T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Kesusilaan dalam PerundangUndangan Indonesia T1 BAB II
BAB II
KESUSILAAN SEBAGAI NORMA DALAM HUKUM INDONESIA
Indonesia adalah negara yang plural, negara dengan suku dan adat budaya yang
paling banyak di dunia. Sebagai negara yang plural, tentu mengenai nilai kesusilaan juga
dapat dipahami berbeda oleh satu kelompok adat dengan kelompok adat lain. Untuk itu,
apabila nilai tentang kesusilaan ini mulai diatur oleh sebuah peraturan yang akan berlaku
sama kepada seluruh wilayah Indonesia, pemerintah harus memberikan garis yang tegas.
Sehingga ketika peraturan tersebut mulai diberlakukan, tidak ada kebingungan dalam
menerapkannya.
Dengan tidak bermaksud ingin membuat sempit arti dari kesusilaan yang sangat
abstrak ini, hanya saja penulis merasa tentu ada hal-hal atau batas-batas tentang
kesusilaan yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan untuk melihat apakah suatu
perbuatan dapat dikatakan melanggar atau tidak melanggar norma kesusilaan dengan adil
dan dapat diterima oleh aneka budaya kita.
A.
Makna Kesusilaan
Pada sub-bab ini, penulis akan membahas pengertian awal mengenai kesusilaan.
Pengertian mengenai kesusilaan ini akan dilakukan dengan penafsiran gramatikal dari
kata kesusilaan itu sendiri. Selain itu, penulis akan mengutip pendapat beberapa ahli
hukum Indonesia mengenai apa yang dimaksud dengan kesusilaan.
Pengertian kesusilaan pertama-tama akan penulis cari dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kesusilaan yang kata dasarnya adalah susila /su·si·la/ memiliki arti:
1) Baik budi bahasanya; beradab; sopan:
2) Adat istiadat yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; kesusilaan:
3) Pengetahuan tentang adab.
Kata susila dalam KBBI di padankan dengan contoh kalimat “orang yang merasa
terpelajar
sudah
seharusnyalah
mengenal
susila”.
Sementara,
kesusilaan
/ke·su·si·la·an/ sendiri diartikan:
1) Perihal susila;
2) Berkaitan dengan adab dan sopan santun;
3) Norma yang baik;
4) Kelakuan yang baik;
5) Tata krama yang luhur.
Apabila dilihat dari pengertian diatas, penulis sementara menilai bahwa kesusilaan
adalah semua hal yang baik-baik, tentang akhlak sesorang yang terpuji, tentang bertata
krama dan adat istiadat yang sopan.
Setelah melihat pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencarian berikutnya
dalam Black’s Law Dictionary, pertama-tama penulis menerjemahkan kesusilaan yang
apabila diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dapat diartikan menjadi moral, ethics, dan
decent, yang mana ketiganya dapat diartikan berbeda. Dalam Black’s Law Dictionary,
disebutkan moral:
1) Pertaining or relating to the conscience or moral sense or to the general
principles of right conduct.
2) Cognizable or enforceable only by the conscience or by the principles of right
conduct, as distinguished from positive law.
3) Depending upon or resulting from probability; raising a belief or conviction in the
mind independent of strict or logical proof.
4) Involving or affecting the moral sense; as in the phrase “moral insanity.”
Sementara, Ethics diartikan :
Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion;
also, treating of moral feelings, duties or conduct; containing precepts of morality;
moral. professionally right or befitting; conforming to professional standards of conduct.
Kemudian, decency:
The state of being proper, as in speech or dresss; quality of being seemly.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian yang lebih luas dari KBBI, yang
mana moral itu dihasilkan dari probabilitas yang ditegakkan dengan hati nurani atau
prinsip-prinsip perilaku yang benar yang diluar dari hukum positif. Kemudian, ethics
yang berarti mengandung ajaran tentang moralitas, sedangkan decency yaitu tentang suatu
keadaan yang pantas, seperti dalam pidato atau berpakaian. Maka dengan ini dapat
disimpulkan bahwa kesusilaan dalam Black’s Law Dictionary adalah ajaran tentang
moralitas atau tentang suatu keadaan yang pantas yang merupakan gabungan nilai-nilai
kepatutan yang ada pada masyarakat dan ditegakkan dengan hati nurani yang diluar dari
hukum positif.
Untuk lebih dekat, selain mendapat pengertian dari KBBI dan Black’s Law
Dictionary, penulis juga merujuk pada beberapa pendapat para ahli hukum Indonesia,
salah satunya Barda Nawawi Arief yang mengatakan:
“Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah)
kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas
dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dengan nila-nilai yang berlaku
di masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung
pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal
(das recht ist das ethische minimum).”1
1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , edisi kedua cetakan ke-4, Kencana,
Jakarta, 2014, hlm. 251.
Pendapat berikutnya datang dari Hilman Hadikusuma yang menyebutkan:
“kesalahan kesusilaan ialah semua kesalahan yang menyangkut watak budi
pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan perbuatannya
mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya melakukan perbuatan
maksiat, berzina, berjudi, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Kesemuanya merupakan perbuatan asusila. Walaupun dalam hukum adat
tidak dibedakan antara yang bersifat kejahatan dan pelanggaran, maka
dapatlah dikatakan bahwa kesalahan kesopanan itu termasuk pelanggaran
sedangkan kesalahan kesusilaan termasuk kejahatan.2”
Berikutnya ahli hukum Indonesia yang pendapatnya telah penulis cantumkan di
bab pertama penelitian ini adalah R. Soesilo, beliau menjelaskan bahwa:
“arti kesusilaan (perbuatan asusila) memiliki keterkaitan dengan
kesopanan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin,
misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat
kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium.3
Kesusilaan adalah tentang sesuatu yang merusak kesopanan, sifat
merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat
tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. Bahwa
orang bersetubuh di tengah jalan itu merusak kesopanan (kesusilaan)
umum itu jelas merupakan perbuatan merusak kesusilaan, akan tetapi
cium-ciuman di tempat umum di kota besar saat ini dilakukan oleh
bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan apakah ia merusak
kesopanan atau tidak. Apabila polisi menjumpai peristiwa semacam ini,
maka berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan
menurut adat istiadat yang ada, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu
apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut
tempat dan keadaan dapat dipandang sebagai perbuatan asusila. Hal
penting yang perlu dilihat adalah sejauh mana pelanggaran kesusilaan
(perbuatan asusila) itu dilakukan, yakni perlu pengamatan hukum
dengan mengacu pada adat istiadat yang ada untuk melihat konteks
asusila.”4
Roeslan Saleh menyatakan bahwa “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi
pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang
termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan
2
Hadikusma Hilman, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1989. hlm.80.
3
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1996
hlm. 204.
4
Ibid, hlm. 177
masyarakat.”5 Terakhir, Leden Marpaung
dalam bukunya yang berjudul Kejahatan
Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, menuliskan makna dari kesusilaan
adalah:
“tindakan yang berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri
manusia, Leden Marpaung menyimpulkan, pengertian delik kesusilaan
adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana perbuatan tersebut
menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah diatur dalam
perundang-undangan.”6
Review singkat penulis dari pendapat para ahli diatas, bahwa menurut Barda
Nawawi Arief, karena dapat dipandang berbeda-beda menurut nilai yang berlaku di
masyarakat, maka hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal.
Selanjutnya menurut Hilman Hadikusuma kesalahan kesusilaan adalah semua kesalahan
yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan
mengganggu keseimbangan masyarakat. Pendapat berikutnya yang sedikit sempit datang
dari R. Soesilo yang menyatakan bahwa kesusilaan berkaitan dengan perasaan malu yang
berhubungan dengan kelamin, seperti meraba buah dada perempuan, meraba kemaluan
perempuan dan lain-lain. Namun menurutnya, hal-hal yang dianggap merusak kesusilaan
tersebut harus memperhatikan ukuran kesusilaan menurut adat istiadat di tempat
dilakukannya perbuatan merusak kesusilaan, karena beda tempat, beda pendapat
umumnya. Kemudian menurut Roeslan Saleh kesusilaan adalah hal-hal yang termasuk
dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.
Terakhir Leden Merpaung, menurutnya kesusilaan adalah etika yang ada dalam diri
manusia.
5
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm.
6
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya , Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. hlm. 2.
Sampai dengan tahap ini, penulis dapat membuat kesimpulan sementara dari
pengertian-pengertian kesusilaan menurut para sarjana diatas, bahwa kesusilaan adalah
nilai-nilai yang minimal yang menyangkut etika atau watak budi pekerti yang ada dalam
diri manusia yang terdapat pada masyarakat, yang mana untuk menilainya harus
memperhatikan tempat terjadinya perbuatan kesusilaan tersebut, karena nilai tentang
tingkah laku dalam pergaulan masyarakat ini beda tempat maka beda pula pendapat
umumnya.
B. Kesusilaan Dalam Legislasi dan Regulasi di Indonesia
Tidak berhenti hanya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Black’s Law Dictionary
dan pendapat para sarjana saja dalam pencarian makna kesusilaan, sumber pencarian
makna kesusilaan berikutnya adalah dengan meninjau peraturan perundang-undangan
Indonesia yang meliputi nilai-nilai atau ideal yang melandasinya yang pastilah memuat
hal ini.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan kesusilaan dalam beberapa
Pasal, yaitu:
a. Pasal 891: Penyebutan suatu alasan, baik yang benar maupun yang palsu, namun
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan, menjadikan pengangkatan
ahli waris atau pemberian hibah wasiat yang batal.
b. Pasal 1337 menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kesusilaan yang dimaksud Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
penyebutan alasan (yang bertentangan dengan kesusilaan) dalam hal pengangkatan
ahli waris atau pemberian hibah wasiat. Penulis menyimpulkan, berarti kesusilaan
yang diatur KUHPer ini adalah tentang niat yang melanggar kesusilaan.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur kesusilaan dalam BAB VI
pelanggaran kesusilaan buku ketiga tentang pelanggaran mulai dari Pasal 532 hingga
547,
sebenarnya,
KUHP
adalah
yang
paling
lengkap
mengatur
tentang
kesusilaan/pelanggaran kesusilaan apabila di bandingkan dengan undang-undang
yang lain, namun KUHP tidak menjelaskan atau memberikan pengertian kesusilaan,
yang diiatur ialah sanksi yang diberikan terhadap perbuatan-perbuatan yang
melanggar asusila. Namun, pengertian kesusilaan dapat ditemukan dengan cara
penafsiran sistematis antar Pasal-Pasal yang mengatur tentang pelanggaran kesusilaan
ini.
Secara implisit, dapat dilihat kesusilaan dalam KUHP meliputi; menyanyikan
lagu-lagu, berpidato, menempelkan tulisan di jalan yang melanggar kesusilaan; di lalu
lintas umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan melanggar kesusilaan atau
memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja;
secara terang-terangan menawarkan tulisan, gambar atau barang yang dapat
merangsang nafsu birahi para remaja atau anak di bawah umur 17 tahun;
mempertunjukkan atau memamerkan atau mengarahkan bisa di dapat sarana untuk
mencegah kehamilan atau menggugurkan kehamilan; mabuk di jalan umum; diluar
kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras kepada anggota Angkatan
Bersenjata atau kepada isterinya, anak atau pelayan; menjual minuman keras kepada
anak di bawah umur 16 tahun; menyediakan minuman keras pada pesta keramaian
untuk umum atau pertunjukkan rakyat; mempekerjakan hewan yang melebihi
kekuatannya , atau dengan cara yang menyakitkan atau menyiksa hewan tersebut;
melakukan sabungan ayam atau jangkrik tanpa seizin kepala polisi atau pejabat
berwenang; melakukan peramalan atau penafsiran mimpi; menjual, menawarkan,
menyerahkan, membagikan jimat-jimat atau mengajar ilmu-ilmu kesaktian yang
bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa
kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni:
a. Pasal pasal 23 ayat (2) yaitu Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
b. Pasal 60 ayat (2) yaitu: Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan
informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan
dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
c. Pasal 73 yaitu: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Tentang kesusilaan yang diatur pada Undang-Undang a quo yaitu mempunyai
pikiran dan mengemukakan pendapat yang melanggar kesusilaan, serta mencari,
menerima dan memberikan informasi yang memuat pelanggarang terhadap
kesusilaan. Berarti, melanggar kesusilaan yang dimaksud dalam Undang-Undang
ini adalah mulai dari pemikiran sampai penuangannya yang disampaikan oleh
seseorang tersebut yang mengandung atau bertentangan dengan kesusilaan.
4. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu:
a.
Pasal 46 ayat (3) huruf d: siaran iklan niaga dilarang melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama;
b.
Pasal 48 ayat (4) huruf d: pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi
siaran yang sekurang-kurangnya berisikan kesopanan dan kesusilaan.
Undang-Undang ini mengharuskan isi siaran iklan sekurang-kurangnya harus
berisikan kesusilaan. Siaran menurut Undang-Undang ini adalah pesan dalam
bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter,
baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat
penerima siaran. Penulis menganggap, berarti siaran iklan yang seperti yang
dimaksud di atas harus mengajarkan atau terdapat pesan tentang kesusilaan atau
paling tidak isi iklan tidak boleh melanggar kesusilaan.
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan kesusilaan dalam
beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf b: Perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang a quo terkait dengan isi dari
perjanjian kerja, serta jaminan pada jam kerja diikatakan bahwa aspek kesusilaan
merupakan salah satu hak pekerja yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Namun
pada pengaturan ini tidak dijumpai pengertian kesusilaan.
6. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 1,
yaitu Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Kesusilaan yang dimaksud adalah kesemua yang terdiri dari bentuk pornografi
diatas, karena segala bentuk pornografi sudahlah pasti melanggar kesusilaan, tetapi
pelanggaran kesusilaan tidak hanya berupa bentuk pornografi.
7. UU No. 11 Tahun 2012 tentag Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf f menyebutkan proses diversi wajib memperhatikan kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana, sehingga kesusilaan yang dimaksud adalah
dalam pengalihan dari proses peradilan ke proses di luar peradilan, petugas yang
berwenang dalam mengalihkan proses ini tidak boleh sekalipun melakukan hal-hal
yang melanggar kesusilaan terhadap anak tersebut.
8. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam Pasal 69A huruf a menyebutkan perlindungan khusus bagi
anak korban kejahatan seksual sebagaimana diaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j
dilakukan melalui upaya edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai, agama, dan nilai
kesusilaan.
Berbeda dengan beberapa Undang-Undang lainnya tentang makna kesusilaan
yang bisa didapatkan dengan cara penafsiran sistematis, pada Undang-Undang ini,
penulis tidak bisa menemukan makna kesusilaan karena penyebutan kesusilaan hanya
pada satu ayat saja.
9. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
Perlu diketahui informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk teteapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol,
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. Sementara, dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sehingga kesusilaan
yang diamaksud ialah kesusilaan yang berupa dokumen dan informasi elektronik
seperti diatas.
10. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek. UU merek banyak menyebutkan tentang
kesusilaan, namun dari sekian Pasal yang menyebutkan kesusilaan, yang penulis rasa
paling dapat dimasukan sebagai acuan adalah Pasal 20 huruf a, yaitu: merek tidak
dapat didaftar jika bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangundangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo,
nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga
dimensi, suara, hologram, atau kombinasi orang atau badan hukum hukum dalam
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Sehingga kesusilaan yang dimaksud ialah
merek seperti yang dimaksud diatas.
11. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, menyebutkan kesusilaan dalam beberapa pasal yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf d: perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Sama seperti yang diatur pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang penulis
sampaikan diatas, dalam Peraturan Pemerintah a quo
juga tidak ditemukan
pengertian kesusilaan.
12. Peraturan Menteri Agama No. 24 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi Pada
Kementrian Agama menyebutkan kesusilaan dalam beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 6 huruf e: Pemberian Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) meliputi memberi sesuatu dalam bentuk apapun kepada sesama pegawai
Kementrian Agama, pihak ketiga dan/atau pihak ketiga dan/atau pihak yang
memiliki kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah agama, dan norma
kesusilaan.
b. Pasal 14 huruf b angka 2: Pegawai Kementrian Agama dapat menerima
Gratifikasi dalam bentuk hadiah/cinderamata yang tertera logo/nama perusahaan
pihak ketiga dan/atau pemberi, dengan persyaratan bukan merupakan benda yang
sifatnya melanggar kesusilaan dan hukum.
Dalam Perma ini, Gratifikasi adalah suatu pemberian dalam arti luas, baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sehingga kesusilaan
yang dimaksud dalam hal ini ialah barang dan/atau jasa yang melanggar
kesusilaan.
Setelah melihat paling tidak dua belas peraturan perundang-undangan yang memuat
atau menyebutkan tentang kesusilaan yang telah dihimpun di atas, penulis dapat membuat
sebuah garis besar tentang kesusilaan, yaitu paling tidak meliputi: niat, pendapat, lisan,
pidato, tulisan, surat elektronik, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi,
logo, nama, kata, angka, susunan warna dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi,
hologram, electronic data interchange (EDI), telegram, teleks, telecopy, informasi,
sketsa, gambar, ilustrasi, rancangan, peta, suara, bunyi, lagu, gambar bergerak, animasi
kartun, percakapan, gerak tubuh, siaran dan/atau siaran iklan, sarana untuk mencegah atau
dapat menggugurkan kehamilan, menjual minuman keras, mabuk di depan umum,
sabungan ayam atau jangkrik, melakukan peramalan atau penafsiran mimpi dan menjual
jimat-jimat kekebalan untuk melakukan perbuatan pidana, proses diversi, dan pemberian
barang dan/atau jasa, yang dilakukan kepada: para remaja, anak di bawah umur 17 tahun,
anggota angkatan bersenjata atau kepada isterinya, anak atau pelayannya, pejabat atau
pegawai instansi pemerintah, dan masyarakat luas, melalui: dilakukan pada lalu lintas
umum, jalanan umum, pada pesta keramaian untuk umum atau pertunjukkan rakyat,
secara lisan atau tertulis melalui media cetak atau elektronik dan berbagai bentuk media
komunikasi, dengan cara yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat di pahami oleh
orang yang mampu memahaminya, di buat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau
disimpan melalui komputer atau sistem elektronik, yang dilakukan di dalam dan/atau di
luar negeri.
Definisi kesusilaan diatas menjadi begitu panjang dan rigid, berbeda dengan definisi
kesusilaan yang penulis temukan pada sub bab pertama penelitian ini, karena definisi
kesusilaan yang di temui dalam KBBI dan Black’s Law Dictionary bersifat general,
sehingga pengertiannya dapat masuk dimana saja, berbeda dengan definisi kesusilaan
yang telah penulis himpun pada perundang-undangan diatas baru bisa dapatkan setelah
penulis lakukan dengan cara penafsiran sistematis. Maka dengan itu, penulis akan
mencoba mencari makna kesusilaan melalui putusan pengadilan, dengan maksud bahwa
hakim biasanya berdiri di tengah-tengah antara peraturan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah di luar itu.
C. Konsep Kesusilaan Dalam Putusan Pengadilan Indonesia
Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk mengidentifikasi sistem
hukum karena putusan pengadilan sendiri notabene merupakan hasil dari formulasi
kaidah hukum. Dalam memutuskan kasus hakim harus memberikan argumentasi hukum
yang menjustifikasi putusannya. Putusan berfungsi untuk menegakkan kaidah-kaidah
hukum abstrak ketika apa yang seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut tidak
terjadi.7 Hal ini yang mendasari penulis untuk meninjau makna kesusilaan yang terdapat
dalam putusan pengadilan tentang pelanggaran kesusilaan.
1. Putusan Pengadilan Militer Nomor:50-K/PM.III-17/AD/VI/2016. Terdakwa
diancam pidana menurut Pasal 281 angka 2 KUHP yang di dakwakan oleh Oditur
Militer, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan
sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan
kehendaknya, melanggar kesusilaan. Dimaksud dengan sengaja dan di depan
orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan, bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan
saksi ke-1 padahal di dalam ruangan tersebut juga ada saksi ke-2, meskipun pada
awalnya saksi ke-2 tertidur, tapi kemudian saksi ke-2 terbangun dan mengetahui,
mendengarkan bahkan melihat perbuatan persetubuhan itu. Saksi ke-2 bahkan
sempat mengomentari perbuatan mereka dan melemparkan tissue kepada
terdakwa dan saksi ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 281 angka 2 KUHP tersebut. Bahwa dalam
amar putusannya, untuk membuktikan unsur melanggar kesusilaan seperti yang
dimkasud dalam Pasal 281 angka 2, Majelis hakim menjelaskan pengertian
“Kesusilaan” adalah
7
kesopanan, sopan santun, keadaban. Sedangkan yang
Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia , Mandar Maju, Bandung, 2016, hlm. 48.
dimaksud “Melanggar Kesusilaan” dalam delik ini adalah perbuatan atau tindakan
yang melanggar kesopanan, sopan santun, keadaban yang berhubungan dengan
kelamin dan atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat
menimbulkan perasaan malu, jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang lain,
misalnya melakukan hubungan badan layaknya suami isteri, meraba buah dada
seorang perempuan, meraba kemaluan wanita ataupun pria, mencium,
memperlihatkan alat kemaluan wanita atau pria tersebut.
2. Putusan Pengadilan Militer Balikapan Nomor: PUT-09-K/PM I-07 AD/III/2011
yang merumuskan pengertian kesusilaan yakni perbuatan atau tindakan yang
melanggar kesopanan/sopan santun dan keadaban di bidang kesusilaan yang harus
berhubungan dengan kelamin dan atau bagian badan tertentu yang lainnya yang
pada umumnya dapat menimbulkan perasaan malu, jijik, atau terangsangnya nafsu
birahi orang lain yang melihatnya misalnya seperti meraba-raba buah dada
seorang perempuan, meraba-raba kemaluan wanita, mencium, memperlihatkan
alat kemaluan, dan lain sebagainya
3. Putusan Pengadilan Militer Surabaya Nomor: 169-K/PM.III-12/AD/VII/2012,
majelis hakim memberikan rumusan tentang perbuatan kesusilaan adalah perasaan
malu
yang
berhubungan
dengan
nafsu
kelamin,
misalnya
mencium,
memperlihatkan kamaluan pria atau wanita, meraba alat kemaluan wanita, dsb.
Setelah memperoleh definisi kesusilaan dari putusan-putusan di atas, dapat di
simpulkan bahwa perbuatan kesusilaan atau melanggar kesusilaan adalah perasaan
malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, perbuatan melanggar kesopanan,
sopan santun, keadaban yang berhubungan dengan kelamin dan atau bagian badan
tertentu yang menimbulkan perasaan malu, jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang
lain, seperti melakukan hubungan badan, meraba-raba buah dada, kemaluan wanita
atau pria, mencium, memperlihatkan alat kemaluan wanita atau pria tersebut.
Namun, apakah unsur-unsur perbuatan kesusilaan atau melanggar kesusilaan
yang diberikan hakim dalam putusannya sudah tepat? Sementara, menjumput
pendapat ahli hukum, Roeslan Saleh yang telah penulis sebutkan di sub-bab pertama,
yaitu “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan
norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat.”
Untuk itu, pada sub-bab berikutnya, penulis akan menggali pengertian
kesusilaan yang terdapat pada masing-masing budaya yang ada di Indonesia, untuk
mendapatkan pengertian kesusilaan yang lebih dekat dengan masyarakat seperti
kutipan pendapat di atas.
D. Kesusilaan Dalam Budaya Adat Istiadat
Pelanggaran kesusilaan berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam adat
istiadat setempat adalah berarti bentuk pelanggaran adat, timbulnya reaksi masyarakat
adat dalam hal pelanggaran kesusilaan bertujuan untuk mewujudkan keseimbaangan
masyarakat kembali. Tetapi karena kesusilaan dimaknai berbeda tiap daerah, maka
reaksi masyarakatnya juga berbeda. Maka dengan itu, untuk dapat membuat sebuah
garis besar tentang kesusilaan dan pelanggarannya, penulis mencoba menghimpun
pengertian kesusilaan menurut beberapa adat berbeda di Indonesia yang masih
berkembang, diakui dan di jalankan oleh masyarakatnya.
Di Bali, terdapat jenis-jenis delik adat yang masih berlaku dan hidup dalam
masyarakat, salah satunya delik adat yang menyangkut kesusilaan. Tentang kesusilaan
tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari
kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan
antara makro kosmos (bhuwana agung) dengan mikro kosmos (bhuwana alit).
Pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri beraneka ragam bentuknya, yaitu :8
1. Lokika sanggraha seperti yang dirumuskan dalam Kitab Adi Agama pasal 359
serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktik peradilan di daerah Bali
adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang samasama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar
suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun
setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan
memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Delik adat ini hingga kini
masih sering diajukan ke Pengadilan, dibandingkan jenis delik adat lainnya.
2. Drati krama yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki sedangkan mereka masih dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain; dengan singkat dikatakan drati karma ialah
“berzina dengan istri/suami orang lain”.
3. Gamia gamana ialah delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara
orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus
maupun ke samping. Jadi pengertian Gamia Gemana sama dengan incest.
4. Mamitra ngalang ialah suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki yang sudah
beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir
batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah.
Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan) dan biasanya si wanita
ditempatkan dalam rumah tersendiri. Delik adat ini sangat mirip dengan Drati
Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristeri, sedang
pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi mungkin masih gadis atau sudah
janda. Si wanita tidak (belum) kawin secara sah. Unsur yang khusus disini dan
membedakannya ddengan Drati Krama, adalah sifat hubungannya yang terus
menerus dan biasanya di wanita ditempatkan dalam satu rumah serta diberi nafkah
lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si wanita merupakan wanita simpanan dari si
laki-laki tersebut.
5. Delik adat salah krama ialah melakukan hubungan kelamin dengan makhluk yang
tidak sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan
hewan seperti seorang laki-laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor sapi
betina. Meski Pengadilan Negri tidak pernah memberikan putusan karena kasus
ini tidak pernah diajukan ke Pengadilan tetapi Raad Kerta pernah memutus kasus
ini dengan mengenakan pidana penjara kepada si pelaku.
6. Kumpul kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama
dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami
istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Istilah kumpul kebo ini, tidak
hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang
sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di
atas. Bedanya mungkin kalau di Bali perbuatan ini di samping merupakan
perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis,
8
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993. Hal 14.
sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang
dan pelakunya dapat dikenai sanksi adat.
Dengan demikian, kesusilaan menurut adat budaya Bali ialah semua bentuk
hubungan badan antara pria dan wanita yang belum terikat dalam sebuah
perkawinan, termasuk perselingkuhan bagi salah satu pihak yang telah memiliki
ikatan perkawinan dengan pihak lain, hubungan antar keturunan garis ke bawah
maupun ke samping, serta hubungan badan tidak wajar antara manusia dengan
hewan.
Selanjutnya, dalam hukum adat daerah Tolaki, Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara dikenal perbuatan Mosuahala, yakni segala perbuatan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, baik masih gadis maupun sudah menikah, yang
menyebabkan timbulnya rasa malu bagi orang tua/suami si perempuan yang
bersangkutan, dimana kepada laki-laki yang bersangkutan dikenakan denda atau
sanksi sebagai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Perbuatan melanggar
kesusilaan yang dimaksud yaitu: Meomore, yakni dengan sengaja menggerayangi
tubuh perempuan saat ia tertidur lelap; Moleloi, yakni memperkosa; dan perbuatan
sengaja memegang atau menyentuh bagian tubuh terlarang seseorang perempuan.9
Dari paling tidak dua pengertian delik kesusilaan adat yang penulis berhasil
kumpulkan diatas, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan
itu ialah segala perbuatan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, baik masih
gadis maupun sudah menikah, yang menyebabkan timbulnya rasa malu bagi orang
tua/suami si perempuan yang bersangkutan, seperti melakukan hubungan badan antara
pria dan wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan; berzinah dengan
Tira Agustina, “Pelaksanaan penjatuhan Sanksi Adat “Peohala” terhadap Pelanggaran H ukum Adat
Kesusilaan Tolaki di Kota Kendari”, Tesis, Universitas Indonesia, 2012, hlm. 134.
9
suami/isteri orang lain; incest atau hubungan badan dengan keluarga garis lurus
maupun kesamping; pria yang memiliki wanita simpanan lain; hubungan badan antara
manusia dengan hewan; hubungan antara pria dan wanita yang tinggal satu rumah dan
melakukan hubungan seksual layaknya suami isteri tetapi tidak terikat dalam
perkawinan.
Dengan melihat dua pengertian kesusilaan dari dua adat berbeda Indonesia ini,
penulis dapat dengan cepat menyimpulkan, berarti yang dimaksud dengan melanggar
kesusilaan dalam masyarakat ialah segala hal tentang hubungan badan atau
menyentuh badan terlarang antara pria dan wanita yang dilakukan di luar ikatan
pernikahan (atau hubungan yang tidak boleh menikah/inccest) dan bahkan hubungan
badan antar manusia dan hewan. Kesusilaan pada kedua adat diatas merupakan
sebuah standar yang selalu berkaitan dengaan hubungan seksual, sementara perilaku
seperti cara bertutur kata yang baik, bertata krama dan lain-lain seperti pengertian
kesusilaan yang penulis jumpai pada KBBI di sub bab pertama penelitian ini tidak
penulis temukan dalam definisi kesusilaan menurut kedua adat budaya di atas,
bertutur kata yang baik dan bertata krama lebih mengarah pada norma etika dan sopan
santun yang ada dalam masyarakat, bukan norma kesusilaan.
Sehingga, jelas bahwa makna kesusilaan yang ada dalam masyarakat ialah
tentang hubungan badan/seksual antara pria dan wanita saja.
E. Makna Komprehensif Kesusilaan dalam Hukum Indonesia
Setelah melakukan penelusuran terhadap pengertian kesusilaan dari berbagai
langkah yang telah penulis lakukan diatas, seperti pengertian kesusilaan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Black’s Law Dictionary, doktrin para sarjana,
pencarian pengertian kesusilaan dalam peraturan perundang-undangan yang harus
dilakukan dengan cara penafsiran sistematis, putusan-putusan pengadilan yang
memberikan definisi kesusilaan secara rigid, hingga melihat lebih dekat definisi
kesusilaan menurut suku adat di beberapa daerah di Indonesia yang masih diakui oleh
masyarakatnya. Atas hal itu, pada point ini penulis akan merangkai makna kesusilaan
yang komprehensif.
Apabila pada sub bab pertama dan kedua makna kesusilaan diartikan lebih luas,
yaitu tidak hanya sekedar dalam bidang seksual, yang ditandai dengan pendapatpendapat dari para sarjana dan definisi yang didapat dari KBBI maupun Black’s Law
Dictionary yang yang membahas kesusilaan itu tidak hanya tentang hubungan badan
saja tetapi juga diluar dari itu, berbeda dengan yang penulis temukan pada sub bab
ketiga dan keempat dari putusan pengadilan dan pengertian kesusilaan dari adat
istiadat setempat yang memberikan definisi kesusilaan hanya terbatas tentang
kesusilaan di bidang seksual saja, kesusilaan hanya hal-hal tentang hubungan badan.
Melihat tubrukan dua definisi yang terlihat saling tidak beriringan, dengan ini penulis
menyatakan setuju dengan pendapat dari ahli hukum Roeslan Saleh yang menyatakan
bahwa “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan
norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat”, tetapi hal-hal
diluar bidang seksual itu juga harus jelas berupa perbuatan yang seperti apa. Penulis
berpendapat, hal-hal lain diluar dari bidang seksual yang dimaksud haruslah jenis atau
bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang mengganggu keseimbangan
masyarakat dan perbuatan yang dapat menggrogoti nilai kesopanan. Sehingga,
kesusilaan adalah tentang hal-hal yang pantas, tentang kepatutan dan cara berprilaku
dalam bermasyarakat, yang apabila dilanggar dapat menggangu keseimbangan
masyarakat, semua hal tentang hubungan badan antara pria dan wanita yang belum
terikat dalam perkawinan, atau bahkan hubungan badan antara manusia dengan
hewan, atau hal-hal lain yang menggrogoti nilai kesopanan.
Namun demikian, makna kesusilaan tidak dapat diberikan definisi secara rigid.
Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai pandangan mengenai kesusilaan. Dalam
penerapannya, untuk menilai kesusilaan harus dilihar kasus per-kasus, sehingga pada
akhirnya untuk menilai pelanggaran kesusilaan harus diserahkan pada hakim. Hal
yang perlu ditekankan atau menjadi pedoman adalah bahwa makna kesusilaan harus
diartikan secara luas, tidak terbatas pada hal-hal yang terkait pada seksualitas semata.
Hal-hal diluar seksualitas yang termasuk pada kesusilaan adalah hal-hal yang
mengganggu keseimbangan masyarakat.
KESUSILAAN SEBAGAI NORMA DALAM HUKUM INDONESIA
Indonesia adalah negara yang plural, negara dengan suku dan adat budaya yang
paling banyak di dunia. Sebagai negara yang plural, tentu mengenai nilai kesusilaan juga
dapat dipahami berbeda oleh satu kelompok adat dengan kelompok adat lain. Untuk itu,
apabila nilai tentang kesusilaan ini mulai diatur oleh sebuah peraturan yang akan berlaku
sama kepada seluruh wilayah Indonesia, pemerintah harus memberikan garis yang tegas.
Sehingga ketika peraturan tersebut mulai diberlakukan, tidak ada kebingungan dalam
menerapkannya.
Dengan tidak bermaksud ingin membuat sempit arti dari kesusilaan yang sangat
abstrak ini, hanya saja penulis merasa tentu ada hal-hal atau batas-batas tentang
kesusilaan yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan untuk melihat apakah suatu
perbuatan dapat dikatakan melanggar atau tidak melanggar norma kesusilaan dengan adil
dan dapat diterima oleh aneka budaya kita.
A.
Makna Kesusilaan
Pada sub-bab ini, penulis akan membahas pengertian awal mengenai kesusilaan.
Pengertian mengenai kesusilaan ini akan dilakukan dengan penafsiran gramatikal dari
kata kesusilaan itu sendiri. Selain itu, penulis akan mengutip pendapat beberapa ahli
hukum Indonesia mengenai apa yang dimaksud dengan kesusilaan.
Pengertian kesusilaan pertama-tama akan penulis cari dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kesusilaan yang kata dasarnya adalah susila /su·si·la/ memiliki arti:
1) Baik budi bahasanya; beradab; sopan:
2) Adat istiadat yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; kesusilaan:
3) Pengetahuan tentang adab.
Kata susila dalam KBBI di padankan dengan contoh kalimat “orang yang merasa
terpelajar
sudah
seharusnyalah
mengenal
susila”.
Sementara,
kesusilaan
/ke·su·si·la·an/ sendiri diartikan:
1) Perihal susila;
2) Berkaitan dengan adab dan sopan santun;
3) Norma yang baik;
4) Kelakuan yang baik;
5) Tata krama yang luhur.
Apabila dilihat dari pengertian diatas, penulis sementara menilai bahwa kesusilaan
adalah semua hal yang baik-baik, tentang akhlak sesorang yang terpuji, tentang bertata
krama dan adat istiadat yang sopan.
Setelah melihat pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencarian berikutnya
dalam Black’s Law Dictionary, pertama-tama penulis menerjemahkan kesusilaan yang
apabila diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dapat diartikan menjadi moral, ethics, dan
decent, yang mana ketiganya dapat diartikan berbeda. Dalam Black’s Law Dictionary,
disebutkan moral:
1) Pertaining or relating to the conscience or moral sense or to the general
principles of right conduct.
2) Cognizable or enforceable only by the conscience or by the principles of right
conduct, as distinguished from positive law.
3) Depending upon or resulting from probability; raising a belief or conviction in the
mind independent of strict or logical proof.
4) Involving or affecting the moral sense; as in the phrase “moral insanity.”
Sementara, Ethics diartikan :
Of or relating to moral action, conduct, motive or character; as, ethical emotion;
also, treating of moral feelings, duties or conduct; containing precepts of morality;
moral. professionally right or befitting; conforming to professional standards of conduct.
Kemudian, decency:
The state of being proper, as in speech or dresss; quality of being seemly.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian yang lebih luas dari KBBI, yang
mana moral itu dihasilkan dari probabilitas yang ditegakkan dengan hati nurani atau
prinsip-prinsip perilaku yang benar yang diluar dari hukum positif. Kemudian, ethics
yang berarti mengandung ajaran tentang moralitas, sedangkan decency yaitu tentang suatu
keadaan yang pantas, seperti dalam pidato atau berpakaian. Maka dengan ini dapat
disimpulkan bahwa kesusilaan dalam Black’s Law Dictionary adalah ajaran tentang
moralitas atau tentang suatu keadaan yang pantas yang merupakan gabungan nilai-nilai
kepatutan yang ada pada masyarakat dan ditegakkan dengan hati nurani yang diluar dari
hukum positif.
Untuk lebih dekat, selain mendapat pengertian dari KBBI dan Black’s Law
Dictionary, penulis juga merujuk pada beberapa pendapat para ahli hukum Indonesia,
salah satunya Barda Nawawi Arief yang mengatakan:
“Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah)
kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas
dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dengan nila-nilai yang berlaku
di masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung
pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal
(das recht ist das ethische minimum).”1
1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , edisi kedua cetakan ke-4, Kencana,
Jakarta, 2014, hlm. 251.
Pendapat berikutnya datang dari Hilman Hadikusuma yang menyebutkan:
“kesalahan kesusilaan ialah semua kesalahan yang menyangkut watak budi
pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan perbuatannya
mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya melakukan perbuatan
maksiat, berzina, berjudi, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Kesemuanya merupakan perbuatan asusila. Walaupun dalam hukum adat
tidak dibedakan antara yang bersifat kejahatan dan pelanggaran, maka
dapatlah dikatakan bahwa kesalahan kesopanan itu termasuk pelanggaran
sedangkan kesalahan kesusilaan termasuk kejahatan.2”
Berikutnya ahli hukum Indonesia yang pendapatnya telah penulis cantumkan di
bab pertama penelitian ini adalah R. Soesilo, beliau menjelaskan bahwa:
“arti kesusilaan (perbuatan asusila) memiliki keterkaitan dengan
kesopanan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin,
misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat
kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium.3
Kesusilaan adalah tentang sesuatu yang merusak kesopanan, sifat
merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat
tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. Bahwa
orang bersetubuh di tengah jalan itu merusak kesopanan (kesusilaan)
umum itu jelas merupakan perbuatan merusak kesusilaan, akan tetapi
cium-ciuman di tempat umum di kota besar saat ini dilakukan oleh
bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan apakah ia merusak
kesopanan atau tidak. Apabila polisi menjumpai peristiwa semacam ini,
maka berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan
menurut adat istiadat yang ada, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu
apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut
tempat dan keadaan dapat dipandang sebagai perbuatan asusila. Hal
penting yang perlu dilihat adalah sejauh mana pelanggaran kesusilaan
(perbuatan asusila) itu dilakukan, yakni perlu pengamatan hukum
dengan mengacu pada adat istiadat yang ada untuk melihat konteks
asusila.”4
Roeslan Saleh menyatakan bahwa “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi
pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang
termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan
2
Hadikusma Hilman, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1989. hlm.80.
3
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1996
hlm. 204.
4
Ibid, hlm. 177
masyarakat.”5 Terakhir, Leden Marpaung
dalam bukunya yang berjudul Kejahatan
Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, menuliskan makna dari kesusilaan
adalah:
“tindakan yang berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri
manusia, Leden Marpaung menyimpulkan, pengertian delik kesusilaan
adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana perbuatan tersebut
menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah diatur dalam
perundang-undangan.”6
Review singkat penulis dari pendapat para ahli diatas, bahwa menurut Barda
Nawawi Arief, karena dapat dipandang berbeda-beda menurut nilai yang berlaku di
masyarakat, maka hukum itu sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal.
Selanjutnya menurut Hilman Hadikusuma kesalahan kesusilaan adalah semua kesalahan
yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan
mengganggu keseimbangan masyarakat. Pendapat berikutnya yang sedikit sempit datang
dari R. Soesilo yang menyatakan bahwa kesusilaan berkaitan dengan perasaan malu yang
berhubungan dengan kelamin, seperti meraba buah dada perempuan, meraba kemaluan
perempuan dan lain-lain. Namun menurutnya, hal-hal yang dianggap merusak kesusilaan
tersebut harus memperhatikan ukuran kesusilaan menurut adat istiadat di tempat
dilakukannya perbuatan merusak kesusilaan, karena beda tempat, beda pendapat
umumnya. Kemudian menurut Roeslan Saleh kesusilaan adalah hal-hal yang termasuk
dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.
Terakhir Leden Merpaung, menurutnya kesusilaan adalah etika yang ada dalam diri
manusia.
5
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm.
6
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya , Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. hlm. 2.
Sampai dengan tahap ini, penulis dapat membuat kesimpulan sementara dari
pengertian-pengertian kesusilaan menurut para sarjana diatas, bahwa kesusilaan adalah
nilai-nilai yang minimal yang menyangkut etika atau watak budi pekerti yang ada dalam
diri manusia yang terdapat pada masyarakat, yang mana untuk menilainya harus
memperhatikan tempat terjadinya perbuatan kesusilaan tersebut, karena nilai tentang
tingkah laku dalam pergaulan masyarakat ini beda tempat maka beda pula pendapat
umumnya.
B. Kesusilaan Dalam Legislasi dan Regulasi di Indonesia
Tidak berhenti hanya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Black’s Law Dictionary
dan pendapat para sarjana saja dalam pencarian makna kesusilaan, sumber pencarian
makna kesusilaan berikutnya adalah dengan meninjau peraturan perundang-undangan
Indonesia yang meliputi nilai-nilai atau ideal yang melandasinya yang pastilah memuat
hal ini.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan kesusilaan dalam beberapa
Pasal, yaitu:
a. Pasal 891: Penyebutan suatu alasan, baik yang benar maupun yang palsu, namun
berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan, menjadikan pengangkatan
ahli waris atau pemberian hibah wasiat yang batal.
b. Pasal 1337 menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kesusilaan yang dimaksud Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
penyebutan alasan (yang bertentangan dengan kesusilaan) dalam hal pengangkatan
ahli waris atau pemberian hibah wasiat. Penulis menyimpulkan, berarti kesusilaan
yang diatur KUHPer ini adalah tentang niat yang melanggar kesusilaan.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur kesusilaan dalam BAB VI
pelanggaran kesusilaan buku ketiga tentang pelanggaran mulai dari Pasal 532 hingga
547,
sebenarnya,
KUHP
adalah
yang
paling
lengkap
mengatur
tentang
kesusilaan/pelanggaran kesusilaan apabila di bandingkan dengan undang-undang
yang lain, namun KUHP tidak menjelaskan atau memberikan pengertian kesusilaan,
yang diiatur ialah sanksi yang diberikan terhadap perbuatan-perbuatan yang
melanggar asusila. Namun, pengertian kesusilaan dapat ditemukan dengan cara
penafsiran sistematis antar Pasal-Pasal yang mengatur tentang pelanggaran kesusilaan
ini.
Secara implisit, dapat dilihat kesusilaan dalam KUHP meliputi; menyanyikan
lagu-lagu, berpidato, menempelkan tulisan di jalan yang melanggar kesusilaan; di lalu
lintas umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan melanggar kesusilaan atau
memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja;
secara terang-terangan menawarkan tulisan, gambar atau barang yang dapat
merangsang nafsu birahi para remaja atau anak di bawah umur 17 tahun;
mempertunjukkan atau memamerkan atau mengarahkan bisa di dapat sarana untuk
mencegah kehamilan atau menggugurkan kehamilan; mabuk di jalan umum; diluar
kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras kepada anggota Angkatan
Bersenjata atau kepada isterinya, anak atau pelayan; menjual minuman keras kepada
anak di bawah umur 16 tahun; menyediakan minuman keras pada pesta keramaian
untuk umum atau pertunjukkan rakyat; mempekerjakan hewan yang melebihi
kekuatannya , atau dengan cara yang menyakitkan atau menyiksa hewan tersebut;
melakukan sabungan ayam atau jangkrik tanpa seizin kepala polisi atau pejabat
berwenang; melakukan peramalan atau penafsiran mimpi; menjual, menawarkan,
menyerahkan, membagikan jimat-jimat atau mengajar ilmu-ilmu kesaktian yang
bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa
kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni:
a. Pasal pasal 23 ayat (2) yaitu Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
b. Pasal 60 ayat (2) yaitu: Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan
informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan
dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
c. Pasal 73 yaitu: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Tentang kesusilaan yang diatur pada Undang-Undang a quo yaitu mempunyai
pikiran dan mengemukakan pendapat yang melanggar kesusilaan, serta mencari,
menerima dan memberikan informasi yang memuat pelanggarang terhadap
kesusilaan. Berarti, melanggar kesusilaan yang dimaksud dalam Undang-Undang
ini adalah mulai dari pemikiran sampai penuangannya yang disampaikan oleh
seseorang tersebut yang mengandung atau bertentangan dengan kesusilaan.
4. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu:
a.
Pasal 46 ayat (3) huruf d: siaran iklan niaga dilarang melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama;
b.
Pasal 48 ayat (4) huruf d: pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi
siaran yang sekurang-kurangnya berisikan kesopanan dan kesusilaan.
Undang-Undang ini mengharuskan isi siaran iklan sekurang-kurangnya harus
berisikan kesusilaan. Siaran menurut Undang-Undang ini adalah pesan dalam
bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter,
baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat
penerima siaran. Penulis menganggap, berarti siaran iklan yang seperti yang
dimaksud di atas harus mengajarkan atau terdapat pesan tentang kesusilaan atau
paling tidak isi iklan tidak boleh melanggar kesusilaan.
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan kesusilaan dalam
beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf b: Perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang a quo terkait dengan isi dari
perjanjian kerja, serta jaminan pada jam kerja diikatakan bahwa aspek kesusilaan
merupakan salah satu hak pekerja yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Namun
pada pengaturan ini tidak dijumpai pengertian kesusilaan.
6. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 1,
yaitu Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Kesusilaan yang dimaksud adalah kesemua yang terdiri dari bentuk pornografi
diatas, karena segala bentuk pornografi sudahlah pasti melanggar kesusilaan, tetapi
pelanggaran kesusilaan tidak hanya berupa bentuk pornografi.
7. UU No. 11 Tahun 2012 tentag Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf f menyebutkan proses diversi wajib memperhatikan kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana, sehingga kesusilaan yang dimaksud adalah
dalam pengalihan dari proses peradilan ke proses di luar peradilan, petugas yang
berwenang dalam mengalihkan proses ini tidak boleh sekalipun melakukan hal-hal
yang melanggar kesusilaan terhadap anak tersebut.
8. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam Pasal 69A huruf a menyebutkan perlindungan khusus bagi
anak korban kejahatan seksual sebagaimana diaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j
dilakukan melalui upaya edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai, agama, dan nilai
kesusilaan.
Berbeda dengan beberapa Undang-Undang lainnya tentang makna kesusilaan
yang bisa didapatkan dengan cara penafsiran sistematis, pada Undang-Undang ini,
penulis tidak bisa menemukan makna kesusilaan karena penyebutan kesusilaan hanya
pada satu ayat saja.
9. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
Perlu diketahui informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk teteapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol,
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. Sementara, dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sehingga kesusilaan
yang diamaksud ialah kesusilaan yang berupa dokumen dan informasi elektronik
seperti diatas.
10. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek. UU merek banyak menyebutkan tentang
kesusilaan, namun dari sekian Pasal yang menyebutkan kesusilaan, yang penulis rasa
paling dapat dimasukan sebagai acuan adalah Pasal 20 huruf a, yaitu: merek tidak
dapat didaftar jika bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangundangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo,
nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga
dimensi, suara, hologram, atau kombinasi orang atau badan hukum hukum dalam
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Sehingga kesusilaan yang dimaksud ialah
merek seperti yang dimaksud diatas.
11. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, menyebutkan kesusilaan dalam beberapa pasal yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf d: perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Sama seperti yang diatur pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang penulis
sampaikan diatas, dalam Peraturan Pemerintah a quo
juga tidak ditemukan
pengertian kesusilaan.
12. Peraturan Menteri Agama No. 24 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi Pada
Kementrian Agama menyebutkan kesusilaan dalam beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 6 huruf e: Pemberian Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) meliputi memberi sesuatu dalam bentuk apapun kepada sesama pegawai
Kementrian Agama, pihak ketiga dan/atau pihak ketiga dan/atau pihak yang
memiliki kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah agama, dan norma
kesusilaan.
b. Pasal 14 huruf b angka 2: Pegawai Kementrian Agama dapat menerima
Gratifikasi dalam bentuk hadiah/cinderamata yang tertera logo/nama perusahaan
pihak ketiga dan/atau pemberi, dengan persyaratan bukan merupakan benda yang
sifatnya melanggar kesusilaan dan hukum.
Dalam Perma ini, Gratifikasi adalah suatu pemberian dalam arti luas, baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sehingga kesusilaan
yang dimaksud dalam hal ini ialah barang dan/atau jasa yang melanggar
kesusilaan.
Setelah melihat paling tidak dua belas peraturan perundang-undangan yang memuat
atau menyebutkan tentang kesusilaan yang telah dihimpun di atas, penulis dapat membuat
sebuah garis besar tentang kesusilaan, yaitu paling tidak meliputi: niat, pendapat, lisan,
pidato, tulisan, surat elektronik, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi,
logo, nama, kata, angka, susunan warna dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi,
hologram, electronic data interchange (EDI), telegram, teleks, telecopy, informasi,
sketsa, gambar, ilustrasi, rancangan, peta, suara, bunyi, lagu, gambar bergerak, animasi
kartun, percakapan, gerak tubuh, siaran dan/atau siaran iklan, sarana untuk mencegah atau
dapat menggugurkan kehamilan, menjual minuman keras, mabuk di depan umum,
sabungan ayam atau jangkrik, melakukan peramalan atau penafsiran mimpi dan menjual
jimat-jimat kekebalan untuk melakukan perbuatan pidana, proses diversi, dan pemberian
barang dan/atau jasa, yang dilakukan kepada: para remaja, anak di bawah umur 17 tahun,
anggota angkatan bersenjata atau kepada isterinya, anak atau pelayannya, pejabat atau
pegawai instansi pemerintah, dan masyarakat luas, melalui: dilakukan pada lalu lintas
umum, jalanan umum, pada pesta keramaian untuk umum atau pertunjukkan rakyat,
secara lisan atau tertulis melalui media cetak atau elektronik dan berbagai bentuk media
komunikasi, dengan cara yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat di pahami oleh
orang yang mampu memahaminya, di buat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau
disimpan melalui komputer atau sistem elektronik, yang dilakukan di dalam dan/atau di
luar negeri.
Definisi kesusilaan diatas menjadi begitu panjang dan rigid, berbeda dengan definisi
kesusilaan yang penulis temukan pada sub bab pertama penelitian ini, karena definisi
kesusilaan yang di temui dalam KBBI dan Black’s Law Dictionary bersifat general,
sehingga pengertiannya dapat masuk dimana saja, berbeda dengan definisi kesusilaan
yang telah penulis himpun pada perundang-undangan diatas baru bisa dapatkan setelah
penulis lakukan dengan cara penafsiran sistematis. Maka dengan itu, penulis akan
mencoba mencari makna kesusilaan melalui putusan pengadilan, dengan maksud bahwa
hakim biasanya berdiri di tengah-tengah antara peraturan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah di luar itu.
C. Konsep Kesusilaan Dalam Putusan Pengadilan Indonesia
Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk mengidentifikasi sistem
hukum karena putusan pengadilan sendiri notabene merupakan hasil dari formulasi
kaidah hukum. Dalam memutuskan kasus hakim harus memberikan argumentasi hukum
yang menjustifikasi putusannya. Putusan berfungsi untuk menegakkan kaidah-kaidah
hukum abstrak ketika apa yang seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut tidak
terjadi.7 Hal ini yang mendasari penulis untuk meninjau makna kesusilaan yang terdapat
dalam putusan pengadilan tentang pelanggaran kesusilaan.
1. Putusan Pengadilan Militer Nomor:50-K/PM.III-17/AD/VI/2016. Terdakwa
diancam pidana menurut Pasal 281 angka 2 KUHP yang di dakwakan oleh Oditur
Militer, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan
sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan
kehendaknya, melanggar kesusilaan. Dimaksud dengan sengaja dan di depan
orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan, bahwa terdakwa dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan
saksi ke-1 padahal di dalam ruangan tersebut juga ada saksi ke-2, meskipun pada
awalnya saksi ke-2 tertidur, tapi kemudian saksi ke-2 terbangun dan mengetahui,
mendengarkan bahkan melihat perbuatan persetubuhan itu. Saksi ke-2 bahkan
sempat mengomentari perbuatan mereka dan melemparkan tissue kepada
terdakwa dan saksi ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 281 angka 2 KUHP tersebut. Bahwa dalam
amar putusannya, untuk membuktikan unsur melanggar kesusilaan seperti yang
dimkasud dalam Pasal 281 angka 2, Majelis hakim menjelaskan pengertian
“Kesusilaan” adalah
7
kesopanan, sopan santun, keadaban. Sedangkan yang
Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia , Mandar Maju, Bandung, 2016, hlm. 48.
dimaksud “Melanggar Kesusilaan” dalam delik ini adalah perbuatan atau tindakan
yang melanggar kesopanan, sopan santun, keadaban yang berhubungan dengan
kelamin dan atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat
menimbulkan perasaan malu, jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang lain,
misalnya melakukan hubungan badan layaknya suami isteri, meraba buah dada
seorang perempuan, meraba kemaluan wanita ataupun pria, mencium,
memperlihatkan alat kemaluan wanita atau pria tersebut.
2. Putusan Pengadilan Militer Balikapan Nomor: PUT-09-K/PM I-07 AD/III/2011
yang merumuskan pengertian kesusilaan yakni perbuatan atau tindakan yang
melanggar kesopanan/sopan santun dan keadaban di bidang kesusilaan yang harus
berhubungan dengan kelamin dan atau bagian badan tertentu yang lainnya yang
pada umumnya dapat menimbulkan perasaan malu, jijik, atau terangsangnya nafsu
birahi orang lain yang melihatnya misalnya seperti meraba-raba buah dada
seorang perempuan, meraba-raba kemaluan wanita, mencium, memperlihatkan
alat kemaluan, dan lain sebagainya
3. Putusan Pengadilan Militer Surabaya Nomor: 169-K/PM.III-12/AD/VII/2012,
majelis hakim memberikan rumusan tentang perbuatan kesusilaan adalah perasaan
malu
yang
berhubungan
dengan
nafsu
kelamin,
misalnya
mencium,
memperlihatkan kamaluan pria atau wanita, meraba alat kemaluan wanita, dsb.
Setelah memperoleh definisi kesusilaan dari putusan-putusan di atas, dapat di
simpulkan bahwa perbuatan kesusilaan atau melanggar kesusilaan adalah perasaan
malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, perbuatan melanggar kesopanan,
sopan santun, keadaban yang berhubungan dengan kelamin dan atau bagian badan
tertentu yang menimbulkan perasaan malu, jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang
lain, seperti melakukan hubungan badan, meraba-raba buah dada, kemaluan wanita
atau pria, mencium, memperlihatkan alat kemaluan wanita atau pria tersebut.
Namun, apakah unsur-unsur perbuatan kesusilaan atau melanggar kesusilaan
yang diberikan hakim dalam putusannya sudah tepat? Sementara, menjumput
pendapat ahli hukum, Roeslan Saleh yang telah penulis sebutkan di sub-bab pertama,
yaitu “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan
norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat.”
Untuk itu, pada sub-bab berikutnya, penulis akan menggali pengertian
kesusilaan yang terdapat pada masing-masing budaya yang ada di Indonesia, untuk
mendapatkan pengertian kesusilaan yang lebih dekat dengan masyarakat seperti
kutipan pendapat di atas.
D. Kesusilaan Dalam Budaya Adat Istiadat
Pelanggaran kesusilaan berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam adat
istiadat setempat adalah berarti bentuk pelanggaran adat, timbulnya reaksi masyarakat
adat dalam hal pelanggaran kesusilaan bertujuan untuk mewujudkan keseimbaangan
masyarakat kembali. Tetapi karena kesusilaan dimaknai berbeda tiap daerah, maka
reaksi masyarakatnya juga berbeda. Maka dengan itu, untuk dapat membuat sebuah
garis besar tentang kesusilaan dan pelanggarannya, penulis mencoba menghimpun
pengertian kesusilaan menurut beberapa adat berbeda di Indonesia yang masih
berkembang, diakui dan di jalankan oleh masyarakatnya.
Di Bali, terdapat jenis-jenis delik adat yang masih berlaku dan hidup dalam
masyarakat, salah satunya delik adat yang menyangkut kesusilaan. Tentang kesusilaan
tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari
kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan
antara makro kosmos (bhuwana agung) dengan mikro kosmos (bhuwana alit).
Pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri beraneka ragam bentuknya, yaitu :8
1. Lokika sanggraha seperti yang dirumuskan dalam Kitab Adi Agama pasal 359
serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktik peradilan di daerah Bali
adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang samasama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar
suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun
setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan
memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Delik adat ini hingga kini
masih sering diajukan ke Pengadilan, dibandingkan jenis delik adat lainnya.
2. Drati krama yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki sedangkan mereka masih dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain; dengan singkat dikatakan drati karma ialah
“berzina dengan istri/suami orang lain”.
3. Gamia gamana ialah delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara
orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus
maupun ke samping. Jadi pengertian Gamia Gemana sama dengan incest.
4. Mamitra ngalang ialah suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki yang sudah
beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir
batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah.
Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan) dan biasanya si wanita
ditempatkan dalam rumah tersendiri. Delik adat ini sangat mirip dengan Drati
Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristeri, sedang
pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi mungkin masih gadis atau sudah
janda. Si wanita tidak (belum) kawin secara sah. Unsur yang khusus disini dan
membedakannya ddengan Drati Krama, adalah sifat hubungannya yang terus
menerus dan biasanya di wanita ditempatkan dalam satu rumah serta diberi nafkah
lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si wanita merupakan wanita simpanan dari si
laki-laki tersebut.
5. Delik adat salah krama ialah melakukan hubungan kelamin dengan makhluk yang
tidak sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan
hewan seperti seorang laki-laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor sapi
betina. Meski Pengadilan Negri tidak pernah memberikan putusan karena kasus
ini tidak pernah diajukan ke Pengadilan tetapi Raad Kerta pernah memutus kasus
ini dengan mengenakan pidana penjara kepada si pelaku.
6. Kumpul kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama
dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami
istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Istilah kumpul kebo ini, tidak
hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang
sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di
atas. Bedanya mungkin kalau di Bali perbuatan ini di samping merupakan
perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis,
8
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993. Hal 14.
sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang
dan pelakunya dapat dikenai sanksi adat.
Dengan demikian, kesusilaan menurut adat budaya Bali ialah semua bentuk
hubungan badan antara pria dan wanita yang belum terikat dalam sebuah
perkawinan, termasuk perselingkuhan bagi salah satu pihak yang telah memiliki
ikatan perkawinan dengan pihak lain, hubungan antar keturunan garis ke bawah
maupun ke samping, serta hubungan badan tidak wajar antara manusia dengan
hewan.
Selanjutnya, dalam hukum adat daerah Tolaki, Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara dikenal perbuatan Mosuahala, yakni segala perbuatan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, baik masih gadis maupun sudah menikah, yang
menyebabkan timbulnya rasa malu bagi orang tua/suami si perempuan yang
bersangkutan, dimana kepada laki-laki yang bersangkutan dikenakan denda atau
sanksi sebagai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Perbuatan melanggar
kesusilaan yang dimaksud yaitu: Meomore, yakni dengan sengaja menggerayangi
tubuh perempuan saat ia tertidur lelap; Moleloi, yakni memperkosa; dan perbuatan
sengaja memegang atau menyentuh bagian tubuh terlarang seseorang perempuan.9
Dari paling tidak dua pengertian delik kesusilaan adat yang penulis berhasil
kumpulkan diatas, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan
itu ialah segala perbuatan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, baik masih
gadis maupun sudah menikah, yang menyebabkan timbulnya rasa malu bagi orang
tua/suami si perempuan yang bersangkutan, seperti melakukan hubungan badan antara
pria dan wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan; berzinah dengan
Tira Agustina, “Pelaksanaan penjatuhan Sanksi Adat “Peohala” terhadap Pelanggaran H ukum Adat
Kesusilaan Tolaki di Kota Kendari”, Tesis, Universitas Indonesia, 2012, hlm. 134.
9
suami/isteri orang lain; incest atau hubungan badan dengan keluarga garis lurus
maupun kesamping; pria yang memiliki wanita simpanan lain; hubungan badan antara
manusia dengan hewan; hubungan antara pria dan wanita yang tinggal satu rumah dan
melakukan hubungan seksual layaknya suami isteri tetapi tidak terikat dalam
perkawinan.
Dengan melihat dua pengertian kesusilaan dari dua adat berbeda Indonesia ini,
penulis dapat dengan cepat menyimpulkan, berarti yang dimaksud dengan melanggar
kesusilaan dalam masyarakat ialah segala hal tentang hubungan badan atau
menyentuh badan terlarang antara pria dan wanita yang dilakukan di luar ikatan
pernikahan (atau hubungan yang tidak boleh menikah/inccest) dan bahkan hubungan
badan antar manusia dan hewan. Kesusilaan pada kedua adat diatas merupakan
sebuah standar yang selalu berkaitan dengaan hubungan seksual, sementara perilaku
seperti cara bertutur kata yang baik, bertata krama dan lain-lain seperti pengertian
kesusilaan yang penulis jumpai pada KBBI di sub bab pertama penelitian ini tidak
penulis temukan dalam definisi kesusilaan menurut kedua adat budaya di atas,
bertutur kata yang baik dan bertata krama lebih mengarah pada norma etika dan sopan
santun yang ada dalam masyarakat, bukan norma kesusilaan.
Sehingga, jelas bahwa makna kesusilaan yang ada dalam masyarakat ialah
tentang hubungan badan/seksual antara pria dan wanita saja.
E. Makna Komprehensif Kesusilaan dalam Hukum Indonesia
Setelah melakukan penelusuran terhadap pengertian kesusilaan dari berbagai
langkah yang telah penulis lakukan diatas, seperti pengertian kesusilaan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Black’s Law Dictionary, doktrin para sarjana,
pencarian pengertian kesusilaan dalam peraturan perundang-undangan yang harus
dilakukan dengan cara penafsiran sistematis, putusan-putusan pengadilan yang
memberikan definisi kesusilaan secara rigid, hingga melihat lebih dekat definisi
kesusilaan menurut suku adat di beberapa daerah di Indonesia yang masih diakui oleh
masyarakatnya. Atas hal itu, pada point ini penulis akan merangkai makna kesusilaan
yang komprehensif.
Apabila pada sub bab pertama dan kedua makna kesusilaan diartikan lebih luas,
yaitu tidak hanya sekedar dalam bidang seksual, yang ditandai dengan pendapatpendapat dari para sarjana dan definisi yang didapat dari KBBI maupun Black’s Law
Dictionary yang yang membahas kesusilaan itu tidak hanya tentang hubungan badan
saja tetapi juga diluar dari itu, berbeda dengan yang penulis temukan pada sub bab
ketiga dan keempat dari putusan pengadilan dan pengertian kesusilaan dari adat
istiadat setempat yang memberikan definisi kesusilaan hanya terbatas tentang
kesusilaan di bidang seksual saja, kesusilaan hanya hal-hal tentang hubungan badan.
Melihat tubrukan dua definisi yang terlihat saling tidak beriringan, dengan ini penulis
menyatakan setuju dengan pendapat dari ahli hukum Roeslan Saleh yang menyatakan
bahwa “pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan
norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat”, tetapi hal-hal
diluar bidang seksual itu juga harus jelas berupa perbuatan yang seperti apa. Penulis
berpendapat, hal-hal lain diluar dari bidang seksual yang dimaksud haruslah jenis atau
bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang mengganggu keseimbangan
masyarakat dan perbuatan yang dapat menggrogoti nilai kesopanan. Sehingga,
kesusilaan adalah tentang hal-hal yang pantas, tentang kepatutan dan cara berprilaku
dalam bermasyarakat, yang apabila dilanggar dapat menggangu keseimbangan
masyarakat, semua hal tentang hubungan badan antara pria dan wanita yang belum
terikat dalam perkawinan, atau bahkan hubungan badan antara manusia dengan
hewan, atau hal-hal lain yang menggrogoti nilai kesopanan.
Namun demikian, makna kesusilaan tidak dapat diberikan definisi secara rigid.
Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai pandangan mengenai kesusilaan. Dalam
penerapannya, untuk menilai kesusilaan harus dilihar kasus per-kasus, sehingga pada
akhirnya untuk menilai pelanggaran kesusilaan harus diserahkan pada hakim. Hal
yang perlu ditekankan atau menjadi pedoman adalah bahwa makna kesusilaan harus
diartikan secara luas, tidak terbatas pada hal-hal yang terkait pada seksualitas semata.
Hal-hal diluar seksualitas yang termasuk pada kesusilaan adalah hal-hal yang
mengganggu keseimbangan masyarakat.