Bahan Ajar Pidana HUKUM PENITENSIER

Hukum Pidana
Apa ?

Siapa ?

Bagaimana ?

Perbuatan Apa yang dikatakan
Tindak pidana

Siapa Yang dapat dikatakan
sebagai Pelaku

Bagaimana Cara
Memproses pelaku
jika terjadi tindak
pidana

Hukum Pidana
Materiil


Hukum Pidana
Formil

RESTORATIF JUSTICE MODEL

RETRIBUTIF JUSTICE
MODEL

1.Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang
terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik.

Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap
Negara, hakekat konflik dari kejahatan dikaburkan dan
ditekan.

1.Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.

Perhatian diarahkan pada penentuan kesalahan pada masa
lalu (sesuatu yang sudah terjadi)


1.sifat normative dibangun atas dasar dialog negosiasi.

Hubungan Para pihak bersifat perlawanan, melalui proses
yang teratur dan bersifat normative.

1.Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak,
rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utam.

Penerapan penderitaan untuk penjeraan dan pencegahan

1.keadilan dirumuskan sebagai hibungan hak, dinilai atas
dasar hasil.

Keadilan dirumuskan dengan kesengajaan dan dengan
proses.

1.Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian social

Kerugian social yang satu digantikan oleh yang lain


1.masyarakat merupakan fasilitator didalam proses
restorative.

Masyarakat berada pada garis samping dan ditampilkan
secara abstrak oleh Negara

1.Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik
dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan
kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk
bertanggungjawab.

Aksi diarahkan dari Negara pada pelaku tindak pidana,
korban harus pasif

1.Pertanggungjawaban sipelaku dirumuskan sebagai
dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk
membantu memutuskan yang terbaik.

Pertanggungjawaban sipelaku tindak pidana dirumuskan

dalam rangka pemidanaan.

1.Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh,
moral, social dan ekonomis

Tindak pidana dirumuskan dalam terminology hukum yang
bersifat teoritis dan murni tanpa dimensi moral, social dan
ekonomi.

1.stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif

Stigma kejahatan tak dapat dihilangkan

Teori Pemidanaan

George B Volt
menyebutkan teori adalah bagian dari
suatu penjelasan yang yang muncul
manakala seseorang dihadapkan pada
suatu gejala yang tidak dimengerti.


Artinya teori bukan saja sesuatu yang
penting tetapi lebih dari itu karena di
sangat dibutuhkan dalam rangka
mencari jawaban akademis.

Teori Tujuan
pemidanaan dalam
leteratur disebutkan
berbeda-beda namun
secara
subtansi
sama.
Teori-teori
tujuan pemidanaan
tersebut pada umumnya ada 3
(tiga) teori yang sering di
gunakan dalam mengkaji tentang
Retributifyaitu:
(absolute)

tujuanTeori
permidanaan

Teori Relatif (Teori Tujuan)
Teori integrative (gabungan )

dalam bukunya
“Lembaga
Pidana
bersyarat”
terbitan Alumni
Bandung

Prof.
MULADI

memberikan nama yang
berbeda yaitu:
Teori Retributif,
Teori Teleologis,

dan Retributifteleologis.
Pada subtansinya sama

Teori Retributif (Absolut)








Teori ini dianggap teori tertua dalam teori
tujuan pemidanaan.
Teori Retributif memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan. Jadi teori ini
berorientasi pada perbuatan dan terjadinya
perbuatan itu sendiri
Teori retributive mencari dasar pemidanaan

dengan memandang masa lampau ( melihat
apa yang telah dilakukan oleh pelaku)
Menurut teori ini pemidanaan diberikan karena
dianggap sipelaku pantas menerimanya demi
kesalahanya sehingga pemidanaan menjadi
retribusi yang adil dari kerugian yang telah
diakibatkan.
Oleh karena itu teori ini dibenarkan secara
moral.

Karl O Cristiansen Mengidentifikasi lima cirri pokok
dari teori retributif, yaitu (diambil dari Buku “Some
Consideration on the possibility of a rational
criminal policy)
Tujuan pemidanaan hanyalah sebagai

pembalasan (The purpose of punishment is
just retribution)
Pembalasan adalah tujuan utama dan
didalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain seperti

kesejahteraan masyarakat (Just retribution
is the ultimate aim, and not in itself to any
other aim, as for instance social welfare
which from this point of view is without any
significance whatsoever)

– Kesalahan moral sebagai satu-satunya sayart untuk

pemidanaan (Moral guilt is the only qualification
for punishment)
– Pidana harus sesuai dengan kesalahan dengan
pelaku (The Penalty shall proportional to the moral
quilt of the offenders)
– Pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan
yang murni dan bertujuan tidak untuk
memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku
(Punishmentpoint into the past, it is pure reproace,
and it purpose is not into improve, correct, educate
or resocializethe offender)


Nigel Walker. Menjelaskan bahwa ada dua
golongan penganut teori retributive yaitu:
Teori retributif Murni: yang memandang
bahwa pidana harus sepadan dengan
kesalahan.
Dan Teori retributif Tidak Murni

Nigel Walker.
Menjelaskan bahwa ada dua 
golongan penganut teori 
retributive yaitu: 
Teori retributif Murni: yang
memandang bahwa pidana
harus sepadan dengan
kesalahan.
Teori retributif Tidak Murni

Teori retributif Tidak Murni: yang
mana teori ini masih dipecah menjadi
dua lagi yaitu:





Penganut Teori Retributif terbatas (The Limiting
Retribution). Yang berpandangan bahwa pidana
tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang
lebih penting adalah keadaan yang tidak
menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi
dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi
batas-batas yang tepat untuk penetapan
kesalahan pelanggaran.
Penganut teori retributive distribusi (retribution in
distribution). Penganut teori ini tidak hanya
melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum
pidana harus dirancang dengan pandangan pada
pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus
ada batas yang tepat dalam retribusi pada
beratnya sanksi

Terhadap pertanyaan tentang sejauh
manakah pidana perlu diberikan kepada
pelaku kejahatan, teori ini menjelaskan
sebagai berikut:






Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan
perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil
bagi dirinya sendiri, temannya dan keluarganya.
pidana dimaksudkan untuk memberikan
peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat, bahwa setiap ancaman yang
merugikan akan diberi imbalan yang setimpal.
Pidana dimaksudkan untuk emnunjukkan adanya
kesebandingan antara kejahatan dengan ancaman
pidananya.

Teori Relatif (Tujuan)
Teori ini berporos pada 
tiga tujuan utama 
pemidanaan yaitu:

Reformatif.
Preventif,
Deterre

Tujuan Preventif:
pemidanaan adalah untuk
melindungi masyarakat
dengan menempatkan
pelaku kejahatan terpisah
dari suatu masyarakat.

Tujuan Deterrence (menakuti): adalah
untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan. Tujuan ini dibagi dalam tiga
yaitu:





Tujuan yang bersifat individual yaitu
dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk
melakukan kejahatan kembali.
Tujuan Yang bersifat Publik yaitu agar
masyarakat lain takut melakukan kejahatan.
Tujuan jangka panjang yaitu agar dapat
memelihara keajegan sikap masyarakat
terhadap pidana.

Tujuan Reformatif
(Perubahan): adalah untuk
merubah pola pikir masyarakat
yang awalnya tidak takut
menjadi takut untuk
melakukan kejahatan.

Teori Relatif
konsepnya adalah:
• Teori Relatif memandang bahwa pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku,
tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan.
• Dalam teori ini munculah tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
khusus yang ditujukan pada pelaku maupun
pencegahan umum yang ditujukan pada
masyarakat.
• Menurut teori ini bahwa pidana bukan sekedar
untuk melakukan pembalasan kepada orang yang
telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu
memiliki tujuan yang lebih bermanfaat
• Pidana ditetapkan bukan karena ada orang yang
melakukan kejahatan tetapi agar orang jangan
melakukan kejahatan.

Menurut Karl O
Cristiansen ada beberapa
ciri pokok dari teori relatif
yaitu:
Tujuan pemidanaan adalah

pencegahan (The purpose of
Punishment is prevention)
Pencegahan bukan sebagai tujuan
akhir tapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat.(Prevention is not a
final aim, but a means to a more
suprems aim, e.g. social welfare)

Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum

yang dapat dipersalahkan kepada pelaku
saja, misalnya kesengajaan atau
kelalaian yang memenuhi sayarat untuk
adanya pidana.(Only Breaches of the law
which are imputable to the perpetrator
as intent or negligence qualify for
punishment)
Pidana harus ditetapkan berdasarkan
tujuan sebagai alat pencegahan
kejahatan.(the penalty shall be
determined by its utility as an instrument
for the prevention of crime)
Pidana melihat kedepan, atau bersifat
prospektif. (The Punishment is
Prospenctive)

eori Integratif (Gabunga
Pemidana
an
mengand
ung
karakter
retributivi
s sejauh
pemidana
an dilihat
sebagai
suatu
kritik

Teori ini
bercorak ganda:

karakter
reltif terletak
pada tujuan
kritik moral
tersebut
adalah suatu
reformasi
atau
perubahan
perilaku
siterpidana
dikemudian
hari.

Sehingga dengan konsep gabungan
ini maka teori integrative
menganggap pemidanaan sebagai
unsure penjeraan dibenarkan tetapi
tidak mutlak dan harus memiliki
tujuan untuk membuat si pelaku
dapat berbuat baik dikemudian hari.

JENIS SANKSI
DALAM HUKUM
PIDANA

Sanksi pada
dasarnya dapat
dibedakan
menjadi
2 yaitu:
Sanksi Pidana
Sanksi Tindakan

masing-masing memiliki prinsip dan
tujuan masing-masing sesuai dengan
teori serta filosofis yang dipahaminya.
sehingga ditingkat ide dasar keduanya
memiliki perbedaan yang fundamental.
Keduanya bersumber pada ide dasar
yang berbeda. Sanksi pidana bersumber
pada ide dasar “ mengapa diadakan

Perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
SANKSI PIDANA

SANKSI TINDAKAN

Filsafat yang mendasarinya adalah
Filsafat indeterminisme yaitu sejatinya
manusia itu memiliki kehendak bebas.

Filsafat yang mendasarinya adalah
Filsafat Determinisme yaitu mengatakan
bahwa keadaan hidup dan perilaku
manusia, baik perorangan maupun
sebagai
kelompok
masyarakat
ditentukan oleh factor-faktor fisik,
geografis, biologis, psikologis, sosiologis,
ekonomis dan keagamaan yang ada.

Teori yang mendasari adalah teori
absolute.

Teori yang mendasari
Teleleologis atau Relatif

Bersifat
reaktif
kejahatan

Bersifat antisipatif
kajahatan

terhadap

suatu

adalah

terhadap

teori
pelaku

Fokus sanksi pidana tertuju pada
perbuatan
salah
seorang
lewat
pengenaan penderitaan (agar yang
bersangkutan menjadi jera)

Focus sanksi tindakan terarah pada
upaya memberi pertolongan pada pelaku
agar dia berubah

Lebih dititik beratkan pada upaya
pembalasan

Menitikberatkan
pada
memulihkan kehidupan sosial

Tujuannya memberi penderitaan atau
pencelaan

Tujuannya
untuk
pendidikan/mendidik

Bentuknya adalah
(penjara, mati dll)

Bentuknya
adalah
Rehabilitasi,
Pengawasan, pencabutan hak tertentu dll.

hukuman

badan

upaya
memberi

Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana berorientasi pada pengenaan
penderitaan pada pelaku sedangkan sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan
masyarakat.

Kedudukan Sanksi Pidana dan
Sanksi Tindakan dalam Sistem
Pemidanaan Menurut UndangUndang
Pada bagian ini secara khusus akan
mengkaji dua hal yaitu:
kecenderungan sanksi pidana dijadikan
sebagai “Sanksi Primadona”

sanksi tindakan sebagai kebijakan penal yang teraba

Sanksi pidana sebagai sanksi Primadona.
Sanksi Tindakan sebagai kebijakan penal yang
terabaikan.
Kebijakan legislasi yang tercermin
kedalam produk perundangundangan selama ini banyak
memberikan kesan lebih
mengutamakan sanksi pidana
20 perundangdalam sistem pemidanaan.

undangan yang pernah
saya teliti tak terdapat
satupun perundangundangan tersebut
yang tidak
menggunakan sanksi
olehudin,SH.M.H. pidana.

Bentuk-bentuk sanksi pidana yang banyak
diterapkan adalah pidana penjara, kurungan
dan denda, sedangkan pidana mati hanya
terdapat pada beberapa perundangundangan saja seperti Undang-undang
Narkotika, psikotropika Dll.

Pencantuman jenis pidana dapat diidentifikasikan
dalam setiap perundang-undangan pidana, baik
yang berkualifikasi tindak pidana umum maupun
tindak pidana khusus. Demikian juga bentuk
perundang-undangan yang subsatnsinya adalah
perundang-undangan administrasi contohnya
perlindungan konsumen, pabean, dsb.

Dari kenyataan tersebut diatas ternyata bahwa
sanksi pidana selama ini dalam produk kebijakan
legislasi masih dijadikan “sanksi utama”.
Karena banyaknya produk perundang-undangan
pidana yang memuat sanksi pidana menunjukkan
bahwa tingkat pemahaman para legislator
terhadap masalah-masalah pidana dan
pemidanaan masih terbatas.

Pemahman legislator mengenai jenis sanksi
pidana masih banyak dipengaruhi oleh
pandangan lama yang menegaskan bahwa
setiap orang yang telah melakukan
kejahatan harus dibalas dengan pidana yang
setimpal.

Dari jumlah 20 perundang-undangan yang diteliti oleh
Sholehudin ternyata hanya ada 5 undang-undang yang
memuat sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Perkembangan
Ada kecenderungan bahwa sanksi tindakan
tidak hanya dikenakan pada orang (person)
tetapi juga kepada koorporasi (rechtperson)
sebagai subyek hukum pidana.
Bukti

Minimnya perundang-undangan yang memakai sanksi
tindakan sebagai sistem pemidanaan maka hal ini
mengindikasikan bahwa sanksi tindakan sebagai
kebijakan penal yang terabaikan.

DOUBLE TRACK SYSTEM
DAN SINGLE TRACK SYSTEM

Dalam perkembangan pidana dan pemidanaan pada
aliran moderen, sistem pemidanaan mulai berorientasi
pada pelaku dan perbuatan (daad-dader straafrecht)
jenis sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi
pidana tetapi juga meliputi sanksi tindakan.
Pengakuan terhadap kesetaraan antara sanksi pidana
dan sanksi tindakan inilah yang merupakan hakekat
asasi atau ide dasar konsep Double track system.

Double track system adalah Konsep yang
menganut kedua-duanya, yakni sanksi
pidana dan sanksi tindakan. Double track
system tidak sepenuhnya menganut salah
satu diantara keduannya. Sistem dua jalur
ini menempatkan dia jenis sanksi tersebut
dalam kedudukan yang setara.

Penekanan pada kesetaraan antara sanksi
pidana dan sanksi tindakan dalam
kerangka double track system,
sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa
unsure pencelaan/ penderitaan (lewat
sanksi pidana) dan unsure pembinaan
(lewat sanksi tindakan) sama-sama
penting.

Paham filsafat yang mengakui kesetaraan
antara sanksi pidana dan tindakan adalah
filsafat Eksistensialisme dari Albert
Camus. Camu smengakui justifikasi
punishment (pidana) bagi seorang
pelanggar, karena punishment merupakan
konsekuensi logis dari kebebasan yang
disalahgunakan pelaku kejahatan.

Dari sudut pandang ide dasar double track
system, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan
sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk
memaksimalkan penggunaan kedua sanksi
tersebut secara tepat dan proporsional. Sebab
kebijakan sanksi yang integral dan seimbang,
selain menghindari penerapan sanksi yang
fragmentaristik (pada saknsi pidana) juga
menjamin keterpaduan sistem sanksi yang
bersifat individual dan fungsional.

HUKUMAN DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM

Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukuman
dalam hukum pidana islam ini terlebih dahulu perlu
disampaikan pengertian hukuman menurut hukum
pidana islam. Hukuman dalam bahasa arab disebut
dengan “Uqubah” lafadz Uqubah memiliki arti
mengiringinya dan datang dibelakangnya. Dalam
pengerian yang agak mirip dan mendekati pengertian
istilah yaitu artinya membalasnya sesuai dengan apa
yang dilakukanya.

Dari pengertian diatas maka dapat dirangkaikan bahwa
sesuatu disebut sebagai hukuman karena ia mengiringi
perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu
dilakukan.
Sedangkan pengertian yang kedua dapat dipahami
bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai hukuman
karena merupakan balasan terhadap perbuatan yang
menyimpang yang telah dilakukannya.

Tujuan Hukuman dalam
Hukum Pidana Islam
Tujuan utama dari penetapan dan
penerapan hukuman dalam syariat islam
adalah sebagai berikut:
Pencegahan

Perbaikan dan pendidikan

Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang
yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya. Atau agar ia tidak terus
menerus melakukan jarimah tersebut.
Disamping mencegah pelaku , pencegahan juga
mengandung arti mencegah orang lain selain
pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah,
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang
dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan
terhadap orang lain.

Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka
besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu
mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau
lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian
terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan
hukuman.
Dilihat Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa tujuan
yang pertama itu , efeknya adalah untuk kepentingan
masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari
perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang,
aman, tenteram dan damai.

Namun demikian, tujuan yang pertama
ini juga memiliki efek terhadap pelaku,
sebab tidak dilakukannya jarimah itu
kembali maka pelaku akan selamat dari
hukuman yang telah ditentukan.
Pelaksanaan
Hukuman yang
dilakukan dimuka
umum

contoh

Perbaikan dan pendidikan

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman
ini adalah mendidik pelaku jarimah agar ia
menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya.
Disini terlihat bagaimana perhatian islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya
hukuman ia menjadi menyadari akan
kesalahannya dan dengan harapan
mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Disamping kebaikan pribadi pelaku, syariat islam
dalam menjatuhi hukuman juga bertujuan
membentuk masyarakat yang baik yang diliputi
oleh rasa saling menghormati dan mencintai
antara sesama anggota masyarakat yang lain.
Serta membuat pelaku menjadi manusia yang
penyabar, pengampun. Karena dalam syariat
islam terdapat pengampunan korban yang dapat
merubah hukuman bagi sipelaku, contohnya
qishos.

Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus
dipenuhi tiga syarat, syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hukuman harus ada dasarnya dari syara’
Asas

Legalitas
Hukum dianggap punya dasar (Syari’iyah) apabila ia
didasarkan kepada sumber-sumber syara seperti
Algur’an, As-Sunah, Ijma, atau undang-undang yang
diterapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)
seperti dalam hukuman ta’jir (Hukuman yang bersifat
pendidikan)

Dengan adanya persyaratan
tersebut maka seorang hakim tidak
boleh menjatuhkan hukuman atas
dasar pemikiranya sendiri walaupun
ia berkeyakinan bahwa hukuman
tersebut lebih baik dan lebih utama
dari pada hukuman yang telah
ditetapkan oleh syara.

Syariat islam mebagi hukuman
menjadi tiga bagian yaitu:





Hudud (Zina, (qadzaf / penuduhan
zina),minum-minuman keras, pencurian,
harobah atau perampokan,riddah atau murtad
dan pemberontakan.
Qishash (hukuman yang seimbang) contohnya
pembunuhan sengaja dan penganiayaan.
Ta’jir (hukuman yang bersfat pendidikan)

Untuk hukuman Hudud dan Qishash merupakan
hukuman-hukuman yang telah ditentukan oleh syara,
hakim tidak boleh mengganti keluar dari ketentuan
syara,
misalnya orang mencuri, hukumannya potong tangan
maka hakim tidak boleh dengan hukuman lain selain
potong tangan.
Sedangkan ta’jir hukuman yang ditentukan oleh ulil amri
(pemimpin). Jadi kewenangan hakim sangat luas untuk
menentukan piliha hukuman ta’jir mulai yang paling
ringan yaitu berupa peringatan sampai yang paling berat
yaitu hukuman mati

2.Hukuman harus Bersifat Pribadi.
Asas

Personalitas
Dalam hal ini berarti hukuman harus bersifat
perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman
harus dijatuhkan kepada orang yang telah
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai
orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini
merupakan salah satu dasar prinsip yang
ditegakkan oleh syariat islam dan ini telah
dibicarakan berkaitan dengan masalah
pertanggungjawaban.

3. Hukuman harus Berlaku Umum.

Asas
(Aquality Before The Law)
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk
semua orang tanpa adanya diskriminasi,
apapun pangkat dan jabatannya dan
kedudukanya.

Hukuman/Pidana Menurut
Hukum Positif
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)/(Wvs) telah menetapkan jenisjenis pidana sebagaimana yang
disebutkan dalampasal 10 KUHP yang
mana didalam pasal tersebut diatur dua
jenis pidana yaitu: Pidana Pokok dan
Pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari empat jenis 
pidana sedangkan pidana tambahan 
terdiri dari tiga jenis pidana.
Pidana Pokok meliputi:


Pidana Mati



Pidana Penjara



Pidana Kurungan;



Pidana Denda.

Pidana Tambahan meliputi:


Pencabutan beberapa hakhak tertentu



perampasan barang-barang
tertentu



pengumuman putusan
hakim

Namun KUHP yang sekarang masih
berlaku sebenarnya sudah sering sekali
akan dilakukan revisi, namun sampai
sekarang ternyata hasil revisi tersebut
masih terjadi kontroversi sehingga
belum dapat di sahkan menjadi KUHP
baru yang berjiwa asli Indonesia.

Sebagai perbandingan jenis
hukuman antara KUHP sekarang
dengan beberapa RUU KUHP maka
akan disampaikan jenis-jenis pidana
menurut RUU KUHP.

Jenis­jenis Pidana menurut pasal 
304 Rancangan KUHP tim 
pengkajian tahun 1982/1983 
yaitu sebagai berikut:
Ayat (1). Pidana Pokok adalah:
Ke-1. Pidana Pemasyarakatan;
Ke-2. Pidana Tutupan;
Ke-3. Pidana Pengawasan;
Ke-4. Pidana Denda.
Ayat (2) Urutan pidana pokok diatas menentukan berat ringannya pidana.
Ayat (3) Pidana tambahan adalah:
Ke-1.Pencabutan hak-hak tertentu;
Ke-2. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
Ke-3. Pengumuman Putusan hakim;
Ke-4. Pembayaran Ganti kerugian;
K-5. Pemenuhan kewajiban Adat.
Ayat (4). Pidana Mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus.

Dalam RUU KUHP baru hasil
penyempurnaan tim intern departemen
Kehakiman disebutkan sebagai berikut:
Pasal 68
Pidana pokok terdiri dari:
Pidana Penjara;
Pidana tertutup;
Pidana Pengawasan;
Pidana Denda;
Pidana kerja social.
Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat
ringannya pidana.
Pasal 69
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus.
Pasal 70
Pidana tambahan Pemenuhan kewajiban adaptterdiri atas:
Pencabutan hak tertentu;
Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
Pengumuman putusan hakim
Pembayaran ganti kerugian;

Ad. Pidana Mati
Yang menarik untuk dipahami
adalah pidana mati bahwa yang
dalam RUU disebut sebagai
pidana pokok yang bersifat
khusus. Penerapan pidana mati
dalam praktek sering
menimbulkan kontroversi
diantara yang setuju dengan
yang tidak.

Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju
adanya pidana mati, namun kenyataan
yuridis formal pidana mati memang ada dan
dibenarkan. Setidaknya kurang lebih 15
orang telah dijatuhi pidana mati kerena
melakukan tindak pidana.
Untuk lebih lanjut membahas mengenai
hukuman mati ini, maka akan lebih baik
kalau melihat RUU KUHP sebagai Ius
Constituendum. Hal-hal yang perlu di ketahui
antara lain sebagai berikut:
Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak
dengan menembak terpidana sampai mati;



Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan
menembak terpidana sampai mati;
Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan di muka umum;



Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak dibawah
umur delapan belas tahun;



Pelaksanaan pidana mati pada wanita hamil atau orang
sakit jiwa, ditunda sampai wanita tersebut melahirkan
atau orang yang sakit jiwa tersebut.



Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada
persetujuan dari presiden;
Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa
percobaan selama sepuluh tahun, jika:
Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;



Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk
memperbaiki,
Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak
terlalu penting;
Ada alasan yang meringankan.



Jika terpidana selama percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama
dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.

Jika terpidana selama percobaan tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang
terpuji serta tidak ada harapan untuk
memperbaiki maka, pidana mati dapat
dilakukan atas perintah jaksa agung;
Jika setelah permohonan grasi ditolak,
pelaksanaan pidana mati tidak
dilaksanakan selama sepuluh tahun
bukan karena terpidana melarikan diri
maka pidana mati tersebut dapat diubah
menjadi pidana seumur hidup dengan
keputusan menteri kehakiman.

Dari ketentuan tersebut dapat
dilihat bahwa dalam RUU KUHP
terjadi pengenduran, memang
hal ini seharusnya terjadi
karena Ius Constituendum
harus lebih baik dari Ius
Konstitutum.

Ad. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis
pidana yang dalam undangundang ditentukan maksimal
umum dan minimal umum,
maksimal umum seperti yang
diatur dalam KUHP adalah 15
tahun dan minimal umum
adalah 1 hari.

Pidana penjara sebagaimana
diatur dalam RUU KUHP yaitu
sebagai berikut:








Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk
waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15
tahun dan paling singkat 1 hari , kecuali ditentukan minimum
khusus;
Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara
seumur hidup; atau jika ada pemberatan pidana yang dijatuhi
pidana penjara lima belas tahun berturut-turut,maka pidana
penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun
berturut-turu;
Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana kurang
sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, menteri
kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi
pidana penjara lpaling lama lima belas tahun.
Pelepasan bersyarat;

Sistem Pelaksanaan
Hukuman Penjara

Ada lima sistem pelaksanaan
hukuman penjara yang dikenal
dalam hukum pidana yaitu:






Sistem Pensylvania
Sistem Anborn/silent system
Sistem Irlandia
Sistem Elmira
sistem Osborne

Sistem Pensylvania.
Dalam sistem ini orang yang dijatuhi
hukuman penjara, menjalani
hukuman secara terasing dalam sel.
Terhukum tidak boleh berkontak
dengan orang lain kecuali dengan
penjaga sel.

Sistem Anborn
Dalam sistem ini terhukum hanya
waktu malam saja ditutup sendirian
dalam sel, sedangkan pada siang
hari boleh bekerja dengan bersamasama tetapi dilarang bicara, oleh
karena itu dikenal juga dengan
silent system

Sistem Irlandia
Sistem ini termasuk sistem yang
progresif, mula-mula dijalankan
secara keras setelah terhukum
berlaku baik hukumannya
berangsur-angsur dikurangi.

Tingkatan pelaksanaan
hukuman tersebut yaitu:






Tingkat Probation.
Ditingkat ini terhukum diasingkan dalam sel siang dan
malam hari selama waktu tergantung pada kelakuan
terhukum.
Tingkat Publik work preson .
Ditingkat ini terhukum dipindahkan ketempat lain dan
diwajibkan bekerja bersama-sama dengan yang lain.
Dibagi dalam 4 kelas mulai kelas terendah berangsurangsur naik setelah mendapatkan sertifikat.
Tingkat Ticket of live (tiket meninggalkan penjara)
Terhukum dibebaskan dengan perjanjian, dan diberi
tiket. Yaitu suatu tiket yang menerangkan bahw ia
boleh meninggalkan penjara dengan perjanjian.

Sistem Elmira.
Didirikan bagi terhukum yang berumur
dibawah 30 tahun diberi nama
Reformatuwri, maksudnya sebagai
tempat memperbaiki terhukum menjadi
anggota masyarakat yang berguna.
Dalam sistem ini hukuman dilalui beberapa
tingkatan. Titik beratnya pada usaha
perbaikan terhukum. Kepada terhukum
diberikan pendidikan dan pekerjaan
yang bermanfaat sedangkan lamanya
hukuman tidak ditetapkan hakim, jadi
ditentukan tergantung kelakuan
terhukum dalam penjara.

Sistem Orborne
Disebut Osborne karena ditemukan
oleh Thomas Moot asborne.
Sistem ini memakai dasar self
government artinya atas, bagi
dan dari para terhukum dalam
penjara.

Ad. Pidana Kurungan





Ini merupakan hukuman yang lebih ringan dari hukuman penjara, hal ini
diatur dalam pasal 18 sampai 29 KUHP. Minimal umum untuk hukuman
kurungan adalah 1 hari (pasal 18 ayat(1)) dan maksimal umum adalah 1
tahun tetapi kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan jika:
terjadi perbarengan perbuatan pidana;
pengulangan perbuatan pidana;
sebagaimana diatur dalam pasal 52 (pekerjaan istimewa bagi pegawai
negeri) dan 52a.(kejahatan menggunakan bendera Indonesia)

Apa bedanya
Pidana Kurungan
dengan Pidana
Penjara ?

Hukuman kurungan memiliki
perbedaan dengan hukuman
penjara yaitu:






Hukuman penjara dapat dijalankan dalam
penjara dimana saja, sedangkan hukuman
kurungan hanya boleh dilaksanakan di dalam
penjara dimana dia diputuskan oleh hakim;
orang yang dihukum penjara bekerja lebih
berat disbanding dengan orang yang
menjalani hukuman kurungan;
orang yang dihukum kurungan memiliki hak
pestol yaitu hak untuk memperbaiki
keadaanya dengan biaya sendiri sedangkan
kalau penjara tidak.

Ad.Pidana Tutupan
Pidana tutupan ada beberapa bentuk
dalam undang-undang diluar KUHP,
misalnya penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan milik terpidana,
pidana tata tertib yang bisa meliputi
penempatan perusahaan siterhukum,
kewajiban pembayaran uang jaminan.
Dan lain –lain hal ini seperti diatur
dalam UUTPE (undang-undang tindak
pidana Ekonomi)

Ad. Pidana Pengawasan.
Pidana pengawasan merupakan
jenis pidana baru yang belum diatur
dalam KUHP sekarang, namun
dalam RUU KUHP sudah mulai
dimasukkan. Pidana pengawasan
tidak dapat begitu saja dilakukan ,
namun harus memenuhi beberapa
persyaratan.

Adapaun hal-hal yang perlu
mendapat perhatian adalah sebagai
berikut:




Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa
yang melakukan tindak pidana yang dinacam dengan
pidana penjara tujuh tahun;
dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan
pribadi dan perbuatannya, dengan syarat-syarat:
 terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan
 terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa

pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagaian
kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan, serta
 terpidana harus melakukan perbuatanatau tidak melakukan
perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan
beragama dan kemerdekaan berpolitik.





Pengawasan dapat dilakukan oleh pejabat
Pembina dari departemen kehakiman yang
dapat dimintakan bantuan kepada pemerintah
daerah, lembaga social atau orang lain;
pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memperpanjang
pengawasanapabila terpidana melanggar
hukum. Namun jika terpidana berkelakuan baik
maka dapat diperpendek masa
pengawasannya.

Ad. Pidana Tambahan

Pidana tambahan yang diatur dalam KUHP
sekarang masih sangat sempit sehingga
dalam RUU pidana tambahan ini menjadi
luas sekali

Namun yang menarik untuk disimak
diantaranya adalah:

Pidana Perampasan barangbarang tertentu dan atau
tagihan
Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan
tanpa dijatuhkannya pidana pokok ,
artinya dapat berdiri sendiri, dalam hal
ancaman pidana penjara tidak lebih dari
tujuh tahun atau karena terpidana
hanya dikenakan hukuman tindakan.

Pidana Pengumuman
putusan hakim
Jenis pidana tambahan ini juga
termasuk jenis pidana baru yang mana
diperintahkan supaya putusan hakim
dapat diumumkan maka ditetapkan
cara-cara melaksanakan perintah
tersebut dalam jumlah biaya
pengumuan yang ditanggung oleh
terpidana.

Pemenuhan Kewajiban
adat
Beberapa hal dapat dikemukakan
berkaitan dengan pidana tambahan
ini, dalam putusan dapat ditetapkan
pemenuhan adapt setempat,
utamanya jika tindak pidana yang
dilakukan menurut adapt setempat
seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam
undang-undang.

GABUNGAN HUKUMAN
MENURUT HUKUM
POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM

Menurut teori
hukum pidana
Terdapat tiga teori
mengenai gabungan
hukuman yaitu:
Teori berganda,
Teori penyerapan,
dan Teori campuran.

Teori berganda.
Menurut ini pelaku mendapat semua
hukuman yang ditetapkan untuk tiaptiap tindak pidana yang dilakukan.
Kelemahan teori ini terletak pada
banyaknya hukuman yang dijatuhkan.
Hukuman penjara misalnya adalah
hukuman sementara, tetapi apabila
digabung-gabungkan maka akan
menjadi hukuman seumur hidup.

Teori Penyerapan
Menurut teori ini hukuman yang lebih berat
dapat menyerap (menghapuskan)
hukuman yang lebih ringan.
Contohnya: Hukuman penjara 10 tahun
dan Hukuman penjara 3 tahun maka
yang dipakai adalah hukuman yang
berat sehingga hukuman tiga tahun
diserat dengan hukuman yang lebih
berat.
Kelemahan teori ini adalah kurangnya
keseimbangan antara hukuman yang
dijatuhkan dengan banyaknya jarimah
yang dilakukan, sehingga hukuman

Teori campuran
Teori ini merupakan campuran dari teori
berganda dengan penyerapan. Teori
ini dimaksudkan untuk
menghilangkan kelemahankelemahan yang terdapat dalam
kedua teori tersebut.
Menurut teori campuran hukumanhukuman bisa digabungkan, asal
hasil gabungan itu tidak melebihi
batas tertentu, sehingga dengan
demikian akan hilanglah kesan
berlebihan dalam penjatuhan
hukuman.

Dalam Hukum Pidana
Indonesia
Dalam hukum pidana
Indonesia ada
beberapa teori yang
dianut berkaitan
dengan gabungan
hukuman ini. Teoriteori tersebut adalah
sebagai berikut:

Teori Penyerapan
Biasa
Menurut teori ini, yang terdapat
dalam pasal 63 KUHP hanya satu
aturan pidana yang diterapkan
yaitu hukuman yang peling berat
hukuman pokoknya, apabila
suatu perbuatan diancam dengan
beberapa aturan pidana.
Contohnya: orang membunuh
dengan menembak dibelakang
kaca, jadi tindakkanya adalah
membunuh (pasal 339)dan
merusak barang (pasal 406)
maka yang diterapkan adalah
pasal 339.

Teori Penyerapan
Keras
Menurut teori ini, dalam hal
gabungan perbuatan nyata
yang diancam dengan
hukuman pokok yang
sejenis, hanya satu hukuman
saja yang dijatuhkan, dan
hukuman bisa diberatkan
dengan tambahan sepertiga
dari maksimum hukuman

Teori Berganda yang
dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori
penyerapan keras yang bersumber
dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut
teori ini yang tercantum dalam pasal
65 ayat(2), semua hukuman dapat
dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak boleh melebihi
batas maksimum umum ditambah
sepertiganya. Bedanya dengan teori
penyerapan keras adalah dalam teori
ini tidak perlu adanya hukuman pokok
yang sejenis.

Teori Berganda Biasa
Menurut teori ini, semua hukuman
dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini dianut
dalam pasal 70 ayat (1) yang berbunyi:
Jika ada gabungan secara yang
termaksud dalam pasal 65 dan 66
antara pelanggaran dengan kejahatan,
atau antara pelanggaran dengan
pelanggaran maka dijatuhkan hukuman
bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan
tidak dikurangi.
Untuk pelanggaran maka hukuman
kurungan tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan dan kurungan

Dalam Hukum Pidana
Islam
Dalam Hukum pidana Islam, teori
tentang bergandanya hukuman
sudah dikenal oleh para
Fuqaha, tetapi teori tersebut
dibatasi dengan dua teori yang
lain yaitu: Teori saling
Melengkapi (At Tadakhul) dan
Penyerapan (Al-Jabb)

Teori Saling melengkapi
(At- Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi
gabungan perbuatan maka
hukuman-hukumannya saling
melengkapi (memasuki),
sehingga karenanya semua
perbuatan tersebut hanya
dijatuhi satu hukuman, seperti
kalau seseorang melakukan
saru jarimah.

Teori ini didasarkan atas dua
pertimbangan:
Meskipun jarimah yang dilakukan berganda, tetapi semuanya

itu jenisnya sama. Maka sudah sepantasnya kalau pelaku
hanya dikenakan satu macam hukuman saja. Contohnya
pencurian yang berulang-ulang.

Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan

berbeda-beda macamnya, namun hukumannya bias saling
melengkapi, dan cukup satu hukuman saja untuk melindungi
kepentingan yang sama. Misalnya seseorang yang makan
bangkai, darah, dan daging babi, cukup dijatuhi satu hukuman,
karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk
mencapai tujuan, yaitu melindungi kesehatan dan kepentingan
perseorangan dan juga masyarakat.

Teori Penyerapan (AlJabb)
Pengertian penyerapan menurut syariat islam adalah
cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja,
sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu
dijatuhkan. Hukuman dalam kontek ini tidak lain
adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya
dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman
yang lain.
Namun dalam kalangan Fuqaha masih terjadi
perdebatan tentang dimana wilayah berlakunya,
apakah mencakup semua jarimah ataukan tidak.

LEMBAGA
PEMASYARAKATAN
DALAM PERSPEKTIF
SISTEM PERADILAN
PIDANA

Sistem Peradilan Pidana
Indonesia
Secara sederhana sistem peradilan
pidana atau yang sering disebut
dengan (Criminal justice system)
dapat dipahami suatu usaha untuk
memehami serta menjawab
pertanyaan apa tugas hukum
pidana didalam masyarakat dan
bukan sekedar bagaimana hukum
pidana didalam undang-undang
dan bagaimana hakim
menerapkannya.

Di Indonesia sistem peradilan pidana
setelah berlakunya undang-undang
nomor 8 tahun 1981 tentang hukum
acara pidana mempunyai empat
komponen atau sub sistem yaitu:






Sub sistem kepolisian
Sub sistem kejaksaan
Sub sistem pengadilan
Dan sub sistem pemasyarakatan.

Tujuan sistem peradilan pidana
menurut Prof Muladi dapat
dikategorikan sebagai:
Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak

dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku
tindak pidana;
dikategorikan sebagai tujuan jangka
menengah, apabila yang hendak dituju lebih
luas yakni pengendalian dan pencegahan
kejahatan dalam konteks politik criminal
(Criminal policy)
Tujuan jangka panjang , apabila yang hendak
dicapai adalah kesejahteraan masyarakat
(Social Welfare)

Mekanisme Sistem
Peradilan Pidana
Sistem ini mulai bekerja sejak adanya
laporan/atau aduan dari masyarakat
tentang terjadinya tindak pidana dari
masyarakat. Setelah itu polisi
melakukan proses selanjutnya
(penagkapan dan penyelidikan dan
penydsidikan) selanjutnya pelaku
diteruskan ke lembaga kejaksaan,
pemngadilan lalu dijatuhi putusan
dan terakhir pada pemasyarakatan.

SISTEM PERADILAN PIDANA

SUB SISTEM
SPP
In Put

Ou
t
Put

Kasus

Polisi

JPU

Penyelidik
an dan
Penyidikan

Penuntutan
Membuat
SP3

PN

Pemeriksaa
n perkara
pidana

MASYARAKAT

LP

Eksekusi
dan
pembinaa
n

CCM dan DPM
Dalam bukunya yang berjudul The
limits of the Criminal Sanction,
Herbert L. Packer. Menyebutkan ada
dua model dalam proses peradilan
pidana (Two models of the criminal
process) yaitu : Crime Control Model
dan Due Process Model.

Proses peradilan pidana menandaskan
dirinya pada hukum pidana. Kedua
proses ini berlainan cara kerjanya,
akan tetapi mengakui pentingnya
seperangkat hukum tertulis, tetapi
fokusnya pada peraturan yang
berbeda.
Kedua model tersebut diatas memiliki
perbedaan dalam melakukan proses
penyelesaian kasus/perkara pidana
mulai dari proses penangkapan sampai
orang itu dinyatakan bersalah.

Karateristik CCM dan
DPM
Karateristik dari CCM adalah
efisiensi yang mana proses criminal
itu bekerja yaitu cepat tangkap dan
cepat adili (Asas Presumtion of Quilt)
sedangkan DPM memiliki karateristik
adalah perlindungan hak-hak
tersangka, untuk menentukan
kesalahan harus melalui suatu
persidangan (Asas Presumtion of
Inocene).

Dalam kenyataannya dua
model ini sangat
mempengaruhi hukum acara
pidana Indonesia, yaitu
karateristik DPM menonjol pada
KUHAP Indonesia dengan
dilindunginya hak-hak
tersangka dan terdakwa,
namun dalam bekerjanya
KUHAP, maka menggunakan
CCM yang ditonjolkan dalam

Posisi Lembaga
Pemasayarakatan dalam
SPP
Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga
pembinaan, posisinya sangat strategis dalam
merealisasikan tujuan akhir dari SPP, yaitu
Rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum,
bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan
(Supresion of crime). Keberhasilan dan
kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh
lembaga pemasyarakatan akan memberikan
kemungkinan-kemungkinan penilaian yang
dapat bersifat positif maupun negative.
Penilaian itu positif manakala pembinaan nara
pidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas
nara pidana menjadi warga masyarakat yang
taat pada hukum.
Sedangkan penilaian itu negative manakala, bekas

GAGASAN SISTEM
PEMASYARAKATAN

Dasar Hukum sistem
Kepenjaraan:







Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (KUHP)
Stbl 1915 No. 732 Jo 1917 No.497 Jo UU No. 1 Th. 1946 Jo
UU No. 73 Th. 1958 dan berdasarkan pasal II Aturan
peralihan UUD 1945 (sekarang Pasal I Aturan Peralihan)
serta Pasal I Peraturan Presiden No.2 Th 1945 tanggal 10
Oktober 1945
Gstichten Reglemen (Reglemen Penjara )Stbl . 1917 No 708;
Dwangopvoeding Regeling (DOR) Stbl. 1917 No. 741;
Voorwaardelijke Invrerijheidstelling (V.I) Stbl. 1917 No. 749;
Regeling Voorwaardelijke Veroordeling Stbl. 1926 No. 487.
Dari sekian peraturan,khususnya dalam KUHP
terdapat sistem kepenjaraan yang kita kenal itu
adalah merupakan pelaksanaan dari pasal 29 KUHP.

SISTEM KEPENJARAAN
Tujuannya

Memperlakukan
Nara Pidana
Sedemikian rupa

Siterhukum Dengan cara
menjadi jera yang tidak
dan dapat
manusiawi(berupa
penyiksaan dan
bertobat
hukuman-hukuman
menyadari badan lainnya)
kesalahanny
Sistem yang
a
dipakai adalah
Harapannya

sistem
perlakuan

Pada tempat
tertentu
yang
dinamakan
bangunan
penjara

Tujuan Lebih luas sistem
Kepenjaraan:
tujuannya adalah untuk
“Melindungi masyarakat
dari segala bentuk
kejahatan”

Sebagaimana telah diuraikan diawal
bahwa seseorang yang telah dijatuhi
pidana penjara, kemudian dengan
sistem perlakuan yang diharapkan
terhukum dapat tobat dan jera dan jika
ia kembali ke masyarakat maka tidak
akan kembali melakukan kejahatan
lagi.
Inilah yang dimaksud dengan
melindungi masyarakat dari segala
bentuk kejahatan yang merupakan
politik criminal pemerintah terhadap
usaha pengurangan kejahatan.

Oleh sebab itu didalam sistem
kepenjaraan perlakuan terhadap
anak didik dilaksanakan dengan
sangat tidak manusiawi dan tidak
kenal perikemanusiaan, namun hal
ini dapat dimaklumi, karena di
dalam sistem kepenjaraan
mengandung prinsip bahwa para
nara pidana merupakan obyek
semata-mata.

Kembali kepada tujuan semula dari pidana
penjara yang maksudnya adalah untuk
melindungi masyarakat dari segala bentuk
kejahatan. Tetapi pertanyaannya”






apakah memang demikian kenyataannya ?
apakah masyarakat sudah terlindungi dari
kejahatan?
dan apakah mantan nara pidana yang
sudah kembali kemasyarakat tidak akan
melakukan kejahatan lagi?
Singkatnya apakah mereka dapat dijamin
untuk tidak menjadi residivist ?

Dari pertanyaan-pertanyaan
yang ada itu dan apabila kita
hubungkan dengan gambaran
perlakuan terhadap para
narapidana tadi, kemungkinan
besar pertanyaan tadi tidak
terjawab dengan kata “Ya”
bahkan keadaanya justru
sebaliknya.

Kegagalan Sistem Kepenjaraan

Penyebabnya ?

Sistem Itu sendiri
Tujuan dari sistem
kepenjaraan (sistem
perlakuan) terhadap
narapidana atau anak
didiknya adalah
menghendaki agar para nara
pidana menyadari bahwa
perbuatan yang pernah
dilakukan itu adalah salah
dan bertentangan dengan
hukum yang berlaku serta
dilarang agama yang
dianutnya. Dan apabila
mereka sudah mau
menyadari maka mereka

Mengapa ?
Karena secara
konseptual sistem
kepenjaraan justru
bertentangan dengan
tujuan yang dianutnya.

Dengan sistem
perlakuan yang tidak
manusiawai justru akan
menimbulkan dampak
buruk

Petugas Penjara

Masyarakat karena stigma

Balas dendam

Lingkaran setan

Residivis

Apa dampak buruknya ?

Stigma baru
Diproses dalam
SPP menjadi
Nara pidana
Kembali

Nara Pidana

Kembali
melakukan
Tindak pidana

Itulah sebabnya mengapa dikatakan
secara konsepsional sistem
kepenjaraan bertentangan dengan
tujuan yang dianutnya, disatu pihak
sistem kepenjaraan bertujuan untuk
membuat jera para nara pidana,
namun dilain pihak tujuan pidana
penjara tidak akan tercapai dengan
cara memperlakukan mereka dengan
cara tidak manusiawi.
Dengan istilah lain dapat dikatakan
bahwa “jera” buka merupakan jalan
untuk membuat para nara pidana

Disamping hal tersebut diatas,
kegagalan dari sistem kepenjaraan
yang menganut prinsip-prinsip
“kepenjeraan” masih ada lagi factor
lain yang ikut terlibat didalamnya yaitu:




sistem kepenjaraan diterapkan tanpa disertai dengan
proses-proses kepenjaraan (tidak adanya pentahapan
perlakuan terhadap nara pidana yang sudah benar-benar
menunjukkan rasa tobatnya) walaupun pada saat itu sudah
dikenal adanya lembaga V.I. (Pelepasan Bersarat) namun
cara pemberiannya dilakukan dengan cara tidak konsisten.
sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang mendidik
para nara pidana, tapi hanya untuk mengisi waktu belaka;



sikap apriori dan prejudice masyarakat terhadap
nara pidana lebih menambah kegagalan dari sistem
kepenjaraan dengan memberikan cap bahwa penjara
itu adalah “sekolah tinggi kejahatan”;



dalam penerapan sistem kepenjaraan tidak
memperhitungkan atau tidak mengikut sertakan
partisipasi masyarakat dalam sistem perlakuannya
(terlalu bersifat individual);



Re educatie dan resosialisasi saebagai jiwa dari
sistem kepenjaraan di dalam penerapannya justru
sama sekali tidak mencerminkan jiwa dari sistem
kepenjaraan itu sendiri.

Walaupun demikian, untuk mengatasi
kegagalan sebagaimana telah
disebutkan diatas, jauh sebelum
dikemukakannya konsepsi
pemasyarakatan sebagai pengganti
dari sistem kepenjaraan, pada tahun
1955 masih diusahakan perbaikanperbaikan terhadap pelaksanaan
sistem kepenjaraan tersebut. Hal ini
terbukti dengan diselenggarakannya
konferensi para direktur dan pemimpin
kepenjaraan di sarangan.

Sehubungan dengan hal tersebut
diatas, Bahroedin Soerjobroto,
sebagai seorang praktisi
kepenjaraan pada konferensi
tersebut ditunjuk untuk memberi
preadviesnya. Dalam preadvisnya
yang berjudul “ masalah-masalah
disekitar pelaksanaan hukuman
hilang kemerdekaan dan
penutupan-penutupan lainnnya
dipenjara” mengatakan:

“ bahwa orang-orang yang oleh hakim
dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan
yang harus segera dijalankan, maka
yang selalu menjadi perhatian bagi
siterhukum adalah adalah kepentingan
keluarganya dan kepentingan dirinya
sendiri. Oleh karena itu dalam
memperlakukan siterhukum ke 2 hal
tersebut harus selalu diperhatikan.
Selain daripada yang telah dikemukakan
diatas yang harus mendapatkan
perhatian adalah penghidupan keluarga
dari seseorang yang terhukum”.

Oleh beliau dikemukakan lebih
jauh, bahwa dibeberapa
Negara maju soal mengenai
penghidupan keluarga dari
seorang yang dihukum hilang
kemerdekaan menjadi “Zoorg”
bagi pemerintah.

Gagasan (Konsepsi)
Pemasyarakatan

Sejak tahun 1945 atau tepatnya
setelah perang dunia kedua, perlakuan
terhadap nara pidana mendapat
perhatian khusus dari kalangan dunia
internasioanal, karena dalam perlakuan
tersebut berdasarkan pada
perikemanusiaan, sehingga tercipta
“standart minimum Rules for the
treatment of prisoner,” dan
berkembanglah teori-teori daru dalam
sistem pembinaan narapidana.

Teori-teori lama seperti retributive
punishment dan sebaginya memang
lebih mudah untuk direseptir bahkan
secara langsung dapat meresap
pada rasa dan rasio masyarakat,
karena pada umumnya jika ada
pelanggaran hukum secara spontan
hanya ditanggapi dari segi
negatifnya saja, sedangkan teori
rehabilitasi dan resosialisasi dinegara
manapun tentu lebih sukar untuk
langsung bisa diterima.

Karena biasa orang baru
berpikir mencari jalan untuk
merehabilitasi sesudah merasa
puas bahwa sipelanggar hukum
itu sudah betul-betul
menunjukkan tobat dan
memang oleh yang berwenang
telah dianggap cukup
hukumannya yang sifatnya
retributif.

Di Indonesia hal yang telah diuraikan
diatas tadi,oleh warga masyarakatnya
memang sangat dirasakan, karena
sebagai Negara yang sudah merdeka,
dan juga sebagai Negara hukum, maka
dalam hal pelanggaran hukum
khususnya sipelanggar huum (nara
pidana) harus juga mendapat
perlindungan hukum dari Negara
dalam rangka mengembalikan mereka
ke dalam masyarakat sebagai warga
masyarakat yang baik.

Dengan dasar membela dan
mempertahankan “hak asasi manusia” pada
suatu Negara hukum (sipelanggar hukum
harus juga mendapat perlindungan hukum),
maka oleh SAHARDJO S.H. (Menteri
kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 juli
1963 telah dikemukakan suatu gagasan
“SISTEM PEMASYARAKATAN” sebagai
tujuan dari pidana penjara, yang diucapkan
pada pidatonya yang berjudul “Pohon
Beringan Pengayoman” pada
penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa
dalam bidang ilmu Hukum Universitas
Indonesia

Untuk mengetahui lebih lanjut
ide yang disampaikan oleh
beliau yaitu ada prinsip-prinsip
pokok sistem pemasyarakatan
yang disampaiakan yaitu:

A. Orang-orang yang tersesat
diayomi juga, dengan
memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga yang baik
dan berguna dalam masyarakat.
Jelas bahwa yang dimaksud disini adalah
masyarakat Indonesia yang menuju ketata
masyarakat yang adil dan makmur,
Bekal hidup bukan hanya berupa financial dan
material tetapi yang lebih penting adalah
mentaln fisik (kesehatan) keahlian,
keterampilan, hingga orang mempunyai
kemauan dan kemampuan yang potensial dan
efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak
melanggar hukum lagi dan berguna dalam
oembangunan bangsa.

B. Menjatuhi pidana bukan
tindakan balas dendam dari
Negara
Maka tidak boleh ada penyiksaan
terhadap nara pidana baik yang
berupa tindakan (treatment),
ucapan, cara perawatan ataupun
penempatan. Satu-satunya derita
yang dialami nara pidana
hendaknya hanya dihilangkan
kemerdekaanya.

C. Tobat tidak dapat dicapai
dengan penyiksaan, melainkan
dengan bimbingan.
Maka kepada nara pidana harus
ditanamkan pengertian mengenai
norma-norma hidup dan kehidupan,
serta diberi kesempatan untuk
merenungkan perbuatannya yang
lamapu. Nara pidana dapat diikut
sertakan dalam kegiatan-kegiatan
social untuk menumbuhkan rasa hidup
kemasyarakatan.

E. Negara tidak berhak membuat
seseorang lebih buruk/lebih jahat
daripada sebelum ia masuk
lembaga
Untuk itu perlu ada pemisahan antara:
 Yang recidivist dan yang bukan
 Yang tindak pidana berat dan ringan
 Macam tindak pidana yang dilakukan
 Dewasa, dewasa muda dan anak-anak

(LPK dewasa muda di sukamiskin)
 Laki-laki dan wanita
 Orang terpidana dan orang
tahanan/titipan.

kemerdekaan
bergerak,narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat
dan tidak boleh diasingkan
daripadanya.

Adapun yang dimaksud sebenarnya adalah
tidak diasingkan secara “culture” bahwa
mereka secara bertahap akan dibimbing
diluar lembaga (ditengah-tengah
masyarakat) itu