Protes Simbolik Melalui Atribut Parpol.

PROTES SIMBOLIK MELALUI ATRIBUT PARTAI POLITIK
Oleh: GPB Suka Arjawa
Terlihat sepintas tetapi kemudian mengundang banyak komentar sikap Anas
Urbaningrum ketika memberikan konfrensi pers tentang pengunduran dirinya, yakni
sikap membuka jaket kebesaran partai. Ia telah menyatakan mundur sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat tetapi masih belum menyatakan apakah akan mundur dari Partai
Demokrat atau malah mundur dari aktivitas politik. Yang terakhir ini mungkin tidak
boleh terjadi sebab, Indonesia masih perlu kader muda dalam bidang politik, yang
mempu memberi inspirasi kemudaannya (bukan dugaan korupnya) kepada generasi
mendatang. Lepas jaket itu kemudian mendapat sorotan, apakah itu merupakan kegerahan
ketua umum, kemarahannya, atau pertanda lain, misalnya akan mundur total dari partai
Demokrat. Keberhasilan menjadi ketua umum jelas merupakan simbol ikonik bahwa
yang bersangkutan mempunyai relasi kuat dengan berbagai lapisan struktur sosial politik
di Indonesia.
Tindakan melepas jaket ini mempunyai arti besar kalau dikaitkan dengan pemaknaan
simbolis pada konteks ilmu sosial. Dalam sebuah perkumpulan atau organisasi, jaket,
baju, warna, lukisan, gambar adalah ikon simbolik yang mempunyai fungsi sebagai
pengikat dan pemberi kesadaran emosional bagi masyarakat. Adalah benar apabila
atribut-atribut itu merupakan pengikat bagi para anggotanya. Tetapi sesungguhnya atribut
itu juga berfungsi sosial sebagai pemberi kesadaran bagi masyarakat, sehingga dengan
atribut itu masyarakat mampu berfikir (termasuk merenungkan), mengiyakan maknanya

dan untuk selanjutnya (kalau bisa) tertarik dan terikat dengan organisasi itu. Katakanlah
warna biru yang dimiliki oleh Partai Demokrat. Ia tidak hanya sekedar biru, tetapi
berusaha dikait-kaitkan dengan langit, alam semesta yang menjadi kuasa dunia. Dikaitkan
pula dengan pemandangan dan warna yang indah berpadu dengan bumi. Atau lambang
segitiga di dalamnya, dikaitkan dengan bintang yang merupakan lokus cita-cita yang
ditanam sejak anak-anak (ada juga yang menyebut lambang Mercedez!). Atau, partai
Golkar sering mengaitkan warna kuning dengan emas dan kemakmuran yang diciptakan
oleh padi, buah masak dan seterusnya. Melalui sebuah sosialisasi, atribut itu berupaya
menyadarkan masyarakat tentang kebenaran hakiki sehingga masyarakat bisa tertarik
(mungkin setelah merenung sebelum tidur atau dapat inspirasi di udara yang sejuk atau
bahkan kesegeran kamar mandi).
Maka, akumulasi atribut itu menjadi simbolik ikonik yang benar-benar mempunyai
fungsi maksimal dalam sebuah organisasi. Tetapi pandangan keliru terhadap simbol
ikonik ini di masa lalu adalah bahwa itu dikatakan hanya mengikat para anggota
organisasi saja. Di jaman sekarang, itu jelas mempunyai perluasan makna menuju
masyarakat. Fungsinya di masyarakat adalah memberikan penyadaran emosional untuk
selanjutnya mengikat masyarakat ke dalam kesatuan organisasi dimana atribut itu
berada.
Kalau dilihat pada sektor olahraga, warna dan atribut inilah yang dipertahankan
sekaligus diimprovisasikan. Mereka mempertahankan karena begitu percaya dengan


maknanya dan kemudian diutak-atik demi lebih meningkatkan ”cengkraman” kepada
masyarakat. Seragam klub sepakbola di Eropa, katakanlah Barcelona, selalu
mempertahankan warna dasar biru tua dengan polesan merah maron di tengah. Ini sudah
tradisinya. Tetapi, motif dan pola yang ada di dalam seragam itu selalu berubah setiap
tahun. Penggemar mode menyebutkaan bahwa perubahan motif itu demi menyesuaikan
diri dengan perkembangan mode mutakhir. Tetapi pengamat sosial mengatakan bahwa
mode mutakhir itulah yang kemudian lebih melekatkan masyarakat terhadap klub yang
bersangkutan. Lihat juga seragam tim Jerman di Piala Dunia. Dasar selalu putih. Tetapi
begitu ada perhelatan Piala Dunia, motif putihnya akan bervariasi tanpa mengubah dasar.
Demikian juga seragam tiap-tiap negara di Olimpiade, Asean Games, sampai Sea Games.
Partai politik adalah sebuah organisasi dan miniatur negara. Karena itu ketika kemudian
warna, simbol varian dan segala atribut itu melekat pada jaket kebesaran, tidak lain itu
merupakan sebuah pembenaran dari ideologis yang dilekatkan pada tubuh, pembenaran
diri atas segala manifestasi makna yang nampak pada jaket partai.
Ketika kemudian jaket dengan atribut itu dilepas (apalagi jika dicampakkan), ini adalah
sebuah pembongkaran terhadap segala kebenaran makna yang melekat pada jaket
tersebut. Secara sosiologis tindakan membuka jaket ini mempunyai arti sangat
mendasar. Bisa berarti de-orientasi segala yang melakat pada jaket kebesaran tersebut.
Dan ketika de-orientasi itu terjadi, pengikut dan masyarakat seolah diajak untuk mulai

lagi memikirkan apakah segala makna itu memang benar demikian adanya. Sang
pembuka seolah-olah mengajak anggota masyarakat untuk mempertanyakan lagi
benarkan segala arti yang nampak di dalam jaket itu demikian? Jadi, tindakan ini justru
bisa memancing perenungan bagi siapapun yang mengetahui segala yang melekat pada
atribut.
Apakah Anas Urbanungrum mencoba melakukan hal seperi itu? Yang jelas membuka
jaket itu amat mungkin merupakan refleks emosional yang datang dari perasaam
kecewa, kesal dan terkejut atas segala tuduhan korupsi yang ditimpakan kepadanya.
Tindakan ini merupakan protes simboliknya terhadao beberapa komponen partai yang ia
perlihatkan melalui atribut partai. Tetapi, sebagai sebuah tindakan yang dilakukan saat
lokusnya disorot media massa nasional dimana-mana, hal itu memberikan kesempatan
penafsiran yang bermacam-macam. Datangnya berbagai pejabat politik ke rumah mantan
ketua umum Partai Demokrat tersebut, amat mungkin diperkuat oleh tindakan lepas jaket
itu. Banyak tafsiran yang muncul bahwa datangnya tokoh-tokoh partai politik ke tempat
tinggal Anas ini adalah ”halaman awal” bagi politisi di luar Demokrat untuk
merangkulnya. Langkah ini pasti disebabkan oleh tafsiran bahwa Anas akan keluar dari
Partai Demokrat di masa mendatang. Dan kalau itu benar-benar terjadi, maka berbagai
gerbong dengan muatannya akan ikut ambil bagian di partai baru yang dimasuki Anas
Urbaningrum.
Dengan demikian, politik (partai politik) benar-benar sebuah permainan simbolis. Dan

simbolis itulah yang akan membawa arah kemana keberhasilan politik akan melaju.
Inilah yang menjadi kelemahan utama bagi permainan politik dii Indonesia.
Sesungguhnya kalau dibawa menuju konsepsi demokrasi, simbolik ini bertentangan
secara mendasar. Simbolis sangat rentang penafsiran di masyarakat. Demokrasi

sebaliknya. Ia menginginkan sebuah fakta, meskipun itu idealis. Tetapi di dalam
demokrasi itu ukuran-ukuran bisa dilakukan. Kesejahteraan bisa diukur melalui
kesepakatan masyarakat tentang definisi kesejahteraan itu; keterlibatan politik juga bisa
dilihat misalnya dengan melakukan perdebatan di parlamen. Pemilihan umum, juga
berlangsung setiap lima tahun. Masa jabatan pemimpin juga demikian. Demokrasi
memberikan batasan yang jelas. Model simbolik itu hanya dilakukan di jaman kerajaan
ketika raja-raja masih menitahkan kemakmuran itu dengan gambar, dengan simbol. ****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi Universitas Udayana.