PENERAPAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING) UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI SANTRI.

(1)

PENERAPAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING)

UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI SANTRI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

Khulaimata Zalfa 1107146

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014


(2)

PENERAPAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING)

UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI SANTRI

Oleh Khulaimata Zalfa

S.Psi UIN Maliki Malang, 2009

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling

© Khulaimata Zalfa 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

PENERAPAN KONSELING SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION-FOCUSED BRIEF COUNSELING)

UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI SANTRI

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH:

Pembimbing I

Prof. Dr. Syamsu Yusuf, LN., M.Pd. NIP. 195206201980021001

Pembimbing II

Dr. Tina Hayati Dahlan, S.Psi., M.Pd., Psikolog. NIP. 197204192009122002

Mengetahui

Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling

Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. NIP. 196005011986031004


(4)

ABSTRAK

Khulaimata Zalfa (2014). Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi

(Solution-Focused Brief Counseling) untuk Mengembangkan Resiliensi Santri. Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Latar belakang dilaksanakannya penelitian ini adalah adanya fenomena santri di Pondok Pesantren “X” Cilacap yang memiliki resiliensi yang rendah, artinya mereka memiliki kapasitas diri yang rendah dalam menghadapi, mengatasi dan memperkuat diri ketika mengalami kemalangan dan kesengsaraan hidup. Pentingnya santri mengembangkan kapasitas diri, dan padatnya kegiatan santri membuat pendekatan konseling singkat berfokus solusi diajukan dalam penelitian ini sebagai langkah responsif untuk mengembangkan resiliensi santri. Penelitian ini ditujukan untuk: (1) menghasilkan rumusan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri; dan (2) mengetahui efektivitas penerapan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain non-equivalent control grop design. Hasil penelitian menunjukkan konseling singkat berfokus solusi efektif untuk menggembangkan resiliensi.


(5)

ABSTRACT

Khulaimata Zalfa (2014) The Application of Solution-Focused Brief Counseling to Enhance Student’s Resilience. Postgraduate of Guidance and Counseling Department, Indonesia University of Education, Bandung.

Background of this research is based on the fact that a number of students at “X” Islamic Boarding School Cilacap has low resilience, it means that they have a low capacity to face, make out, and strengthening their selves when experiencing adversity. The importance of student’s capacity enhancement, and fullday student’s activity make Solution-Focused Brief Counseling approach been proposed. The purpose of this research is to find out the effectivity of solution-focused brief counseling to enhance student’s resilience. The method of this research is quasi-experimental with non-equivalent control group design. The result show that solution-focused brief counseling is effective to enhance resilience.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR JUDUL ……….. LEMBAR PERSETUJUAN... MOTTO ... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... LEMBAR PERNYATAAN... ABSTRAK... ABSTRACT ... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GRAFIK ……….

i ii iii iv vi ix x xi xii xiv xv xvi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian...

D. Manfaat Penelitian……….

1 6 7 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA PENERAPAN KONSELING SINGKAT

BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION FOCUSED BRIEF COUNSELING) UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI SANTRI

A. Konsep Resiliensi ... B. Konseling Singkat Berfokus Solusi sebagai Upaya Pengembangan

Resiliensi... C. Santri sebagai Remaja ... D. Rumusan Hipotetik Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk

Mengembangkan Resiliensi Santri ...

E. Kerangka Pemikiran ………

F. Hipotesis ………..

9 23 30 39 45 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian………..

B. Desain Penelitian………..

C. Metode Penelitian ………

D. Definisi Operasional ...

E. Instrumen penelitian ………...

F. Penyusunan Rumusan Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri ... G. Pengumpulan, Prosedur dan Pengolahan Data...

48 49 49 50 52 53 53


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Pelaksanaan Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri ….………... B. Efektifitas Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri ....………. C. Hasil Validasi Rumusan Hipotetik Program Konseling Singkat

Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri ...

D. Pembahasan ………

E. Keterbatasan Penelitian ……….. 60 63 68 76 84 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan... B. Rekomendasi...

85 85 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Masa remaja dikatakan sebagai masa transisi, yakni peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Menurut Santrock (2003:24) transisi pada remaja terlihat dari hal-hal seperti lebih bermasalah, kurang bersikap hormat, lebih berfokus pada dirinya sendiri, lebih bersikap agresif, dan lebih berani mengambil resiko. Selanjutnya Santrock juga mengungkapkan bahwa sebagian remaja mampu mengatasi transisi tersebut dengan baik, namun sebagian lainnya bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial sehingga remaja tidak mampu melalui masa transisi dengan baik. Gambaran atas penurunan ini antara lain terlihat dari peningkatan jumlah pernikahan melalui Dispensasi Kawin karena seks pra-nikah (Tribun Jogja Interaktif, 2013), peningkatan jumlah kehamilan pada remaja putri (Subakti, 2013), dan bahkan peningkatan kasus bunuh diri pada remaja (Fitriyani, 2013).

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan ketidakmampuan remaja melalui masa transisi. Dalam kajian psikologi, kemampuan psikologis individu ketika menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan ini disebut dengan resiliensi (Masten, 2001). Kebutuhan hubungan yang aman, dukungan cinta dan kepercayaan diri, serta keyakinan pada diri dan dunia mereka sendiri, semua hal itu membangun resiliensi (Grotberg, 2005). Salah satu upaya membangun resiliensi adalah melalui pendidikan pondok pesantren. Sebab di pendidikan Pondok Pesantren, santri dididik untuk memiliki spiritualitas yang baik dan kemudahan memperoleh dukungan sosial melalui teman-teman sebaya yang bersama-sama menempuh pendidikan pesantren. Sebagaimana diungkapkan oleh Hendriyani (2012) bahwa berbagai penelitian tentang resiliensi pada anak, remaja, maupun dewasa menunjukkan adanya hubungan yang positif antara spiritualitas, dukungan sosial, modal/sumberdaya sosial, pendapatan, dan trait personal atau keluarga (misal: ketahanan, koherensi,


(9)

kompetensi sosial, self-efficacy, attachment yang normal/aman, atribusi sehat, dan koping), dengan resistensi terhadap faktor-faktor risiko serta berbagai efeknya termasuk perilaku maladaptif.

Kenyataan menujukkan, di Pondok Pesantren nampak fenomena yang mencerminkan rendahnya resiliensi. Misalnya fenomena yang diungkap Suaramerdeka.com pada Januari 2013 tentang adanya santri remaja yang ditemukan bunuh diri karena nilai ujiannya yang jeblok. Kemudian juga diungkapkan solopos.com tentang santri remaja putri yang bunuh diri diduga dikarenakan masalah percintaan. Fenomena-fenomena tersebut berseberangan dengan kondisi yang seharusnya diciptakan oleh resiliensi santri di lingkungan Pondok Pesantren.

Keprihatinan terhadap fenomena yang terjadi pada santri juga dirasakan

oleh pengasuh pondok pesantren “X” di kabupaten Cilacap. Berdasarkan penuturan penanggungjawab Bimbingan dan Konseling di Pondok Pesantren tersebut, pada tahun 2013 saja terhitung telah tujuh santri dikeluarkan dari pondok pesantren dikarenakan dianggap telah tidak mampu beradaptasi dengan peraturan pondok pesantren, ketujuh santri memiliki kesamaan kasus yakni melanggar peraturan pondok pesantren untuk tidak keluar tanpa ijin dan juga peraturan pondok pesantren mengenai hubungan dengan lawan jenis. Pada waktu yang berbeda santri- santri tersebut keluar dari Pondok Pesantren tanpa ijin untuk pergi ke warung internet (warnet) atau tempat lain seperti stasiun dan kantor pos yang sepi untuk menemui lawan jenis yang bukan mahram dan melakukan perilaku yang menjurus pada seks pra-nikah, yaitu berpelukan dan berciuman. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencatat tiga kasus yang berujung dikeluarkannya santri dari Pondok Pesantren dalam kurun waktu satu tahun.

Pada dasarnya setiap individu telah memiliki resiliensi sebagai sumber potensi, sehingga penelitian ini lebih ditujukan pada pengembangan resiliensi individu. Santri Pondok Pesantren “X”yang menjadi subjek dalam penelitian ini merupakan santri dari sebuah Pondok Pesantren terbesar di Kabupaten Cilacap. Pondok pesantren ini memiliki jadwal kegiatan yang begitu padat


(10)

sejak bangun tidur di waktu subuh sampai berakhirnya kegiatan pukul 23.00 malam. Di satu sisi Pondok Pesantren memiliki banyak program demi mampu mengantarkan santri menjadi remaja yang prestasi akademiknya bagus, juga memiliki kehidupan religius yang baik, namun di sisi lain menempatkan santri pada kegiatan yang padat dan meningkatkan resiko yang berasal dari tingginya tekanan dan berbagai tantangan yang muncul baik dari kehidupan sosial, akademik maupun pribadinya.

Harapan terhadap santri juga tidak lepas dari kebesaran nama Pondok Pesantren ini sendiri. Nama “X” merupakan nama yang diambil dari salah satu karya seorang ulama yang sangat diidolakan oleh Pengasuh, yaitu Imam Ghozali. Baik melalui pengajian maupun kegiatan lain yang disampaikan di berbagai kesempatan, Pengasuh Pondok Pesantren “X” menyampaikan kepada santri mengenai rasa kagumnya kepada Imam Ghozali juga harapan bahwa santri-santrinya dapat mengikuti jejak Imam Ghozali dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk ketika Imam Ghozali menunjukkan resiliensi yang tinggi dengan mampu melaui kondisi merugikan seperti kemiskinan, dan tidak memiliki orang tua dengan tetap berprestasi (Masyhudi, 2010).

Pondok Pesantren yang menampung 421 santri ini sebagian besar santrinya adalah remaja, hanya sekitar 10% yang telah memasuki usia dewasa. Berdasarkan studi pendahuluan yang merujuk pada skala yang dikembangkan oleh Masten (2001) tentang perstiwa kehidupan yang menimbulkan tekanan. Dilakukan terhadap sampel acak, diperoleh data bahwa persentase terbesar yakni 38% santri mengaku keluarganya mengalami masalah keuangan, selanjutnya 36% santri mengalami adanya kematian anggota keluarganya, 19% pindah tempat tinggal, dan dalam prosentase kecil sisanya mengalami atau anggota keluarganya yang mengalami kecelakaan dan penyakit serius, keluarganya pindah tempat tinggal, orang tuanya berganti pekerjaan dan adanya pertengkaran orang tua. Hasil dari studi pendahuluan tersebut menunjukkan adanya 36% santri yang berada pada level ketidakberuntungan yang tinggi, sedangkan sisanya pada level sedang dan rendah. Kelompok inilah yang akan menjadi sasaran peneliti untuk dikembangkan resiliensinya.


(11)

Gambaran umum resiliensi santri diperoleh bahwa sebagian besar santri berada pada kategori sedang, yang artinya santri sebagian besar (85%) memiliki kapasitas yang cukup yang membuat santri tersebut mampu bertahan menghadapi suatu kondisi atau keadaan yang merugikan atau menyengsarakan. Sedangkan sebagian kecil sebesar 10% dan 5% pada kategori tinggi dan rendah. Kategori tinggi artinya santri memiliki kapasitas yang memadai membuat santri tersebut mampu bertahan menghadapi suatu kondisi atau keadaan yang merugikan atau menyengsarakan, sedangkan untuk kategori rendah, pada kondisi serupa kapasitas santri tidak cukup untuk menghadapi kondisi merugikan tersebut. Resiliensi yang rendah membuat santri beresiko mengalami depresi, gangguan kesehatan dan gangguan mental kala kondisi tersebut dihadapkan. Berdasarkan temuan ini, maka santri dengan kategori rendah memerlukan bantuan berupa konseling dengan tujuan pengembangan resiliensi. Gambaran santri yang memiliki kategori rendah disajikan dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Indikator Santri dengan Resiliensi Kategori Rendah

Re

sil

iensi

Kate

gor

i Re

n

d

ah

Aspek Indikator

I have • Santri merasa tidak memiliki

hubungan yang dilandasi kepercayaan.

• Santri merasa tidak memiliki struktur dan aturan yang jelas.

• Santri merasa tidak memiliki peran teladan di sekitarnya.

• Santri merasa tidak mendapatkan dorongan untuk mandiri.

I am • Santri merasa tidak menarik dan tidak

disayangi.

• Santri merasa tidak menyayangi orang lain, juga tidak empatik.

• Santri merasa tidak bangga pada dirinya sendiri .

• Santri merasa bergantung pada orang lain.


(12)

I can • Santri merasa tidak mampu mengkomunikasikan keinginan, kemauan dan perasaannya kepada orang lain.

• Santri merasa tidak mampu menyelesaikan masalah.

• Santri merasa tidak mampu menata perasaan dan keinginannya.

• Santri merasa tidak mampu mengukur perasaan dirinya dan orang lain.

• Santri merasa tidak mampu mencari hubungan yang penuh kepercayaan.

Di beberapa Pondok Pesantren belum terdapat Bimbingan dan Konseling (BK) secara institusional. Begitu pula kondisi di Pondok Pesantren “X”ini, selama ini fungsi BK dijalankan oleh penanggungjawab BK merangkap dewan keamanan dengan menerapkan upaya penanganan. Berdasarkan pengakuan santri, ketika terdapat keluhan dari santri disampaikan kepada pengasuh. Penyampaian keluhan tersebut juga lebih banyak disampaikan secara tidak langsung melalui pengurus pondok pesantren, atau melalui orang tua santri. Meskipun para pengasuh tidak pernah melarang santri untuk menyampaikan apapun keluhan mereka, rasa segan dan malu diakui menjadi penyebab yang membuat mereka enggan untuk menyampaikan secara langsung. Kenyataan ini mendukung asumsi bahwa upaya responsif terhadap pemetaan resiliensi akan memberikan manfaat terhadap santri, karena upaya ini akan membuat santri tangguh dengan mengandalkan resiliensi mereka sendiri. Untuk mengembangkan resiliensi, diperlukan sebuah teknik yang singkat dengan hasil yang tepat. Hal ini berkenaan dengan padatnya aktivitas santri, baik itu di dalam maupun di luar pondok pesantren. Kepadatan aktivitas tersebut membutuhkan konseling yang efisien dari segi waktu, agar aktivitas tidak berlarut larut terganggu. Oleh karenanya, dalam penelitian ini peneliti berasumsi bahwa konseling yang tepat untuk meningkatkan resiliensi santri adalah konseling singkat berfokus solusi.


(13)

Konseling singkat berfokus solusi menitikberatkan pada percakapan solusi dan langsung mengarah pada langkah apa yang akaan dilakukan konseli di kemudian hari dengan permasalahan yang melekat dalam hidupnya, sehingga sesi menjadi ringkas dan singkat. Konseling ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu itu ulet, banyak akal, cakap dan memiliki kemampuan untuk mengkonstruk solusi yang dapat mengubah kehidupan mereka (Corey, 2009: 378).

Dalam konseling singkat berfokus solusi, konseli diajak untuk memfokuskan diri pada solusi, tidak banyak waktu dihabiskan untuk membicarakan permasalahan dan penyebab permasalahan. Meskipun permasalahan perlu diketahui, namun tujuan sesi konseling diarahkan pada identifikasi solusi permasalahan tersebut, sehingga sesi konseling tidak banyak digunakan untuk mengungkap latar belakang penyebab permasalahan tersebut

Sementara mengani resiliensi, berbagai penelitian mengenai resiliensi banyak dilakukan, misalnya terkait dengan eratnya konsep konteks yang dihadapi pada pembahasan resiliensi. Henley (2010) mengkaji pengembangan asesmen resiliensi untuk mengukur efektivitas layanan-layanan yang ditawarkan organisasi-organisasi pada konteks budaya yang beragam dalam meningkatkan kompetensi kaum muda dalam mengatur dan menyesuaikan diri pada ketidakberuntungan yang mereka alami. Temuan Henley menyatakan bahwa organisasi-organisasi memberikan layanan-layanan psikososial membantu memperkuat kompetensi kaum muda yang rentan, yang kemudian dapat membantu meningkatkan resiliensi dalam keluarga, tetangga dan komunitas.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Setiap santri memiliki potensi yang bersumber dari dirinya sendiri. Dengan mengembangkaan potensi ini santri akan tercegah dari penyimpangan perilaku yang muncul di kemudian hari yang mungkin disebabkan oleh kurangnya kemampuan psikologis santri untuk menghadapi kondisi yang mergikan. Kemampuan psikologis inilah yang disebut dengan resiliensi.


(14)

Santri Pondok Pesantren “X” memiliki kegiatan yang padat, yaitu akumulasi dari kegiatan sekolahnya di luar pondok pesantren, dan kegiatan yang dikembangkan oleh pondok pesantren sendiri. Di pondok pesantren, santri juga dituntut untuk dapat hidup bersama dengan ratusan santri lain, juga tanpa didampingi oleh orang tua, serta dengan keterbatasan akses keluar pondok pesantren. Di sinilah tantangan besar santri perlu diimbangi oleh resiliensi yang kuat.

Kebutuhan hubungan yang aman, dukungan cinta dan kepercayaan diri, serta keyakinan pada diri dan dunia santri sendiri, semua hal itu membangun resiliensi (Grotberg, 2005). Dalam rangka meningkatkan resiliensi melalui keyakinan terhadap diri sendiri dan dunia santri sendiri, penelitian ini mengajukan konseling singkat berfokus solusi (solution-focused brief cunseling). Sebab Konseling singkat berfokus solusi ini memiliki asumsi dasar bahwa setiap individu itu ulet, banyak akal, cakap dan memiliki kemampuan untuk mengkonstruk solusi yang dapat mengubah kehidupan mereka (Corey, 2009: 378).

Berdasarkan pemaparan di atas maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk rumusan konseling singkat berfokus solusi untuk Mengembangkan resiliensi santri?

2. Apakah penerapan konseling singkat berfokus solusi efektif untuk mengembangkan resiliensi santri?

3. Bagaimana bentuk rumusan hipotetik program konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini sebagai berikut:

1. Menghasilkan rumusan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri.

2. Mengetahui efektivitas konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri.


(15)

3. Menghasilkan rumusan program hipotetik konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Penanggungjawab Bimbingan dan Konseling di Pondok Pesantren

“X”.

Sebagai penelitian di bidang Bimbingan dan Konseling, penelitian ini diharapkan juga mendatangkan manfaat bagi Penanggungjawab Bimbingan dan Konseling di Pondok Pesantren “X”. Manfaat tersebut sebagai berikut:

a. Penanggungjawab Bimbingan dan konseling di Pondok Pesantren

“X”menambah pengetahuan mengenai resiliensi dan upaya responsif terhadap temuan adanya santri dengan resiliensi yang rendah.

b. Penanggungjawab Bimbingan dan konseling di Pondok Pesantren “X” dapat melakukan praktik konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri.

2. Bagi Pengasuh Pondok Pesantren

Penelitian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren “X” diharapkan juga akan mendatangkan manfaat jangka panjang bagi pengembangan Pondok Pesantren yakni Pondok Pesantren memiliki layanan responsif terhadap santri berupa penerapan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai penelitian di bidang Bimbingan dan Konseling, penelitian ini diharapkan juga mendatangkan manfaat bagi peneliti selanjutnya. Manfaat tersebut adalah penambahan pustaka penelitian Bimbingan dan Konseling yang mengangkat tema layanan responsif melalui pengembangan resiliensi melalui konseling singkat berfokus solusi.


(16)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren “X” yang terletak di Jl Raya Kesugihan, Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap.

Pondok Pesantren “X” ini merupakan Pondok Pesantren yang memiliki santri terbanyak di Kabupaten Cilacap, yakni sebanyak 421 santri. Beberapa Pondok Pesantren di Cilacap menjadikan pola pengembangan santri yang diberlakukan di Pondok Pesantren Al Ihya sebagai model. Kegiatan di Pondok Pesantren diadakan dengan harapan anaknya akan menjadi anak yang baik di bidang akademik, sosial maupun bidang kehidupan religius. Oleh karena harapan yang kompleks tersebut, pondok pesantren ini memiliki rangkaian kegiatan yang sangat padat bagi santri, yakni sejak bangun tidur sebelum subuh pada sekitar pukul 04.00 sampai menjelang tidur pada pukul 23.00. Tidak hanya kegiatan yang padat, mereka juga tidak bebas keluar pesantren. Hampir semua kegiatan dilakukan di lingkungan pondok pesantren dan dilakukan bersama-sama dengan ratusan santri lain selama 24 jam. Di Pondok Pesantren, mereka juga tidak didampingi oleh orang tua, melainkan hanya dibina oleh Dewan Kyai. Kegiatan yang padat dan kehidupan bersama di Pondok Pesantren tanpa pendampingan orang tua ini meningkatkan resiko munculnya tantangan santri di berbagai bidang kehidupan. Oleh karenanya santri memerlukan kemampuan pertahanan psikologis yang bersumber dari dirinya sendiri, inilah yang dinamakan resiliensi.

Subjek penelitian adalah santri Angkatan 2013 di Pondok Pesantren “X” Cilacap. Populasi santri angkatan 2013 berjumlah 112 santri. Penelitian ini mengambil sampel dengan metode purpossive, artinya sampel dalam penelitian ini telah ditentukan kriterianya, yaitu santri yang resiliensinya berada pada kategori rendah. Berdasarkan studi pendahuluan,


(17)

santri yang termasuk kategori resiliensi rendah berjumlah enam santri. Enam orang santri tersebut kemudian mengikuti sesi konseling singkat berfokus solusi sebagai kelompok eksperimen. Sedangkan kelompok kontrol beranggotakan enam orang santri yang berada pada kategori sedang dengan peringkat skor enam terrendah.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain non-equivalent control group design, sebab dalam penelitian ini sampel tidak diambil secara random (Sugiyono, 2011: 116). Desain ini digambarkan pada Tabel 3.1.

Table 3.1 Desain Penelitian

Pretest Treatment Posttest

O1 X O2

O3 O4

O1 dan O3 merupakan tingkat resiliensi sebelum diberikan treatment konseling singkat berfokus solusi. O2 adalah tingkat resiliensi santri setelah diberikan treatment konseling singkat berfokus solusi, dan O4 adalah tingkat resiliensi santri yang tidak diberikan treatment.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Penggunaan kuantitatif digunakan agar penelitian ini menghasilkan data mengenai resiliensi santri dan penggunaan konseling singkat berfokus solusi yang dapat dideskripsikan secara empirik. Sedangkan pemilihan metode kuasi eksperimen menggunakan pertimbangan bahwa penelitian ini menggunakan treatment konseling singkat berfokus solusi dan mengukur pengaruhnya terhadap subjek penelitian, sebagaimana dikatakan oleh


(18)

Sugiono (2010) mengenai metode penelitian eksperimen bahwa penelitian eksperimen dapat dikatakan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Sebagai perlakuan diberikan konseling singkat berfokus solusi. Konseling singkat berfokus solusi dilakukan dalam lima sesi, yang terdiri atas satu pertemuan prakelompok dan tiga pertemuan sesi konseling (termasuk penghentian), ditambah dengan sesi tindak lanjut dengan durasi 90-120 menit per pertemuan. Pertemuan sesi konseling dilakukan satu kali setiap minggu, kecuali sesi tindak lanjut yang dilakukan tiga minggu setelah sesi keempat.

D. Definisi Operasional

Terdapat dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, Variabel terikatnya adalah resiliensi, sedangkan variabel bebasnya adalah konseling singkat berfokus solusi. Definisi operasional kedua variabel tersebut dipaparkan sebagai berikut.

1. Resiliensi

Definisi operasional resiliensi mengacu pada konsep resiliensi yang dikemukakan oleh Grotberg (2005). Dalam penelitian ini, secara operasional resiliensi dapat didefinisikan sebagai kapasitas dalam diri santri Pondok Pesantren “X” yang membuatnya mampu bertahan menghadapi suatu kondisi atau keadaan yang merugikan atau menyengsarakan.

Indikator yang digunakan untuk mengukur aspek-aspek resiliensi berasal dari sumber-sumber resiliensi sebagai berikut:

a. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan,


(19)

mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.

b. I Have

Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah memberi semangat agar mandiri, dimana individu baik yang independen maupun yang masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.

c. I Can

Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan

untuk memukul, „kabur‟, me/rusak barang, atau melakukan

berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

2. Konseling Singkat Berfokus Solusi

Secara operasional, konseling singkat berfokus solusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bantuan yang diberikan oleh guru BK kepada santri Pondok Pesantren “X” secara berkelompok dengan menggunakan pendekatan yang menjadikan santri sebagai pusat dari sesi yang akan menentukan solusi atas permasalahan yang mereka kemukakan, dan memberikan sedikit perhatian untuk diagnosis, sejarah masalah, atau eksplorasi masalah.


(20)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data menggunakan skala resiliensi yang diperoleh dari indikator-indikator berdasarkan faktor-faktor yang menjadi sumber resiliensi.

Jenis penskalaan yang digunakan pada penelitian ini adalah penskalaan Likert. Menurut Azwar (2007a:97) skala sikap model Likert berisi pernyataan-pernyataan sikap (attitude statement), yaitu suatu pernyataan mengenai obyek sikap. Pernyataan sikap terdiri atas dua macam, yaitu pernyataan yang favourable (mendukung atau memihak pada objek sikap) dan pernyataan yang tidak-favourable (tidak mendukung objek sikap).

Subjek diminta untuk menyatakan kesesuaian atau ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan. Setiap butir akan diberikan empat pilihan respon, yakni sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Untuk pernyataan favourable penilaian bergerak dari angka 4 sampai 1, dan untuk pernyataan unfavourable penilaian bergerak dari angka 1 sampai 4, dengan perincian sebagaimana tergambar pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Skor untuk Jawaban Pernyataan

No Respon

Skor

Favourable Unfavourable

1 Sangat Sesuai (SS) 4 1

2 Sesuai (S) 3 2

3 Tidak Sesuai (TS) 2 3


(21)

F. Penyusunan Rumusan Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri

Rumusan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri disusun berdasarkan model konseling singkat berfokus solusi milik Dr. Tina Hayati Dahlan, S.Psi, M.Pd, psikolog., yang dimodifikasi sesuai dengan deskripsi kebutuhan santri, dan disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini melakukan intervensi pengembangan resiliensi melalui konseling singkat berfokus solusi. Layanan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri tersebut kemudian dikembangkan menjadi program konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri yang validitasnya telah teruji melalui expert judgement. Expert judgement dilakukan oleh dua orang pakar bimbingan dan konseling yaitu Dr. Hj. Nani M. Sugandhi, M.Pd., dan Dr. Ipah Saripah, M.Pd., serta seorang praktisi Bimbingan dan Konseling, yaitu Neneng Nurjannah, M.Pd., Kons.

G. Pengumpulan, Prosedur, dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian skala resiliensi dan format-format lain yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan proses konseling.

Skala resiliensi dibuat berdasarkan konsep resiliensi dan menggunakan tiga aspek-aspek resiliensi sebagai acuan subaspek-subaspek yang kemudian diturunkan menjadi butir-butir skala.

a. Pengembangan Instrumen Penelitian

Pengembangan instrumen terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut:

1) Menyusun kisi-kisi intrumen

Instrumen yang dikembangkan bertujuan untuk mengukur resiliensi santri. Tahapan yang dilakukan dalam penyusunan kisi-kisi instrumen sebagai berikut:


(22)

a. Menguraikan masing-masing aspek dan sub aspek ke dalam kisi-kisi instrumen dapat dilihat dalam Tabel 3.3.

b. Menyusun butir-butir pernyataan berdasarkan kisi-kisi instrumen.

2) Melakukan uji validitas a) Uji keterbacaan

Uji keterbacaan dilakukan untuk menguji validitas eksternal instrumen dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan dalam instrumen penelitian dapat dipahami serta telah dapat menggambarkan resiliensi.

Tabel 3.3

Kisi-kisi Instrumen Resiliensi Santri

Resiliensi

Aspek Sub aspek Sebaran Jml

I have

1.1 hubungan kepercayaan 2,63,58,26,50,42 6 1.2 struktur dan aturan di

rumah 30,4,48,60,66,55 6

1.3 peran teladan 32,75,13,69,25,62 6 1.4 dorongan untuk

mandiri 21,38,52,67 4

I am

2.1 menarik dan disayangi 40,51,59,64,9,43 6 2.2 menyayani, empatik

dan altruistik. 20,35,54,68,28,44 6 2.3 bangga pada diri

sendiri 24,31,47,53,8,15 6 2.4 mandiri dan

bertanggungjawab 57,17,49,61,70,5 6

I can

3.1 berkomunikasi 10,71,65,22,36,56 6 3.2 menyelesaikan


(23)

3.3 menata perasaan dan

keinginan 19,29,37,41,6 5 3.4 memperkirakan

keinginan saya dan orang lain

73,3,11,23,34,74 6

3.5 mencari hubungan yan

penuh kepercayaan 7,16,27,18,45,1 6

Jumlah 75

. b) Uji validitas

Validitas menurut Arikunto (2006: 168) adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu suatu instrumen. Uji validitas dilakukan melalui dua tahapan sebagai berikut:

Pertama, judgement instrumen kepada pakar testing psikologi, dan pakar Bimbingan dan Konseling, yaitu: Dr. Ipah Saripah yang menekankan penggunaan redaksi yang mudah dipahami tidak ambigu; Dr. Yulia Sholihatun, yang menekankan pemahaman konsep resiliensi; serta Fitri Sukmawati, M.Psi yang memperhatikan kedalaman instrumen mengungkap konstruk resiliensi. Judgement instrumen menghasilkan 12 butir dari skala resiliensi dinyatakan dibuang sebagaimana tersaji dalam Tabel 3.4.

Kedua, uji coba lapangan. Uji coba dilakukan terhadap 112 santri angkatan 2013. Untuk menguji validitas, digunakan teknik korelasi product moment dari Pearson, yaitu dengan cara mengkorelasikan tiap butir dengan skor totalnya (Winarsunu, 2002:74).

Berdasarkan uji validitas, maka butir-butir yang dinyatakan valid berjumlah 39 butir dan yang gugur


(24)

berjumlah 24 butir dari skala resiliensi. Rincian butir yang valid dan gurur disajikan pada Tabel 3.4.

3) Melakukan Uji Reliabilitas

Pedoman untuk menentukan validitas butir adalah dengan menggunakan standar rhitung > rtabel, sehingga

abutir-abutir yang memiliki r ≤ r tabel dinyatakan gugur. Uji validitas ini dilakukan dengan bantuan komputer SPSS (statistical program for social science) versi 16.0 for windows.

Tabel 3.4

Hasil Uji Instrumen Skala Resiliensi Santri

Sub Aspek Valid Jumlah Gugur Jumlah

1.1 hubungan kepercayaan 42 1 2,63,58, 3

1.2 struktur dan aturan di rumah 30,4,48,66,55 5 60 1

1.3 peran teladan 69,25 2 32,62 2

1.4 dorongan untuk mandiri 38,52,67 3 21,67 2

2.1 menarik dan disayangi 64,43 2 9,40,51 2

2.2 menyayangi, empatik dan altruistic 20,35,28,44 4 0

2.3 bangga pada diri sendiri 24,53,8 3 31,47,15 3

2.4 mandiri dan bertanggungjawab 17,57,49,61, 4 70 1

3.1 berkomunikasi 10,71,22,56 4 36,65 2

3.2 menyelesaikan masalah 46,39,72 3 33,14 2

3.3 menata perasaan dan keinginan 19,29,6 3 41 1

3.4 memperkirakan keinginan saya dan orang

lain 11,23,74 3 34 1

3.5 mencari hubungan yang penuh

kepercayaan 7,18, 2 16,27,45,1 4


(25)

a) Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dpat dipercaya untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik split-half yang diterapkan dengan bantuan SPSS (statistical program for social science) versi 16.0 for windows.

Kriteria kualifikasi normatif nilai koefisien reliabilitas ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Kriteria Nilai Koefisien Reliabilitas

Koefisien Kualifikasi

0.00-0.19 Sangat rendah

0.20-0.39 Rendah

0.40-0.59 Sedang

0.60-0.79 Tinggi

0.80-1.00 Sangat tinggi

Gulford (dalam Tresna,2008:88)

Hasil uji reliabilitas menunjukkan perolehan sebagaimana tersaji pada Tabel 3.6. Koefisien reliabilitas yang diperoleh dari uji reliabilitas skala resiliensi menunjukkan bahwa skala tersebut memiliki reliabilitas yang termasuk kualifikasi tinggi.


(26)

Tabel 3.6

Hasil Uji Reliabilitas Skala Resiliensi Skala Koefisien reliabilitas (α)

Resiliensi 0.772

2. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data a. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pretest tentang resiliensi santri. Berdasarkan data tersebut, subjek penelitian didapatkan berupa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, yaitu santri yeng memiliki resilensi yang rendah, kemudian terhadap kelompok eksperimen dilakukan intervensi, sedangkan terhadap kelompok kontrol tidak diberikan intervensi. dan terakhir dilakukan posttest terhadap dua kelompok tersebut.

b. Analisis data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui keberhasilan penerapan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri. Analisis data penelitian ditampilkan dalam bentuk hipotesis yang diuji dengan rumus uji tanda. Seperti diungkapkan oleh Furqon (2011: 236) bahwa uji tanda akan sangat baik dilakukan jika kedua sampelnya independen, skor datanya saling berhubungan dan data pada setiap pasangan terjadi karena pengaruh yang sama, sebaliknya pasangan lainnya karena kondisi yang berbeda. Pengujian hipotesis dilakukan terhadap perbedaan skor pretes dan posttest (skor gain) kelompok eksperimen dan kemompok kontrol yang kemudian dibandingkan untuk melihat apakah konseling singkat berfokus solusi tersebut lebih efektif untuk mengembangkan resiliensi santri.


(27)

Hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah bahwa konseling singkat berfokus solusi efektif untuk mengembangkan resiliensi santri angkatan 2013 Pondok Pesantren “X” Cilacap.


(28)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dipaparkan hasil penelitian yang meliputi: 1) deskripsi pelaksanaan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri, 2). Efektivitas penerapan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri, 3) Hasil validasi rumusan hipotetik program konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri, 4) pembahasan, dan 5) keterbatasan peelitian.

A. Deskripsi Pelaksanaan Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri

Deskripsi pelaksanaan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri dirinci berdasarkan tahap-tahapnya sebagai berikut:

a. Tahap I (identifikasi)

Tahap identifikasi dilakukan dengan pengisian skala resiliensi oleh

112 santri angkatan 2013 Pondok Pesantren “X”. Berdasarkan tahap identifikasi diperoleh enam santri yang termasuk dalam kategori resiliensi rendah. Enam santri tersebut mengikuti sesi-sesi selanjutnya, sedangkan yang lain tidak mengikuti sesi lagi.

b. Tahap II (pembentukan kelompok)

Tahap pembentukan kelompok dimulai dengan perkenalan antar angota kelompok secara berpasangan dan berbagi hal-hal positif tentang diri masing-masing anggota kelompok. Ketika diminta berbagi hal positif, awalnya beberapa anggota diam sejenak dan berpikir, bahkan bertanya tentang dirinya pada pasangannya. Setelah ditanyakan apakah sesungguhnya mereka telah mengenal diri sendiri, ternyata hampir semua menyatakan kurang mengenal drinya sendiri, bahkan menyatakan kekawatiran bahwa dirinya termasuk sombong ketika menceritakan kebaikan diri. Selanjutnya pada penetapan tema kelompok, anggota


(29)

kelompok berdiskusi dan berlatih menggunakan kalimat-kalimat positif. Sedangkan pada saat pengungkapan masalah, tidak ada yang mau memulai mengungkapkan masalah, sehingga guru BK menunjuk salah seorang untuk menceritakan masalahnya untuk memulai. Pengungkapan masalah mendapatkan empati dari anggota kelompok yang lain dengan menyatakan dukungannya. Namun saat anggota kelompok diminta untuk mengubah pernyataan dengan percakapan solusi, semua santri merasa kesulitan sehingga dibantu oleh santri lain. Bahkan satu orang belum berhasil mengubah percakapan masalah menjadi percakapan solusi.

Guru BK kemudian menjelaskan mengenai resiliensi dan menyampaikan profil resiliensi anggota kelompok. Melalui tayangan klip video dan penjelasan, guru BK memberikan ilustrasi perbedaan ciri orang yang memiliki resiliensi rendah dengan orang yang memiliki resiliensi tinggi. Kemudian guru BK meminta anggota kelopok mengisi jurnal mingguan .

Pada saat diminta menyebutkan kekuatan dan kelemahan diri dalam waktu singkat, anggota kelompok terlihat tersipu dan saling bertanya. Selama lima menit, rerata kekuatan yang disebutkan tidak sampai tiga butir, sedangkan rerata kelemahan yang disebutkan mencapai lima sampai enam butir. Simulasi pemahaman diri melalui penyebutan kekuatan dan kelemahan diri tersebut dilajutkan di luar sesi. Sebelum sesi ditutup, anggota kelompok diberikan miracle question untuk direnungkan di luar sesi dan diidentifikasi perasaan serta pikiran-pikirannya selama sesi berlangsung.

c. Tahap III (kerja)

Tahap III dilakukan pada sesi tiga dan empat. Diskusi kelompok membahas miracle question serta simulasi pemahaman diri yang telah diberikan pada tahap sebelumnya. Anggota kelompok menyatakan tidak mudah untuk memvisualisasikan kondisi yang diharapkan seperti yang diajukan miracle question.keajaiban benar dapat terjadi. Namun melalui diskusi kelompok, seorang anggota berhasil mengajukan solusi atas


(30)

masalah yang diperolehnya dari perenungan miracle question. Selanjutnya pada penayangan video klip Tae-ho dan Amar Bugis, diskusi kelompok membahas tentang resiliensi yang ditunjukkan oleh tokoh utama dalam video tersebut. Semua anggota menyatakan kagum dengan resiliensi dan pencapaian tokoh tersebut. Apa yang dilakukan oleh tokoh tersebut nyata dan bukan merupakan kemustahilan untuk dapat diikuti. Guru BK menggunakan exception question, scaling question, dan coping question untuk membantu santri lebih mengenal dirinya sehingga nantinya santri mampu mewujudkan kondisi pengecualian (exception) ketika menghadapi masalah yang diungkapkannya. Semua anggota kelompok mengakui pernah mengalami pengecualian terhadap masalah, berdasarkan pengalaman tersebut anggota diminta menganalisa kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pengecualian tersebut. Sedangkan pada saat diajukan coping question, hampir semuanya mampu mengungkapkan kekuatan diri yang dapat dijadikan sebagai jaminan untuk mampu mengatasi masalah, namun dua anggota kesulitan untuk menjawabnya, karena masih berfokus pada masalah dan penyebabnya. Melalui diskusi kelompok, anggota lain membantu dengan mengingatkan anggota pada kelebihan yang diungkapkan pada awal sesi perkenalan mengenai hal-hal positif yang dimiliki anggota. Sedangkan ketika pengajuan scaling question, anggota mengaku mengalami peningkatan dengan rerata dua sampai tiga, peningkatan serupa juga terlihat pada jurnal yang diisi oleh anggota pada setiap sesi.

d. Tahap IV (tindak lanjut)

Tahap IV dilakukan pada sesi lima. Setiap anggota menyatakan telah berupaya melakukan perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seorangpun merasa memerlukasn konseling lanjutan dan merasa telah menjadi pribadi yang lebih baik. Beberapa hal yang diungkap anggota sebagai catatan berarti adalah latihan mengenal diri sendiri, pengecualian yang merupakan sisi lain masalah yang sering terlupakan dan percakapan solusi yang melatih diri untuk fokus pada tujuan.


(31)

B. Efektivitas Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri

Pengujian efektivitas penerapan konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri dilakukan dengan menggunakan statistik nonparametrik, yaitu dengan melakukan uji tanda berdasarkan data resiliensi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Uji hipotesis dilakukan dengan membandingkan selisih skor yang ditunjukkan oleh kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil dari uji tanda untuk menguji hipotesis penelitian tersaji dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1

Uji Tanda untuk Menguji Ho

Tanda Jumlah P Keterangan

Gain KE- Gain KK

Negative 0

0.031 Signifikan

Positive 6

Ties 0

Berdasarkan hasil uji tanda tersebut diperoleh P sebesar 0.031 pada taraf signifikansi α = 0.05. maka terbukti P < α

, sehingga dapat dinyatakan bahwa Ho

ditolak dan H1 diterima, atau lebih jelasnya dinyatakan terbukti bahwa konseling singkat berfokus solusi efektif untuk mengembangkan resiliensi santri.

Hasil pengujian hipotesis juga diperkuat dengan perbedaan peningkatan skor resiliensi antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang tergambar dalam Grafik 4.1.


(32)

Grafik 4.1

Peningkatan Skor Resiliensi Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Grafik 4.2 menunjukkan kelompok eksperimen memperlihatkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Pengujian efektivitas konseling singkat berfokus solusi juga dilakukan pada tiap aspek resiliensi. Temuan pada aspek I have disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2

Uji tanda pada aspek I have

Tanda Jumlah P Keterangan

Gain 1KE-Gain 1KK

Negative 0

0.031 Signifikan

Positive 6

Ties 0

-5 0 5 10 15 20

1 2 3 4 5 6

gainSRKK gainSRKE


(33)

Berdasarkan hasil uji tanda tersebut diperoleh P sebesar 0.031 pada taraf signifikansi α = 0.05, dengan begitu maka terbukti P < α, sehingga dapat dinyatakan bahwa konseling singkat berfokus solusi terbukti efektif mengembangkan aspek I have santri.

Gambaran perbandingan peningkatan skor resiliensi pada aspek I have antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada Grafik 4.2.

Grafik 4.2

Peningkatan skor resiliensi pada aspek I have

Berikutnya pada aspek I am juga dilakukan uji serupa yang menghasilkan temuan sebagaimana disajikan pada Tabel 4.3.

0 2 4 6 8 10 12 14

1 2 3 4 5 6

gain1KK gain1KE


(34)

Tabel 4.3

Uji Tanda pada Aspek I Am

Tanda Jumlah P Keterangan

Gain 2KE-Gain 2KK

Negative 1

0.219 Tidak

signifikan

Positive 5

Ties 0

Berdasarkan hasil uji tanda tersebut diperoleh P sebesar 0.219 pada taraf signifikansi α = 0.05, dengan begitu maka terbukti P > α, sehingga dapat dinyatakan bahwa konseling singkat berfokus solusi terbukti tidak efektif mengembangkan aspek I am santri.

Gambaran perbandingan peningkatan skor resiliensi pada aspek I am antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada Grafik 4.3.

Grafik 4.3

Peningkatan Skor Resiliensi pada Aspek I am

-4 -2 0 2 4 6 8

1 2 3 4 5 6

gain2KK gain2KE


(35)

Pada pengujian terakhir pada aspek I can, didapatkan hasil yang tersaji pada Tabel 4.4. Berdasarkan hasil uji tanda tersebut diperoleh P sebesar 0.5 pada taraf signifikansi α = 0.05, dengan begitu maka terbukti P > α, sehingga dapat dinyatakan bahwa konseling singkat berfokus solusi terbukti tidak efektif mengembangkan aspek I can santri.

Tabel 4.4

Uji Tanda pada Aspek I can

Tanda Jumlah P Keterangan

Gain 3KE-Gain 3KK

Negative 0

0.5 Tidak

signifikan

Positive 2

Ties 4

Gambaran perbandingan peningkatan skor resiliensi pada aspek I can antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan dalam Grafik 4.4.


(36)

Grafik 4.4

Peningkatan skor resiliensi pada aspek I can

C. Hasil Validasi Rumusan Hipotetik Program Konseling Singkat Berfokus Solusi Untuk Mengembangkan Resiliensi Santri

Secara sistematik rancangan program ini terdiri dari; (a) rasional, (b) deskripsi kebutuhan, (c) tujuan, (d) asumsi, (e) pendekatan intervensi, (f) teknik, (g) sasaran, (h) rencana operasional, (i) tahapan pelaksanaan konseling, (j) evaluasi.

Paparan program konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri sebagai berikut:

1. Rasional

Dalam kajian psikologi, kemampuan psikologis individu ketika menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan disebut dengan resiliensi (Masten, 2001). Pada sumber yang lain Werner (dalam

0 1 2 3 4 5

1 2 3 4 5 6

gain3KK gain3KE


(37)

Desmita, 2008:228) mengungkapkan bahwa Resilience can be defined as the capacity to spring back, rebound successfully adapt in the face of adversity, and develop social, academic and vocational competence despite exposure to severe stress or simply to the stress that is inherent in

todays world”. Senada dengan Werner, Grotberg (1995) juga

mengemukakan pendapatnya tentang resiliensi dengan mengatakan bahwa resilience is a universal capacity which allows a person, group or community to prevent, minimize or overcome the damaging effects of adversity.

Berbagai penelitian mengenai resiliensi banyak dilakukan, misalnya terkait dengan eratnya konsep konteks yang dihadapi pada pembahasan resiliensi. Henley (2010) mengkaji pengembangan asesmen resiliensi untuk mengukur efektivitas layanan-layanan yang ditawarkan organisasi-organisasi pada konteks budaya yang beragam dalam meningkatkan kompetensi kaum muda dalam mengatur dan menyesuaikan diri pada ketidakberuntungan yang mereka alami. Temuan Henley menyatakan bahwa organisasi-organisasi memberikan layanan-layanan psikososial membantu memperkuat kompetensi kaum muda yang rentan, yang kemudian dapat membantu meningkatkan resiliensi dalam keluarga, tetangga dan komunitas. Sedangkan di Indonesia, beberapa penelitian juga memberikan gambaran tentang resiliensi. Misalnya penelitian Emely Astuti Hutapea (2006) yang memberikan gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau tahun pertama perguruan tinggi di asrama Universitas Indonesia (UI). Penelitian tersebut menemukan adanya mahasiswa perantau tahun pertama yang berada pada kategori rendah sebanyak 18.05%, penelitian tersebut mengharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengembangkan resiliensi sebagai upaya bantuan pengembangan resiliensi bagi individu-individu yang reseliensinya rendah.

Begitu pula pentingnya resiliensi dimiliki oleh mereka yang sedang berstatus sebagai santri, yaitu yang sedang menempuh pendidikan


(38)

informal di pondok pesantren tanpa pendampingan orang tua. Tuntutan kehidupan di pesantren menuntut santri menjadi mandiri Untuk menyelesaikan tantangan kehidupan dengan kemampuannya, baik itu tantangan akademik, pribadi-sosial maupun karir. Dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan tersebut, resiliensi merupakan sumber daya bagi santri agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dalam menghadapi tantangan kehidupannya.

Kegiatan santri pondok pesantren “X” sangat padat, mulai dari bangun tidur di waktu subuh dengan kegiatan shalat berjamaah, hingga kegiatan diniyah malam yang berakhir pukul 23.00. Tidak hanya di pesantren, kegiatan santri juga meliputi kegiatan di sekolah. Di pesantren, santri hidup bersama dengan ratusan santri lain, berbagi fasilitas dan melakukan kegiatan bersama-sama. Kepadatan aktivitas, kehidupan bersama ratusan santri lain, dan tuntutan capaian prestasi meningkatkan kemungkinan tantangan kehidupan yang bermunculan sekaligus bagi seorang santri. Oleh karenanya santri memerlukan pengembangan resiliensi agar dapat mengimbangi tantangan kehidupannya.

Pandangan positif bahwa manusia memiliki potensi untuk menghadapi tantangan senada dengan pandangan yang mendasari konseling berfokus solusi seperti halnya yang diungkapkan Corey (2009: 378). Corey menyampaikan asumsi positif bahwa individu itu sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan untuk mengkonstruk solusi yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Sebagaimana Metcalf (dalam Corey, 2009:378) yang mengungkapkan bahwa esensi konseling singkat berfokus solusi adalah keterlibatannya dalam membentuk harapan dan optimisme konseli dengan menciptakan harapan bahwa perubahan itu mungkin, konseling tersebut merupakan pendekatan non-patologis yang lebih menekankan kompetensi daripada kekurangan, dan lebih pada kekuatan daripada kelemahan. Kekuatan dan kesehatan psikologis manusia inilah yang salah satunya berwujud resiliensi, sehingga asumsi


(39)

dasar yang sama tentang manusia antara konseling singkat berfokus solusi dan resiliensi membuat konseling ini diasumsikan tepat untuk mengembangkan resiliensi.

Hal lain yang mendasari digunakannya konseling singkat berfokus solusi adalah jumlah waktu yang digunakan oleh teknik ini sebagaimana yang terlihat dari namanya yakni singkat (brief). Singkatnya waktu konseling yang diusung oleh teknik ini diasumsikan tepat oleh peneliti untuk diterapkan bagi santri. Hal ini disebabkan padatnya kegiatan mereka, di dalam dan di luar pesantren.

Selain itu, teknik konseling ini akan menjadi bekal kemandirian santri, dimana ketiadaan orang tua di pesantren menuntut santri untuk lebih mandiri dalam mengatasi permasalahan yang dimilikinya.

2. Deskripsi Kebutuhan

Need assessment dilakukan oleh peneliti dengan melakukan pengukuran resiliensi melalui pengisian skala resiliensi. Pengukuran yang dilakukan terhadap 112 santri tersebut menghasilkan sebanyak 10% santri berada pada level tinggi, 85% sedang dan 5% sisanya rendah. Kelompok pada level rendah dan sedang inilah yang akan menjadi sasaran peneliti untuk dikembangkan resiliensinya. Secara ringkas hasil need assessment disajikan dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5

Gambaran Umum Resiliensi Santri

Kategori Frekuensi Persentase

Tinggi 11 10 %

Sedang 95 85 %

Rendah 6 5 %

3. Tujuan

Tujuan umum yang ingin dicapai melalui program konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri adalah


(40)

menghasilkan rumusan program konseling sebagai upaya membantu mengembangkan resiliensi santri.

Sedangkan tujuan khusus yaitu agar santri :

a. Memiliki kesadaran akan dimilikinya dukungan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang berasal dari luar individu. b. Memiliki kesadaran akan kekuatan dan kemampuan yang berasal

dari dalam diri individu.

c. Memiliki kesadaran akan kekuatan dan kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang.

Tujuan khusus program ini diselaraskan dengan target pencapaian program, yakni resiliensi. Tiga hal yang menjadi aspek resiliensi merupakan dasar bagi dirumuskannya tujuan khusus program, sehingga pencapaian tujuan program yang diperoleh dari evaluasi dapat terukur dengan baik. Penyelarasan ini merupakan masukan dari Dr Ipah Saripah, M.Pd.

4. Asumsi

a. Pada dasarnya resiliensi sudah dimiliki oleh setiap individu, maka upaya intervensi ditujukan untuk mengembangkan resiliensi individu.

b. Konseling singkat berfokus solusi merupakan teknik konseling yang memandang bahwa konseli merupakan pakar dari kehidupannya sendiri, hal ini membuat santri mengembangkan kompetensi yang sesungguhnya dimiliki, yakni kompetensi sebagai orang yang paling mengetahui keadaan diri sendiri serta apa yang dibutuhkan oleh dirinya.

c. Konseling singkat berfokus solusi mengutamakan konseling yang menggunakan waktu singkat, sehingga sesuai dengan kondisi santri yang memiliki kegiatan yang padat agar tidak terganggu kegiatannya.


(41)

5. Pendekatan Intervensi

Intervensi dalam program ini menggunakan pendekatan konseling kelompok dengan mengembangkan model konseling singkat berfokus solusi milik Dr Tina Hayati Dahlan, S. Psi, M.Pd, psikolog, yang dimodifikasi sesuai dengan deskripsi kebutuhan yang ditemukan dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan tujuan dari program ini yakni pengembangan resiliensi.

Konseling singkat berfokus solusi merupakan pendekatan yang menjadikan konseli menetapkan sendiri tujuan yang mereka harap akan dicapai, dan sedikit perhatian untuk diagnosis, sejarah permasalahan, atau eksplorasi masalah. Pemaparan ringkas mengenai konseling dan pendekatan konseling yang digunakan dirasakan sebagai hal yang penting sebagai masukan tersendiri oleh Dr. Nani M. Sugandi, M.Pd. dan Neneng Nur Jannah, M.Pd, Kons. Hal ini disebabkan sebelum program ini diterapkan, santri belum akrab dengan konseling, dan belum pernah mengenal pula pendekatan yang digunakan

6. Teknik

Teknik-teknik yang digunakan dalam konseling singkat berfokus solusi untuk mengembangkan resiliensi santri dapat dilihat pada rencana operasional yang disajikan pada Tabel 4.6.

7. Sasaran

Sasaran program adalah santri angkatan 2013 Pondok Pesantren

“X” Cilacap yang memiliki resiliensi pada kategori rendah berjumlah enam santri.

8. Rencana operasional (action plan)

Rincian rencana operasional penerapan konseling ditampilkan dalam Tabel 4.6.


(42)

Tabel 4.6

Rencana Operasional (Action Plan)

Program Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Mengembangkan Resiliensi Santri

No Tema Tujuan Topik dan

materi layanan

Teknik Media dan sumber

bahan

Alokasi waktu

1

Pra-konseling

Guru BK mengetahui tingkat resiliensi santri

Pengukuran tingkat resiliensi Pengisian skala resiliensi Skala resiliensi 60 menit

2 Pembentukan kelompok dan penentuan tema serta tujuan Santri mengetahui tentang gambaran resiliensi dan aspek-aspeknya Apa itu resiliensi ? Perubahan pra-konseling; goal-seting question; pemberian homework; Laptop, white board, spidol, kertas folio, bolpoin 60 menit

3 I am, I have,

I can

a. Santri menyadari adanya kekuatan yang berasal dari diri sendiri b. Santri menyadari

adanya kekuatan dan kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain

a. Simulasi Kekuatan Dan Kelemaha n Diri, b. Video Tae-ho Simulasi pemahaman diri, pemutaran video, exception question; scaling question Laptop, white board, spidol, kertas folio, bolpoin 90 menit

4 I am, I have,

I can

Santri menyadari adanya kekuatan dan dukungan yang berasal

dari luar diri

a. Video amar bugis b. Role-play Miracle question; pemutaran video; role-play; coping question; Laptop, white board, spidol 90 menit

5 Tindak lanjut Santri mampu

memaparkan kemajuan yang telah diperolehnya Pengisian skala resiliensi Pengisian skala resiliesi skala resiliensi 60 menit

9. Tahapan pelaksanaan konseling singkat berfokus solusi a. Tahap I (identifikasi)

Tahap I adalah tahap identifikasi yang dilakukan pada sesi pertama. Fokus utama tahap ini adalah identifikasi tingkat resiliensi santri untuk memperoleh gambaran umum dan menentukan sasaran konseling.


(43)

b. Tahap II (pembentukan kelompok)

Tahap II dilakukan pada sesi kedua. Fokusnya adalah pembentukan kelompok, penentuan tema, dan tujuan kelompok, serta pemahaman diri. Pemahaman diri yang dimaksud adalah pemahaman anggota kelompok terhadap apa yang sudah dilakukan anggota sebelum bergabung dengan konseling singkat berfokus solusi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan, serta kekuatan dan keteranpilan apa yang dibawa oleh anggota kelompok demi mencapai tujuan tersebut.

c. Tahap III (kerja)

Tahap kerja (working) dilakukan pada sesi ketiga dan keempat. Fokus pada tahap ini adalah pengembangan resiliensi melalui penggalian sumber-sumber resiliensi, yaitu I am, I have, dan I can.

d. Tahap IV (tindak lajut)

Tahap tindak lanjut dilakukan pada sesi kelima. Fokus tahap ini adalah peninjauan kemajuan konseli setelah melalui sesi-sesi konseling singkat berfokus solusi.

10. Evaluasi dan indikator keberhasilan

Evaluasi dilakukan melalui pengukuran hasil sesudah sesi konseling yang dibandingkan dengan pengukuran sebelum sesi konseling. Aspek-aspek yang menjadi indikator evaluasi hasil sebagai berikut:

a. Santri memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki dukungan dan kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang berasal dari luar diri.

b. Santri memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki kekuatan dan kemampuan yang berasal dari dalam diri.

c. Santri memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki kekuatan dan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain.


(44)

Di samping pengukuran hasil juga dilakukan evaluasi melalui proses konseling di setiap tahapannya sebagai berikut:

a. Keberhasilan tahap I (identifikasi) ditandai dengan pemahaman santri terhadap skala resiliensi sehingga pengisian sesuai dengan kondisi santri sebenarnya.

b. Keberhasilan tahap II (pembentukan kelompok) ditandai dengan: (1) kesungguha anggota kelompok dalam mengikuti kegiatan; (2) pemahaman santri tentang permasalahan yang ingin segera diatasi; (3) terbentuknya kelompok yang dinamis; serta (4) pemahaman santri tentang kekuatan da kelemahan diri.

c. Keberhasilan tahap III (working) ditandai dengan perubahan positif yang menandakan peningkatan resiliensi santri.

d. Keberhasilan tahap IV ditandai dengan peningkatan resiliensi santri.

D. Pembahasan

Gambaran umum profil resiliensi santri sebagimana terlihat pada menunjukkan bahwa sebagian besar santri dengan persentase sebanyak 85% berada pada kategori sedang, sedangkan pada kategori tinggi ditemukan hanya sebanyak 10% santri, dan pada kategori rendah sebanyak 5% santri.

Resiliensi yang berada pada kategori rendah merupakan fokus pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki resiliensi rendah berhak mendapatkan bantuan agar tidak berkembang menjadi kerentanan mengalami stress pada tahap perkembangan berikutnya. Conger dan koleganya (dalam Compas, et al, 1995: 273) telah melaporkan hubungan antara kesulitan ekonomi keluarga dan gejala distress psikologis pada remaja. Lebih lanjut Conger dan koleganya melaporkan bahwa stress ekonomi memiliki dampak langsung pada kualitas hubungan pernikahan orang tua, yang kemudian mengganggu hubungan anak-orang tua, mengarah paa meningkatnya distress remaja. Pada akhirnya, upaya intervensi terkontrol dapat menghasilkan bukti yang memperkuat faktor protektif tertentu atau proses yang dapat mengurangi kemungkinan akibat negatif perkembangan


(45)

remaja yang beresiko. Remaja beresiko inilah yang dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai remaja dengan resiliensi rendah, dan intervensi terkontrol dalam penelitian ini berupa konseling singkat berfokus solusi.

Pada penelitian ini, secara signifikan terbukti bahwa konseling singkat berfokus solusi dapat mengembangkan resiliensi santri. Pada kelompok eksperimen peningkatan resiliensi terlihat dengan jelas melalui peningkatan skor pada pengukuran posttes, peningkatan tersebut digambarkan dalam Grafik 4.5.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi santri dapat dikembangkan secara signifikan dengan menerapkan konseling singkat berfokus solusi. Hal ini merupakan pembuktian bahwa resiliensi sebagaimana dikatakan oleh Grotberg (2005) merupakan kapasitas seseorang untuk menghadapi, mengatasi dan memperkuat diri ketika menghadapi kemalangan dan kesengsaraan hidup. Kapasitas inilah yang secara tepat dikembangkan oleh konseling singkat berfokus solusi, sebab konseling tersebut memadang bahwa manusia itu kompeten dan memiliki kemampuan untuk membangun solusi yang dapat meningkatkan kehidupan mereka (Corey, 2009: 378). Oleh karenanya, kompetensi dan kemampuan tersebut didapatkan melalui pengembangan kapasitas diri.


(46)

Grafik 4.5

Peningkatan Resiliensi pada Kelompok Eksperimen

Setiap subjek pada kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan resiliensi. Peningkatan pada kelompok eksperimen ini berbeda dengan temuan yang didapatkan pada kelompok kontrol sebagaimana digambarkan dalam Grafik 4.6. Jika dibandingkan dengan peningkatan yang ditunjukkan pada kelompok eksperimen, kelompok kontrol memperlihatkan peningkatan yang lebih rendah yang ditunjukkan dengan tidak melonjaknya skor pada posttest.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

1 2 3 4 5 6

aspek1pre aspek1post


(47)

Grafik 4.6

Peningkatan Resiliensi pada Kelompok Kontrol

Pengembangan kapasitas diri ini juga sesuai dengan kondisi santri yang menghadapi kehidupannya di Pondok Pesantren secara mandiri. Mereka dipercaya untuk memenuhi kebutuhan, menyelesaikan masalah, dan menghadapi tekanan dengan mengandalkan kemampuan dan kompetensi diri. Kebutuhan hubungan yang aman, dukungan cinta dan kepercayaan diri, serta keyakinan pada diri dan dunia mereka sendiri, semua hal itu membangun resiliensi (Grotberg, 2005).

Pendekatan konseling singkat berfokus solusi yang digunakan untuk mengembangkan resiliensi ini dikatakan tepat sebab pengembangan resiliensi memerlukan kemampuan kognitif sehingga sesuai dengan teknik-teknik yang merupakan kekhasan konseling singkat berfokus solusi yang juga berorientasi pada kemampuan kognitif. Lebih lanjut dipaparkan melalui penjelasan

0 5 10 15 20 25 30 35 40

1 2 3 4 5 6

aspek1pre aspek1post


(48)

beberapa teknik yang digunakan pada tahapan kedua dan ketiga dan kesesuaiannya dengan resiliensi sebagai berikut:

1. Pertanyaan tentang perubahan pra-konseling, yaitu pertanyaan tentang perubahan positif yang telah dilakukan santri sebelum mengikuti konseling, pertanyaan ini diajukan pada tahap II sesi konseling. Hal ini dimaksudkan agar santri dapat lebih menggali potensi positif yang dimilikinya. Pertanyaan ini membuat santri mengakui bahwa pada beberapa kondisi konseli mampu melakukan perubahan positif, hanya saja fokus perhatian konseli selama ini lebih banyak diberikan pada kondisi yang menyulitkan santri untuk melakukan perubahan positif. Pertanyaan tentang perubahan pra-konseling merupakan awal dalam pendekatan konseling singkat berfokus solusi agar santri lebih menyadari potensi resiliensi yang dimilikinya.

2. Goal-setting question, yaitu pertanyaan tentang tujuan yang ingin dicapai santri. Pertanyaan ini membuat santri melatih kemampuan kognitifnya untuk berfokus pada tujuan yang ia tetapkan, sehingga meminimallisir kemungkinan terbaginya perhatian santri pada hal-hal di luar tujuan yang ingin dicapainya. Pertanyaan ini juga ditekankan untuk digunakan di luar sesi konseling. Pada sesi konseling, santri telah dilatih untuk fokus pada tujuan konseling, maka ketika di luar sesi konseling diharapkan santri juga mampu menetapkan tujuan-tujuan yang dapat membuat santri lebih melatih diri dalam kemampuan problem-solving, dan kemampuan problem-solving merupakan salah satu sub aspek dari aspek I can

3. Scaling question, yaitu pertanyaan tentang berapa bobot yang diberikan konseli terhadap sesuatu yang dialami atau dilakukannya. Pertanyaan ini melatih santri untuk mengukur diri dan perubahan yang telah dilakukannya. Scaling question mendukung goal-setting sehingga santri dapat memperkirakan ketercapaian tujuannya.

4. Exception question, yaitu pertanyaan tentang saat dimana santri diminta menganggap masalah itu bukanlah masalah, atau belum menjadi


(49)

masalah. Pertanyaan ini akan berfungsi dengan baik ketika diajukan untuk menanggapai pernyataan santri dalam suatu percakapan.

5. Miracle question, yaitu pertanyaan untuk mengajak santri

menggambarkan (mengimajinasikan) kondisi yang diinginkan santri ketika masalah berhasil diatasi. Miracle question menuntut kemampuan santri berpikir abstrak. Pada kenyataannya santri memerlukan pengulangan penjelasan mengenai miracle question. Pemanfaatan terhadap kalimat mutiara yang populer di kalangan remaja memudahkan penjelasan terhadap miracle question.

6. Coping question, yaitu pertanyaan tentang bagaimana santri

memanfaatkan potensi santri dalam mengatasi masalahnya. Pertanyaan ini membuat santri mengembangkan kemampuan kognitifnya untuk menggali potensi resiliensi yang dimiliki resiliensi untuk mengatasi masalahnya, baik itu yang berasal dari luar diri santri (aspek I have) berupa struktur dan aturan, peran teladan, hubungan kepercayaan, dan dorongan untuk mandiri; dari dalam diri santri (aspek I am) berupa bangga pada diri sendiri, merasa menarik dan disayangi, empatik, dan mandiri; serta dari kemampuan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (aspek I can) berupa berkomunikasi, menyelesaikan masalah, menata perasaan dan keinginan, memperkirakan keinginan diri dan orang lain, dan mencari hubungan yang penuh kepercayaan.

Pada sesi tindak lanjut, diungkapkan oleh santri bahwa sesi konseling membuat santri mendapatkan beberapa manfaat berikut:

1. Kemandirian, yang artinya segala sesuatu yang diungkapkan adalah apa yang ada di dalam diri konseli. Mulai dari sesuatu yang disebut masalah, tujuan konseling, hingga cara penyelesaian masalah diungkapkan sendiri oleh konseli.

2. Sisi lain masalah, artinya pada beberapa masalah yang diungkap oleh konseli, konseli telah mampu untuk memandang saat masalah-masalah tersebut bukan masalah.


(50)

3. Fokus pada tujuan, artinya konseli tidak lagi memberikan banyak porsi pikiran pada penyebab terjadinya masalah, atau siapa yang bertanggungjawab pada munculnya masalah, melainkan mengalihkan fokus pada apa yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah, dan apa yang dimiliki sebagai sumber daya untuk mendukung penyelesaian masalah.

Hal-hal yang diungkapkan oleh santri tersebut merupakan manfaat khas yang diperoleh dari konseling singkat berfokus solusi, sebagaimana diungkapkan oleh O’Connel (2010:553) bahwa konseling ini menekankan pada kompetensi, keterampilan dan kualitas yang bisa digunakan klien.

O’Connel (2010:555) meringkas perbandingan antara pendekatan berfokus

problem dan pendekatan berfokus solusi seperto tergambar pada Tabel 4.8. Kekhasan konseling singkat berfokus solusi tersebut telah membuat santri menjadi terlatih untuk menggunakan keterampilan diri dalam mencapai tujuan.

Tabel 4.8

Perbedaan Konseling Berfokus Problem dan Berfokus Solusi

Berfokus Problem Berfokus Solusi

Bagaimana saya bisa membantu anda Bagaimana anda tahu bahwa konseling itu bisa membantu?

Bisakah diceritakan problem anda Apa yang ingin anda ubah? Apakah problem itu gejala dari sesuatu

yang lebih dalam ?

Apakah kita telah mengklarifikasikan isu pokokyang ingin anda fokuskan? Bisakah diceritakan dengan lebih rinci

problem anda ?

Bisakah kita menemukan perkecualian pada masalah?

Bagaimana kita memahami problem itu ?

Bagaimana keadaan masa depan tanpa problem itu ?

Bagaimana klien melindungi dirinya? Bagaimana kita menggunakan kualitas dan keterampilan klien ?

Dengan cara apa relasi antara konselor dan klen menjadi menggambarkan relasi masa lalu ?

Bagaimana konslelor bisa bekerja sama dengan klien ?

Berapa banyak sesi yang kita butuhkan ?

Apakah kita telah cukup sampai tujuan ?


(51)

Pada detail temuan penelitian (Tabel 4.3 dan Tabel 4.4), terlihat bahwa konseling singkat berfokus solusi tidak meningkatkan aspek I am dan I can secara signifikan. Temuan tersebut menunjukkan kekhasan karakteristik remaja sebagaimana diungkapkan oleh Santrock (2006: 335) mengenai pemahaman diri remaja dan evaluasi diri remaja yang berbentuk dari rasa percaya diri (self esteem) dan konsep diri (self concept). Aspek I am dijabarkan menjadi subaspek-subaspek bahwa diri konseli:

1. Menarik dan disayangi

2. Menyayangi, empatik dan altruistik 3. Bangga pada diri sendiri

4. Mendiri dan bertanggungjawab

Sedangkan subaspek-subaspek I can adalah bahwa konseli merasa mampu: 1. Berkomunikasi

2. Menyelesaikan masalah

3. Menata perasaan dan keinginan

4. Memperkirakan keinginan saya dan orang lain

Sub aspek-sub aspek pada I am dan I can merupakan gambaran dari self esteem dan konsep diri santri terhadap dirinya. Di sisi lain, dalam membentuk pemahaman diri terdapat beberapa hal yang teritegrasi menjadi satu dalam diri sebagai berikut:

1. Abstrak dan idealistik 2. Terdiferensiasi

3. Kontradiksi dalam diri 4. Fluktuasi diri

5. Pembentukan dari diri yang ideal dan nyata, diri yang asli dan yang palsu. 6. Perbandingan sosial

7. Kesadaran diri 8. Perlindungan diri


(52)

9. Pengenalan bahwa dimensi ketidaksadaran juga termasuk di dalam diri 10. Integrasi diri

Adanya fluktuasi diri remaja membuat evaluasi diri remaja menjadi belum stabil sehingga memunculkan kesadaran I am dan I can yang tidak meningkat secara signifikan.

E. Keterbatasan Penelitian

Sejak awal penelitian ini dilaksanakan hingga akhir pada tahap pelaporan terdapat beberapa hal yang menjadi keterbatasan peelitian sebagai berikut: 1. Santri yang berada pada tahapan perkembangan remaja sebagai subjek

penelitian memiliki karakteristik adanya flukstuasi diri. Karakteristik ini yang memungkinkan menjadikan remaja menunjukkan fluktuasi diri yang belum stabil, sehingga desain penelitian kuasi eksperimen tidak menangkap signnifikasi perubahan yang ditunjukkan oleh santri pada beberapa aspek.

2. Teknik pemilihan subjek pada penelitian ini adalah purposive, dan juga mendapatkan subjek yang jumlahnya sedikit sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi hasil penelitian.

3. Desain penelitian masih terbatas pada memperbandingkan kelompok yang diberikan intervensi dan yang tidak diberikan intervensi, sehingga belum memunculkan keunggulan konseling singkat berfokus solusi dibandingkan konseling dengan pendekatan lain.

4. Hasil penelitian mengukur resiliensi yang belum dihadapkan pada kondisi kemalangan yang sebenarnya, karena pemilihan subjek dilakukan berdasarkan potensi resiko yang tinggi seperti kemiskinan dan kematian keluarga.


(1)

82

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

3. Fokus pada tujuan, artinya konseli tidak lagi memberikan banyak porsi pikiran pada penyebab terjadinya masalah, atau siapa yang bertanggungjawab pada munculnya masalah, melainkan mengalihkan fokus pada apa yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah, dan apa yang dimiliki sebagai sumber daya untuk mendukung penyelesaian masalah.

Hal-hal yang diungkapkan oleh santri tersebut merupakan manfaat khas yang diperoleh dari konseling singkat berfokus solusi, sebagaimana diungkapkan oleh O’Connel (2010:553) bahwa konseling ini menekankan pada kompetensi, keterampilan dan kualitas yang bisa digunakan klien. O’Connel (2010:555) meringkas perbandingan antara pendekatan berfokus problem dan pendekatan berfokus solusi seperto tergambar pada Tabel 4.8.

Kekhasan konseling singkat berfokus solusi tersebut telah membuat santri menjadi terlatih untuk menggunakan keterampilan diri dalam mencapai tujuan.

Tabel 4.8

Perbedaan Konseling Berfokus Problem dan Berfokus Solusi

Berfokus Problem Berfokus Solusi

Bagaimana saya bisa membantu anda Bagaimana anda tahu bahwa konseling itu bisa membantu?

Bisakah diceritakan problem anda Apa yang ingin anda ubah? Apakah problem itu gejala dari sesuatu

yang lebih dalam ?

Apakah kita telah mengklarifikasikan isu pokokyang ingin anda fokuskan? Bisakah diceritakan dengan lebih rinci

problem anda ?

Bisakah kita menemukan perkecualian pada masalah?

Bagaimana kita memahami problem itu ?

Bagaimana keadaan masa depan tanpa problem itu ?

Bagaimana klien melindungi dirinya? Bagaimana kita menggunakan kualitas dan keterampilan klien ?

Dengan cara apa relasi antara konselor dan klen menjadi menggambarkan relasi masa lalu ?

Bagaimana konslelor bisa bekerja sama dengan klien ?

Berapa banyak sesi yang kita butuhkan ?

Apakah kita telah cukup sampai tujuan ?


(2)

83

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

Pada detail temuan penelitian (Tabel 4.3 dan Tabel 4.4), terlihat bahwa konseling singkat berfokus solusi tidak meningkatkan aspek I am dan I can secara signifikan. Temuan tersebut menunjukkan kekhasan karakteristik remaja sebagaimana diungkapkan oleh Santrock (2006: 335) mengenai pemahaman diri remaja dan evaluasi diri remaja yang berbentuk dari rasa percaya diri (self esteem) dan konsep diri (self concept). Aspek I am dijabarkan menjadi subaspek-subaspek bahwa diri konseli:

1. Menarik dan disayangi

2. Menyayangi, empatik dan altruistik 3. Bangga pada diri sendiri

4. Mendiri dan bertanggungjawab

Sedangkan subaspek-subaspek I can adalah bahwa konseli merasa mampu: 1. Berkomunikasi

2. Menyelesaikan masalah

3. Menata perasaan dan keinginan

4. Memperkirakan keinginan saya dan orang lain

Sub aspek-sub aspek pada I am dan I can merupakan gambaran dari self esteem dan konsep diri santri terhadap dirinya. Di sisi lain, dalam membentuk pemahaman diri terdapat beberapa hal yang teritegrasi menjadi satu dalam diri sebagai berikut:

1. Abstrak dan idealistik 2. Terdiferensiasi

3. Kontradiksi dalam diri 4. Fluktuasi diri

5. Pembentukan dari diri yang ideal dan nyata, diri yang asli dan yang palsu. 6. Perbandingan sosial

7. Kesadaran diri 8. Perlindungan diri


(3)

84

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

9. Pengenalan bahwa dimensi ketidaksadaran juga termasuk di dalam diri 10. Integrasi diri

Adanya fluktuasi diri remaja membuat evaluasi diri remaja menjadi belum stabil sehingga memunculkan kesadaran I am dan I can yang tidak meningkat secara signifikan.

E. Keterbatasan Penelitian

Sejak awal penelitian ini dilaksanakan hingga akhir pada tahap pelaporan terdapat beberapa hal yang menjadi keterbatasan peelitian sebagai berikut: 1. Santri yang berada pada tahapan perkembangan remaja sebagai subjek

penelitian memiliki karakteristik adanya flukstuasi diri. Karakteristik ini yang memungkinkan menjadikan remaja menunjukkan fluktuasi diri yang belum stabil, sehingga desain penelitian kuasi eksperimen tidak menangkap signnifikasi perubahan yang ditunjukkan oleh santri pada beberapa aspek.

2. Teknik pemilihan subjek pada penelitian ini adalah purposive, dan juga mendapatkan subjek yang jumlahnya sedikit sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi hasil penelitian.

3. Desain penelitian masih terbatas pada memperbandingkan kelompok yang diberikan intervensi dan yang tidak diberikan intervensi, sehingga belum memunculkan keunggulan konseling singkat berfokus solusi dibandingkan konseling dengan pendekatan lain.

4. Hasil penelitian mengukur resiliensi yang belum dihadapkan pada kondisi kemalangan yang sebenarnya, karena pemilihan subjek dilakukan berdasarkan potensi resiko yang tinggi seperti kemiskinan dan kematian keluarga.


(4)

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

DAFTAR PUSTAKA

Ahern, N R.(2006). Adolescent Resilience: An Evolutionary Concept Analysis. Journal of Pediatric Noursing. 21,(3), 175-185.

Arikunto, S. (1993). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Ed:2. Jakarta: Rineka Cipta..

Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Cet.VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Carver, C S. (1998). Resilience and Thriving: Issues, Models, and Linkages. Journal of Social Issues. 54 (2), 245-266.

Compas, et.al. (1995). Adolescent development: pathways and processes of risk and resilience. Annual Review of Psychology. 46, 265-293.

Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont: Brooks/Cole.

Cresswell, J W. (2012). Educational Research: : planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. Boston: Pearson Education,Inc.

De Shazer, S. & Dolan, Y. with Korman, H , Trepper, T. S., McCollom, E., Berg, I. K. (2007). More Than Miracles: The State of the Art of Solution-focused Brief Therapy. Binghamtom, N.Y: Haworth Press.

Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Fitriyani, M. (2013). Bunuh diri pada Remaja dan Anak. (online). Tersedia: http://www.academia.edu/4559660/Bunuh_Diri_Pada_Remaja_dan_Ana k.

Furqon. (2011). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Grotberg, E. (1995).A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit.Benard Van Leer Fondation. (online). Tersedia: http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb95b.html (21 Maret 2013)


(5)

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

Shaleh, M H. . (2013). Duh, Santri Gantung Diri Gara gara Nilai Jeblok. (online) Tersedia:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/13/1414 51/Duh-Santri-Gantung-Diri-Gara-gara-Nilai-Jeblok%20-. [18 Maret 2013]

Hasanuddin, U. Astaga, Santri Perempuan Tewas Gantung Diri Pakai Jilbab di

Kamar Pondoknya!. (online). Tersedia:

http://www.solopos.com/2012/10/29/astaga-santri-perempuan-tewas-gantung-diri-pakai-jilbab-di-kamar-pondoknya-343134. [18 Maret 2013] Hendriyani, W. (2012). Beberapa Penelitian Terdahulu tentang Model Resiliensi.

(online). Tersedia: http://wiwinhendriani.com/2012/03/16/beberapa-penelitian-terdahulu-tentang-model-resiliensi/. [21 Agustus 2013].

Henley, R.(2010). Resilience Enhancing Psychosocial Programmes for Youth in Different Cultural Context: Evaluation And Research. Progress in Development Studies. 10, 4.

Hurlock, E. (1980). Development Psychology. New York: Mc Graw-Hill, Inc. Hutapea, E A. (2006). Gambaran Resiliensi pada Mahasiswa Perantau Tahun

Pertama Perguruan Tinggi di Asrama UI. (online). Tersedia: http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=94850&lokasi=lokal [31 Maret 2013].

Institute for Focused Therapy. (tahun tidak diketahui). What Is

Solution-Focused Therapy. (online) Tersedia:

http://www.solutionfocused.net/solutionfocusedtherapy.html [7 agustus 2013]

Kobau, dkk. (2011). Mental Health Promotion in Public Health: Perspectives and Strategies from Positive Psychology. American Journal of Public Health, Vol.101. No.8.

Masten, A S.(2001). Ordinary Magic: Resilience processes in Development. American Psycologist.65, 227-238.

Masyhudi, K. (tahun tidak diketahui). Sejarah Hidup Imam Al Ghazali.(online). Tersedia: http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html [5 Mei 2013]

McInnery, D M. (2006). Developmental Psychology for Teacher. Crows Nest NSW: Allen & Unwin.

O’Connell, B. (2011). Terapi Berfokus Solusi”, dalam Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

Khulaimata Zalfa, 2014

Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution-Focused Brief Counseling) untuk

Palmer, S. (2011). Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusmana, N. (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah: Metode, Teknik, dan Aplikasi. Bandung: Rizqi Press.

Santrock, J W.(1996). Adolescence: Perkembangan Remaja. Ed.6. Jakarta: Erlangga.

___________ . (2011). Life Span Development. 13th ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.

Smith, N.(2008). Book Review: Gerald B. Sklare, Brief Counseling That Works: A Solution-Focused Approach for School Counselors and Administrators. Clinical Child Psychology and Psychiatry. 13: 480-481 Subakti, E. (2013). Ancaman Problem Kependudukan Berdasarkan Data.

(Online). Tersedia: http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/05/ancaman-problem-kependudukan-berdasarkan-data-553184.html

Sugiyono. (2010). Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: rajawali Press.

TribunJogjaInteraktif. (2013). Seks Bebas Dongkrak Angka Pernikahan Dini.

(online). Tersedia:

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=507130992657160 &id=238512736185655.

Waaktar, et.al.(2004). How Can Young People’s Resilience be Enhanced? Experiences from a Clinical Intervention Project. Clinical Child Psychology and Psychiatry. 9, 167-183

Winarsunu, T. (2002). Statistika dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: UMM Press.