pemerintah.
3. Devolusi atau pelimpahan yang berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu
dikerjakan, berada di daerah.

2.2.2. Otonomi Daerah
2.2.2.1.Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah berpijak pada perundang-undangan yang kuat (Farida,
2011:342-343), yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar
Sebagaimana telah disebutkan, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).
amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

14

undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD
1945 pasca-amandemen mencantumkan permasalahan pemerintah daerah
dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh
undang-undang.
2. KetetapanMPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah
menyebutkan, pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam
UU No. 22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Akan tetapi, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah,

aturan baru

pun dibentuk

untuk

menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

Didalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, didalamnya tertuang
tentang otonomi daerah, yaitu hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini tuntutan terhadap daerah adalah bagaimana daerah tersebut mampu memenuhi
kebutuhan rumah tangga dan tuntutan warganya. Selain itu warga masyarakat juga
diharuskan membantu pemerintah daerahnya dengan berpartisipasi aktif dalam
usaha pengembangan dan peningkatan kondisi perekonomian daerah dengan cara
memaksimalkan peran mereka dan melakukan efektivitas terhadap potensi sumber
daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah memberikan wewenang
kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan didaerahnya
masing-masing sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, dan pemerintah pusat
akan membantu dan memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dlakukan
oleh daerah. (Soeparmoko, 2001 : 9)

2.2.2.2.Tujuan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut yang
menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai normatifikasi gagasangagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

menyelenggarakan pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus
memperhatikan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Sejalan dengan hal itu, Soepomo dalam Ladjin (2008) mengatakan bahwa
otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut
riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri dalam kadar Negara kesatuan. Tiap daerah
mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah
lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Martin dalam Paturusi (2009) mengemukakan bahwa tujuan utama
otonomi daerah pada era otonomi daerah telah tertuang dalam kebijakan
desentralisasi sejak tahun 1999, yakni:
a. Pembebasan pusat, meksudnya membebaskan pemerintah pusat dari bebanbeban tidak perlu mengenai urusan domestic sehingga ia berkesempatan
mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama sangat diharapkan
pemerintah pusat lebih mampu berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional
dari yang bersifat strategis.
b. Pemberdayaan lokal atau daerah. Alokasi kewenangan pemerintah pusat ke
daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu
sehingga kapasitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestic akan
semakin kuat.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah. Desentralisasi merupakan
simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini dengan
sendirinya mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah dan masyarakat
daerah.
Dalam Undang-undang Pasal 22 No.32 Tahun 2004 dalam menyelenggarakan
otonomi daerah, daerah mempunyai kewajiban :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilirtas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i.

menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j.

mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k. melestarikan lingkungan hidup;
l.

mengelola administasi kependudukan;

m. melestarikan nilai sosial budaya;

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

n. membentuk dan menerapkan peraturan pperundang-undangan sersuai dengan
kewenangannya, dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

2.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.2.3.1.Pengertian Dan Unsur-unsur APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu
rencana keuangan tahunan daerah yang memuat tentang rencana penerimaan,
rencana pengeluaran, serta rencana pembiayaan daerah selama satu tahun
anggaran.
Menurut Bastian (2006 : 189), APBD merupakan rencana pemda dalam
bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan
kesejahteraan publik.
Menurut Saragih (2003 : 122) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran
tertentu, umumnya satu tahun.
Unsur-unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut :
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi
biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya
yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan
dilaksanakan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran yang biasanya satu tahun.

2.2.3.2.Struktur APBD
Struktur APBD Berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negeri nomor 13
tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan
susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/2006 pasal 22 ayat 1 terdiri
dari 3 bagian, yaitu : pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1
dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja
langsung dan belanja tidak langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. (Permendagri 13/2006)

2.2.4. Pendapatan Asli Daerah
2.2.4.1.Definisi Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumbersumber daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Pendapatan Asli
Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya
kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang
diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD,semakin besar kontribusi
yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah
pusat.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 1, “Pendapatan Asli
Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli
digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai

pembangunan

dan

usaha-usaha

daerah

untuk

memperkecil

ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 6, “Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : a. Pajak daerah, b. Retribusi daerah, c. Hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, d. Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sah.”
Menurut Mardiasmo (2002 : 132), “Pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik
daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang sah.”
Menurut Halim (2004 : 67), “ Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan,
yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah.”

2.2.4.2.Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah
Menurut Halim (2007 : 96), kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan
menjadi empat pendapatan :
a. Pajak Daerah
Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah, yang
dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya disebut dengan pajak adalah
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan

yang

berlaku

yang

digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Menurut Mardiasmo (2009 ; 21), pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Menurut Siahaan (2010;64) pajak kabupaten atau kota yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

a.

Pajak Hotel
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20
dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.

b.

Pajak Restoran
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Sedangkan yang dimaksud dengan restoran adalah fasilitas penyedia makanan
dan atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah
makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/catering.

c.

Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Sedangkan
yang dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan,
permainan, dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

d.

Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Sedangkan
yang dimaksud dengan reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial
memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik
perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat,
dibaca, didengar, dirasakan, dan atau dinikmati oleh umum.
e.

Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik,
baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan
jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang
rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.

f.

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan mineral bukan logam dan batuan adalah mineral bukan
logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundangundangan di bidang mineral dan batu bara. Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan merupakan pengganti dari Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan
C yang semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Saat ini, sampai dengan diberlakukannya ketentuan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009, khususnya tentang Pajak Mineral Bukan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

Logam dan Batuan, pemerintah kabupaten/kota masih dimungkinkan untuk
memungut Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan
galian Golongan C sesuai dengan peraanturan perundang-undangan yang