Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu
PARENTAL EMOTIONAL COACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGHADAPI EMOSI NEGATIF ANAK TUNARUNGU
Parental Emotional Coaching to Improve the Coping Ability with Deaf Children’s Negative Emotions
TESIS
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Magister Psikologi Profesi
Oleh :
SEPTI MAYANG SARRY 117029018
MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Januari 2014
Septi Mayang Sarry : 117029018
Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu
X + 123 halaman; 2014, 16 tabel Bibliografi : 27 (1991-2011)
Anak tunarungu memiliki hambatan yang utama dalam hal komunikasi sehingga akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan kehendaknya pada oranglain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering memakai emosi negatif dalam mengekspresikan keinginan dan tujuan mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program parental emotional coaching yang dilakukan kepada 5 orang.
Pengukuran dilakukan dengan Coping with Children’s Emotion Scale (CCNES)
dari Fabes dan koleganya (1990-an) yang mengambarkan 6 respon orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak yaitu problem focused reaction, emotion focused reaction, expressive encouragement, minimization reaction, punitive reaction, distress reaction. Dua respon pertama yaitu, problem focused reaction, emotion focused reaction merupakan suatu respon yang mendukung untuk bisa menghadapi emosi negatif anak secara efektif. Parental Emotional Coaching adalah suatu teknik yang dikembangkan oleh Gottman yang bertujuan agar orangtua bisa menjadi orangtua pelatih emosi saat harus menghadapi emosi negatif anak. Modul program parental emotional coaching disusun berdasarkan teori Gottman (dalam Cook, 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parental emotional coaching efektif untuk meningkatkan kemampuan menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
(3)
ABSTRACT
Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara January 2014
Septi Mayang Sarry : 117029018
Parental Emotional Coahing to Improve the Coping Ability with Deaf Children’s Negative Emotion
X + 123 pages ; 2014 , 17 tables
Bibliography : 27 (1991-2011)
Deaf (hearing impairment) children has a major obstacle in terms of communication so that it will have difficulty in expresing thoughts, feelings ,ideas, needs and will on other people . This makes deaf children often use negative emotions to express their desires and goals .
This study aimed to determine differences in the ability of parents in dealing with children with hearing negative emotions before and after parental emotional coaching program conducted for 5 people .
Measurements were made with Coping with Children's Emotion Scale ( CCNEs ) of Fabes and colleagues ( 1990 ) describing 6 responses of parents in dealing with negative emotions children are problem focused reaction , emotion focused reaction, expressive encouragement, minimization reaction, punitive reaction, distress reaction. The first two responses, namely, reaction problem focused, emotion focused reaction is a response to support the child could face negative emotions effectively. Parental emotional coaching aimed to coach parents come
be a emotional coaher in dealing children’s negative emotion. Parental emotional
coaching program modules compiled based on Gottman 's theory ( in Cook, 2004) . The results of this study indicate that parental emotional coaching effectively to improve the ability to deal with negative emotions deaf children .
(4)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya yang berjudul :
“Parental Emotional Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Dalam
Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu”
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kemagisteran psikologi profesi di perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah, norma, dan etika penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan aturan yang berlaku.
Medan, Februari 2014
Septi Mayang Sarry
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya yang berjudul :
“Parental Emotional Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Dalam
Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu”
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kemagisteran psikologi profesi di perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah, norma, dan etika penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan aturan yang berlaku.
Medan, Februari 2014
Septi Mayang Sarry
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya persembahkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan ridhonya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penyusunan tesis yang berjudul Parental Emotional Coaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi
Anak Tunarungu” dilakukan dalam rangka memenuhi salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi USU Medan.
Ucapan terima kasih yang tak ternilai juga penulis sampaikan kepada orangtua penulis yaitu Bapak Yusran dan Ibu Yohana Sari Megawati yang sudah berjuang untuk mendukung penulis agar bisa menyelesaikan program Magister Psikologi Profesi ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa awal perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, sehingga penulis ingin berterima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog selaku koordinator program Magister Psikologi Profesi
3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing tesis atas ilmu, saran, nasehatnya, serta semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya.
4. Ibu Elvi Andriani, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji atas saran dan masukan, ilmu yang diberikan kepada penulis selama ini sebagai dosen.
5. Keluarga besar penulis di Maninjau, buat adik penulis, Yerica Nina Sary, dan juga buat etek Yus yang telah memberikan dukungan materi dan semangat kepada penulis untuk tetap melanjutkan program Magister Psikologi Profesi ini. Keluarga besar penulis di Jakarta juga atas dukungan materi dan non materi yang telah diberikan kepada penulis.
(7)
6. Kepada Bunda Ros Indra Desnita Amran, SH, SpN dan Ghita Sandra Amalia Alfian, M.Psi, psikolog yang telah memberikan dukungan materi dan semangat pada penulis untuk meneruskan kuliah di program Magister Psikologi Profesi ini.
7. Keluarga besar Magister Psikologi Profesi yaitu Bang Eko, Kak Eli, Bang Yudi dan Kak Liza atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 8. Kepada kepala sekolah SLB Pembina Bapak Suroso, S.Pd dan ibu Siti
Tarigan yang telah memberikan ijin dan fasilitas kepada penulis sehingga program parental emotional coaching dapat terlaksana. Kepada ibu-ibu wali kelas TK B SLB Pembina yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu di program parental emotional coaching yang penulis laksanakan.
9. Teman-teman satu angkatan “para Klabers” yaitu Ni Nila atas berbagai ilmu yang diberikan, Ayu, Yulinda, Kak Wini, Kak Muti, Bang Nasri atas semangat dan kebersamaan yang telah dilewati bersama, berharap menjadi kenangan baik di kemudian hari. Kepada Dewina Ulfah Nasution, Jelita, Kinanti Indika yang telah membantu penulis selama pelaksanaan pembuatan tesis dan pelaksanaan program parental emotional coaching. 10.Sahabat-sahabat penulis yang memberikan berbagai dukungan moril,
waktu, materi dan kisah selama melanjutkan kuliah Magister Psikologi Profesi yang berada di Medan ataupun di luar kota Medan yang merupakan sahabat-sahabat terhebat memberikan dukungan kepada penulis dengan berbagai cara.
11.Adik-adik Imapaliko (Ikatan Mahasiswa Payakumbuh Lima Puluh Kota) yaitu Efit, Nurul, Boy, dan adik-adik lainnya yang memberikan motivasi tersendiri bagi penulis untuk menjadi lebih baik.
12.Kepada Ibu Tuti, Kak Rahma di Kit@ Creative Training and Development, Pak Habib di LPP Medan, Oncu Aci di EarTech Hearing Center Medan, Om Rivai di Aksi Cepat Tanggap (ACT Jakarta) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengamalkan ilmu yang penulis peroleh selama di bangku perkuliahan dan atas ilmu-ilmu dan
(8)
13. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak lain yang tak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan sehingga dapat tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap agar Allah dapat membalas segala kebaikan saudara-saudara semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum cukup sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi perkembangan dunia psikologi khususnya di bidang klinis anak.
Medan, Januari 2014
Penulis, Septi Mayang Sarry
(9)
DAFTAR ISI
ABSTRAKKATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Emosi ... 11
1. Definisi emosi ... 11
2. Ciri-ciri emosi ... 13
3. Bagian-bagian emosi ... 14
4. Jenis-jenis emosi ... 16
5. Fungsi emosi ... 17
6. Ekspresi emosi ... 18
7. Perkembangan regulasi emosi ... 20
B. Anak Tunarungu ... 21
1. Definisi anak tunarungu ... 21
2. Klasifikasi tunarungu ... 22
3. Sejarah perkembangan tunarungu ... 27
4. Perkembangan emosional anak tunarungu ... 31
(10)
2. Definisi parental emotional coaching ... 36
3. Kecenderungan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu ... 38
4. Parental emotional coaching untuk meningkatkan kemampuan menghadapi emosi negatif anak tunarungu ... 42
F. Hipotesa Penelitian ... 45
BAB III METODE PENELITIAN ... 47
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47
B. Definisi Operasional ... 47
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 47
D. Desain Penelitan ... 49
E. Alat Bantu Penelitian ... 50
F. Pengukuran Variabel Penelitian ... 51
G. Prosedur Penelitian ... 54
1. Tahap persiapan penelitian ... 54
2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 59
H. Analis Data ... 77
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL INTERVENSI ... 78
A. Deskripsi Subjek Penelitian... 78
B. Kategorisasi Subjek Penelitian ... 80
C. Hasil Uji Hipotesis... 87
D. Pembahasan ... 101
1. Pembahasan data berkelompok ... 101
2. Pembahasan data individual ... 104
(11)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 119
1. Saran bagi orangtua ... 119
2. Saran bagi peneliti selanjutnya ... 120
DAFTAR PUSTAKA ... 123
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Distribusi aitem respon orangtua dalam menghadapi emosi
negatif anak ... 55
Tabel 3.2 Jadwal pelaksanaan parental emotional coaching ... 63
Tabel 4.1 Karakteristik subjek berdasarkan usia ... 79
Tabel 4.2 Karakteristik subjek berdasarkan jumlah anak yang dimiliki ... 79
Tabel 4.3 Karakteristik subjek berdasarkan pendidikan ... 79
Tabel 4.4 Karakteristik subjek berdasarkan pekerjaan ... 79
Tabel 4. 5 Karakteristik subjek berdasarkan usia saat menikah ... 80
Tabel 4.6 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest punitive reaction ... 81
Tabel 4.7 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest minimization reaction ... 82
Tabel 4.8 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest distress reaction ... 83
Tabel 4.9 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest expressive encouragement ... 84
Tabel 4.10 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest emotion-focused reaction ... 85
Tabel 4.11 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest problem-focused reaction ... 86
Tabel 4.12 Hasil uji deskriptif pretest dan posttest asepek emotional dan problem focused reaction ... 87
Tabel 4.13 Tabel peringkat subjek penelitian ... 88
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Surat Ijin Pengambilan Data Daftar Hadir Peserta
Kontrak Pelatihan Lembar Kerja Tugas Rumah Lembar Evaluasi
Hasil Analisa Data (Output SPSS) Skala CCNES
(14)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Januari 2014
Septi Mayang Sarry : 117029018
Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu
X + 123 halaman; 2014, 16 tabel Bibliografi : 27 (1991-2011)
Anak tunarungu memiliki hambatan yang utama dalam hal komunikasi sehingga akan mengalami kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan kehendaknya pada oranglain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu sering memakai emosi negatif dalam mengekspresikan keinginan dan tujuan mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu sebelum dan sesudah mengikuti program parental emotional coaching yang dilakukan kepada 5 orang.
Pengukuran dilakukan dengan Coping with Children’s Emotion Scale (CCNES)
dari Fabes dan koleganya (1990-an) yang mengambarkan 6 respon orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak yaitu problem focused reaction, emotion focused reaction, expressive encouragement, minimization reaction, punitive reaction, distress reaction. Dua respon pertama yaitu, problem focused reaction, emotion focused reaction merupakan suatu respon yang mendukung untuk bisa menghadapi emosi negatif anak secara efektif. Parental Emotional Coaching adalah suatu teknik yang dikembangkan oleh Gottman yang bertujuan agar orangtua bisa menjadi orangtua pelatih emosi saat harus menghadapi emosi negatif anak. Modul program parental emotional coaching disusun berdasarkan teori Gottman (dalam Cook, 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parental emotional coaching efektif untuk meningkatkan kemampuan menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
(15)
ABSTRACT
Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara January 2014
Septi Mayang Sarry : 117029018
Parental Emotional Coahing to Improve the Coping Ability with Deaf Children’s Negative Emotion
X + 123 pages ; 2014 , 17 tables
Bibliography : 27 (1991-2011)
Deaf (hearing impairment) children has a major obstacle in terms of communication so that it will have difficulty in expresing thoughts, feelings ,ideas, needs and will on other people . This makes deaf children often use negative emotions to express their desires and goals .
This study aimed to determine differences in the ability of parents in dealing with children with hearing negative emotions before and after parental emotional coaching program conducted for 5 people .
Measurements were made with Coping with Children's Emotion Scale ( CCNEs ) of Fabes and colleagues ( 1990 ) describing 6 responses of parents in dealing with negative emotions children are problem focused reaction , emotion focused reaction, expressive encouragement, minimization reaction, punitive reaction, distress reaction. The first two responses, namely, reaction problem focused, emotion focused reaction is a response to support the child could face negative emotions effectively. Parental emotional coaching aimed to coach parents come
be a emotional coaher in dealing children’s negative emotion. Parental emotional
coaching program modules compiled based on Gottman 's theory ( in Cook, 2004) . The results of this study indicate that parental emotional coaching effectively to improve the ability to deal with negative emotions deaf children .
(16)
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis
merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak
dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak yang lahir sebagai anggota baru
dalam keluarga membawa harapan baru bagi kedua orangtua. Namun terkadang
kenyataan tidak sesuai dengan harapan orang tua. Anak bisa mengalami berbagai
macam kekurangan atau keterbatasan fisik dan psikis pada saat baru lahir yang
tidak bisa ditentukan oleh manusia. Orang awam lebih sering menyebutnya
sebagai anak cacat. Istilah lain darinya adalah anak berkebutuhan khusus. Anak-
anak berkebutuhan khusus ini bisa mengalami salah satu gangguan atau ketunaan
dan bisa juga mengalami beberapa gangguan (tunaganda). Menurut
Manggungsong (2009) bahwa gangguan atau ketunaan yang biasanya dialami
anak sebagai berikut gangguan fisik (tunadaksa), emosional dan perilaku,
kesulitan belajar (tunalaras), mental retardasi (tunagrahita), gangguan penglihatan
(tunanetra) dan gangguan pendengaran (tunarungu).
Lowell dan Pollack (dalam Herward, 1995) menyatakan bahwa ketika baru
lahir, anak-anak mempelajari suatu hal melalui pendengaran mereka. Anak yang
baru lahir dapat merespon suara dengan terkejut dan mengedipkan mata. Beberapa
minggu selanjutnya bayi dengan pendengaran normal dapat mendengar suara
yang pelan, mengenali suara orang tuanya, dan memperhatikan degukan dan
(17)
informasi melalui pendengaran, mereka membedakan suara yang mempunyai
makna dari suatu keributan, mengetahui arah datangnya suara dan meniru suara.
Napierkowski (dalam Herward, 1998) menyatakan dengan seiring
perkembangan pendengaran anak, mereka mengembangkan bahasa saat
mendengarkan orang berbicara, dan menghubungkan suara ini dengan aktivitas
dan peristiwa yang tak terkira banyaknya. Mereka memberikan makna melalui
suara, dengan cepat mempelajari apa informasi yang disampaikan oleh orang lain
dan menukar pikiran dan perasaan mereka dengan berbicara dan mendengar.
Pada saat anak mulai masuk sekolah, dia biasanya memiliki kosakata lebih dari
5000 kata. Dan anak diharapkan sudah mempunyai 100 juta kontak yang
bermakna dengan bahasa.
Gangguan pendengaran (hearing impairment) atau di Indonesia dikenal dengan istilah tunarungu atau tuli merupakan salah satu gangguan pada alat
indera yaitu telinga. Menurut data Kementerian Sosial pada tahun 2006 (data
pusdatin) mencatat bahwa terdapat 295.763 anak dengan kecacatan. Jenis
kecacatan yang banyak terjadi adalah tunadaksa (35,8%); tunanetra (17%);
tunarungu (14,27%); tunagrahita (12,15%) dan lain lain (kurang dari 7%) (dalam
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Menurut Mores (dalam Mangunsong, 2009) ketunarunguaan adalah suatu
kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam
wicara atau bunyi-bunyian lain baik dalam derajat frekuensi ataupun intensitas.
Definisi yang kuantitatif secara khusus menunjuk pada gangguan pendengaran
(18)
mendengar atau seberapa besar hilang pendengaran dan ditunjukkan dalam
satuan desibel (Db).
Heward (1998) menyatakan bahwa fungsi pendengaran merupakan sesuatu
hal yang sangat penting bagi anak di tahun pertama kehidupan mereka untuk
menerima dan mempelajari informasi. Pendengaran merupakan hal yang penting
untuk setiap aspek dari kehidupan sehari-hari kita. Jika tidak mendengar, akan
menjadi sulit untuk berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas di sekolah,
pekerjaan, tetangga, teman, bahkan dengan keluarga sendiri. Selain itu juga,
gangguan pendengaran bisa juga mempengaruhi perilaku dan perkembangan
sosial emosional anak. Penelitian yang tersedia tidak begitu jelas mengambarkan
pengaruh dari kehilangan pendengaran terhadap perilaku. Namun hal ini muncul
bahwa anak yang tunarungu akan sukses berinteraksi dengan anggota keluarga,
teman, dan orang-orang dalam komunitas bergantung pada perilaku orang lain dan
kemampuan anak dalam berkomunikasi secara timbal balik dengan cara yang bisa
diterima.
Mangunsong (2009) menyatakan bahwa anak dengan gangguan
pendengaran (tunarungu) seringkali menimbulkan masalah tersendiri. Masalah
utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah komunikasi.
Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi
keterampilan bahasa, membaca, menulis, maupun penyesuaian sosial, serta
prestasi sekolahnya. Namun demikian apabila dicermati, sebenarnya bukan hanya
aspek-aspek itu saja yang terpengaruh, melainkan seluruh aspek
perkembangannya dan aspek kehidupannya juga terpengaruh. Penderitaan anak
(19)
bahasa sebagai salah satu cara komunikasi menjadi terhambat. Dengan
ketidakmampuan berbahasa, khususnya secara verbal, anak akan mengalami
kesulitan dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan, kebutuhan dan
kehendaknya pada orang lain, sehingga kebutuhan mereka tidak terpuaskan secara
sempurna. Disamping tidak dimengerti oleh orang lain, anak tunarungu pun sukar
memahami orang lain, sehingga tidak jarang mereka merasa terkucil atau
terisolasi dari lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
TH, seorang pengajar di TKLB Santi Rahma, Jakarta:
“Anak tunarungu memiliki kesulitan dalam bersosialisasi karena
ketidakmampuan berbahasa mereka yang menyebabkan mereka menjadi sulit untuk berkomunikasi ain itu, mereka lebih terkesan emosian.”
(Komunikasi personal, 6 April 2013).
Goldstein (2005) menyatakan bahwa emosi merupakan pengalaman
subjektif. Namun, tentu saja anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran
digambarkan bahwa mereka lebih sering memakai emosi negatif dibandingkan
anak-anak lainnya. Emosi negatif yang ada pada anak tunarungu baik yang
kategori severe, profound, atau mild adalah rasa marah yang menunjukan tanda-tanda seperti frustasi, temper, keras kepala dan bisa juga menjadi menarik diri. Hal ini seperti yang juga dinyatakan oleh S yang menyatakan bahwa:
“Kebanyakan anak tunarungu pada saat awal datang mereka terkesan
sangat aktif, karena memang susah untuk diberitahu. Karena mereka tidak mendengar dan tidak mengerti tadi sehingga mereka melakukan sesuka hari. Dengan anak yang normal bisa berhenti jika disuruh berhenti. Mereka juga suka emosional kebanyakan mereka pemarah karena merasa tidak dimengerti lingkungannya. Bukan pemalu bukan apa, ada memang tapi kebanyakan yang saya lihat lebih kebanyakan pemarah (Komunikasi personal, 30 Maret 2013).
(20)
Menurut Roternberg & Eisenberg (dalam Papalia, 2008) kontrol terhadap
emosi negatif merupakan salah satu aspek pertumbuhan emosional. Anak-anak
belajar tentang apa-apa yang membuat mereka marah, takut, sedih, dan bagaimana
orang lain bereaksi dalam menunjukan emosi ini, dan mereka belajar
mengadaptasikan perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut. Mereka juga
belajar perbedaan antar emosi dan mengekspresikannya.
Bryant (1987) menyatakan pada pertengahan masa kkanak,
anak-anak menyadari dengan baik aturan penampilan emosional kultur mereka.
Emosional kultur semacam ini dikomunikasikan melalui reaksi orangtua terhadap
penunjukan ekspresi oleh anak. Orangtua yang mengakui dan melegitimasi
perasaan tertekan anak mendorong perkembangan empati dan prososial.
Sementara itu menurut pendapat Fabes, Leornard, Kupenoff, & Martin (2001)
ketika orangtua menunjukan ketidaksetujuan, atau menghukum, emosi negatif,
emosi tersebut bisa jadi semakin intens ditunjukkan dan dapat merusak
penyesuaian sosial anak. Atau anak tersebut mungkin belajar untuk
menyembunyikan emosi negatif tetapi bisa menjadi cemas dalam situasi yang
membangkitkan emosi tersebut (dalam Papilia, 2008).
Gross (2007) juga menyatakan bahwa pemahaman anak dalam
mengembangkan regulasi emosi dipengaruhi oleh input dari pengasuh atau
orangtua. Orangtua yang menunjukkan dukungan ketika anak mengalami emosi
negatif, mengajarkannya untuk mengatasi perasaan tersebut, yang akan membuat
anak mengembangkan pemahamannya akan pengalaman emosi dan berdampak
pada regulasi diri yang efektif. Regulasi emosi bisa didukung dan diganggu oleh
(21)
yang membangun menegaskan bahwa perasaan seseorang itu sesuai dan
memberikan sumber dukungan sosial yang membantu dalam coping melalui pemahaman dan nasehat yang diberikan oleh orang lain. Tetapi penolakan,
kritikan, atau respon meremehkan bisa menambah stress sebagai hambatan dari
regulasi emosi. Khususnya terjadi pada emosi-emosi negatif, ketika kritikan dan
reaksi untuk mengukum mengandung pesan implisit untuk mengabaikan
kesesuaian antara perasaan atau ekspresi mereka.
Gotman dan kawan-kawan (dalam Cortell, 2009) menyatakan bahwa
pikiran dan perasaan orangtua mengenai emosi yang mereka alami sendiri sama
halnya juga dengan dunia emosi dari anak-anak mereka. Dari hal ini lah, Gottman
mengidentifikasi filosofi-filosofi yang berbeda bahwa orangtua bisa memiliki
pengaruh terhadap emosi-emosi anak. Mendengar pandangan para orangtua
mengenai strategi-strategi yang mereka gunakan untuk membantu anak mereka
mengatur emosi membuat Dr. Gottman mengindentifikasi “emotion coaching”. Emotion coaching adalah suatu strategi bagi para orangtua atau pengasuh yang bisa digunakan untuk anak-anak dan para remaja. Dalam emotion coaching, orangtua tidak hanya berespon merenungi terhadap emosi-emosi anak mereka dan
mencontohkan sebagai suatu pendekatan terhadap emosi melalui kesadaran,
ekspresi, dan juga modulasi dari emosi-emosi mereka sendiri; mereka juga secara
aktif dan berperan secara nyata dalam mengarahkan pendekatan terhadap
emosi-emosi anak dengan membicarakan mengenai dengan anak-anak mereka dan
bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut emosi.
(22)
menunjukkan emosi negatif. Bagaimana orangtua bisa menyikapi emosi negatif
anak tanpa adanya pengabaian terhadap emosi negatif tersebut. Namun, bisa
memberikan suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai
suatu cara untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai
emosi-emosi.
Penerimaan orangtua akan ekspresi emosi berhubungan dengan kesadaran
akan emosi dan kemampuan untuk berbicara mengenai emosi dan intensitas
emosi. Gottman et al (dalam Cook, 2004) menemukan bahwa orangtua memiliki
kesadaran emosi yang tinggi cenderung memandang emosi positif dan emosi
negatif sebagai bagian dari hidup dan percaya bahwa ketika emosi negatif dengan
intensitas rendah dihadapi akan mencegah meningkatnya emosi ke intensitas yang
lebih tinggi. Sebaliknya, orangtua dengan kesadaran emosi yang rendah
cenderung meminimalisir atau menghindari emosi negatif. Mereka cenderung
memandang kesedihan dan kemarahan anak sebagai kejadian yang
menyusahakan.
Program parental emotional coaching dianggap bisa membantu orangtua atau pengasuh mempelajari untuk menilai rentang emosi, seperti kebahagian atau
kesedihan. Tujuan dari program ini bagaimana orangtua bisa membantu anak
dalam memecahkan masalah yang menjadi penyebab
kesedihan/kemarahan/kekecewaan pada anak. Berdasarkan uraian diatas maka
peneliti tertarik untuk mengetahui efektifitas parental emotional coaching untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak
(23)
Untuk Meningkatkan Kemampuan Dalam Menghadapi Emosi Negatif Anak
Tunarungu”
I. B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah apakah program parental emotional coaching dapat meningkatkan kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak
tunarungu.
I. C. Tujuan Penelitian I. C. 1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil dari program parental emotional coaching yang dilakukan kepada orangtua bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
I. C.2. Tujuan khusus
Penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu agar orangtua yang sudah
mengikuti parental emotional coaching dapat memiliki kemampuan problem focused reaction saat harus menghadapi emosi negatif anak tunarungu.
I. D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
I. D. 1. Manfaat teoritis penelitian
(24)
anak, pendidikan khususnya mengenai emosi pada anak tunarungu dan
peran serta orangtua untuk membantu menghadapi emosi negatif pada
anak tunarungu.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan
dan masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
lanjutan mengenai anak tunarungu, emosi, regulasi emosi pada anak
tunarungu dan program parental emotional coaching.
I . D. 2. Manfaat praktis penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat luas khususnya ibu
yang memiliki anak tunarungu untuk bisa memahami dan mengatasi
emosi-emosi negatif yang muncul pada anak.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang tua
yang memiliki anak tunarungu agar berperan aktif untuk meningkatkan
kemampuan orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak.
c. Penelitian ini hendaknya dapat menambah pengetahuan pembaca
(25)
I. E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan: dalam bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II : Tinjauan Pustaka: di dalam bab ini dijelaskan beberapa teori yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu tunarungu, emosi, parental emotional coaching.
BAB III : Metode Penelitian: di bab ini akan dijelaskan metode yang akan
digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek
penelitian serta lokasi penelitian, prosedur penelitian dan tahap
pelaksanaan penelitian dan metode analisa data
BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Intervensi: peneliti akan menguraikan hasil
yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian serta pembahasannya.
BAB V : Kesimpulan dan Saran: Menjelaskan kesimpulan yang telah
diperoleh saat melakukan penelitian serta saran-saran metodologis
(26)
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Emosi
II. A. 1. Definisi emosi
Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari kata emouvoir, yang berarti kegembiraan. Selain itu emosi juga berasal dari bahasa Latin emovere yang
berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Lahey (2003) mengatakan emosi merupakan suatu hal yang dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan
munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca namun hanya dapat dilihat
dari ekspresinya dan perilaku saja.
Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat
menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi sangat berkaitan erat
dengan aktivitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi
yang dialaminya. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi, disadari atau tidak
memiliki dampak yang bersifat membangun atau merusak. Dengan demikian bisa
dikatakan emosi tidak hanya merupakan reaksi terhadap kondisi diri sendiri
maupun luar diri sendiri, tetapi juga upaya pencapaian ke arah pembentukan diri
menuju hidup yang transendental (spiritual).
Sementara itu, menurut Lazarus (dalam Gross, 2002) menyatakan bahwa
emotions represent the ‘wisdom of the ages” – emosi-emosi mengambarkan
“kebijaksanaan usia”, membutuhkan respon-respon yang telah teruji waktu terhadap masalah-masalah adaptif yang berulang. Hal yang penting,
(27)
tertentu, emosi-emosi hanya membuat kita lebih berkemungkinan untuk
mengambil tindakan tertentu. Hal inilah yang membuat kita mampu untuk
mengatur emosi kita. Saat merasa takut, kita bisa saja lari, namun tidak selalu
akan berlari. Saat marah, kita bisa saja menghantam sesuatu, tetapi juga tidak
selalu. Bagaimana kita meregulasi emosi kita merupakan suatu persoalan dari
bagaimana kesejahteraan (well-being) tidak mungkin dipisahkan dari kaitannya dengan emosi kita.
Menurut Frijda (dalam Nyklicek, Vingerhoets, Zeelenberg, 2011) emosi
adalah fenomena dasar dari fungsi manusia, secara normalnya memiliki nilai
adaptif untuk meningkatkan keefektifan kita dalam hal mencapai tujuan kita
dalam arti yang lebih luas. Pada level antar individu, emosi membantu
menginformasikan kepada orang lain mengenai emosi yang mendasari dan
maksud suatu perilaku. Pertukaran informasi antar masing-masing orang
merupakan hal yang penting bagi suatu hubungan antar manusia, hal yang
menentukan dari kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu juga berfungsi
sebagai intrapersonal atau hubungan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam hal memperoleh insight kedalam nilai personal seseorang yang penting untuk mengambil suatu keputusan.
Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
emosi adalah respon kognitif, perasaan, dan perilaku yang muncul akibat stimulus
(28)
II. A. 2. Ciri-ciri utama emosi
Tiga ciri utama dari emosi menurut Gross (2007) merupakan prototype yang berhubungan dari penyebab awal adanya emosi, respon terhadap emosi, dan
hubungan antara penyebab awal adanya emosi dan respon terhadap emosi. Ketiga
ciri-ciri utama tersebut adalah:
1. Emosi-emosi akan mencul saat seseorang berada pada suatu situasi dan
melihat sesuatu yang berhubungan dengan tujuannya. Apapun tujuannya,
dan apapun sumber makna dari situasinya bagi seseorang, hal ini
memberikan arti bagi seseorang, dan arti ini bisa membangkitkan emosi
seseorang. Berdasarkan arti tersebut terjadi perubahan dari waktu ke waktu
(baik perubahan berarti dalam situasi itu sendiri maupun perubahan pada
arti situasinya), maka emosi juga akan berubah.
2. Emosi itu berbagai jenis.
3. Emosi lebih menekankan pada pentingnya kualitas – hal ini seperti yang dikemukakan Frijda (1986) yang membuat istilah “ control precedence” – berarti bahwa emosi-emosi bisa menginterupsi apa yang sedang kita
lakukan dan memaksa masuk kedalam kesadaran kita. Bagaimanapun,
emosi sering bersaing dengan respon lain yang juga dihasilkan dari
lingkungan sosial dimana emosi itu berperan. Kemampuan emosi untuk
berubah sudah ditekankan oleh William James (1884), yang menyatakan
bahwa emosi sebagai respon kecenderungan yang bisa dihasilkan dari
berbagai cara. Aspek ketiga dari emosi inilah yang menjadi hal penting
untuk analisa regulasi emosi karena ciri ini membuat regulasi bisa
(29)
Berdasarkan dari ketiga ciri emosi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi
dapat muncul saat seseorang melihat tujuannya, emosi itu terdiri dari berbagai
jenis dan emosi itu dapat diubah dan diregulasi. Ciri yang ketiga bahwa emosi
dapat diregulasi atau diatur ini yang menjadi dasar dari analisa regulasi emosi.
II.A.3. Bagian-Bagian Emosi
Secara umum emosi yang terdapat di dalam diri manusia terdiri dari dua
bagian yaitu emosi positif dan emosi negatif. Hal-hal positif dan negatif memang
sellau datang silih berganti dalam kehidupan kita. Terkadang, kita terlalu egois
dalam menyikapi kondisi yang di alami, karena ingin semua hal yang terjadi
berjalan positif atau mungkin juga kita tidak mampu bersabar menunggu waktu
datangnya hal positif setelah terjebak sekian lama dalam kondisi yang negatif.
a. Emosi Positif
Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan
positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Hill (dalam
Syukur, 2011) mengatakan bahwa terdapat tujuh macam emosi
yang masuk dalam emosi positif, diantaranya adalah hasrat,
keyakinan, cinta, seks, harapan, romansa dan antusiasme. Ketujuh
emosi tersebut merupakan bentuk emosi yang paling dominan,
kuat, dan paling umum digunakan dalam usaha kreatif. Jenis emosi
ini dapat menunjang keberhasilan karir dan dianggap tidak
merugikan orang lain. Seberapa besar keberhasilan dari emosi
(30)
Dari kenyataan yang sering terjadi, energi emosi positif lebih baik
digunakan dalam proses mengingat jika dibandingkan dengan
energi emosi negatif. Emosi yang positif akan menghadirkan
perasaan senang, sebab emosi ini dapat membuat otak ingin
mengenang kembali bayangan tersebut. selain itu emosi positif
juga dapat menumbulkan sebuah motivasi karena memang
memiliki unsur motivasi yang luar biasa kuat. Untuk
menumbuhkan emosi positif ini kita harus mampu mengalahkan
energi yang terkandung dalam muatan emosi negatif.
b. Emosi Negatif
Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan
perasaan tidak menyenangkan dan dapat mengakibatkan perasaan
negatif pada orang yang mengalaminya. Biasanya emosi negatif ini
berada di luar batas kewajaran, seperti marah-marah yang tidak
terkendali, berkelahi, menangis meraung-raung, tertawa keras dan
terbahak-bahak bahkan timbulnya tindakan kriminal. Umumnya,
emosi negatif menimbulkan permasalahan yang dapat menganggu
orang yang mengalaminya, bahkan berdampak pada orang lain dan
masyarakat secara luas. Biasanya, orang yang mengalami emosi
negatif cenderung lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai
negatif, seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik,
prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya. Emosi semacam itu
(31)
1. II.A.4. Jenis-jenis emosi
Hurlock (1993) mengatakan bahwa ada 5 jenis emosi pada anak,
diantaranya adalah :
a. Marah
Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai
permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak
lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang
ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat
atau memukul orang lain.
b. Takut
Kebiasaan atau ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan
berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita,
gambar – gambar, acara televisi, radio maupun film yang mengandung unsur yang menakutkan. Biasanya reaksi awal anak untuk rasa takut adalah
panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar,
bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.
c. Cemburu
Anak menjadi cemburu apabila ia menginar bahwa minat dan perhatian
orangtuanya beralih kepada orang lain di dalam keluarga. Biasanya
kehadiran adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat
mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya
dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura – pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik
(32)
d. Gembira atau senang
Anak merasa gembira biasanya dikarenakan mendapatkan nilai yang bagus,
hadiah, dan pujian. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan
tersenyum dan tertawa, melompat – lompat atau memeluk benda atau orang yang dapat membuatnya bahagia.
e. Sedih
Anak – anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintainya atai sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya apakah itu
orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak
mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan
minat terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.
Berdasarkan lima jenis emosi yang biasanya terjadi pada anak maka dalam
penelitian ini juga akan diteliti mengenai emosi-emosi tersebut yaitu marah, sedih,
cemburu, takut dan senang atau gembira.
II. A. 5. Fungsi Emosi
Bagi manusia, dalam teori Coleman dan Hammen dalam Syukur (2011),
emosi tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri atau sekedar
mempertahankan hidup. Emosi pada manusia seperti yang dikemukakan oleh
Martin dalam buku Psikologi Belajar, juga memberikan fungsi sebagai pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam hidup manusia. Emosi
juga berfungsi sebagai messenger artinya adalah emosi yang terjadi dalam diri seseorang dapat membawa pesan atau informasi. Emosi memberitahukan kita
(33)
kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu
yang tepat dengan kondisi tersebut.
Dalam konteks ini, emosi bukan hanya pembawa informasi (messenger) dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga dalam komunikasi interpersonal.
Lebih dari itu, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Setiap emosi yang ada dalam diri kita memberikan rangsangan terhadap
pemikiran, khayalan baru dan tingkah laku yang baru.
II.B.6. Ekspresi Emosi
Emosi adalah keadaan internal yang memiliki perwujudan secara
ekstrenal. Meskipun yang bisa merasakan emosi adalah orang yang
mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi
terekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk
verbal maupun nonverbal. Syukur (2011) mengatakan bahwa ada beberapa jenis
ekspresi emosi yang menunjukkan kepribadian seseorang, diantaranya adalah:
a. Ekspresi wajah
Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui
raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa
dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain
tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih,
bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan
(34)
b. Ekspresi vokal
Nada suara seseorang akan berubah seiring dengan emosi yang
sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah, nada suaranya
pasti akan terdengar meninggi. Demikian juga seseorang yang
sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas dan lancar.
Sementara itu, seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa
dan mengalami kesedihan, kemungkinan besar nada suaranya akan
terbata-bata, bahkan tidak berbicara.
c. Perubahan fisiologis
Saat kita merasakan perubahan sebuah emosi, terdapat perubahan
fisiologis yang mengiringinya, baik yang bisa kita rasakan atau
tidak. Saat takut, kita akan merasakan detak jantung yang
meningkat, berdebar-debar, kaki dan tangan gemetar. Selain itu,
kita juga merasakan bulu kuduk merinding, otot wajah menegang,
berkeringat, kencing di celana, dan lain sebagainya. Bahkan,
perubahan tersebut jarang juga diketahui oleh orang lain.
d. Gerak dan isyarat tubuh
Sering kali, emosi emosi seseorang akan diekspresikan melalui
gerak dan isyarat tubuh. Terkadang, kita cukup mengetahui
seseorang sedang gugup atau jatuh cinta hanya dari bahasa
tubuhnya. Ia akan menjadi tidak hati-hati, banyak melakukan
gerakan yang tidak perlu, sering melakukan kesalahan berkeringan
(35)
dicintainya lebih sering, duduk condong padanya, tersenyum lebih
lebar dan lain-lain.
e. Tindakan-tindakan emosional
Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi marah
melanda, terkadang seseorang hanya diam. Diam dianggap sebagai
salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosionalnya.
Namun, tidak jarang kira melihat emosi seseorang yang sedang
marah dengan membentak, memaki bahkan memukul. Sementara
itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup
mengapresiasikannya dengan menangis.
II. A. 7. Perkembangan regulasi emosi
Dodge dan Garber (1991) menyatakan bahwa regulasi dari sistem-sistem
respon sering dianggap sebagai suatu prestasi perkembangan karena hal ini
merupakan koordinasi yang tidak diperoleh langsung saat kita dilahirkan sehingga
biasanya diperoleh pada masa-masa awal kehidupan. Kopp (1989) menyatakan
bahwa regulasi awalnya diperoleh dari lingkungan eksternal (pengasuh) dan tugas
perkembangan hubungan antara bayi dan pengasuh adalah untuk mentransfer
kontrol tersebut pada bayi. Pada bulan pertama kehidupan, peristiwa-peristiwa
yang terjadi tanpa disadari, seperti mengisap, memutar kepala, dan pergerakan
tangan ke mulut merupakan hasil pembelajaran terhadap adanya stimulus negatif
(36)
bulan pertama kehidupan, yang membuat bayi mampu memiliki kendali atas
respon-respon motorik dan fisiologis. Selain itu, menurut Malatesta dan Walden
adanya fungsi pengaturan dari interaksi antara bayi dan pengasuh, yang kemudian
nantinya akan menjadi sumber informasi yang akan menjadi kontrol perilaku yang
tidak nampak terutama pada hal-hal yang negatif.
Pada saat bayi mulai matang, kemampuan kognitifnya mulai berkembang
(seperti diskriminasi, perencanaan, dan selective attention) membuat mereka sudah mulai bisa untuk melakukan regulasi emosi. Seluruh kegiatan ini didukung
dan dimonitor oleh pengasuh. Diantara yang paling penting pada pencapaian
perkembangan dikaitkan dengan munculnya regulasi emosi adalah pencapaian
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Menangis menjadi sangat
komunikatif, membuat bayi mampu untuk menunjukkan isyarat kepada pengasuh
saat regulasi eksternal diperlukan. Dan menangis berubah menjadi sinyal-sinyal
nonverbal, seperti melihat kepada ibunya saat dipaparkan stimulus yang baru atau
ambigu, kemudian dengan munculnya bahasa.
II. B. Anak Tunarungu
II. B. 1. Definisi anak tunarungu
Menurut Heward (1998) tunarungu (hearing impairment) adalah suatu istilah genetik yang mencakup ketidakmampuan mendengar (hearing disabilities) dari rentang ringan hingga parah (mild to profound), sehingga meliputi anak-anak yang tuli (deaf) dan mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing). Ketulian (deaf) adalah mereka yang tidak mampu mendengar untuk mengerti sebuah percakapan, walaupun mereka menerima beberapa suara. Terkadang walaupun
(37)
memakai alat bantu dengar, kehilangan pendengaran yang sangat besar tidak bisa
membuat mereka bisa mengerti sebuah percakapan jika hanya mengandalkan
telinganya saja. Hal ini berbeda dengan seseorang yang mengalami kesulitan
pendengaran (hard of hearing) yaitu seseorang yang memiliki kehilangan pendengaran yang signifikan sehingga memerlukan adapatasi khusus. Berg (1986)
menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan anak yang memiliki kesulitan
pendengaran dapat merespon percakapan dan stimulus auditori lainnya. Dengan
kata lain, kemampuan bahasa dan berbicara anak yang mengalami kesulitan
pendengaran yang mengalami penurunan atau keterlambatan bisa berkembang
dengan saluran suara (auditory channel). Anak-anak yang mengalami kesulitan pendengaran mampu menggunakan pendengaran mereka memahami suatu
percakapan, terutama jika menggunakan bantuan alat bantu dengar.
Somantri (2007) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai
suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Batasan pengertian anak tunarungu banyak diungkapkan oleh para ahli. Seperti
menurut Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2007) yang mengemukakan bahwa
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli atau tunarungu adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran
tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera
(38)
hearing aids. Selain itu Salim (dalam Somantri, 2007) juga menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus
untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Memperhatikan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian
(hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
II. B. 2. Klasifikasi tunarungu
Menurut Somantri (2007) klasifikasi tunarungu dibagi menjadi dua, yaitu
secara etiologis dan menurut tarafnya:
a. Klasifikasi secara etiologis
Yaitu pembagian yang berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab
ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu:
1. Sebelum dilahirkan
a) Salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu atau
mempunyai gel sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominan
gen, resesif gen, dan lain-lain.
b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu
(39)
kehamilan tri semester pertama, yaitu pada saat pembentuka ruang
telinga. Penyakit itu adalah rubella, moribili, dan lain-lain.
c) Karena keracunan obat-obatan, pada suatu kehamilan ibu
meminum obat-obatan terlau banyak, ibu seorang pencandu
alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya, sehingga
dia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat
menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
2. Saat kelahiran
a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan
dibantu dengan penyedotan.
b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
3. Setelah kelahiran (post natal)
a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak
(meningitis) atau infeksi umum, seperti difteri, morbili, dan lain-lain.
b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
c) Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran
bagian dalam, misalnya jatuh.
b. Klasifikasi menurut tarafnya
Menurut Heward (1995) ada beberapa tingkatan dari kerusakan
pendengaran dan berbagai pengaruhnya pada anak. Tidak ada dua anak yang
(40)
mendengar sama bervariasi dari hari ke hari. Beberapa tingkatan dari kerusakan
pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pendengaran lebih ringan(27-40 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran slight loss bisa memiliki kesulitan mendengar samar-samar atau pidato yang jauh dan anak-anak ini biasanya
tidak memiliki kesulitan dalam situasi sosial.
b. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)
Anak dengan gangguan pendengaran ringan masih bisa memahami
percakapan dengan jarak 3-5 kaki (face to face) dan bisa kehilangan sekitar 50% diskusi di kelas jika suaranya samar-samar atau tidak sejajar
dengan garis penglihatan. Bisa memiliki keterbatasan kosakata dan
ketidakteraturan dalam berbicara.
c. Gangguan pendengaran sedang(56-70 dB)
Anak yang mengalami gangguan pendengaran sedang hanya bisa mengerti
percakapan dengan suara keras, kesulita dalam diskusi kelompok semakin
meningkat, berkemungkinan adanya gangguan berbicara, kesulitan dalam
penggunaan pemahaman bahasa dan berkemungkinan memiliki kosakata
yang terbatas.
d. Gangguan pendengaran berat(71-90dB)
Anak yang mengalami gangguan pendengaran berathanya bisa mendengar
suara dengan jarak 1 kaki dari telinga mereka dan mampu untuk
mengidentifikasi suara-suara pada lingkungan, mampu untuk membedakan
huruf hidup tetapi tidak dengan konsonan (huruf mati). Kemampuan
(41)
tidak bisa berkembang secara spontan jika kehilangan pendengaran
dimulai pada sebelum usia 1 tahun.
e. Gangguan pendengaran sangat berat(91 dB atau lebih)
Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran pada tahap sangat
berat, mereka bisa mendengar beberapa suara keras tetapi lebih
menggunakan sensasi getaran dibandingkan dengan gaya suara. Lebih
menekankan pada penglihatan dibandingkan dengan pendengaran untuk
berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dan berbicara berkemungkinan
besar mengalami kerusakan dan kemampuan ini tidak berkembang secara
spontan jika kehilangan pendengaran pada masa prelingual.
Dwidjokusumo (dalam Somantri, 2007) mengemukakan klasifikasi
menurut taraf dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan
pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB,
penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar
secara khusus.
b. Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB,
penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus,
dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan
latihan berbahasa secara khusus.
c. Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.
(42)
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam
kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa,
dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan
kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
II. B. 3. Sejarah perkembangan tunarungu
Wouk (2011) menyatakan bahwa pada beberapa tahun awalnya,
orang-orang yang menderita tunarungu memiliki kehidupan yang terisolasi, terpisah dari
kehidupan sehari. Sekarang hal ini tidak sepenuhnya benar. Saat para peneliti
menemukan berbagai cara yang berbeda untuk menentukan masalah pendengaran,
mereka juga memiliki cara untuk memperbaikinya. Pada tahun 1995, pemenang
dari Miss America merupakan seorang yang mengalami kehilangan pendengaran
semenjak bayi. Untuk pertama kalinya dalam 75 tahun sejarah miss Amerika
dimenangkan oleh seorang yang menderita kecacatan. Setelah beberapa abad
lamanya orang tunarungu mengalami diskriminasi yang mengerikan. Lebih dari
2000 tahun yang lalu, fisuf yunani yaitu Aristoteles dan Plato menyatakan bahwa
orang tunarungu tidak bisa mendapatkan pengajaran dan pada zaman romawi
kuno seorang tunarungu tidak mendapatkan hak penuh sebagai seorang warga
negara.
Pada abad ke 16 hingga 17 tepatnya pada tahun sekitar tahun 1500 an.
Seorang doktor berkebangsaan Itali dan seorang ahli matematika yang bernama
Girolamo Cardano menjadi tertarik terhadap ketulian karena anak tertuanya tidak
(43)
dengan serangkaan gambar yang diajarkan sehingga bisa mengajar orang yang
tuli. Dia menyebut sebagai kode-kode images visual sehingga Cardano menjadi
orang pertama yang menyatakan bahwa Plato dan Aristoteles salah karena orang
tunarungu bisa diajar. Sekitar 1 abad kemudian, doktor berkebangsaan Ingris yang
bernama John Buwler sepakat dengan Cardano. Buwler mengajarkan orang
berkomunikasi dengan menggunakan tangan mereka. Dia mengajarkan orang
tunarungu menggunakan untuk pergerakan tangan untuk mengekspresikan pikiran
mereka. Dia menyarankan bahasa tanda alphabet. Perbedaan pergerakan tangan
dan jari bisa menunjukan huruf-huruf. Dengan perpindahan tangan ini, orang
tunarungu bisa menghasilkan kata-kata.
Pada tahun 1980 an, Alexander Graham Bell, penemu telepon, adalah
salah satu dari orang yang percaya bersuara akan lebih baik daripada bahasa
isyarat. Tunarungu sudah menjadi bagian dari dirinya semenjak dia masih kecil
karena memiliki ibu yang tuli, dan sebagai anak dia berbicara dengan bahasa
isyarat tetapi semenjak dia mengajar pada anak tunarungu dan menikahi salah
seorang muridnya maka Bell dan yang lain percaya bahwa jika hanya
menggunakan bahasa isyarat maka akan menghambat seseorang berkomunikasi
hanya dengan orang yang tunarungu. Dengan belajar bersuara, maka orang
tunarungu bisa berbicara dengan setiap orang sehingga pada tahun 1880, para
pendidik anak tunarungu mengadakan sebuah pertemuan dunia. Mereka
memutuskan unruk menghentikan untuk mengajarkan bahasa isyarat dan hanya
mengajarkan mereka bersuara.
(44)
fisik mereka. Hal ini berlangsung sampai abad 20 dan kemudian terjadi
perubahan. Selama bertahun-tahun mulai ada beberapa cara tradisional untuk
menyembukan ketulian dan sebagian besar dari cara tersebut tidak masuk akal
seperti meletakan ranting di telinga dari pagi hingga malam hari. Selain itu, ada
juga dengan memakan lada sehingga mereka bersin dengan anggapan bersin akan
menyembuhkan ketulian. Salah satu metode tertua adalah candling dengan cara meletakan lilin di dekat telinga mereka untuk menarik kotoran telinga.
Setelah abad 20, para penemu menemukan alat untuk membuat suara lebih
terdengar keras semacam terompet di telinga yang diadaptasi dari penemuan
telepon dari Alexander Graham Bell. Selanjutnya dengan bentuk yang lebih
kecil, terdiri dari mikrophone kecil yang bisa meningkat suara dan membuat
suaranya terdengar lebih keras. Namun, hal ini hanya efektif dalam ruangan
yang tenang, namun tidak membantu saat seseorang berada di restoran yang ribut
karena segala sesuatunya termasuk latar suara yang bising juga ikut terdengar
lebih keras sehingga banyak orang yang menyudahi memakai alat ini karena
alasan tersebut. Saat ini ada alat terbaru, yaitu alat bantu dengar digital yang
terbuat dari komputer sangat kecil yang mengubah suara menjadi kepingan data.
Komputer tersebut tetap bisa menjaga agar latar suara bising tetap terdengar lebih
pelan dan menghasilkan suara yang lebih pelan dibandingkan dari suara yang
terdekat. Alat bantu dengar digital lebih rumit dibandingkan dengan model yang
terdahulu. Satu alat telah dirancang untuk kebutuhan pengguna tertentu, tetapi
alat bantu ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih cerdas, dan
(45)
pengguna maka tidak perlu mengganti alat yang baru hanya dilakukan
penyesuaian.
Dillon (dalam Dornan, 2010) menyatakan bahwa alat bantu dengar terdiri
dari suatu microphone yang mengubah suara kedalam elektro, suatu cetakan
telinga yang mengubah suara kedalam telinga, suatu pengeras suara untuk
meningkatkan kekuatan dari sinyal elektrik, suatu miniatur loudspeaker, sepasang alat untuk memperkuat suara kedalam terusan telinga dan sebuah
baterai. Alat bantu dibelakang telinga (Behind Ear Aid) adalah alat bantu dengar yang paling sesuai untuk anak-anak dan alat bantu dengar yang sesuai secara
bilateral direkomendasikan untuk anak-anak dengan bilateral hearing loss (American Academy of Audiology, 2004). Alat bantu dengar digital adalah alat
yang menerima suara dan membuatnya menjadi digital atau gelombang suara
dibagi menjadi unit yang kecil, diskrit unit sebelum menjadi amplifikasi. Alat
bantu dengar digital bisa diprogram dan disesuaikan pada lingkungan akustik
juataan waktu per detik. Teknologi digital juga membuat hal ini menjadi
mungkin bagi clinician untuk menghasilkan program yang telah disesuaikan untuk kesulitan mendengar pada orang tertentu.
(46)
II. B. 4. Perkembangan emosional anak tunarungu
Goldstein (2005) menyatakan bahwa perkembangan emosional dan
motivasional tidak bisa dianggap sesuatu yang terpisah. Sesuatu yang
menyenangkan akan dicari dan sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari.
a. Severe/profound congenital hearing loss
Pada saat anak baru lahir mereka tidak begitu banyak memiliki
pengalaman auditori. Sehingga pada kondisi tantrum yang
dikombinasikan dengan pengaruh dari hambatan fisik dan kata-kata
yang menenangkan tidak ada. Anak yang mengalami gangguan
pendengaran akan mengacau saat menghadapinya dan menutup mata
dengan air mata yang mengalir seperti juga anak normal lainnya.
Hanya dengan adanya sentuhan yang menetap. Anak kecil yang marah
cenderung untuk mengangkat bahu dan bergerak meninggalkan.
Sebagai akibatnya anak dengan profound congenital hearing loss berkemungkinan akan mengalaminya dalam waktu yang lebih lama,
ledakan kemarahan dan kejengkelan yang tak henti-henti, menjadi
kurang terbuka terhadap bujukan.
Bayi yang mengalami gangguan pendengaran, saat mereka
ditinggalkan, saat kontak mata mereka telah hilang, mereka merasa
terisolasi. Tidak adanya isyarat auditori menyebabkan baik sering
mengalami keterkejutan singkat. Reaksi terhadap keterkejutan adalah
(47)
b. Moderate congenital hearing loss
Masih adanya kemungkinan bahwa frekuensi rendah dalam
percakapan bisa didengar. Dan juga berdampak bisa mendeteksinya
suara bising. Walaupun pengalaman auditori masih lemah, pada masa
awal perkembangan suara-suara yang menenangkan dan bersenandung
akan menjadi efektif. Nada dan bukan isi yang penting. Pada akhirnya,
saat komunikasi verbal merupakan elemen kunci , suatu
ketidakmampuan untuk memahami dengan segera atau mampu untuk
mengekspresikan pikiran yang mengarahkan pada frustasi. Seperti
yang diprediksi bahwa kelompok anak ini juga menunjukkan lebih
banyak tanda-tanda dari kemarahan dan keras kepala.
c. Mild congenital and fluctuating hearing losses
Mild hearing loss bisa jadi yang paling terprovokasi. Jika anak berbicara dan secara jelas memahami dalam suatu situasi dia
diharapkan bisa merespon pada keseluruhan situasi. Namun hal ini
justru yang tidak bisa dilakukan oleh banyak anak yang mengalami
mild hearing loss. Untuk situasi berikutnya dalam beberapa cara yang salah karena saat pada hari yang bagus segala sesuatunya tersenyum
dan pada hari yang buruk (poor hearing) instruksi dan penjelasan susah untuk diikuti atau tidak berhasil diselesaikan. Karena mereka
dianggap suka membantah mereka mudah terprovokasi untuk
mengeluarkan respon marah, yang bisa menjadi ke bentuk temper
(48)
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa gambaran emosional
pada anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu kategori ringan
sampai sedang adalah seringnya mereka marah-marah dengan perilaku
tantrumnya dan juga terkadang menjadi mengeluarkan emosi-emosi yang
menunjukkan penarikan diri.
II. C. Parental Emotional Coaching
II. C. 1. Landasan awal parental emotional coaching
Pelatihan orangtua dalam emotional coaching diawali dengan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Gottman et al. (dalam Coffrin, 2007) pada 56
pasang suami istri di Illinois dengan anak mereka saat berusia empat atau lima
tahun yang kemudian ditelaah kembali ketika berusia tujuh atau delapan tahun.
Penelitian longitudinal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
sikap orangtua dan respon emosional anak (baik pada diri mereka maupun anak
mereka) dan regulasi emosi anak, tingkah laku, keterampilan sosial, dan performa
akademik (dalam Havinghurst, 2009). Gottman et al, (dalam Cook, 2004)
menemukan bahwa meta emotion coaching mempengaruhi hubungan antara tingkah laku orangtua dalam pengasuhan dan keterampilan sosial anak.
Gottman dan koleganya (dalam Coffrin, 2007) melakukan penelitian
mengenai parents’meta philoshopy yang mengacu pada serangkaian pikiran dan perasaan yang terorganisir mengenai emosi orangtua dan emosi anak. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa meta emosi pada dasarnya bervariasi
untuk masing-masing orangtua. Beberapa orangtua memandang bahwa
(49)
yang lainnya memandang sebagai emosi yang wajar sehingga memerlukan atensi
atau indikator-indikator yang membantu bahwa ada sesuatu yang salah atau terjadi
hal yang mengecewakan dan hal lainnya yang perlu diatasi. Perbedaan makna dari
emotional arousal juga ditemukan oleh yang lainnya (contohnya, Haviland-Jones, Gebelt & Stapley, 1997; Thompson, Flood, && Lundquist, 1995).
Dalam penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan pada parents’meta philoshopy (Gottman dan koleganya, 1996) ada dua tipe dasar dari perilaku pola asuh terhadap emosi-emosi: emotion dismissing dan emotion coaching. Orangtua yang memiliki pola asuh emotion dismissing memandang bahwa kesedihan dan kemarahan anak sebagai racun, atau berpotensi akan membahayakan anak.
Mereka percaya bahwa tugas mereka adalah mengubah emosi negatif ini secepat
mungkin dan menjelaskan kepada anak bahwa emosi tersebut tidak penting.
Selain itu, orangtua tersebut bisa jadi tidak melihat adanya alasan anak untuk
bersedih, sebagai contoh komentar orangtua yang pertama adalah, “Apa anak
harus bersedih mengenai...?” (Gottman dan koleganya, 1996). Sehingga pada akhirnya orangtua memandang kemarahan anak (tanpa adanya kelakuan buruk)
sebagai alasan yang sudah cukup untuk menghukum anak. Orangtua ini memiliki
filosofi meta-emotion menyamakan emosi negatif dengan keegoisan, kehilangan kontrol, ketidakpedulian, atau kegagalan. Namun hal ini bukan berarti bahwa
orangtua ini selalu keras. Pada kenyataannya, Gottman menemukan bahwa
orangtua dengan pola asuh ini bisa jadi sensitif terhadap perasaan anak mereka
dan ingin membantu, tetapi pendekatan mereka terhadap perasaan-perasaan
(50)
Sementara itu, orangtua yang memiliki teknik pola asuh yang emotional coaching akan sangat menyadari terhadap perasaan anak dan sering membuat suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara
untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosi-emosi.
Orangtua yang mendengarkan anak dan menggunakan berbagai strategi untuk
membantu anak mereka mengatur emosi. Hal ini akan membawa berbagai
keuntungan seperti pemahaman emosi yang lebih baik dan akan lebih mudah
memperbaiki dari situasi yang tidak menyenangkan. Terkait pola pengasuhan,
terdapat tiga macam gaya pengasuhan yaitu
a. Gaya pengasuhan suka menghina(derogation)
Merupakan pengasuhan negatif dimana orangtua bertingkah laku
dengan mengkritik, mengejek anak, dan tidak sabar ketika
mengajarkan sesuatu kepada anak.
b. Gaya pengasuhan yang hangat (warmth)
Orangtua yang menunjukkan kehangatan terhadap anak.
c. Gaya pengasuhan scaffolding
Orangtua responsif dan hangat terhadap anak, tapi berbeda dengan
pengasuhan warmth, orangtua mengajarkan anak hal-hal baru dan memberi struktur ketika berhadapan dengan situasi dimana mereka
harus mengajarkan anak suatu hal (ketika mengajarkan suatu
permainan, orangtua dengan gaya pengasuhan ini bisa
menjelaskan dengan tenang tujuan dan prosedur permainan,
menunggu anak untuk mencoba dan memberi pujian ketika anak
(51)
Secara lebih spesifik, emotion coaching berkorelasi negatif dengan derogatory parenting dan berkorelasi positif dengan scaffollding (praising parent behavior).
II. C. 2. Definisi Parental Emotional Coaching
Menurut Gottman (1996) emotional coaching mencakup lima komponen, yaitu:
1. Aspek pertama yaitu menyadari munculnya emosi anak, bahkan jika emosi
tersebut hanya memiliki intensitas yang rendah. Hal ini membuat orangtua
memungkinkan untuk mengenali tanda-tanda awal dari kesedihan dan
kemarahan anak dan mengaitkannya dengan emosi negatif yang pernah
terjadi, sebelum mulai meningkat ke intensitas yang tinggi.
2. Emotion coaching parent memandang emosi-emosi negatif dari anak merupakan suatu kesempatan untuk melakukan keakraban dan pengajaran
kepada anak. Orangtua ini memandang kesedihan, sebagai informasi
penting dan suatu isyarat bahwa sesuatu telah salah dan menggunakan
ekspresi dari anak mereka ini untuk sebagai cara untuk membuat
hubungan dengan mereka. Contohnya, orangtua memberi skor yang tinggi
pada variabel perasaan dekat dengan anak-anak mereka saat mereka
merasa sedih (Gottman et al., 1997).
3. Komponen yang bertujuan untuk memvalidasi atau berempati pada emosi
negatif anak. Hal ini mencakup komunikasi dengan anak bahwa
(52)
4. Emotional coaching parents membantu anak memberi label terhadap emosi negatif. Yaitu, orangtua membantu anak untuk menempatkan
perasaan mereka ke dalam kata-kata yang dapat meningkatkan
pemahaman mereka dari pengalaman emosi yang pernah mereka alami..
5. Komponen dari emotion coaching mengacu pada pemecahan masalah anak. Hal-hal ini bisa mencakup membuat batasan waktu sebagai contoh,
“Ok jika kamu marah, namun kamu tidak boleh memukul adikmu,
mengambarkan perilaku yang tepat, dan membantu anak untuk
memperjelas tujuan dan strategi-strategi untuk mencapainya.
Berdasarkan pada penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa
emotional coaching terdiri dari lima komponen. Komponen tersebut dimulai pada saat orangtua mulai menyadari emosi anak muncul, emosi negatif yang muncul
tersebut dianggap sebagai media pembelajaran bagi anak dan sarana orangtua
untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak mereka. Selain itu,
bagaimana orangtua bisa memastikan dan berempati terhadap emosi negatif yang
dialami oleh anak, membantu anak memberikan label terhadap emosi negatif yang
sedang dialami anak sehingga akhirnya bisa mencari pemecahan masalah terhadap
emosi negatif yang sedang dialami anak. Namun, dalam penelitian ini juga
memasukan emosi gembira atau senang dari emosi dasar manusia selain dari
(53)
II. C. 3. Kecenderungan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak berdasarkan teori Gottman
Gottman & DeClaire (1998) menjelaskan bahwa ada empat gaya
pengasuhan yang berkaitan dengan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi
negatif anak, yaitu orangtua yang mengabaikan (dimissing style), tidak menyetujui (disaproving style), membebaskan (laissez-faire), dan pelatih emosi (the emotion coaching style). Umumnya orangtua lebih dominan pada satu gaya. Namun demikian, penggunaan gaya lain dapat terjadi sesekali. Berikut penjelasan dari
empat gaya tersebut (Gottman & DeClaire, 1998; Gottman & Talaris Institute,
2004):
1. Orangtua yang mengabaikan (dimissingstyle)
Orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak didasari oleh
keyakinan emosi negatif adalah sesuatu yang tidak perlu atau justru
berbahaya, dan perlu dihindari. Akibatnya, mereka menghindari
emosi-emosi tersebut, berusaha “memperbaiki” perasaan anak, atau berupaya mengalihkan mereka dari perasaan tersebut. Mereka
berpendapat tidaklah sehat “menyimpan” emosi berlama-lama. Bila mereka terlibat dalam penyelesaian masalah dengan anak-anak
mereka, mereka memusatkan perhatian pada yang dibutuhkan untuk
“mengatasi” emosi, bukan pada emosi itu sendiri.
Sebagian dari orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak
cenderung meremehkan perasaan anak karena anak-anak dalam
(1)
1. Jika anak saya marah karena dia sedang sakit atau terluka sehingga tidak bisa pergi bermain bersama dengan teman-temannya, maka saya akan:
a. Menyuruh anak saya masuk kedalam kamar untuk menenangkan dirinya.
1 2 3 4 5 6 7
b. Memarahinya 1 2 3 4 5 6 7
c. Membantunya untuk memikirkan bagaimana cara agar ia bisa tetap bisa bermain dengan teman-temannya.
1 2 3 4 5 6 7 d. Mengatakan kepada anak bahwa untuk tidak
terlalu berlebihan mempermasalahkan tidak ikut bermain
1 2 3 4 5 6 7
e. Mendorong anak agar bisa mengekspresikan perasaan marah dan frustasinya
1 2 3 4 5 6 7 f. Menenangkan anak dan melakukan sesuatu
yang menyenangkan agar dia merasa lebih baik
1 2 3 4 5 6 7
2. Jika anak saya terjatuh saat bermain sepeda dan sepedanya rusak, sehingga dia merasa sedih dan menangis, maka saya akan melakukan:
a. Tetap tenang dan berusaha untuk tidak cemas 1 2 3 4 5 6 7 b. Menenangkan anak saya dan berusaha agar
dia bisa melupakan kecelakaan yang baru saja dialaminya
1 2 3 4 5 6 7 c. Mengatakan kepada anak bahwa mereka
bertindak terlalu berlebihan
1 2 3 4 5 6 7 d. Membantu anak untuk mencari solusi
bagaimana cara memperbaiki sepedanya
1 2 3 4 5 6 7 e. Mengatakan kepada anak bahwa tidak
masalah jika ia menangis
1 2 3 4 5 6 7 f. Mengatakan kepada anak agar berhenti
menangis atau dia tidak diperbolehkan lagi bermain sepeda
1 2 3 4 5 6 7
3 Jika anak menangis saat kehilangan mainan atau peralatan tulis, maka saya akan melakukan :
a. Merasa kecewa karena anak ceroboh dan setelah kehilangan menangisi benda tersebut
1 2 3 4 5 6 7 b. Mengatakan kepada anak bahwa mereka
bertindak terlalu berlebihan
1 2 3 4 5 6 7 c. Membantu anak memikirkan tempat-tempat mana 1 2 3 4 5 6 7
(2)
dengan berbicara mengenai hal-hal yang mengembirakan
e. Mengatakan kepada dia bahwa merupakan hal yang wajar menangis saat merasa sedih
1 2 3 4 5 6 7 f. Mengatakan bahwa apa yang terjadi karena
dia tidak berhati-hati
1 2 3 4 5 6 7
4. Jika anak saya merasa takut saat akan disuntik dan menjadi gemetaran dan menangis saat masih menunggu giliran, maka saya akan:
a. Mengatakan kepadanya untuk tenang atau dia tidak boleh melakukan hal yang dia sukai (bermain gameatau menonton televisi)
1 2 3 4 5 6 7
b.Mendorong anak untuk menyampaikan ketakutan apa yang ia rasakan.
1 2 3 4 5 6 7 c. Mengatakan kepada anak bahwa disuntik itu
bukanlah sesuatu yang menakutkan
1 2 3 4 5 6 7 d.Mengatakan kepadanya bahwa jangan membuat
malu dengan menangis
1 2 3 4 5 6 7 e. Memberikan kenyamanan kepadanya sebelum
dan sesudah disuntik
1 2 3 4 5 6 7 f. Mengatakan kepada anak mengenai berbagai
cara untuk mengurangi rasa sakit (seperti menarik nafas, berusahatetapsantai sehingga tidak akan sakit.
1 2 3 4 5 6 7
5 Jika anak saya harus menginap di rumah teman atau saudaranya dan kemudian menjadi cemas dan kecewa karena saya tidak bisa ikut tinggal, maka saya akan : a. Mengalihkan dengan cara mengatakan mengenai
hal-hal yang menyenangkanyang akan dia peroleh saat bersama dengan teman atau sepupunya
1 2 3 4 5 6 7
b. Membantunya memikirkan cara yang bisa dia lakukan saat berada di rumah teman atau saudaranya tanpaadanya saya bukanlah sesuatu yang menakutkan (seperti, membawa buku atau
(3)
mainan favoritnya)
c. Mengatakan kepadanya agar berhenti bersikap berlebihan dan berperilaku seperti bayi/anakkecil.
1 2 3 4 5 6 7
d. Mengatakan kepada anak agar jika dia tidak berhenti maka di lain waktu dia tidak boleh lagi
berpergian
1 2 3 4 5 6 7
e. Merasa kecewa dan tidak nyaman dengan reaksi anak
1 2 3 4 5 6 7
f. Mendorong anak untuk menyampaikan mengenai perasaan cemas yang dialaminya
1 2 3 4 5 6 7
6 Jika anak saya bergabung dalam kelompok kegiatan atau klub dengan teman-temannya dan padasuatuwaktu dia membuat suatu kesalahan sehingga membuatnya malu dan mau menangis, makasaya akan melakukan :
a. Menenangkan anak saya dan membuat dia merasa lebih baik
1 2 3 4 5 6 7
b. Mengatakan kepadanya bahwa ia terlalu bersikap berlebihan
1 2 3 4 5 6 7
c. Saya menjadi merasa tidak nyaman dan malu 1 2 3 4 5 6 7 d. Mengatakan kepada anak untuk bersikap biasa
saja atau pulang ke rumah sekarang
1 2 3 4 5 6 7
e. Mendorong anak saya untuk menyampaikan seperti apa perasaan malu yang ia rasakan
1 2 3 4 5 6 7
f. Mengatakan kepada anak bahwa saya akan membantunya untuk penampilan yang akan datangsehingga bisa tampil lebih baik lagi
1 2 3 4 5 6 7
7. Jika anak saya mengikuti suatu pertunjukan musik atau pertandingan olahraga dan ia terlihat cemas terhadap orang-orang yang akan menontonnya, maka yang akan saya lakukan:
a. Membantu anak memikirkan hal apa yang bisa ia lakukan
1 2 3 4 5 6 7
b.Menyarankan agar anak memikirkan sesuatu yang menyenangkan agar perasaan cemasnya
(4)
cemas
d. Menyampaikan kepada anak bahwa ia terlihat seperti bayiataukekanak-kanakan
1 2 3 4 5 6 7
e. Menyampaikan kepada anak apabila ia tetap cemas, maka lebih baik kita pulang saja
1 2 3 4 5 6 7
f. Mendorong anak agar menyampaikan seperti apa perasaan cemas yang sedang ia rasakan
1 2 3 4 5 6 7
8. Jika anak saya menerima hadiah atau bingkisan dari temannya namun tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya dan terlihat jelas bahwa anak merasa kecewa bahkan mengabaikannya, maka saya akan:
a. Mendorong anak mengekspresikan perasaan kecewanya
1 2 3 4 5 6 7
b. Mengatakan kepada anak bahwa kado atau bingkisan akan saya ganti sesuai dengan apa yang ia mau
1 2 3 4 5 6 7
c. Tidak terganggu dengan anak yang sedang berperilaku tidak sopan
1 2 3 4 5 6 7
d. Menyampaikan kepada anak bahwa dia sudah berperilaku berlebihan
1 2 3 4 5 6 7
e. Mengomeli anak anda karena dia tidak menghargai perasaan temannya
1 2 3 4 5 6 7
f. berusaha agar anak merasa lebih baik dengan
cara melakukan sesuatu yang
lucu/menyenangkan
1 2 3 4 5 6 7
9. Jika anak saya panik dan tidak bisa tidur setelah menonton film horor, maka saya akan :
a. Mendorong anak saya untuk menyampaikan perasaan takut yang sedang ia rasakan
1 2 3 4 5 6 7
b. Merasa binggung dengan perilaku anakyang terkesan bodoh
1 2 3 4 5 6 7
c. Menyampaikan kepadanya bahwa perilakunya terlalu berlebihan
(5)
d. Membantu anak saya untuk memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan agar segera tidur (membawa mainannya ke tempat tidur, tetap menyalakan lampu kamar)
1 2 3 4 5 6 7
e. Menyampaikan kepadanya agar segera tidur atau dia tidak akan diijinkan lagi untuk menonton televisi
1 2 3 4 5 6 7
f. Melakukan sesuatu yang menyenangkan dengan anak untuk membantu mereka melupakan hal yang menakutkannya
1 2 3 4 5 6 7
10. Jika anak saya terlihat mau menangis karena ada anak lainnya yang mengabaikan dan tidak mau mengajaknyabermain bersama di taman atau halaman, maka saya akan:
a. Tidak ambil peduli 1 2 3 4 5 6 7
b. Menyampaikan kepada anak jika dia menangis maka kita akan pulang
1 2 3 4 5 6 7
c. Menyampaikan kepada anak bahwa merupakan hal yang wajar jika iamenangissaat sedang merasa buruk
1 2 3 4 5 6 7
d. Menenangkan anak saya dan berusaha untuk mengajaknya memikirikan sesuatu yang menyenangkan
1 2 3 4 5 6 7
e. Membantu anak memikirkan hal lainnya yang bisa dilakukan
1 2 3 4 5 6 7
f. Menyampaikan kepada anak bahwa dia akan segera merasa menjadi lebih baik
1 2 3 4 5 6 7
11. Jika anak saya sedang bermain dengan teman-temannya yang lain, dan salah seorang dari mereka mengejeknya, dan anak saya kemudian mulai gemetar dan akan menangis, maka saya akan:
a. Menyampaikan kepadanya agar tidak terlalu mempermasalahkan ejekan temannya
1 2 3 4 5 6 7
b. Merasa kecewa terhadap diri saya sendiri 1 2 3 4 5 6 7 c. Menyampaikan kepada anak agar ia berperilaku
biasa saja atau segera pulang ke rumah
1 2 3 4 5 6 7
d. Membantu anak memikirkan cara yang bisa ia lakukan saat diejek oleh temannya
(6)
menyakiti hatinya
g. Mendorong anak untuk mengatakan seberapa terlukanya ia saat diejek oleh temanya
1 2 3 4 5 6 7
12. Jika anak saya malu dan takut terhadap orang-orang disekelilingnya sehingga akan selalu menangis dantetap berada di kamarnya walaupun ada teman atau saudara yang datang, maka saya akan:
a. Membantu anak untuk memikirkan cara agar tidak menjadi cemas untuk bertemu dengan teman atau saudara (seperti membawa mainnya saat bertemu dengan teman atau saudaranya).
1 2 3 4 5 6 7
b. Menyampaikan kepada anak bahwa merasa cemas adalah sesuatu hal yang wajar
1 2 3 4 5 6 7
c. Berusaha membuat anak senang dengan menyampaikan beberapa hal yang menarik yang bisa dia lakukan bersama teman atau saudaranya tersebut.
1 2 3 4 5 6 7
d. Merasa kecewa dan tidak nyaman dengan reaksi yang dimunculkan oleh anak
1 2 3 4 5 6 7
e. Menyampaikan kepada anak bahwa dia harus berada di ruang tamu dan menemani teman atau saudarnya
1 2 3 4 5 6 7
f. Menyampaikan kepada anak bahwa perilakunya seperti bayiataukekanak-kanakan
1 2 3 4 5 6 7