MAKNA TRADISI NYIKEP (MEMBAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT DESA LARANGAN LUAR KECAMATAN LARANGAN KABUPATEN PAMEKASAN.

(1)

MAKNA TRAD

MASYARAKA

LARA

Diajukan Kep untuk Memenuhi Sal

P

J U

FAKULTA

UNIVERSITAS I

DISI

NYIKEP

(MEMBAWA SENJATA

KAT DESA LARANGAN LUAR KEC

ANGAN KABUPATEN PAMEKASA

SKRIPSI

epada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel S Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarja

(S. Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

Moh. Fawais

NIM. B05212030

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

U R U S A N I L M U S O S I A L

LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLI

S ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SU

2016

ATA TAJAM)

KECAMATAN

SAN

l Surabaya rjana Ilmu Sosial

L

OLITIK


(2)

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi oleh Moh Fawais dengan judul: Makna Tradisi Nyikep(membawa senjata tajam) Masyarakat Larangan Luar kec. Larangan kab. Pamekasan” telah dipertahankan dan dinyatakan lulus di depan Tim Penguji Skripsi pada tanggal 18 Augustus 2016.

TIM PENGUJI SKRIPSI

Penguji I Penguji II

Husnul Muttaqin, S.Ag., S.Sos, M.S.I Dr. H. Hammis Syafiq, M.Fil.I

NIP.197801202006041003 NIP.197510162002121001

Penguji III Penguji IV

Dra. Hj. Nur Mazidah, M.Si Ridha Amaliyah, S.IP. MBA

NIP.195306131992032001 NIP.201409014

Kamis, 18 Agustus 2016 Mengesahkan,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dekan

Prof. Akh. Muzakki, Grad. Dip. SEA, M.Ag, M.Phil, Ph.D. NIP. 197402091998031002


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Moh Fawais, 2016, Makna Tradisi Nyikep(Membawa Senjata Tajam) Masyarakat desa Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan, Skripsi Program Studi Fakultas Sosiologi Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya

Kata kunci:nyekep, tradisi

Permaslahan yang dikaji dalam penelitian ini hanyalah satu yaitu bagaimana perpsepsi masyarakat larangan luar terhadap tradisi nyikep. Namun dari satu rumusan masalah terdapat sebuah sub pembahasan di dalamnya, antara lain masalah hrga diri bagi masyarkat larangan luar yang sangat dijunjung tinggi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Teori yang digunakan adalah Konstruksi Sosial Peter L. Berger yang memiliki konsep Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi. Dari hasil penelitian pandangan mereka terhadap kebiasaan membawasekep(senjata tajam).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat Desa Laragan Luar dalam membawa sekep(senjata tajam) terdapat beberapa alasan serta pandangan yang berbeda-beda, perinciannya sebagai berikut; (1) Jaga-jaga takut ada bahaya yang tidak di inginkan. Masyarakat larangan luar percaya bahwa dalam mempertahankan diri bukannya pasrah kepada Tuhan akan tetapi juga harus ada usaha dari diri sendiri, yaitu dengannyikep. Maka dengan nyikepdia jiwanya merasa tenang, akan siap apabila marabahaya datang.(2) Melindungi diri dari kemungkinan bahaya. Apalagi ketika ada pesta rakyat, seperti misalnya pemilihan kepala desa, maka untuk berjaga-jaga masyarakat larangan luar nyikep.(3) Melindungi keluarga, Karena keluarga merupakan tanggung jawab, dan juga kekelurga merupakan identitas bagaimana berwibawanya sebagai pimpinan keluarga.(4) Sebagai identites. Karena nyikep merupakan identitas dan sudah menjadi tradisi di madura, khususnya masyarakat larangan luar yang sampai sekarang masih ada, dan dijaga pelestariannya.(5) Tradisi, merupakan kearifan lokal yang berlaku dilingkungan masyarakat larangan luar. Merupakan warisan dari para leluhur madura dan mewariskan dari generasi ke generasi, kearifan lokal yang berlaku di madura merupakan jati diri dari orang madura.(6) Adanya kepercayaan salah satu tanda kejantanan laki-laki selalu membawa sekep. Masyarakat larangan luar percaya bahwa bukti kejantanan seorang laki-laki adalah dengan membawa sekep. Dengan membawa sekep dia akan disegani oleh masyarakat sekitar, Tidak ada yang berani menganggu.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

PENGESAHAN ……… iii

MOTTO ……… iv

PERSEMBAHAN……… v

PERNYATAAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULIS SKRIPSI vi ABSTRAK ……… vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTART ISI ……….. x

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR SKEMA ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah………. 7

C. Tujuan Penelitian………. 7

D. Manfaat Penelitian………. 8

E. Telaah Pustaka ...………. 8

1. Penelitian Terdahulu ... 8

2. Kajian Pustaka ... 12

F. Definisi Konseptual ……… 18

G. Metode Penelitian……… 20

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ...……….…… 20

2. Lokasi dan Waktu Penelitian …..……...……… 21

3. Pemilihan Subyek Penelitian ……….………… 22

4. Tahap-tahap Penelitian ………...………… 22

5. Teknik Pengumpulan Data ………….………… 26

6. Teknik Analisis Data ………..…….…. 29

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….…… 29


(8)

BAB II TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT

ANALISIS ……….……….… 33

A. TradisiNyikep………..……… 33

B. Gagasan Berger dan Luckman Tetang Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi……… 37

1. Internalisasi ………. 38

2. Obyektivasi ………. 41

3. Internalisasi………. 45

BAB III MAKNA TRADISINYIKEP(BAWA SENJATA TAJAM) MASYARAKAT LARANGAN LUAR KEC. LARANGAN KAB. PAMEKASAN………… 50

A. Deskripsi Umum Objek Penelitian………... 51

1. Letak Geografis Desa Larangan Luar ……… 51

2. Kondisi Demografi Desa Larangan Luar …… 51

3. Kondisi Ekonomi ………. 52

4. Kehidupan Keberagamaan Larangan Luar ….. 53

5. Keadaan Pendidikan Desa Larangan Luar ….. 54

6. Karakteristik Masyarakat Larangan Luar ……. 55

B. Diskripsi Hasil Penelitian ..………. 59

C. Analisis Data ..……….... 79

BAB IV PENUTUP………. 85

A. KESIMPULAN ………. 85

B. SARAN ..……… 87 DAFTAR PUSTAKA


(9)

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masyarakat merupakan ruang tempat terjadinya berbagai macam proses sosial, karena adanya proses sosial tersebut dapat menciptakan banyak keunikan dari berbagai aspek, baik itu aspek budaya maupun sosial. Keunikan tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mereka hidup dan menanggapi berbagai macam rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan mereka sendiri, baik itu rangsangan dari sesama individu dalam masyarakat itu maupun rangsangan dari sekitar lingkungan mereka yang berupa alam.

Madura adalah suatu wilayah yang memiliki empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dengan masyarakat yang memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa maupun budaya. Banyak sekali budaya Madura yang sudah dikenal, baik nasional maupun internasional, seperti budaya carok yang melibatkan antara dua laki-laki maupun lebih yang dapat menimbulkan korban jiwa, atau seperti remoh yang merupakan cara masyarakat Madura berpesta, maupun hajatan dengan melibatkan banyak orang dan masih banyak sekali budaya atau tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Madura.


(11)

2

Salah satu sumber daya manusia adalah kebudayaan yang di hasilkan oleh masyarakat. Budaya merupakan identitas mutlak yang tidak dimeliki oleh kelompok lain secara otomatis menajadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Seperti misalnya masyarakat Madura yang sangat beragam kebudayaannya. diantaranya rokatan tasek, rokat pandebeh, nyikep, dll. Yang menarik untuk di bahas adalah kebudaya nyikep yang sampek sekarang masih bertahan, terutama orang-orang yang mempunyai kepercayaan “kalau tidak nyikep bukan laki-laki”.

Nyikepberasal dari kata“Sekep”yang berarti membawa senjata tajam. sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Pada dasarnya orang yang pakaisekep, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.

Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai tradisi turun temurun, bahwa lambang kejantanan bagi orang Madura terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka ber-sekepdipinggangnya.


(12)

3

Adapun senjata yang sering digunakan oleh orang Madura adaalah celurit. Yang akan penulis jelaskan tentang sejarah munculnya Celurit. Berawal dari kerajaan Madura di pimpinan oleh prabu Cakraningrat(abad ke-12 M) dan dibawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), Celurit belum dikenal oleh masyarakat Madura. Bahkan pada Masa pemerintahan Panembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, Putra Sunan Kudus dari abad ke-17 M tidak ditemukan Sejarah yang menyebutkan istilah Celurit dan BudayaCarok. Senjata yang sering kali digunakan pada saat perang atau duel satu lawan satu selalu saja Pedang, Keris atau Tombak. Pada masa tersebut juga masih belum di dengar istilahCarok.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera. pak Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang berbentuk arit besar yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit. Dimana didalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya untuk mengawasi para pekerja.1

Kemunculan versi kisah pak Sakera ada kesesuaian dengan hasil penelitian De Jonge yang dikutip oleh Latief Wijaya. De Jonge mengutip laporan seorang asisten residen dari Bangkalan, Brest Van Kempen, yang

1

Latierf Wijaya,Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(Yogjakarta: LKiS, 2006), 75.


(13)

4

menyatakan bahwa antara tahun 1847-1849, kemaanan di pulau Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus pembunuhan. Bandingkan dengan kisah pak Sakera dan peristiwa kekacauan yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut cacatan sejarah juga terjadi pada abad 18 M.

Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai bagi pengguna celurit masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figure pak Sakera sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan lebih melambangkan sifat “Blater”2 yang identic dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celutit kini melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek“Carok”3. Untuk itu, penulis akan mencoba meluruskan kembali persepsi yang salah terhadap kebudayaan nyikeptersebut.

Upaya Belanda untuk mencederai citra pak Sakera rupanya berhasil merasuki pola pikir masyarakat Madura dan menjadi falsafahnya. Apabila ada permasalahan yang menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan keluarnya yang di anggap paling baik adalahCarokmenggunakan celurit.

Sama dengan bajingan

3


(14)

5

Ada juga terjadinya carok disebakan oleh masalah keluarga yang bersangkut paut dengan istri. Seperti yang pernah terjadi pada masyarakat larangan luar yang diketahui berselingkuh dengan orang lain, maka sang suami merencanakan untuk membunuh selingkuhannya. Ditunggu waktu yang tepat dengan perencanaan yang matang serta dengan persiapan yang sangat matang. Suami tersebut bernama Asmadin, dan yang menjadi selingkuhan istrinya adalah Muhammad.

Suatu hal yang peneliti temukan pada masalah tersebut, orang madura cenderung tidak berpikir panjang untuk melakukan carok, apabila masalah harga diri seorang suami, dampak yang akan di alami sudah tau persis kalau membunuh akan di penjara, akan tetapi masyarkat madura berkeyakinan masalah harga diri tidak bisa ditawar lagi dengan apapun selain carok, dan pada akhirnya salah satunya harus terbunuh. Tidak lepas dari falsafah yang dipegang oleh masyarakat madura yaitu lokanah teking kik bisa tampeih, tapi lokanah ati tak bisah tampeih kacepeh nginum dere(lukanya hati bisa diobati, kalau lukanya hati tidak bisa diobati selain minum darah). Falsafah yang dipegang oleh kebanyakan masyarakat madura tersebut membuat orang madura terkenal dengan pribadi yang keras, tidak pernah kompromi kalau sudah menyangkut harga diri.

Seperti kasus yang terjadi di desa larangan luar tersebut, peristiwa itu terjadi pada dini hari tepatnya sekitar jam 03.00, duel carok antara


(15)

6

Muhammad dan Asmadin berlangsung sangat menegangkan, sehingga tidak ada masyarakat yang berani ikut campur atau menghalangi kejadian tersebut. Alhasil pertarungan tersebut dimenangkan oleh Asmadin yang tidak lain ialah suaminya. Asmadin langsung menceraikan istrinya yang kedapatan selingkuh dengan muhammad, dan beliaupun dengan sifat kesatrian menyerahkan diri kepada polisi. Beliau tertuduh bersalah atas pembunuhan yang direncanakan tersebut.

Uniknya masyarakat larangan luar sangat menghormati pak Asmadin, itu dibuktikan dengan upaya masyarakat mencari cara agar hukuman yang diperoleh mendapatkan keringanan dari pihak aparat dengan pertimbangan-pertimbangan. Pada akhirnya pak Asmadin dikeluarkan dari pencara dan diambil mantu oleh satu orang berpengaruh daerah pamekasan.

Istilah yang sering di pakai adalah”ango’an pute tolang etembeng pote

mata”, artinya lebih baik putih tulang ketimbang putih mata. Istilah lain yang sering di gunakan adala cek ngakoh reng mature mon lok Bengal ”jangan ngaku Orang Madura kalau tidak berani”, lokanah teking bisah tambahi, lokanah ateh tadek tanpena kacebe nginom dere(luka daging ada obatnya, lukanya hati tidak ada obatnya selain minum darah), ucapan-ucapan ini yang mendukung eksistensi budaya Carok dimana senjata yang di gunakan selalu Celurit.


(16)

7

Begitu berharganya keberadaan Senjata Tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura arek kancanah sholawat (arit adalah teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu bersholawat di setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan saja, sehingga dibutuhkan Senjata Tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan diri.

Masyarakat Larangan Luar dalam segala kegiatannya membawasekep tidak hanya untuk sarana melindungi dan mempertahankan diri, tapi budaya nyikep merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Dalam banyak hal masyarakat Larangan Luar selalu membawa sekep, termasuk misalnya ada pemilihan kepala desa,nyekepadalah kewajiban.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalahnya adalah bagaimana persepsi masyarakat desa Larangan Luar terhadap perilakunyikep?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitulah pada penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat larangan luar kecamatan larangan kabupaten Pamekasan terhadap budayanyikep.


(17)

8

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti berharap semoga hasil penilitian ini bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis teoritis

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap penelitian.

b. Untuk mengembangkan teori-teori sosial, terutama yang berhubungan dengan budaya nyikep celurit.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan kontribusi terhadap para praktisi masyarakat luas untuk mengenal dan memahami tradisi nyikep.

b. Sebagai bahan rujukan bagi penilitian selanjutnya untuk dikembangkan dikemudian hari.

E. TELAAH PUSTAKA 1. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu, peneliti menguraikan tinjauannya menegnai hasil-hasil study yang pernah dilakukan orang lain yang memiliki hubungan atau relevansi dengan masalah yang akan diteliti dengan mencari persamaan dan perbedaan dari penelitian yang sudah sebelumnya tersebut. Adapun penelitian terdahulu yang relevan adalah sebagai berikut:


(18)

9

a. Penelitian dengan judul “Ungkapan Tradisional dalam Budaya Carok Pada Masyarakat Madura” yang diteliti oleh Lusi Agustini Darmayanti Mahasawi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura meiliki wujud peribahasa berupa peribahasa, perumpamaan (ibarat), ungkapan, pepatah dan pameo. Wujud ungkapan tersebut didasarkan pada kalimat-kalimat yang digunakan dalam setiap ungkapan. Ungkapan tradisional dalam budaya Carok pada masyarakat Madura banyak menggunakan katakata kiasan dan kata perbandingan untuk menyampaikan suatu maksud.

Nilai budaya ungkapan pada budaya Carok masyarakat Madura di antaranya adalah nilai kekeluargaan, nilai kebersamaan, nilai kesabaran, nilai kerja keras, nilai pantang menyerah, nilai keteladanan, nilai kesantunan, dan nilai kedamaian. Nilai-nilai ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dengan memisahkan antara nilai yang baik dan nilai yang buruk. Ungkapan dalam budaya Carok pada masyarakat Madura memiliki fungsi sebagai media pendidikan, cita-cita dari masyarakat madura, sebagai pengatur kehidupan masyarakat Maduar, dan sebagai pengakuan


(19)

10

kebudayaan masyarakat Madura. Fungsi ungkapan tersebut menjelaskan bahwa setiap ungkapan memiliki fungsi terhadap masyarakat Madura.

b. Penelitian dengan judul “Peranan kyai terhadap budaya carok”, penenelitian ini dilakukan oleh Achmad Wisnu Broto yaitu Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kali Jaga. Peneliti menjelaskan, Fenomena yang sering kita lihat di masyakat adanya Budaya Carok merupakan suatu hal yang biasa. Dalam hidup ini teruma dikalangan masyarakat Madura di jumapai kasus pembunuhan yang melibat satua lawan orang atau banyak orang melakukan Carok, jika itu menyangkut harga diri. Bagi mereka yang melakukan carok tidak memperdulikan dampak yang akan terjadi selanjutnya.

Akan ada kalangan masyarakat juga yang masih mempertimbangkan carok perlu dilakukan atau tidak, yaitu suwen4 kepada sesepuh desa atau kyai. Apabila hal itu dilarang oleh kyai maka tidak dilakukan. Bagi mereka sosok kyai adalah sosok yang dihormati dan dianut. c. Penelitian dengan judul “Tradisi Carok pada Masyarakat Adat

Madura” penelitian inidilakukan oleh Henry Arianto Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul Jakarta. Penulis mengatakan bahwa banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan

4

Merupakan bahasa alus yang diperuntukkan ke kyai dari santrinya atau masyarakat yang berarti menghadap


(20)

11

bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok. Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’. Biasanya, “Carok” merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga). Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan disini adalah Carok sebagai suatu institusionalisasi kekerasan, yang secara historis telah dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu, selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas Negara atau Pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam mengontrol sumbersumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat terhadap rasa keadilan.

Dari ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan penelitian yang akan peneliti lakukan dimana obyek penelitian sama yaitu berkaitan dengan tradisi masyarakat Madura. Yang mana kesamaanya terletak juga pada nilai atau identitas diri masyarakat Madura yang menjunjung tinggi


(21)

12

harga diri masing-masing invidu. Namun dalam penelitian yang akan peneliti lakukan ini juga memiliki perbedaan dari ketiga penelitian yang telah dijelaskan diatas. Dimana letak berdedaannya adalah dalam penelitian yang akan peneliti lakukan nanti lebih menekankan pada bagaiman persepsi masyarakat larangan luar terhadap perilaku individu atau kelompok yang nyikep celurit kemudian akan dilanjutkan dengan penelitian untuk mengetahui alasan individu atau kelompok lebih memilih nyikep untuk keamanan diri sendiri atau untuk menjaga harga diri.

2. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper dalam Creswell mengemukakan bahwa kajian pustaka memiliki beberapa tujuan yakni; menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya.5

Selanjutnya Geoffrey dan Airasian mengemukakan bahwa tujuan utama kajian pustaka adalah untuk menentukan apa yang telah dilakukan orang yang berhubungan dengan topik penelitian yang akan dilakukan.

5

Donald Ary terjemahan Arief Furchan,Pengantar Penelitian dalam Pendidikan(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 91.


(22)

13

Selain itu dengan kajian pustaka tidak hanya mencegah duplikasi penelitian orang lain, tetapi juga memberikan pemahaman dan wawasan yang dibutuhkan untuk menempatkan topik penelitian yang kita lakukan dalam kerangka logis. Dengan mengkaji penelitian sebelumnya, dapat memberikan alasan untuk hipotesis penelitian, sekaligus menjadi indikasi pembenaran pentingnya penelitian yang akan dilakukan.

Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang kajian pustaka yang disesuaikan dengan tema:

Masyarakat Madura bersifat terbuka dalam hal tradisi yang berkembang didalam masyarakat dengan cacatan tidak bertentangan dengan kearifan lokalyang berlaku dilingkungan masyarakat madura. Mereka akan terus mewariskan warisan para leluhur madura dan mewariskan dari generasi ke generasi, kearifan lokal yang berlaku di madura merupakan jati diri dari orang Madura.

Kearifan lokal adalah suatu istilah yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak dimilik diluarkelompok tersebut.6 Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, tradisi dll. Salah satu contoh adalah nyikep yang merupakan tradisi dari leluhur sesepuh orang madura.

6

Moh Hafid Efendi,“Lokal Wisdow dalam Tembang Macapat Madura,”Jurnal Bahasa dan Sastra 1 No. 1(2015): hlm. 57


(23)

14

Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun pergi oleh orang Madura. Banyak jenis sekep yang umumnye dibawa, namun yang paling populer dikalangan orang Madura adalah clurit. Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya. Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.

Pada dasarnya orang yang bersekep atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya. Dan sekep itu sendiri pada umumnya dimiliki oleh kaum pria.Terlepas dari fungsi senjata tajam bagi orang Madura yang tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya, juga mempunyai nilai tradisi turun temurun, bahwa lambing kejantanan bagi orang Madura terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka bersekep dipinggangnya. Untuk itu dalam masyarakat Madura lalu timbul


(24)

15

keyakinan, bila seorang laki-laki tidak “nyekep”, tak lebih dari seorang banci.7

Sedangkan Sekep yang sering dipakai adalah Celurit. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18. Pada masa ini dikenal seorang tokoh dari Madura yang bernama pak Sakera. pak Sakera di angkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas pak Sakera adalah senjata yang berbentuk arit besar yang kemudian di kenal dengan istilah Celurit. Dimana didalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya untuk mengawasi para pekerja.8

Dengan kemarahan memuncak, Belanda kemudian memerintahkan seorang jagoan, bernama Markasan untuk membunuh Sakera. Pada saat pekerja istirahat Markasan sengaja marah-marah serta memanggil Sakera

7

Rachmad Tri Imayanto,“Identitas Kaum Blatter Madura,” diakses tanggal 21 Juni 2016,

http://www.kompasiana.com/www.r3i-arosbaya.blogspot.com/identitas-kaum-blater-madura_54f913eea3331169018b461f

8


(25)

16

untuk mengadu kekuatan. Sakera yang mendapat kabar dari pekerja kebun tersbut marah. Sejak saat itu Sakera menjadi burtonan belanda. Saat sakera berkunjung ke rumah ibunya, ia dikeroyok oleh careik Rembang beserta Belanda. Karena ibu sakera di ancam akan dibunuh maka ia akhirnya menyerah,dan dipencarakan di Bangil. Selama dipencara Sakera terpaksa meninggalkan istri tercintanya yangsangat cantik bernama Marlena dan keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali-kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena.

Sementara Sakera ada di penjara, Brodin berhasil menyelingkuhi istrinya. Kabar itupun sampai ke telinga Sakera. Ia pun marah besar dan kabur dari penjara membunuh Brodin. Kemudian Sakera melakukan balas dendam berturut-turut mulai dari carik Rembang. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tangannya dengan celuritnya.9

Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi

9

Syamsul Ma’arif, The Historis Of Madura, Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonealisme Sampai Kemerdekaan(Yogyakarta: Araska, 2015), 166-167.


(26)

17

menjunjung harga diri. Istilahnya, dari pada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit. Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit.10 Carok seakan-akan merupakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak mampu mencari dan memilih opsi jalan lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik yang menyanggkut masalah harga dirinya.11

Hal yang paling penting ketika carok adalah carok tidak dilakukan tanpa persetujuan keluarga. Bahkan carok harus melalui ritual khusus dan

10

M. Zain,Peranan K.Abdur Rahim dalam Membendung Pertikaian “Carok” di Desa

Cangkarman Konang Bangkalan Madura (Surabaya, Uinsa, 2014),16.

11

Taufiqurrahman, “Islam dan Budaya Madura (Bahan presentasi pada forum Annual Conference on Contemporary Islamic Studies, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, di Grand Hotel Lembang Bandung 26–30 November 2006), 9.


(27)

18

kegiatan berdoa bersama keluarga. Sehingga pelaku carok dihormati oleh masyarakat. Sebaliknya apabila dalam batas waktu 40 hari orang dihina harga dirinya(khususnya kasus perselingkuhan) tidak malakukan carok maka itu di anggap aib dan dicemoh oleh masyarakat.Para pelaku biasanya langsung menyerahkan diri kepada polisi dan mengakui kesalahannya. Setelah ditahan dan dalam masa peradilanpun mereka dapar perlakuan khusus dari keluarga yang dinamakanNabang.Nabengyaitu meringankan proses hukum bagi pelaku carok, biasanya denganmemberikan sejumlah uang.

Motif utama adalah maslah harga diri. Karena orang madura memegang prinsip peribahasa, ango’an pote tolah etempengpote mata (lebih baik putih tulang ketimbang putih mata). Penghinaan terhadap harga diri berarti menempatkan diri sebagai moso(musuh) orang dihina. Oreng lowar(orang luar), bala(teman), bahkan taretan(kerabat), dapat menjadi musuh apabila dia melakukan penghinaan yang terlalu serius.12

F. DEFINISI KONSEPTUAL

Definisi konseptual pada umumnya memberikan penjelasan mengenai judul dari suatu penelitian. Judul dalam penelitian ini “Makna Tradisi Nyikep(Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Larangan

12Ma’arif, The Historis of Madura,


(28)

19

Pamekasan”, penjelasan dari judul suatu penelitian diuraikan satu persatu dalam definisi konseptual, sebagai berikut;

1. Tradisi

Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. W.S. Rendra menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi, pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi biadab.

Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.13

2. Nyikep(Bawa Senjata Tajam)

Salah satu kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura ialah "sekep".Sekepdalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi

13


(29)

20

pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.

G. METODE PENELITIAN.

1. Jenis Penilitian dan Pendekatan

Metode dalam pembuatan usulan penilitian ini mengambarkan tentang tatacara pengumpulan data yang diperlukan guna menguji hipotesa atau menjawab permaslahan yang ada. Dalam kegiatan ilmiah, metodologi merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan secara teoritis teknik operasional yang dipakai sebagai pegangan dalam mengambil langkah-langkah.14

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini dibangun dengan berdasar

14

P. Joko Subagyo,Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 16.


(30)

21

pada pemikiran pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari bekerjanya proses interpretative individu atas stuktur yang didalamnya melibatkan berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh karenanya faktor kedaleman, kekayaan, dan kompleksitas atau sebuah makna sangat diperlukan. Disamping itu kompotesi wacana yang melibatkan inklusi-eksklusi atas makna yang bersifat layers, multi-dementiondanmulti-truth.

Deskriptif adalah peniltian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarka data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan meinterpretasi. Penilitian Diskriptif bertujuan untuk pemecahan masalah secara sistematis faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi.15

Metode penelitian ini dibangun dengan berdasar pada pemikiran pokok yang menempatkan realitas sosial sebagai hasil dari bekerjanya proses interpretative individu atas struktur yang didalamnya melibatkan berbagai proses pemaknaan subjektif dan inter-subjektif. Oleh karenanya ketiganya sangat dioperlukan.16.

2. Lokasi dan waktu penelitian

15

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penilitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 44.

16

Lexy J. Moleong, Metode Penilitian Kualitatif(Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2006), 50.


(31)

22

Lokasi penilitian sebagai objek /sasaran perlu mendapatkan perhatian dalam menentukannya, karena pada pripsipnya sangat sangat berkaitan dengan permasalahn yang diambilnya. Lokasi penelitian sebagai sasaran yang sangat membantu untuk keperluan data yang diambil, sehingga informasi ini menunjang untuk memberikan informasi yang valid.17

Dapat ditarik suatu batasan bahwa dalam sebuah penelitian lokasi penelitian harus mempunyai batasan yang jelas agar tidak menimbulkan kekaburan dengan kejelasan atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu peneliti membatasinya dan mengambil lokasi di desa larangan luar, kecamatan larangan pamekasan.

Untuk penelitian ini mulai dilakukan pada bulang Juni-Juli 2016. Dengan diawali bimbingan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing mengenai konsep da nisi penelitian. Setelah selesai melakukan ujian proposal.

3. Pemilihan Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek penelitian adalah warga desa masyarakat larangan luar kecamatan larangan pamekasan.

4. Tahap-tahap penelitian

Tahap-tahap penelitian atau langkah-langkah penelitian yaitu serangkain proses penelitian dimana penelitian dari awal yaitu berasa

17


(32)

23

menghadapi masalah, memecahkan masalah sampai akhirnya mengambil keputusan yang berupa kesimpulan bagaimana hasil penelitiannya, dapet memecahkan masalah atau tidak. Langkah-langkah penelitian memang harus serasi kait mengaitkan dan dukung mendukung satu sama lain sehingga merupakan jalinan urutan yang sistematis.18

Penelitian ini mempunyai beberapa tahapan, antara lain: pertama kali yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui situasi dan kondisi lingkungan yang akan dijadikan tempat penelitian. Setelah mengetahui gambaran awal dari situasi lingkungan warga masyarakat, langkah berikutnya adalah melakukan penelitian guna untuk mengambarkan permasalahan yang ada di \tempat penelitian. Sedangkan langkah yang terakhir adalah penelitian lanjutan untuk menggali data lebih dalam lagi dan penulisan laporan.

Langkah selanjutnya sebagai berikut: 1. Tahap Pra Lapangan

a. Menyusun Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian mengatur sistematika yang akan dilaksanakan dalam penelitian. Memasuki langkah ini peneliti harus memahami berbagai metode dan teknik penelitian. Metode dan teknik penelitian disusun menjadi rancangan penelitian. Mutu

18


(33)

24

keluaran penelitian ditentukan oleh ketepatan rancangan penelitian serta pemahaman dalam penyusunan teori.

b. Memilih Lapangan Penelitian

Pemilihan lapangan penelitian diarahkan oleh teori substansif yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis kerja walaupun masih tentatif sifatnya.19 Dalam menentukan lapangan penelitian kita harus mempelajari dan mendalami fokus serta rumusan lapangan penelitian.

c. Mengurus Perizinan

Yang harus diketahui oleh peneliti sebelum melakukan penelitian adalah siapa saja pihak yang berwenang dalam memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian dan juga persyaratan lain yang diperlukan dalam mengurus perizinan.

d. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti sejauh mungkin sudah menyiapkan segala alat dan perlengkapan penelitian yang diperlukan sebelum terjun ke dalam kancah penelitian.

2. Tahap Lapangan

Adapun tahap lapangan, tersusun sebagai berikut:

19


(34)

25

a. Memahami latar penelitian dan persiapan

Untuk memasuki suatu lapangan penelitian, peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu, disamping itu peneliti perlu mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental, guna untuk memperoleh hasil yang maksimal yang di inginkan oleh peneliti.

b. Memasuki lapangan

Dalam hal ini perlu adanya hubungan yang baik antara peneliti dengan subyek yang diteliti sehingga tidak ada batasan khusus antara peneliti dengan subyek, padatahapan ini peneliti berusaha menjalin keakraban dengan tetap menggunakan sikap dan bahasa yang baik serta sopan, agar subyek memahami bahasa dan sikap yang digunakan oleh peneliti

3. Tahap Analisis Data

Analisa data merupakan suatu tahap mengorganisir dan menurut data kedalam pola, kategori dan satu uraian dasar agar dapat memudahkan dalam menentukan tema dan dapat merumuskan hipotesa kerja yang sesuai denan data. Pada tahap ini data yang diperoleh dari berbagai sumber, dikumpulkan, diklasifikasikan, dan analisa dengan komparasi konstan. Proses analisis data bisa berupa pemilahan, mengklasifikasikan, membuat ikhtisar, mensintesikan,


(35)

26

memberikan kode pada data-data yang diperoleh sehingga datanya dapat ditelusuri dengan baik, benar dan bermakna bagi proses penelitian.

4. Tahap Penulisan Laporan

Penulisan laporan merupakan hasil akhir dari suatu penelitian, sehingga dalam tahap akhir ini peneliti mempunyai pengaruh terhadap hasil penulisan laporan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui 3 (tiga) cara yaitu, melalui observasi, wawancara dan dokumetansi yang dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara sistematis dan terencana untuk memperoleh data yang valid. Dalam hal ini selain peneliti melakukan pengamatan pada aktivitas yang terjadi di Desa Langan Luar secara umum, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap aktivitas Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sosial.

Terjun langsung terhadap kegiata-kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat luas. Misalnya ada kolom, kumpul-kumpul diwarung peneliti menyempatkan untuk bergabung, sekaligus menanyakan tentang sekep. Banyak kejadian yang telah penenliti temukan


(36)

27

dilapangan tentang tradisi nyikep masyarakat larangan. Dari berbagai latar belakang masyarakat dan strata sosialnya pengguna nyikep mempunyai alasan masing-masing, seperti misalnya sebagai pelindung dikala ada bahaya, sampai pada ajang sombong-sombongan dan masih banyak lagi alasan kenapa masyarakat larangan Nyikep yang akan dijelaskan pada bab selanjutya.

b. Wawancara, yaitu dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap para informan, dengan cara wawancara yang tidak terstruktur dengan menggunakan panduan yang memuat garis besar lingkup penelitian, dan dikembangkan dengan bebas selama wawancara berlangsung akan tetapi tetap pada sebatas ruang lingkup penelitian, dengan tujuan agar tidak kaku dalam memperoleh informasi dengan mempersiapkan terlebih dahulu gambaran umum pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara mendalam secara umum merupakan suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.20

20

Burhan Bungin,Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya(Jakarta: Kencana, 2010), 108.


(37)

28

Peneliti mengamati kenyataan dan mengajukan pertanyaan dalam wawancara hingga berkembang secara wajar berdasarkan ucapan dan buah pikiran yang dicetuskan oleh orang yang diwawancarai.21berikut ini adalah informan yang berhasil penenliti wawancarai.

Tabel. 1.1

Pemilihan Subyek Penelitian

No Nama Asal Status

1 Pak Mahyun Budaggan 1 Tokoh maysrakat

2 Asnawai Tangkel Petani

3 Khairul Budagan 2 Petani

4 Pak Faruq Bicabbi Pedagang Sapi

5 Pak Jamilah Bicabii Pedagang

6 Sanusi Morpenang Petani

7 Fudili Budagan 1 Ternak Ayam

8 Markawi Tangkel Tokoh masyarakat

9 Suryadi Tangkel Masyarakat

10 Pardi Budagan 2 Petani

11 Subaidi Morpenang Petani

12 Pak somad Bicabbi 2 Pedagang

c. Dokumentasi, yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, peraturan dan semacamnya. Dokumen

21

Andi Prastowo,Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif(Yogyakarta: Diva Press, 2010), 14.


(38)

29

yang berbentuk gambar dapat berupa foto, gambar hidup dan lain-lain. Sedangkan dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni. Studi dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.22

6. Teknik Analisis Data

Menurut Restu Kartiko Widi dalam bukunya, analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan, pemodalan, dan tranformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan memperoleh informasi yang bermanfaat memberikan saran, kesimpulan dan mendukung pembuatan keputusan.23

Peneliti menggunakan untuk menganilisis setiap informasi yang diberikan oleh informan. Sebab hasil temuan memerlukan pembahasan lebih lanjut dan penafsiran lebih dalam untuk menentukan makna dibalik fakta serta mencermati secara kritis dan hati-hati terhadap perspektif teoritis yang digunakan.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara

22

Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif(Bandung: CV. Alfabeta, 2014), 82.

23


(39)

30

data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada objek di lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia.24

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan valid terhadap data yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan teknik triangulation, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Sebagai perbandingan triangulasi ini digunakan dengan cara membandingkan dan mengecek derajat balik kepercayaan atau informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode penelitian, hal ini bisa membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang berkaitan, atau juga membandingkan hasil wawancara dari 2-3 informan yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif, kriteria utama yang menunjukkan keabsahan sebuah hasil penilitian adalah, valid, reliabel dan obyektif.

H. PEMBAHASAN

1. BAB I PENDAHULUAN

24


(40)

31

Merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan metode penelitian yang meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta teknik keabsahan data, dan sistematika pembahasan.

2. BAB II KONTRUSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS

Dalam bab kajian pustaka, penulis memberikan gambaran tentang definisin konsep yang berkaitan dengan judul penulisan, serta teori yang akan digunakan dalam penganalisahan masalah. Definisi konsep harus digambarkan dengan jelas. Selain harus memperhatikan relefansi teoriyang akan digunakan dalam menganalisis data.

3. BAB III Makna Tradisi Nyikep (Bawa Senjata Tajam) Masyarakat Larangan Luar Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan

Dalam bab penyajian dan analisis data, penulis memberikan gambaran tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar, table atau bagan yang mendukung data.


(41)

32

4. BAB IV PENUTUP

Dalam bab penutup, penulis menuliskan kesimpulan dan saran dari permasalahan dalm penulisan selain itu juga diberikan rekomendasi kepada para pembaca laporan penulisan ini.


(42)

BAB II

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL SEBAGAI ALAT ANALISIS

A. TradisiNyikep

Sekep kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura.

Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.

Nyikep yang merupakan akifitas yang merupakan kegiatan-kegiatan dalam melakukan perjalanan rumah untuk melakukan perlindungan atau menjaga diri yang mengancam nyawa sehingga kemudian menggunakan benda tersebut sebagai suatu penyelamatan. Nyikep adalah suatu simpol kejantanan bagi kalangan masyarakat Larangan Luar. Budaya nyikep tidak hanya melulu tentang kekerasan, karena itu merupakan warisan dari para leluhur yang mengajarkan tentang pentingnya menjaga harga diri ataupun menjaga mara bahaya yang kemungkinan besar tidak dasari oleh seseorang, maka dengan membawa sikep akan bisa setidaknya menjaga diri sendiri.

Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman, bahwa terdapat momen eksternalisasi, objektivasi, dan inetrnalisasi. Alam sebagai subjek memberikan gambaran bahwa alam adalah sebuah internal, yaitu proses memasukkan alam sebagai bagian dari manusia, sehingga manusia dan alam


(43)

34

sebagai sesama subjek. Alam menjadi dunia subjek bagi manusia. Tetapi disisi lain, muncul pandangan bahwa alam dunia objek yang terpisah dari manusia. Oleh karena itu, terdapat penempatan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Bertolak dari keduanya lalu muncul pandangan bahwa alam adalah dunia subjek-objek atau yang dikenal sebagai momen eksternalisasi.1 Proses momen yang jelasakan Berger dan Luckman dikenal dengan dialektika atau konstruksi sosial.

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya. Masyarkat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil proses sosial, iindividu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat.

1


(44)

35

Kedua pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan masyarakat produk manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya menggambarkan sifat dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika difat ini diterima, maka masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka yang memadai realitas empirisnya.

Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas masyarakat yang memadai secara empiris.2

Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.3

Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia sosialnya, bahwa individu menjadi panglima dalam dunia sosialnya yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkontruksi dunia sosialnya. Akhirnya, dalam pandangan paradigma definisi

2

Peter L. Berger,Kabar Angin Dari Langit(Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1992), 3-4.

3


(45)

36

sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuasaan konstruk sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.

Dunia sosial itu dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George Simmel bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hokum yang menguasainya. Realitas sosial itu ada dilihat dari subyektivitas ada itu sendiri dari dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai kedirian-nya, namun juga dilihat dari mana ‘kedirian’ itu berada, bagaimana ia

menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan menerimanya.

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya4.

4


(46)

37

B. Gagasan Berger dan Luckman tentang Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu prosuk manusia, lain tidak, yang akan memberi tindak-balik pada produsennya. Masyarkat adalah suatu produk manusia. Masyakat tidak mempunyai bentu lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia, sehingga dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu adalah suatu episode dalam masyarakat yang sudah ada sebelumnya serta akan terus berlanjut seterusnya.5

Masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan manusia, hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya manusiapun tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Seseorang manusia yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaian, dengan kata lain di mana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.6

Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah, dan sebagai dari hasil

5

Berger,Kabar Angin, 3.

6


(47)

38

proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari hidupnya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat. Kedua pernyataan itu, bahwa manusia adalah produk masyarakat dan masyarakat produk manusia tidaklah berlawanan. Sebaliknya keduanya menggambarkan sifat dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Hanya jika sifat ini diterima, maka masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka yang memadai realitas empirisnya.

Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, atau langkah yaitu ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pemahaman secara seksama terhadap tiga momentum ini akan diperoleh suatu pandangan atas masyarakat yang memadai secara empiris.7

1. Ekternalisasi

Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia merupakan merupkan momen adaptasi diri dengan sosio-kultural. Dalam momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu

7


(48)

39

beradaptasi dan juga ada juga yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan dunia sosio-kultural tersebut.8

Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya dan juga merupakan suatu keharusan antropologis. Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan dirinya terus-menerus ke dalam dunia yang di tempatinya. Kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa dibayangkan tetap tinggal diam di dalam lingkup dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu esensinya melakukan eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan. Fakta antropologis yang mendasar ini sangat mungkin berakar dalam lembaga biologis manusia. Homo sapiens menemposisi yang istimewa dalam dunia binatang. Keistimewaan ini tetap ada dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan dunia. Tidak seperti binatang tingkat tinggi lainnya, yang dilahirkan dengan sesuatu organisme yang pada kelompoknya sudah lengkap, manusia itu belum selesai setelah dilahirkan. Langkah-langkah penting dalamg proses finishing dalam proses perkembangan manusia, yang sudah terjadi dalam periode emberio bagi binatang menyusui tingkat tinggi

8


(49)

40

lainnya, dalam hal manusia terjadi dalam tahun pertama setelah kelahirannya. Demikianlah, proses biologis menjadi manusia terjadi ketika bayi manusia berada dalam interaksi dengan suatu lingkungan ekstra-organismik, yang merupakan dunia fisis dan dunia manusia dari si bayi itu. Maka terdapat suatu dasar biologis bagi proses menjadi manusia dalam arti perkembangan kepribadian dan perolehan budaya, perkembangan-perkembangan yang terakhir ini tidak ditumpuk sebagai mutasi-mutasi yang asing dalam perkembangan biologis manusia, tetapi berakar di dalamnya.9

Pemahaman atas masyarakat sebagaimana masyarakat yang berakar dalam eksternalisasi manusia, yaitu sebagai produk aktifitas manusia sangat penting mengingat kenyataan, bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda, lepas dari berbagai aktivitas manusia dan termasuk sebagai bagian dari alam yang terpampang. Mengenai proses objektivasi yang memungkinkan kenampakan akan dibahas kemudian. Cukuplah dikatakan, bahwa salah satu keuntungan penting dalam perspektif sosiologis adalah penyederhaan keutuhan-keutuhan hipotesis, yang membentuk gambaran masyarakat dalam pikiran manusia awam, menjadi aktivitas manusia yang menghasilkan keutuhan-keutuhan itu dan yang tanpa status dalam realitas. Bahkan untuk membentuk masyarakat dan semua

9

Peter L. Berger diterjemahkan Hartono,Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial


(50)

41

formasinya itu adalah makna-makna manusiawi yang diexternalisasi dalam aktivitas manusia.

Masyarakat adalah produk dari manusia, berakar dalam fenomena eksternalisasi, yang pada gilirannya didasarkan pada kondisi kontruksi biologis manusia. Namun, ketika kita ingin berbicara produk-produk eksternal, kita seakan-seakan mengisyaratkan bahwa prosuk-produk itu memperoleh suatu tingkat kebedaan jika dibandingkan dengan produser produk-produk itu. Tranformasi produk-produk manusia ini ke dalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi manusia sebagai suatu faksifitas di luar dirinya, adalah diletakkan dalam konsep objektivasi, dunia yang diproduksi manusia ini kemudian menjadi sesuatu yang berbeda diluar sana. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik material maupun non-material, yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta, maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Meskipun semua kebudayaan berasalah dari, dan berakar dalam, kesadaran subyektif makhluk manusia, sekali sudah terbentuk kebudayaan itu tidak bisa diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan itu berada di dalam subyektivitas individual sebagaimana juga dunia. Dengan kata lain dunia yang diproduksi manusia memperleh sifat realitas objek.10

2. Obyektivasi

10


(51)

42

Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia subjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Realitas sosial seakan-akan berada di luar diri mnusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena objektif, sepertinya ada dua realitas, yaitu realita diri yang subjektif dan realita lainnya yang berada di luar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk jaringan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional. Pelembagaan atau institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari system kognitif dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya telah menerima dan system evaluasi yang berasal dari system nilai juga telah menjadi bagian di dalam seluruh mechanism kehidupannya. Dengan demikian, ketika suatu tindakan telah menjadi suatu yang habitual, maka telah menjadi tindakan yang mekanis, yang mesti dilakukan begitu saja.11

Manusia menciptakan sebuah alat, berarti bahwa dia memperkaya totalitas obyek-obyek fisis yang ada di dunia, begitu dicipta, alat itu mempunyai keberadaan sendiri yang tidak bisabegituu saja diubah oleh mereka yang memakainya. Bahkan alat itu(katakanlah alat petanian) mungkin saja memaksakan logika keberadaanya kepada para pemakainya, terkadang dengan cara yang mungkin tidak mengenakkan bagi mereka. Misalnya,

11


(52)

43

sebuah bajak, meskipun jelas adalah produksi manusia, adalah suatu benda eksternal bukan saja dalam pengertian bahwa pemakainya mungkin tersandung bajak itu dan terluka, seperti juga manusia bisa jatuh akibat tersandung batu atau tunggul pohon atau benda-benda alami lainnya. Lebih menarik lagi, bajak itu mungkin memaksakan pemakai untuk mengatur aktivtas pertanian mereka dan barangkali juga aspek-aspek kehidupan mereka yang lain, sedemikian sehingga bersesuaian dengan logika bajak itu dan ini mungkin tidak diduga oleh mereka yang semula menemukan peralatan itu. Namun obyektivitas yang sama juga mencirikan unsur-unsur non-material dari kebudayaan. Manusia menemukan bahasa dan kemudian mendapati bahwa pembicaraan maupun pemikirannya didominasi oleh tatabahasa tersebut. Manusia mencitakan nilai-nilai dan akan merasa bersalah apabila melanggar nilai-nilai itu. Manusia membentuk lembaga-lembaga yang kemudian berhadapan dengan dirinya sebagai konstelasi-konstelasi dunia eksternal yang kuat mengendalikan bahkan mengancamnya.12

Yang perlu diingat adalah tidak ada kontruksi manusia yang dapat secara akurat disebut sebagai fenomena sosial jika kontruksi tersebut sudah mencapai tingkat obyektivitas yang memaksa individu mengakui sebagai nyata. Dengan kata lain, sifat pemaksa utama dari masyarakat itu tidak terletak peralatan-peralatan kontrol sosialnya, tetapi pada kekuasaanya untuk

12


(53)

44

membentuk dan menerapkan dirinya sebagai realitas. Dalam hal ini contoh paradigmanya adalah bahasa. Bagaiamapun terkucilnya bahasa dari pemikiran sosiologis, hampir tidak ada yang memungkiri bahwa bahasa adalah produk manusia. Sesuatu bahasa adalah sejarah yang panjang mengenai kecerdikan, imajinas bahkan kedengkian manusia.

Obyektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya. Lembaga-lembaga, peran-peran, dan identitas-identitas itu eksis sebagai fenomena nyata secara obyektif dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak lain adalah produk-produk manusia. Misalnya, keluarga adalah pelembagaan seksualitas manusia dalam suatu masyarakat tertentu dialami dan dimengerti sebagai realitas oyektif. Lembaga itu ada disana, eksternal dan memaksa, menerapkan pola-pola yang telah ditetapkan sebelumnya pada individu dalam bidang kehidupannya ini. Obyektivitas yang sama juga terdapat pada peran-peran yang diharapkan dimainkan oleh individu dalam konteks kelembagaanyang bersangkutan,sekalipun ternyata ia ternyata tidak menyukai apa yang dilakukannya. Peran-peran dari misalnya, suami, ayah atau paman secara obyektif didefenisikan dan bisa sebagai model untuk perilaku untuk perilaku individual. Dengan memainkan peran-peran ini, individu kemudian mewakili obyektivitas-obyektivitas kelembagaan dengan cara yang bisa dimengerti, oleh dirinya atau orang lain.


(54)

45

3. Internalisasi

Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi dari di dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Secara kodrati, manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompokkan. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama13.

Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang

lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan

dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia dimana sudah ada orang lain. Dalam proses “mengambil alih” dunia itu, individu dapat

memodivikasi dunia tersebut, bahkan dapat meciptakan kembali dunia secara

13


(55)

46

kreatif. Dalam kontreks ini Berger dan Luckman mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisai yang kompleks, individu tidak hanya

“memahami” proses-proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat.

Individu “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai individu dan orang lain mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekedar sepintas lalu, dan juga suatu prespektif komperhensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-kenyataan itu secara timbal balik14.

Internalisasi mengisyaratkan bahwa fasilitas obyektif dunia sosial itu juga menjadi fasilitas subyektif. Individu mendapatkan lembaga-lembaga sebagai dunia subyektif diluar dirinya, tetapi sekarangjuga menjadi data kesadarannya sendiri. Program-program kelembagaan-kelembagaan yang dibuat masyarakat secara subyektif adalah nyata seperti sikap-sikap, motif-motif dan proyek kehidupan. Realitias lembaga-lembaga itu diperoleh oleh individu seiring dengan peran dan identitasnya. Misalnya, individu menerima, sebagai realitas, aturan-aturan kekerabatan khusus dalam masyarakatnya. Dengan itu dia menyandang peran yang telah ditetapkan baginya dalam

14

Burhan Bungin,Sosiologi Komunkasi(Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006), 201-202.


(56)

47

konteks ini dan memahami identitasnya sendiri dalam kerangka peran-peran ini. Demikianlah, maka dia tidak hanya memainkan peran paman, tetapi dia adalah betul-betul adalah seorang paman. Juga, apabila sosialisasi cukup berhasil, dia tidak menghendaki peran paman tersebut. Sikap-sikapnya terhadap orang lain dan motif-motifnya untuk tindakan-tindakan tertentu secara endemis bersifat kepamanan.

Proses internalisasi harus selalu dipahami sebagai salah satu mumentum dari proses dialektik yang lebih besar yang juga termasuk momentum-momentum eksternalisasi. Jika ini tidak dilakukan, maka akan muncul suatu gambaran determenisme mekanistik, yang mana individu dihasilkan oleh masyarakat sebagai sebabyang menghasikkan akibat dalam alam. Gambaran seperti itu mendistorsikan fenomena kemasyarakatan. Bukan saja internalisasi bagian dari dialektik fenomena sosialyang lebih besar, tetapi sosialisasi individu juga terjadi dengan cara dialektik. Individu tidak dicipta sebagai suatu benda yang pasif dan diam. Sebaliknya, dia dibentuk selama dialog yang lama yang di dalamnya dia sebagai peserta.

Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan bagaimana meneruskan peranan sosial yang dibangun kepada generasi berikutnya. Proses ini disebut sosialisasi. Dalam proses sosialisasi itu makna dari pranata sosial harus dijelaskan sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh individu (subjectively plausible). Fungsi legitimasi adalah kognitif, yang menjelaskan


(57)

48

Eksternalisasi

Obyektivasi

internalisasi

Pemahaman individu atas tradisi nyikep

Pencurahan kedirian atau penyesuaian individu atas tradisi yang dilakukan oleh masyarakat

Tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang hingga saat ini

mengenai makna realitas sosial dan normative, yaitu memberikan pedoman bagaimana seseorang harus berlaku. Tujuan dari segala bentuk legitimasi adalah mempertahankan realitas. Ada berbagai tingkat legitimasi, dari kosa kata yang paling sederhana meningkat kepada kata-kata mutiara, legenda, perumpamaan, perintah-perintah moral sampai kepada yang paling canggih yaitu berbagai sistem simbol termasuk teori ilmiah.15

Skema 1.1 Alur Berfikir Teori

15

Berger,Kabar Angin,17-18.

Tradisi


(58)

49

Skema di atas menjelaskan bahwa terdapat tiga proses dialektika dalam teori Peter L. Berger, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Proses pertama yakni eksternalisasi untuk melihat penyesuaian individu atas tradisi yang dilakukan oleh nenek moyang. Proses ke dua yakni obyektivasi untuk melihat tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dapat bertahan hingga saat ini. Kemudian yang proses yang terakhir yakni internalisasi, pemahaman individu atas tradisiNyikepyang berkembang di masyarakat.


(59)

MAKNA TRADISINY

LARANGAN L

A. Deskripsi Umum O

1. Letak Geografis

Ga Sum

Pamekasa Jawa Timur. Kot satunya adalah sekitar 662,030 wilayah Laranga sebelah selatan

BAB III

INYIKEP(BAWA SENJATA TAJAM) MASYAR AN LUAR KECAMATAN LARANGAN KABUPAT

PAMEKASAN Objek Penelitian

is Larangan Luar

Gambar 3.1 Peta Desa Larangan Luar umber: Dokumentasi Desa Larangan Luar

san adalah salah kota yang berada di Pulau Madur Kota pamekasan ini terdiri dari banyak Kecamata

h kecamatan Larangan. Kecamatan Larangan m 62,030 Ha pada ketinggian 2 m dari permukaan ai

gan sebelah utara adalah kecamatan Kadur, n adalah Kecamatan Galis. Dan di sebelah tim

ASYARAKAT PATEN

dura Kabupaten atan, yang salah memiliki luas air laut. Batas , sedangkan di imur kecamatan


(60)

51

Larangan adalah Kabupaten Sumenep, sedangkan disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sepulu. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa atau kelurahan yang dihuni sekitar 60.013 jiwa.

Salah satunya desa yang berada di Kecamatan Larangan adalah Desa Larangan Luar. Batas wilayah Desa Larangan Luar yaitu di sebelah timur adalah desa Duko Timor, desa Taraban dan di sebelah barat adalah desa Grujugan, Desa Blumbungan. Sedangkan di sebelah selatan adalah desa Larangan Dalam dan di sebelah utara adalah Kecamatan Kadur. Luas desa Larangan adalah sekitar 622,030 Ha.

Desa Larangan Luar ini berdekatan dengan perbatasan Sumenep. Kalau dari kota Pamekasan jalan ke arah timur yang menuju ke Sumenep sekitar 40 menit kalau ditembuh dengan bermotor, kalau ditembuh dengan angkutan umum kurang lebih ditembuh dengan perjalanan 70 menit.

2. Kondisi Demografi Desa Larangan Luar

Jumlah Masyarakat larangan luas keseluruhan sebanyak 7775 jiwa, dengan perincian untuk perempuan berjmlah 4103 jiwa, jumlah lekaki 3672 jiwa, dan jumlah KK sebesar 2509 KK. Jumlah ini merupakan jumlah keseluruhan dari masyarakat asli larangan luar atau juga pendatang yang berdomisili di desa larangan luar, dikarenakan beberapa faktor, misalnya karena faktor nikah danlain sebagainya. Lebih jelasnya bisa dilihat ditabil bawah ini:


(61)

52

Table 3.1

Jumlah Penduduk Desa Larangan Luar

No Katagori Jumlah P

1 Laki-laki 3672 Jiwa

2 Perempuan 4103 Jiwa

3 Jumlah total 7775 Jiwa

4 Jumlah KK 2509 kk

Sumber: Hasil Data dari Kepala Desa

3. Kondisi Ekonomi

Mayoritas Penduduk Desa Larangan Luar bekerja sebagai petani musiman artinya kalau musim hujan bertanam jagung, kacang dan singkong, sebagian di wilayah bagian barat bertanam padi, apabila datang musim kemarau masyarakat Larangan Luar kebanyakan bertani tembakau. Ada juga yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Selain petani dan PNS, ada juga yang berdagang, kemudian berternak, karena hampir setiap rumah memiliki hewan terank, seperti sapi, kambing serta ternak Ayam. Budidaya ayam di desa Larangan Luar cukup banyak, ada dua ayam yang diternak yaitu ayam pedaging dan ayam petelur, akan tetapi yang domenan adalah ayam pedaging. Selain itu, ada yang bekerja sebagai pengayuh becak dan pengendara becak motor, serta memiliki usaha membuka bengkel.


(62)

53

Masyarakat Desa Larangan Luar, dalam pekerjaannya, tidak hanya memegang satu pekerjaan saja. Satu individu dapat memegang beberapa pekerjaan, rata-rata memang bertani dan berternak, karena setiap rumah memiliki tanah masing-masing, entah itu berada di belakang rumah ataupun jauh dari rumah. Dan juga, mengenai peternakan, hampir setiap rumah memang memiliki minimimal dua sapi, empat kambing, dan beberapa ayam. Meskipun beternak dan bertani mereka jalani setiap harinya, ada juga yang berdagang, bekerja sebagai kuli bangunan, mengayuh becak atau pengendara becak motor, dan juga nelayan.

4. Kehidupan Keberagamaan Larangan Luar

Penduduk desa Larangan Luar seluruhnya beragama islam dan pengamal agama islam, hal itu tercermin dengan kehidupan masyarakat larangan luar yang agamis. Kehidupan agamis masyarakat bukan hanya tercermin dari kegiantan ibadah sholat lima waktu, pelaksanaan ibadah puasadan ibadah zakat saja, akan tetapi tercermin dari sikap tolong menolong diantara warga masyarakatdan tercipta kerukunan sebagai bentuk ke solehan sosial.

Untuk kegiatan keagamaan, setiap malam jum’at disetiap masjid pasti melakukan kegiatan rutin seperti diba’an, namun terkadang ada juga yang melaksanakn diba’an pada malam selasa. Juga di setiap bulan tepatnya pada malem jumat legi di adakan acarajelenianyang di peruntukkan kepada syaikh


(63)

54

Abdul Qodir Jailani yang telah berjasa kepada umat islam khususnya bagi

madzhab Syafi’i.

Desa Larangan Luar memiliki 16 masjid, yang terletak disetiap Dusun. Dan untuk langgar/mosolla, masyarakat Desa Larangan Luar hampir disetiap rumah memiliki langgar sendiri, total semuanya 85 langgar. Untuk tempat peribadahan lainnya, memang tidak ada, karena secara keseluruhan, masyarakat Desa Larangan Luar beragama Islam.

5. Keadaan Pendidikan Desa Larangan Luar

Pendidikan di desa Larangan Luar bisa dibilang minim, hal itu bisa dilihat dari minimnya minat masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan di desa larangan luar yang berhasil peneliti dapat dari desa sebanya 22 sekolah yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu sekolah formal, sekolah non formal, dan sekolah agama;

a. Sekolah Formal

Sekolah Formal terdiri dari 10 sekolah yang terbagi skolah negeri sebanyak 3 sekolah dan sekolah swasta sebanyak 7 sekolah, sedangkan untuk total pengajar sebanyak 143 diseluruh sekolah formah yang ada di larangan luar. Sedangkan untuk jumlah siswa sebanyak 1342.


(64)

55

b. Sekolah Nonformal

Sekolah Nonformal terdiri dari 4 sekolah, sedangkan untuk total pengajar sebanyak 46 diseluruh sekolah formah yang ada di larangan luar. Sedangkan untuk jumlah siswa sebanyak 250.

c. Sekolah Agama

Sekolah Agama terdiri dari 8 sekolah, sedangkan untuk total pengajar sebanyak 57 diseluruh sekolah formah yang ada di larangan luar. Sedangkan untuk jumlah siswa sebanyak 346.

Pendidikan di desa larangan luar bisa dikatakan belum optimal, itu bisa dilihat dari data berntuk tabil yang telah peneliti kumpulkan. Harus ada peningkatan dan kerja sama antara masyarakat dan kepala pemerintahan yang khusus bertugas atas kemajuan pendidikan di desa larangan luar.

6. Karekteristik Masyarakat Larangan Luar

Karkteristik masyarakat Larangan Luar, saling bahu-membahu, hal ini dibuktikan, ketika ada orang yang ingin mengadakan selametan dirumahnya, para ibu-ibu yang lain akan membantu segala sesuatunya seperti memasak dan menyiapkan hidangan untuk selametan tersebut. Kemudian ketika ada orang yang ingin membongkar rumah lamanya untuk membangun rumah yang baru. Proses pembongkaran rumah tersebut di bantu oleh bapak-bapak yang lain.

Tradisi adalah adat-istiadat dan kepercayaan yang secara turun-temurun dipelihara. Tardition, greatyaitu kebudayaan yang secara sistematis


(1)

84

juga tentang harga diri yang harus dijunjung tinggi. Seperti misalnya, dalam kegiatan yang bersifat umum, pemilihan kepala desa yang melibatkan masyarakat larangan luar secara keseluruhan. Masyarakat larangan luar untuk menjaga perhelatan pemilihan umum tersebut selalu membawa sekep. karena begitu rawannya serangan fajar yang biasanya terjadi setiap pemilihan.

Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi diri didalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial kedalam diri atau realitas sosial menjadi realitas subjektif. Realitas sosial itu berada didalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi didalam dunia sosio-kultural. Masyarakat larangan luar mempunyai rasa memiliki serta mempunyai rasa tanggung jawab dalam tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur, yaitu nyikep. Karena sudah menajadi bagian hidup disetiap individu. Masyarakat yang nyikepatau yang tidak memakai sekep selalu hidup rukun selalu menghargai satu sama lain. Ini dikernakan ada rasa saling memiliki, masyarakat yang tidak nyikep misalnya menghargai kepada individu

yang nyikep karena tradisi nyikep ini merupakan tradisi dari paraleluhur yang


(2)

85

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebiasaan secara turun-temurun yang dilakukan masyarakat menjadi identitas tersendiri, sebab tradisi yang dimiliki masyarakat, berbeda-beda. Misalnya bagi masyarakat Desa Larangan Luar tradisi nyikep celurit tentunya tidak terlepas dari kaedah-kaedah atau norma sosial, Tindakan nyikep celurit merupakan hasil tradisi turun temurun sehingga kemudian secara sadar menjadi suatu kebiasaan dalam mengantisipasi dari berbagai kemungkinanan yang akan terjadi, dengan demikian kebiasaan tersebut menjadi penilaian tersendiri bagi orang yang nyikep celurit serta penilaian dari luar dirinya.

Pada awal munculnya sejarah nyikep yaitu ketika pada abab 18 M, nyikep bermakna sebagai bentuk perlawanan terhadap para penjajah yang sewenang-wenang terhadap masyarakat pribumi, yang diprakarsai oleh pak sakera yang merupakan tokoh Madura yang sangat membenci Belanda. Akan tetapi seiring berjalannya waktu nyikep berkembang dari berbagai alasan seperti misalnya malah harga diri yang sangat di junjung tinggi oleh masyarakat larangan luar, nyikep adalah cara melindungi keluarga, berjaga-jaga dari kemungkinan kejahatan yang datang tiba-tiba dll.

Sedangkan teori yang digunakan yaitu teori kontruksi sosial yang mempunyai tiga tahap, yaitu; eksternalisasi adalah proses pencurahan kedirian manusia secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya. Pada tahap eksternalisasi dalam penelitian ini ditunjukkan


(3)

86

kepada masyarakat Desa Larangan Luar tentang tradisi Nyikep. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya menjaga tradisi leluhur, dan juga meluruskan kembali maksud dan tujuan nyikep. Kearifan lokal yang berlaku dilingkungan masyarakat larangan luar merupakan warisan para leluhur dan selanjutnya akan diwariskan dari generasi ke generasi, yang merupakan jati diri dari orang masyarakat larangan luar.

Objektivasi dimana individu akan berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosio-kulturalnya. Didalam objektivasi, realitas sosial tersebut seakan-akan berada di luar diri manusia. Ia menjadi relitas objektif, sehingga dirasa aka nada dua realitas yakni realitas diri yang subjektif dan realitas yang berada diluar diri yang objektif. Dalam hal ini dimana masyarakat larangan luar akan berusaha mengambil peran didalam masyarakat dengan mengikuti tradisi yang berlaku sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pada umumnya dan mereka akan merasa sebagai bagian dari masyarakat pada umunya. Sehingga mereka mengidentifikasi diri dengan lingkungan sosio-kulturalnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut tidaknya hanya tentang kekerasan, akan tetapi juga tentang harga diri yang harus dijunjung tinggi.

Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi diri didalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial kedalam diri atau realitas sosial menjadi realitas subjektif. Masyarakat larangan luar mempunyai rasa memiliki serta mempunyai rasa tanggung jawab


(4)

87

dalam tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur, yaitu nyikep. Karena sudah menajadi bagian hidup disetiap individu.

B. Saran

1. Di dalam segmen kehidupan tradisi yang penuh dengan fariasi tradisi harus berjalan dan mempunyai tujuan dengan baik, bagi masyarakat Desa Larangan Luar yang terbiasa nyikep harus mempunyai tujuan yang baik. Harus meluruskan niat yang baik, bukan asal nyabet orang.

2. Tradisi nyikep menyimpan makna yang baik semoga tidak mudah keluar jalur dari makna tersebut bagi masyarakat Desa Larangan Luar yang terbiasa nyikep saat keluar rumah.

3. Kelompok adalah tempat interaksi sosial, bagi masyarakat Desa Larangan Luar yang nyikep celurit semoga tidak mengandung makna-makna kekerasan.

4. Untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian terkait tradisi-tradisi yang berada di masyarakat. Karena banyak sekali tradisi-tradisi yang perlu diketahui untuk menambah wawasan kelimuan, khususnya bidang sosio kultural. Tradisi di suatu masyarakat merupakan ciri khas dan identitas dari masyarakat. Berbeda wilayah, berbeda pula tradisi yang dimiliki oleh masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ary, Donald.Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, terjemahan Arief Furchan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Berger, Peter L.Kabar Angin Dari Langit, Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1992. Berger, Peter L.Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES,1994. Bungin, Burhan.Sosiologi Komunkasi, Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006. Hafid, Moh Efendy.“Lokal Wisdow dalam Tembang Macapat Madura.”Jurnal

Bahasa Dan Sastra 1 No. 1(2015).

Imayanto, Rachmad Tri.“Identitas Kaum Blatter Madura,”diakses tanggal 21 Juni 2016, http://www.kompasiana.com/www.r3iarosbaya.blogspot.com /identitas-kaum-blater-madura_54f913eea3331169018b461f

Johanes, Mardimin.Jangan Tangisi Tradisi, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Kartiko, Restu.Asas Metodologi Penelitian, Yogjakarta: Graha Ilmu, 2010.

Ma’arif, Syamsul.The Historis Of Madura, Sejarah Panjang Madura Dari Kerajaan, Kolonealisme Sampai Kemerdekaan, Yogyakarta, Araska, 2015.

Moleong, Lexy J. Metode Penilitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosadakarya, 2006.

Narbuko, Cholid., dan Abu Ahmadi.Metode Penilitian,Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Prastowo, Andi. Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif,

Yogyakarta: Diva Press, 2010.

Soekanto, Soerjono.Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada,1993. Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta, 2004.

Sugiyono.Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2014. Syam, Nur.Islam Pesisir,Yogyakarta: LKiS, 2005.


(6)

Taufiqurrahman. “Islam dan Budaya Madura” Bahan presentasi pada forum Annual

Conference on Contemporary Islamic Studies, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, di Grand Hotel Lembang Bandung, 26–30 November 2006.

Wijaya, Latief. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang

Madura,Yogjakarta, LKiS, 2006.

Widi, Sugiyono.Memahami Penelitian Kualitatif,Bandung: CV. Alfabeta, 2014.

Zain, M.Peranan K. Abdur Rahim dalam Membendung Pertikaian“Carok” diDesa Cangkarman Konang Bangkalan Madura,Surabaya, Uinsa, 2014.