Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Jenderal Soedirman dalam Pertempuran Ambarawa Tahun 1945 T1 152008018 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Peran
Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu peristiwa (Poerwadarminta, 1995:751). Berdasarkan pendapat itu peranan merupakan
perangkat tingkah laku yang diharapkan dan dimiliki oleh orang atau seseorang yang
berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan
pengetahuan, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Peranan merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang
penting bagi struktur sosial masyarakat. Peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan
dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
kemasyarakatan. Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan (Soerjono Soekanto
1982: 238 ).
Sedangkan konsep tentang peran (role) menurut Komarudin ( 1994:768 )
mengungkap sebagai berikut :
1.

Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen.


2.

Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status.

3.

Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.

4. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang apa adanya.
5. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan
penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian

tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan dua variabel yang merupakan
hubungan sebab dan akibat.
B. Pertempuran
Menurut Michael I. Handel (1996:14-15) Tempur adalah laga atau kelahi. Sedangkan
jika mendapat imbuhan per- menjadi pertempuran. Arti dari pertempuran adalah perkelahian
yang hebat. Pertempuran juga berarti peperangan dan perjuangan.

Secara universal bisa dikatakan bahwa fungsi pokok dari tentara adalah bertempur
atau menjadi eksekutor utama dalam perang. Disini harus dibedakan pengertian pertempuran
(battle) dan perang (war) karena perang mempunyai cakupan yang jauh lebih besar dan

komplek daripada pertempuran. Perang melibatkan semua komponen dan potensi negara.
Sedangkan pertempuran hanya terjadi pada wilayah tertentu dan tidak mencakup seluruh
aspek negara. Pelaksanaan pertempuran

itu sendiri bisa dilihat dari 3 sudut pandang

hirarkhis, yaitu tataran strategis, operasional dan taktis.
Strategi menurut definisi yang dikemukakan seorang pakar strategi modern, Liddell
Hart (1967: 335) , adalah seninya pertempuran dalam bidang militer. Pada tataran strategis,
pertempuran harus dilihat sebagai sebuah permasalahan yang merupakan bagian dari hal-hal
yang mengikuti proses hubungan antar negara.
Pada tataran operasional, pertempuran bisa dilihat dari aspek pengerahan kekuatan
militer. Dalam hal ini perang harus didasarkan pada perencanaan dan perhitungan yang tepat
untuk memperoleh hasil yang maksimal. Pada level inilah terlihat beberapa perbedaan sudut
pandang antara para pakar strategi yang mungkin banyak diakibatkan oleh pengaruh situasi,
geografi, serta perkembangan tekhnologi.

C. Ambarawa Pasca Kemerdekaan
Ambarawa adalah sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Letaknya berada di jalan raya
yang menghubungkan kota Semarang dan Yogyakarta. Kota kecamatan ini dikelilingi oleh

perbukitan. Nama-nama perbukitan yang mengitari dari arah selatan sampai barat itu antara
lain adalah Weru, Kendil, Blabag, Kukusan, Kendali Sodo, dan Jonggol. Di tengah kota
kecamatan ini mengalir dua buah sungai yaitu sungai Panjang dan sungai Pentung. Kedua
sungai itu bermuara di Rawa Pening. Keadaan alam itulah yang menyebabkan Ambarawa
mempunyai peranan penting. Peranan penting itu dari berbagai segi yaitu militer, tempat
peristirahatan,perkebunan, dan pertanian (Syamsuar Said, 1984: 5) .
Dalam bidang militer, pada masa penjajahan, Belanda mendirikan tangsi (asrama)
militer di Ambarawa dan Banyubiru (Kota kecamatan di sebelah timur Ambarawa) . Di tangsi
itulah ditempatkan pasukan yang kuat. Di samping itu, dibangun pula sebuah benteng (tempat
pertahanan) yaitu Benteng Willem I. Selain sebagai pertahanan, benteng itu juga dipakai
sebagai penjara. Banyak penduduk pribumi yang ditahan di tempat itu akibat melawan
penjajahan Belanda (Tjokopranolo, 1992: 54).
Ambarawa mempunyai tanah yang subur. Oleh sebab itu pertanian dan perkebunan
tumbuh di wilayah ini. Hasil perkebunan dari daerah ini adalah kopi, teh, cokelat, dan
cengkih. Udara yang sejuk juga menarik minat orang Belanda untuk menetap. Tidak kalah
penting, Ambarawa juga banyak mempunyai peran dalam penyebaran agama Kristen. Di

sebelah barat daya kota Ambarawa, terdapat gereja katolik. Gereja itu dilengkapi dengan
biara dan sekolah. Banyak anak-anak yang dididik di tempat itu. Setelah tamat, mereka ikut
menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh. Namun kekuasaan Belanda di Ambarawa
justru mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk Ambarawa.
Setelah kemerdekaan Indonesia diikrarkan pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat
Ambarawa pun ikut menyambut dengan gembira. Sehari setelah peristiwa itu rakyat
Ambarawa memasang plakat dan tulisan-tulisan yang intinya menyambut kemerdekaan.
Bersamaan dengan kejadian itu, para tokoh Ambarawa mengadakan pertemuan. Mereka
adalah Wiroreno, Abdulmutolib, Utoyo, Marjuki, dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam pertemuan

itu berhasil disusun Komite Nasional Indonesia (KNI) Ambarawa. Tugas dari badan ini
adalah melaksanakan pemerintahan Indonesia di Ambarawa. Sebagai ketuanya adalah
Wiroreno dan kantornya di Kawedanan Ambarawa.
Para pemuda Ambarawa juga mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu
membicarakan tentang upaya mempertahankan kemerdekaan. Dalam pertemuan keduanya,
para pemuda berhasil membentuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Ambarawa
yang diketuai oleh Muslimin. Markasnya berada di rumah seorang anggotanya yang bernama
Sudarto. Dalam waktu singkat, anggota AMRI bertambah banyak. Selanjutnya markas AMRI
dipindahkan ke gedung Among Darmo. AMRI mulai meningkatkan kegiatannya. Mula-mula
mereka menangkapi orang Belanda yang berkeliaran dan dimasukkan ke tahanan.

Aksi pemuda AMRI kemudian meluas. Mereka bergerak menangkapi orang-orang
Jepang. Terkadang mereka mengambil senjata orang Jepang baik secara damai maupun
dengan kekerasan. AMRI juga melakukan tindakan penguasaaan gedung-gedung penting atau
bekas rumah orang Belanda yang di tahan. Mereka juga menguasai gudang persediaan
makanan milik Jepang. Kendaraan Jepang pun ikut dikuasai. Lalu lintas kendaraan yang
melintasi Ambarawa diperiksa. Untuk mengurus kendaraan itu, dibentuklah organisasi
Persatuan Sopir Montir Angkatan Muda Ambarawa (PERSAMA). Tugas dari Persama juga
memperbaiki kendaraan yang rusak yang disimpan di Banyubiru. Setelah kendaraan itu baik,
maka sebagian dikirimkan ke Salatiga, Ungaran, dan Magelang untuk membantu perjuangan
di sana.
Pada akhir bulan Agustus 1945 Ambarawa melangsungkan perayaan menyambut
proklamasi kemerdekaan secara besar-besaran. Sementara itu beberapa tokoh pemuda sedang
menyusun kekuatan tentara di Ambarawa. Yaitu melaksanakan keputusan pemerintah pusat
di Jakarta tanggal 22 Agustus untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Anggota
dari BKR adalah mereka yang pernah mendapat latihan sebagai tentara Pembela Tanah Air

(PETA), Heiho, Keibodan, dan lain-lain.
Mula-mula mereka mengadakan pertemuan di sebuah gedung yang terletak di jalan
Cipto Mangunkusumo. Pada saat itu hanya hadir 17 orang saja. Namun pada saat pertemuan
diadakan untuk yang kedua kalinya jumlahnya menjadi 47 orang. Pada pertemuan yang

kedua ini berhasil dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Ambarawa yang diketuai oleh
Moh. Hasyim. Di bawah pimpinannya BKR berkembang pesat. Anggotanya mencapai 70
orang dan dibagi ke dalam 3 tempat. Pos 1 ada di depan Klenteng Ambarawa di bawah
pimpinan Sungkono. Pos 2 di depan sekolah MULO (sekarang SMP Pangudi Luhur
Ambarawa) di bawah pimpinan Badri. Sedangkan pos 3 ada di Gempol di bawah pimpinan
Badrun dan Hardi.
BKR memang sudah terbentuk, namun belum mempunyai senjata yang lengkap.
Maka dari itu BKR berusaha untuk mendapatkan senjata. Dengan dibantu oleh AMRI, BKR
bahu-membahu merebut senjata dari Jepang. Atas perjuangannya, BKR mampu merebut
senjata dari Jepang. Ketika itu sekelompok tentara Jepang hendak menuju Semarang dari
Magelang. Namun ketika sampai di Ambarawa BKR mengetahuinya dan melakukan
pengejaran. Akhirnya setelah sampai di Ungaran terjadilah perebutan senjata. Tidak hanya
itu, di Banyubiru pun BKR mampu merebut senjata dan belasan kendaraan. Dengan
keberhasilan BKR tersebut, maka senjata menjadi lengkap untuk mempertahankan
kemerdekaan (Syamsuar Said, 1984: 11- 15) .
Sehubungan dengan maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, maka BKR
digantikan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Markasnya berada di Yogyakarta.
Pembentukan TKR ini mendapat sambutan hangat dari pemuda- pemuda Indonesia. Banyak
para pemuda yang mendaftarkan diri sehingga dapat dibentuk 16 Divisi. Sepuluh Divisi ada
di pulau Jawa, dan empat diantaranya berkedudukan di Jawa Tengah (Tjokopranolo, 1992:

49-50) .

Sehubungan dengan Maklumat pemerintah tentang pembentukan TKR itu pula,
tokoh-tokoh BKR Ambarawa mengadakan pertemuan di markasnya. Pertemuan yang
pertama belum mendapatkan hasil. Pada pertemuan kedua baru mendapatkan hasil yaitu
pembentukan TKR Ambarawa yang markasnya bekas sekolah MULO . Sebagai pimpinannya
adalah Shodanco Sumarto. Kekuatan TKR di Ambarawa ada satu batalyon.

Ambarawa

termasuk daerah Divisi IV yaitu di bawah pimpinan Kolonel Jatikusumo.
Selain TKR dan AMRI, di Ambarawa juga terdapat organisasi lainnya. Organisasi itu
adalah Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) dan Hisbullah. Para pemuda masuk
dalam organisasi tersebut tujuannya sama yaitu berjuang untuk membela nusa dan bangsa.
Dalam peristiwa selanjutnya Ambarawa mengalami peristiwa besar. Peristiwa itu adalah
Ambarawa dikuasai kembali oleh Sekutu.
Penelitian yang relevan
Berikut ini dikemukaan beberapa penelitian yang relevan dengan bahasan dalam
penelitian ini:
1.


Edy Wibowo dalam penelitian yang berjudul Peranan Rakyat Ambarawa Dalam
Pertempuran Ambarawa Tahun 1945. Isi dari penelitian ini menjelaskan bahwa hampir

seluruh rakyat Ambarawa berperan aktif dalam pertempuran Ambarawa tahun 1945.
Peran serta rakyat Ambarawa dalam pertempuran yaitu: ikut serta mengangkat senjata,
membuat dapur umum, menyediakan makanan, meyediakan tempat untuk palang merah,
pengantar makanan untuk para pejuang, komunikator antar pejuang dari pos satu ke pos
lainnya, dan juga sebagai informan keberadaan musuh ( Sekutu ).
Dibandingkan dengan hasil penelitian di atas, terdapat persamaan dan
perbedaan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Persamaan dengan permasalahan
yang sedang diteliti adalah keduanya membahas tentang pertempuran Ambarawa. Namun
di sisi lain terdapat suatu perbedaan. Penelitian di atas lebih membahas tentang peran

rakyat dalam pertempuran Ambarawa. Sedangkan permasalahan yang sedang diteliti
adalah membahas peran Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pertempuran.
2. Mutiara Dewi dengan penelitian yang berjudul Strategi Supit Urang Dalam Pertempuran
Ambarawa . Isi dari penelitian ini menjelaskan tentang bahwa pada pertempuran

Ambarawa menggunakan sistem pengepungan berbentuk supit udang. Dalam penerapan

sistem Supit Urang, kondisi geografis wilayah Ambarawa mendukung jalannya strategi
tersebut. Kondisi geografis Ambarawa adalah lembah yang dikelilingi perbukitan, serta
merupakan daerah persimpangan antara Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Dalam
melaksanakan strategi Supit Urang ini, Soedirman membagi pasukannya menjadi empat
kelompok. Setiap kelompok menempatkan diri seperti bagian tubuh udang. Kelompok
pertama sebagai tubuh udang. Kelompok kedua sebagai kaki udang. Kelompok ketiga
sebagai supit udang yang terbagi menjadi dua yaitu supit kanan dan kiri. Kelompok empat
sebagai ekor udang. Dengan strategi ini pasukan pejuang Indonesia yang dipimpin
Soedirman berhasil memukul mundur Sekutu ke Semarang.
Dibandingkan dengan hasil penelitian di atas, terdapat persamaan dan
perbedaan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Persamaan dengan permasalahan
yang sedang diteliti adalah keduanya membahas tentang pertempuran Ambarawa. Namun
di sisi lain terdapat suatu perbedaan. Penelitian di atas lebih menonjolkan tentang strategi
Supit Urang yang dipakai Soerdirman dalam pertempuran Ambarawa. Sedangkan
permasalahan yang sedang diteliti membahas peran Jenderal Soedirman sebagai
pemimpin pertempuran.
3.

Taufik Rahzen dalam jurnal Republik yang berjudul Lahirnya Panglima Besar . Isi dari
jurnal ini menjelaskan tentang kepemimpinan Soedirman. Salah satunya terletak pada

himbauannya yang tanpa henti ihwal kesatuan antara tentara dan rakyat. Ucapannya yang
terkenal, “Tentara dan rakyat itu seperti ikan dan air”. Hal itu menjadi cikal dari karakter

tentara Indonesia sebagai tentara rakyat, bisa dikatakan menjadi alas dasar dari apa yang
kelak disebut Dwi Fungsi ABRI. Hal lain yang menarik dari kepemimpinan Soedirman
adalah, himbauannya yang berulang-ulang ihwal arti penting kesucian spirtual tentara. Itu
adalah sebagai prasyarat mutlak pengabdian tentara pada negara. Tanpa kesucian itu,
tentara dengan mudah akan terjebak pada avonturisme yang tidak hanya membahayakan
dirinya, akan tetapi juga membuat rentan integritas perjuangan.
Dibandingkan dengan jurnal di atas, terdapat persamaan dan perbedaan
dengan permasalahan yang sedang diteliti. Persamaan dengan permasalahan yang sedang
diteliti adalah keduanya membahas tentang Jenderal Soedirman. Namun di sisi lain
terdapat suatu perbedaan. Jurnal

di atas lebih menonjolkan tentang kepribadian

Soerdirman dalam memberikan semangat kepada anggota TNI . Sedangkan permasalahan
yang sedang diteliti membahas peran Jenderal Soedirman dalam memimpin pertempuran
Ambarawa yang tidak lepas dari segi kepribadiaanya.