Studi Kasus Mengenai Sistem Motif Agresi Pada Pelaku Emotional Abuse Selama Berpacaran.

STUDI KASUS MENGENAI SISTEM MOTIF AGRESI PADA PELAKU
EMOTIONAL ABUSE SELAMA BERPACARAN

MUTIARA SABARIAH
Dr. Rismiyati E. Koesma¹
Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran
ABSTRACT

The phenomenon that accurs is dating violence, where the first step phase of
it start from emotional abuse. The occurrence of emotional abuse due to the
existence of system of motives aggression. This research aimed to obtain system of
motives aggression description on perpetrators of emotional abuse during
relationship. Theory of system of motives aggression used in this research is from
Kornadt (1981) which state that there are two component that is, motives
aggression constitutes a dispotition in the individual which can appear or not
appear in performing acts of aggression. And then the second component is
barriers of aggression which is a dispotition in the individual which may inhibit
aggression behavior. The research participant consisted of two people. Two
people were male with age range in between 18 – 25 years old who make an
emotional abuse during relationship, selected through the purposive sampling

technique. Participant were given Saarbucken Aggression Scale (SAS)
questionnaire that had been adapted and also interviewed. The result showed that
two of the participants have high motives aggression, despite the barriers of
aggresion that owned of two subject is different. First subject, has a high barriers
of aggression and keep doing acts of aggression. While the second subject has a
low barries of aggresion that does have a great potential to do acts of aggression.

¹Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran yang membimbing

Pendahuluan

Masa emerging adulthood merupakan suatu periode perkembangan terbaru
yang telah diperkenalkan oleh Arnett (2004). Periode ini tidak sesederhana
“perpanjangan masa remaja”. Karena masa ini sangatlah berbeda dengan masa
remaja. Pada masa emerging adulthood individu lebih bebas dari kontrol orangtua
dan lebih memiliki periode eksplorasi yang independen. Namun, individu yang
berada pada masa ini belum bisa dikatakan sudah berada pada fase dewasa awal,
meskipun pada tahap ini terdapat beberapa perubahan yang telah menandakan
bahwa masa dewasa awal telah tercapai. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari
mereka belum membuat transisi kehidupan yang berhubungan dengan status

dewasa seperti memutuskan untuk menikah dan menjadi orang tua.
Rentang usia pada tahap ini berkisar antara 18 hingga 25 tahun. Pada usia
ini, individu akan lebih banyak mengeksplorasi identitas mereka dalam hal
pendidikan, pekerjaan dan juga percintaan. Dalam hal percintaan, mereka akan
cenderung masuk kepada tahap yang lebih tinggi, yaitu level intimacy yang lebih
mendalam.
Hubungan intim yang dijalani oleh individu dalam masa emerging
adulthood biasanya dikenal dengan istilah pacaran. Menurut De Genova & Rice
(2004, dalam Raudhoh, 2013) mengatakan bahwa pacaran adalah menjalankan
suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan aktivitas bersama agar
dapat saling mengenal satu sama lain. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tugas
perkembangan mereka.

2

Hubungan pacaran yang dijalani oleh individu pada masa ini tidaklah sama
seperti hubungan pacaran yang dijalani oleh individu pada masa remaja. Pada
masa ini, individu akan menjalani hubungan yang lebih mendalam dan lebih
serius. Ketika individu berada dalam hubungan pacaran yang terjalin dalam
tingkat yang lebih mendalam, waktu yang akan dihabiskan bersama pasanganpun

cukup lama, dan ini akan membuat individu tersebut mengenal pasangannya
dengan cukup baik. Sehingga biasanya akan lebih mudah bagi seseorang untuk
berbuat sesuatu yang ia inginkan kepada pasangannya tanpa sungkan. Hal ini
termasuk pada tindakan-tindakan yang kadang menyakitkan bagi pasangan,
seperti membentak ataupun memukul.
Hal diatas diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hammock
dan O’Hearn (2002) yang menyebutkan bahwa dimensi keseriusan dan lamanya
waktu berpacaran memiliki hubungan dengan tingkat agresivitas dalam
berpacaran,

walaupun

terdapat

juga

faktor-faktor

lain


yang

dapat

mempengaruhinya. Tingkat keseriusan dan lamanya waktu berpacaran dapat
mempengaruhi agresivitas dalam suatu hubungan karena hal ini berkaitan dengan
lamanya waktu yang telah dihabiskan bersama pasangan.
Menurut Kornadt (1981) agresi merupakan suatu motif yang mempunyai
arah tujuan. Teori motivasi agresi ini dikenal sebagai sistem motif agresi, dimana
sistem motif agresi ini merupakan sumber atau dasar tindakan – tindakan agresif
dimana gangguan yang ditimbulkannya sebagai sesuatu yang sudah terarah
sifatnya. Sistem motif agresi tersebut terdiri dari dua komponen, dimana
komponen tersebut adalah motif agresi dan hambatan agresi. Dalam kaitannya

3

dengan motif agresi ini, pencapaian tujuannya adalah untuk merusak atau
menghancurkan orang lain baik secara fisik ataupun secara psikologis. Sedangkan
hambatan agresi dipengaruhi oleh rasa takut akan mendapatkan hukuman atau
takut akan perasaan bersalah sehingga biasanya individu akan menghindari

tingkah laku agresi.
Nampaknya, dalam menampilkan perilaku agresi ini terdapat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Dimana dalam hal ini laki-laki memiliki tingkat
kemungkinan melakukan tindakan agresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini disebabkan karena biasanya perilaku agresi pada kebanyakan
perempuan digantikan oleh strategi-strategi non-agresi dalam mengatasi konflik.
Tingkah laku agresi yang dimunculkan oleh individu yang sedang menjalani
sebuah hubungan yang spesial dan intim ini akan menyebabkan suatu kekerasan
dalam pacaran atau yang sering dikenal dengan istilah dating violence. Sebuah
jurnal berjudul The National Clearinghouse on Family Violence mendefinisikan
dating violence sebagai segala bentuk serangan baik secara seksual, fisik, maupun
psikologi yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangannya dalam menjalani
hubungan pacaran.
Bagaimana cara untuk dapat membedakan apakah suatu relasi pacaran
diwarnai oleh tindak kekerasan atau tidak, Dugan dan Hock (2006) menyebutkan
bahwa terdapat dua indikator yang menjadi ciri utama kekerasan dalam pacaran,
yaitu : 1.) Pola yang membentuk siklus dimana kejadian kekerasan akan berulang
membentuk suatu pola ataupun siklus tertentu dan cenderung meningkat tingkat
keparahannya dari waktu ke waktu. 2.) Kekuatan dan kontrol, dimana kekerasan


4

terjadi atas dasar kekuatan dan kontrol pelaku. Tujuan dari pelaku adalah
mendapatkan kontrol penuh terhadap perilaku pasangan.
Murray (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan dalam terjadinya
kekerasan dalam pacaran. Ia menjelaskan bahwa sebelum terjadinya kekerasan
fisik dan kekerasan sesksual dalam suatu hubungan, seringkali diawali terlebih
dahulu oleh kekerasan emotional (emotional abuse). Dengan kata lain, kekerasan
emotional (emotional abuse) merupakan gerbang awal terjadinya kekerasan
seksual dan kekerasan fisik. Emotional abuse ini sering terjadi namun tidak
disadari oleh korbannya karena terkadang hal ini dianggap sebagai rasa cemburu
yang menunjukkan rasa kasih sayang.
Menurut Engel (2002) emotional abuse merupakan tingkah laku non-fisik
yang dirancang untuk mengontrol, mengintimidasi, menaklukan, merendahkan,
menghukum, atau mengisolasi orang lain. Adapun beberapa contoh tingkah laku
emotional abuse ini seperti : menghina, merendahkan, mendominasi, mengontrol,
menghakimi,

mencela,


menuduh,

mempermalukan,

menyepelekan,

serta

mengisolasi pasangan.
Setiap tindak kekerasan pastilah meninggalkan luka ataupun dampak lainnya.
Baik itu luka yang tampak maupun luka yang

tidak tampak. Bisa jadi luka

tersebut dapat diobati, maupun membutuhkan waktu yang lama sepanjang
hidupnya untuk mengobati luka itu. Tindakan emotional abuse ini merupakan
salah satu bentuk kekerasan yang sangat berbahaya. Karena dampak yang
ditimbulkan dari perilaku tersebut akan mempengaruhi self – esteem seseorang.
Tindakan ini bisa mengurangi kepercayaan dalam diri seseorang. Adapun dampak


5

lain yang lebih ekstrem yang dapat ditimbulkan dari perilaku emotional abuse
bagi korbannya, seperti anxiety, depresi, marah, bunuh diri, ketergantungan pada
obat – obatan, dan eating disorder (Christian, 2005).
Dengan melihat dampak yang dapat ditimbulkan bagi para korbannya, peneliti
merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang bisa menjadi bahan
pertimbangan bagi para psikolog untuk memberikan intervensi bagi pasangan
yang mengalami kekerasan dalam hubungannya. Juga, bisa menjadi pengetahuan
agar para pasangan diluar sana dapat menghindari perlakuan seperti itu. Selain itu,
peneliti melihat bahwa penelitian sebelumnya banyak melihat dari sudut pandang
korban dan masih sedikit sekali penelitian dari sudut pandang pelaku.
Berdasarkan pada hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat lebih dalam
lagi apa yang melatarbelakangi para pelaku dalam melakukan hal tersebut.
Peneliti ingin melihat Sistem motif agresi pada pelaku emotional abuse selama
berpacaran. Dalam sistem motif agresi ini terdapat dua komponen, yaitu : motif
agresi dan hambatan agresi. Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah gambaran
motif agresi dan hambatan agresi sehingga pelaku dapat melakukan tindakan
agresi dalam bentuk kekerasan emotional.


6

Metode Penelitian

Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 2 orang. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sampling purposif akan baik
hasilnya di tangan seorang ahli yang mengenal populasi dan dapat segera
mengetahui lokasi masalah-masalah yang khas (Sudjana, 1989). Dalam hal ini,
peneliti memilih dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran yaitu Ibu
Dr. Rismiyati E. Koesma sebagai ahli.

Pengukuran
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang sudah ada. Alat
ukur ini dikenal dengan nama Saarbucken Aggression Scale (SAS). Kuesioner ini
merupakan alat ukur yang telah dikembangkan sendiri oleh Kornadt (1981) dalam
mengukur sistem motif agresi.
Dalam kuesioner ini, disajikan 60 item yang terdiri dari 32 item motif
agresi dan 28 item hambatan agresi. Item yang berkaitan dengan motif
agersi ini akan menggambarkan dorongan dalam diri seseorang untuk

menampilkan perilaku agresi. Sedangkan item yang berkaitan dengan
hambatan agresi akan memberikan gambaran mengenai segala keyakinan
yang dapat menghambat seseorang dalam berperilaku agresi.
Hasil dari data yang akan didapatkan berupa data ordinal. Skala data
ordinal merupakan skala yang didasarkan pada peringkat yang diurutkan dari yang

7

lebih tinggi sampai kepada yang lebih rendah dan begitupun sebaliknya. Pilihan
pada jawaban bergerak dari tidak sampai sepenuhnya. Alat ukur SAS Kornadt
memiliki skala 1 sampai dengan 4.
Kemudian

Alat

ukur

selanjutnya

digunakan


untuk

mengukur

perkembangan motif agresi adalah dengan menggunakan perpaduan teknik
behavioral event interview (BEI) dan wawancara semi structure. Behavioral Event
Interview (BEI) merupakan interview yang digunakan untuk mengumpulkan
informasi mengenai perilaku dimasa lalu (Kumar, 2004 dalam Rasyida 2013).
Sedangkan menurut Sugiyono (2011), wawancara semi structure merupakan
wawancara yang digunakan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
pihak yang diwawancara diminta pendapat dan ide-ide yang dimilikinya.
Berdasarkan pengujian reliabilitas yang didapatkan yaitu sebesar r =
0,847. Ini menandakan bahwa realiabilitas alat ukut tinggi. Hal ini berarti bahwa
alat ukur dapat digunakan dalam waktu yang berbeda.
Validitas yang digunakan dalam peneltian ini adalah content validity.
Content validity mengharuskan adanya pertimbangan para ahli terkait dengan
perbandingan antara struktur tes dan struktur domain (Friendenberg, 1995) yaitu
dengan cara meminta expert judgement, dimana peneliti menyertakan para ahli
untuk memberikan saran yang mengkritisi analisis yang dilakukan oleh peneliti.
Dalam penelitian ini, para ahli tersebut adalah staf pengajar di Fakultas Psikologi
Universitas Padjajaran, yaitu Dr. Rismiyati E. Koesma dan Laila Qodariah, S.Psi.,
M.Psi

8

Hasil

Berdasarkan hasil pengolahan data secara kuantitatif dan kualitatif untuk
variabel Sistem Motif Agresi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedua responden memiliki tingkat motif agresi yang sama, sedangkan
tingkat hambatan agresi berbeda. Responden pertama memiliki tingkat
motif agresi yang tinggi dan hambatan agresi yang tinggi pula. Sedangkan
pada responden kedua, ia memiliki motif agresi yang tinggi, namun
hambatan agresinya rendah.
2. Hasil pada responden 2 sejalan dengan teori Kornadt, sedangkan hasil
responden 1 kurang sejalan dengan teori Kornadt. Namun, adapun dugaan
yang menyebabkan subjek melakukan agresi meskipun hambatan
agresinya tinggi. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang
menyebabkan subjek 1 tetap melakukan tingkah laku agresi. Faktor
tersebut antara lain: Diduga mungkin karena konteks pacaran dalam
hubungan mereka, sehingga sudah tidak ada lagi ruang pribadi yang
membatasi mereka dalam melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Kemudian, dugaan selanjutnya adalah karena hubungan pacaran yang
sudah mereka jalani dapat dikatakan cukup lama, mereka sudah menjalani
hubungan pacaran kurang lebih 4 tahun. Dimensi keseriusan dan lamanya
waktu berpacaran memiliki hubungan dengan tingkat agresivitas dalam
berpacaran. Tingkat keseriusan dan lamanya waktu berpacaran dapat

9

mempengaruhi agresivitas dalam suatu hubungan karena hal ini berkaitan
dengan lamanya waktu yang telah dihabiskan bersama pasangan.
3. Masing – masing responden menampilkan bentuk emotional abuse yang
berbeda, responden pertama menampilkan 7 dari 10 bentuk emotional
abuse. Sedangkan responden kedua menampilkan 4 dari 10 bentuk
emotional abuse.
4. Bentuk emotional abuse yang paling dominan dikedua responden ini
adalah verbal assault.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Arnett, J.J. 2004. Emerging Adulthood: The Winding Road From The late Teens
Through The Twenties by Oxford University Press
Cristensen, Larry B. 2004. Experimental Methodology. 9th Edition. United States
of America : Pearson
Dugan, Meg, K. & Hock, Roger, R. 2006. It’s My Life Now : Starting Over After
an Abusive Relationship or Domestic Violence. 2th Edition. United States of
America : Routledge
Engel, Beverly. 2002. The Emotional Abusive Relationship : How to Stop Being
Abused and How to Stop Abusive. By John Wiley & Sons, Inc
Friendenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use.
University of North Carolina: Allyn & Bacon, Incorporate
Kerlinger, Fred, N. 1998. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada
University Press : Yogyakarta
Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Pustaka Belajar : Yogyakarta
Marcus, Robert, F. 2007. Aggression and Violence in Adolesence. Cambridge
University Press

10

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosda Karya
Murray, Jill. 2007. But I Love Him: Protecting Your Teen Daughter from
Controlling Abusive Dating Relationship. New York : Harpercollins
Publisher Inc.
Raudhoh, Siti.& Setyowibowo, Hary. 2013. Modul : Be Assertive for Healthy
Relationship. Universitas Padjajaran
Strauss, Anselm. & Corbin, Juliet. 2007. Dasar- dasar Penelitian Kualitatif.
Pustaka Belajar : Yogyakarta
Sudjana, 1992. Metode Statistika. TARSITO : Bandung
Yin, Robert, K., 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT Raja Grafindo
Persada : Jakarta

Skripsi & Disertasi

Santoso, Ratna, R. 2010. Disertasi. Jalur Agresi Overt pada Remaja Laki-Laki di
Bandung : Pengaruh dari Traits Kepribadian, Gaya Disiplin Orangtua, dan
Teman Sebaya. Disertasi Tidak Diterbitkan : Fakultas Psikologi Universitas
Padjajaran.
Apsyari, Annisa R. 2013. Skripsi. Studi Deskriptif Mengenai Sistem Motif Agresi
pada Siswa-Siswi Pelaku Bullying di SMP ‘X’ Kota Bandung. Skripsi Tidak
Diterbitkan : Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.
Rasyida, Afinnisa. 2013. Skripsi. Gambaran self-esteem pada individu korban
Emotional abuse saat berpacaran. Skripsi Tidak Diterbitkan : Fakultas
Psikologi Universitas Padjajaran.

Jurnal

____,___.___. Dating Violence : Information from The National Clearinghouse
on Family Violence. Health Canada
Baker, Collen, R. & Stith, Sandra, M. 2008. Faktor Predicting Dating Violence
Peretration Among Male and Female College Student, Journal of
Aggression, Maltreatment, & Trauma, 17, 2, 227-244.
11

Hammock, G. & O’Hearn, R. 2002. “Psychological Aggression in Dating
Relationship : Predictive Models for Males and Females.” Violence and
Victim, 17 (5), Hal 525-540.
Luthra, R. & Gidycz, G. 2006. Dating Violence among Men and Women :
Evaluation of a Theoretical Model. Journal of Interpersonal Violence,
21(6).
Braun, Virginia. 2006. Using Thematic Analysis in Psychology. University of
Auckland. Edward Arnold (Publisher)
Christian. 2005. Emotional Abuse. Produced by the office of Abuse Prevention of
the Christian Reformed Church in N.A. for Abuse Awareness 2005

Website

www.tribunnews.com › Nasional › Hukum diunduh pada tanggal 11 Maret 2014
pukul 14.13 WIB
https://www.jurnalperempuan.org/kekerasan-dalam-pacaran.html diunduh pada
tanggal 19 maret 2014 pukul 13.57 WIB
http://www.psikologikita.com/?q=kekerasan-dalam-hubungan-pacaran
pada tanggal 19 maret 2014 pada pukul 14.00 WIB

diunduh

http://perempuan.or.id/statistik-catatan-tahunan/2012/01/03/tahun-2011-statistikkekerasan-terhadap-perempuan-mitra-perempuan-wcc/ diunduh pada tanggal 26
Maret 2014 pada pukul 12.12 WIB
http://www.hotpeachpages.net/lang/langDocFiles/datviol.pdf
tanggal 27 Maret 2014 pada pukul 9.09 WIB

diunduh

pada

http://www.psychologicalselfhelp.org/Chapter10.pdf diunduh pada tanggal 27
Maret 2014 pada pukul 9.10 WIB
https://www.academia.edu/3814377/KEKERASAN_DALAM_BERPACARAN
diunduh pada 18 Maret 2014 pada pukul 11.05 WIB
www.tempo.com diunduh pada tanggal 18 Maret 2014 pada pukul 14.14 WIB

12