Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

(1)

TRADISI MASYARAKAT DESA JANJI MAULI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN (1900-1980)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH :

NAMA : LASRON P. SINURAT NIM : 100706055

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).

Kerukunan hidup masyarakat di Sipirok baik sesama masyarakat, maupun antar umat beragama tercermin dari segi-segi perbuatan. Masyarakat Janji Mauli mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi sebagai alat untuk menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Pendidikan terhadap masing-masing individu masyarakat Janji Mauli dimulai dari keluarga, yang mengajarkan holong/kasih terhadap semua orang. Kehidupan sosial masyarakat Janji Mauli tidak terlepas dari adat. Dalihan Na Tolu (mora, kahanggi, anak boru) sebagai filosofi hidup masyarakat wajib dilaksanakan oleh setiap masyarakat baik dalam pesta adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, nilai-nilai tradisi yang terdapat pada masyarakat Janji Mauli mampu menjaga kerukunan antar umat beragama dan membawa kedamaian.


(7)

KATA PENGANTAR

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Di Tapanuli Selatan dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini tidak terlepas dari masyarakat desa yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial, peperangan, masuknya kekuasaan politik Kerajaan tertentu dari luar maupun dari dalam daerah Tapanuli Selatan dan juga kekuasaan asing.

Kebudayaan yang terdapat di negara Indonesia tidak terlepas dari masyarakat desa yang terus menjaga nilai-nilainya sebagai pedoman hidup. Kebudayaan tersebut tercermin dalam perbuatan masyarakat yang dapat menjaga suasana yang baik sesama masyarakat maupun antar umat beragama yang tubuh pada masyarakat, seperti yang terdapat di Desa Janji Mauli, Kecamatan Sipirok. Masyarakat menjadikan tradisi sebagai alat untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.

Masuknya agama Kristen ke Sipirok pada tahun 1856 yang dibawa oleh Van Asselt membuat perubahan dalam sistem kepercayaan pada masyarakat. Sistem kepercayaan yang ada pada masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya kepercayaan tradisional yang pada hakekatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahkluk yang lemah dan memiliki kekuatan dan kemampuan


(8)

yang terbatas, maka masyarakat percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan dirinya (baca: Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, hal. 25).

Setelah masuknya agama Kristen dan Islam ke Tapanuli Selatan memberi suatu kepercayaan baru yang menjadikan masyarakat lebih modern, dengan cara berfikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan. Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan. Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan dengan baik sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu.

Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga antara Agama Islam yang mayoritas dengan Agama Kristen yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketentraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik

Desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat beragama Kristen dan bersuku Batak Toba membuat desa ini berbeda dengan desa lainnya yang


(9)

terdapat di Sipirok. Desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang masyarakatnya adalah beragama Islam. Masyarakat dapat menjalin hubungan kekeluargaan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat luar dengan cara mempertahankan tradisi yang telah dipercayai oleh masyarakat.

Medan, April 2015 Penulis,


(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Ungkapan ini adalah ucapan rasa syukur penulis kepada orang-orang yang telah berjasa dan banyak membantu namun tidak pernah sekalipun mengharapkan balasan maupun imbalan hingga penulisan skripsi ini selesai. Oleh karena itu pula pada kesempatan ini penulis mengucapkan puji dan syukur serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena penyertaan-Nya kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.

1. Kepada Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya.

2. Kepada Drs. Edi Sumarno, M. Hum. selaku ketua Departemen Sejarah, dan Drs. Nurhabsyah, M.Si yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis.

3. Kepada Ibu Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. sebagai dosen pembimbing yang selalu mengingatkan penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini dan banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Kepada Bapak Drs. Timbun Ritonga selaku dosen wali penulis yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis semasa mengikuti perkuliahan di jurusan Ilmu Sejarah, USU.

5. Serta kepada para dosen Departemen Sejarah, dan dosen departemen lainnya yang pernah mengajar di jurusan Ilmu Sejarah, yang telah memberikan pengetahuan baru kepada penulis selama belajar sejarah selama ini.


(11)

6. Kepada kedua orang tua, Bapak U. Sinurat dan Ibu H. Sitanggang yang selama ini telah banyak memberikan dukungan baik doa dan materi yang tak pernah putus serta selalu mendukung penulis dalam setiap langkah. Semangat yang diberikan kepada penulis sebagai anaknya untuk terus belajar dan menggapai pendidikan setingg-tingginya juga ketulusan serta kekuatan hati dalam mendidik penulis adalah sebuah nilai yang tiada taranya dan sebagai penyulut semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada keluarga besar yang banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis, terkhusus buat Lae Bapak Chelsi Sihotang/Br. Sinurat, Abang Bapak Debora Sinurat/Br. Sihombing, Lae Bapak Adi Gultom/Br. Sinurat, Lae Bapak Silvia Turnip/Br. Sinurat, Abangda Ferlandos Sinurat, Kakak Ernita Sinurat, dan kepada adek satu-satunya Romada Sinurat. Terimakasih atas semangat, nasehat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, khususnya kepada teman-teman stambuk 2010 (KISRUH). Stepanus, Heri, Wilson, Evan, dan lain-lainnya kegilaan hidup bersama kalian tidak akan terhapus dari jejak langkah sejarah penulis.

9. Kepada rekan juang KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Bunda Siska Tampubolon, Ira Purba, Reina Sirait, Bintang Kasih Sitinjak, Veronika,


(12)

Bung Jakob Siringoringo, Bung Qibing, Bung Erwin Sipahutar, Bung Hotden Simanjuntak, Bung Andri Tarigan, Parjo, Rivay Pakpahan, Goklas, Dani, Alponso, dan para anggota lainnya, terimakasih atas dukungan dan semua proses yang telah dijalani penulis, sehingga penulis bisa lebih mengerti makna sebuah kehidupan. Penulis telah tersesat di jalan yang benar bersama kawan-kawan. HIDUP MAHASISWA!!!

10.Kepada rekan-rekan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Tano Batak, Bung Ganda Simanjuntak, Bung Jakob Siringoringo, Bung Jhon Toni Tarihoran, Bung Pancur Simanjuntak, dan Kakak Delvi Nababan, yang telah membantu penulis dalam mengerjakan Skripsi ini, terimakasih atas kritikan dan saran yang telah diberikan kepada penulis.

11.Kepada seluruh masyarakat Janji Mauli yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala Desa dan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Janji Mauli. Terkhusus kepada Amangboru Op. Desta Siregar/Br. Tambunan yang telah menerima penulis untuk tinggal di rumahnya dan sebagai teman penulis berdiskusi selama penulis tinggal di Huta Janji Mauli. Semoga perjuangan masyarakat Adat Janji Mauli dapat tercapai dan Tuhan selalu beserta kita.

Penulis menyadari bahwa skripsi sejarah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik historis yang ilmiah serta objektif sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki


(13)

tulisan ini dalam usaha melakukan rekonstruksi sejarah. Sebagai penutup penulis menyampaikan kepada semua pihak semoga skripsi ini dapat menambah referensi dan pembendaharaan tulisan sejarah.

Medan, April 2015


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….………...i

KATA PENGANTAR……….….……...ii

UCAPAN TERIMA KASIH………...v

DAFTAR ISI……….………..ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Rumusan Masalah...6

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

1.4Tinjauan Pustaka...8

1.5Metode Penelitian...11

BAB II GAMBARAAN UMUM DESA JANJI MAUL...14

2.1Kondisi Alam dan Geografis...14

2.2Sejarah Desa Janji Mauli...17

2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli...22

2.4Penduduk/Demografi...28

BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA JANJI MAULI...31

3.1 Susunan Masyarakat...31

3.2 Kehidupan Sosial...34

3.3 Lembaga Adat...39


(15)

3.5 Sistem Mata Pencaharian...44

3.5.1 Tanah sawah/Persawahan...45

3.5.2 Tanah Darat/Perkebunan...47

3.5.3 Tombak/hutan…...49

3.5.4 Parjampalan/Tempat pengembalaan ternak………...49

BAB IV TRADISI DAN MASYARAKAT JANJI MAULI TAHUN 1900-1980...51

4.1 Adat Istiadat...51

4.2 Hukum Adat...61

4.2.1 Sistem Kepemilikan Tanah…...63

4.2.2 Sistem Pembagian Kerja...64

4.2.3 Sanksi Sosial...65

4.3 Kearifan Lokal...66

4.4 Tradisi Marjambar...67

BAB V PENUTUP...71

5.1 Kesimpulan...71

5.2 Saran...73

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(16)

ABSTRAK

Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).

Kerukunan hidup masyarakat di Sipirok baik sesama masyarakat, maupun antar umat beragama tercermin dari segi-segi perbuatan. Masyarakat Janji Mauli mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi sebagai alat untuk menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Pendidikan terhadap masing-masing individu masyarakat Janji Mauli dimulai dari keluarga, yang mengajarkan holong/kasih terhadap semua orang. Kehidupan sosial masyarakat Janji Mauli tidak terlepas dari adat. Dalihan Na Tolu (mora, kahanggi, anak boru) sebagai filosofi hidup masyarakat wajib dilaksanakan oleh setiap masyarakat baik dalam pesta adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, nilai-nilai tradisi yang terdapat pada masyarakat Janji Mauli mampu menjaga kerukunan antar umat beragama dan membawa kedamaian.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Kurang lebih 81,2% rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa.1 Partisipasi masyarakat pedesaan sangat diperlukan bagi berhasilnya pembangunan dan sekaligus dapat meningkatkan penghidupan masyarakat di pedesaan. Desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya.2 Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lainnya.

Desa sebagai suatu kesatuan teritorial dan administrasi yang terkecil di Indonesia sudah banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti di luar ilmu sejarah.3 Oleh karenanya, sangatlah penting bagi seorang sejarawan untuk meneliti dan menggarap lebih dalam tentang kehidupan sosial masyarakat pedesaan, dan salah

1

R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, hal.11.

2

Ibid. hal. 12.

3


(18)

satunya adalah desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Dinamika kehidupan masyarakat Sipirok yang terus berkembang menuntut adanya perbaikan tatanan kehidupan, demi kesejahteraan masyarakat. Maka dibentuklah sebuah huta atau desa untuk mengelola tanah yang masih kosong dan layak untuk mendorong kehidupan ekonomi masyarakat, salah satunya adalah huta

(desa) tersebut adalah Janji Mauli. Jauh sebelum masa kolonial, masyarakat Batak tidak mengenal negara, penduduk hanya mengenal kampung-kampung yang disebut dengan huta.4

Dalam sejarah Batak Angkola-Sipirok, untuk mendirikan sebuah huta atau desa, harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk sekurang-kurangnya tiga keluarga „dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi (bersaudara),

anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan, peternakan atau perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua kalangan di dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat.5

4

Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940,

Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 6.

5

Akhir Matua Harahap, Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban), http://akhirm.blogspot.com, diakses tanggal 05 Februari 2015.


(19)

Demikian halnya dengan huta Janji Mauli yang sudah ada sejak akhir tahun 1889 dan diresmikan pada awal tahun 1900 melalui sebuah horja godang (pesta besar). Nama Janji Mauli yang berarti janji yang indah. Masyarakat menamai desa tersebut dengan nama Janji Mauli karena masyarakat telah menepati janji mereka kepada seorang pendeta di Sipirok untuk mendirikan gereja di desa tersebut dan desa ini sangat indah sebagai tempat persinggahan para pedagang yang datang dari Sidempuan menuju Sipirok, dan sebaliknya. Masyarakat yang pertama tinggal di huta

Janji Mauli pada awalnya adalah berjumlah 6 keluarga dan hanya 3 marga (klan), yaitu empat diantaranya adalah bermarga Siregar (sebagai kahanggi dan mora), Pohan Simanjuntak (sebagai anakboru), dan Simatupang adalah Pisang Raut/ Bere

dari marga Pohan Simanjuntak.6 Dalam hal pemerintahan, desa ini dipimpin oleh seorang Kepala Kampung,7 yaitu Mangaraja Porkas Siregar.

Janji Mauli merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di bawah Kecamatan Sipirok, yang dihuni oleh Suku Batak Toba. Hingga akhir tahun penulisan ini, tahun 1980, penduduk desa Janji Mauli seluruhnya menganut agama Kristen (Huria Kristen Batak Protestan) dan menggunakan Adat Batak Angkola. Bagi masyarakat Janji Mauli yang homogen dan masih konservatif, agama bukanlah suatu penghambat dalam melaksanakan berbagai pesta adat dan penghalang untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat luar.

6

Nipleli Pohan, Artike: Sejarah Janji Mauli, 1 Juli 1993, hal. 3.

7

Kepala Kampung adalah tingkat ketujuh pada sistem pemerintahan Belanda, tingkat terendah di bawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah


(20)

Secara umum, mata pencaharian masyarakat Janji Mauli adalah bertani dan berternak. Hal ini didukung oleh kondisi alam dan kontur tanah yang sangat bagus untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Pertanian merupakan faktor utama dari kelanjutan hidup masyarakat secara keseluruhan. Cara bertani masyarakat juga dilakukan dengan sistem tradisional, dimana masyarakat masih bergantung kepada alam. Sebagai contohnya adalah menanam padi, masyarakat masih menggunakan kerbau sebagai peralatan untuk mengelola tanah, dan dilakukan sekali setahun dengan mengikuti curah hujan.

Luas desa Janji Mauli adalah sekitar 600 ha, masyarakat dapat mengelolah lahan dengan baik untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, baik sandang maupun pangan. Dalam hal mengelolah lahan pertanian, masyarakat membaginya menjadi empat kategori yaitu tanah sawah, tanah darat, tombak, dan panjampalan horbo.8

Keberlangsungan hidup pada masyarakat Janji Mauli secara umum, sangat baik dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat. Nilai-nilai tradisi yang sudah tertanam pada diri setiap individu penduduk dan sudah ada sejak dulu menjadi modal bagi semua masyarakat untuk menjaga kerukunan, baik sesama umat beragama, maupun antar umat beragama.

8


(21)

Pada umumnya masyarakat Batak Angkola-Sipirok menganut agama Islam, dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen. Nilai religi pada masyarakat Angkola-Sipirok adalah nilai-nilai Islam.9 Tetapi, desa Janji Mauli yang dihuni oleh masyarakat yang beragama Kristen dapat membina hubungan yang baik dan tidak pernah terjadi konflik sosial antar umat beragama.

Letak geografis desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang penduduknya adalah 100% beragama Islam. Secara keseluruhan, hanya desa Janji Maulilah yang penduduknya 100% beragama Kristen di Sipirok. Namun, tidak pernah terjadi konflik sosial pada masyarakat. Masyarakat sangat menghargai perbedaan agama, dan menganggap bahwa seluruh masyarakat yang berada di Sipirok adalah masih berkeluarga.

Dalam menata kehidupan yang aman dan tenteram sesama penduduk dan antar umat beragama dengan desa luar, maka setiap keluarga menanamkan nilai-nilai adat pada setiap individu anggota keluarganya. Adat merupakan kaidah atau norma-norma yang menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat. Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola-Sipirok menjadi suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup bermasyarakat. Hal inilah yang juga menjadi panutan dan sebagai penopang bagi

9


(22)

masyarakat Janji Mauli untuk mempertahankan dan menjalin interaksi yang baik dengan masyarakat luar yang berbeda agama.

Dengan adanya sebuah desa yang dapat mempertahankan eksistensinya dalam tradisi hingga berpuluh tahun lamanya, dan mampu membangun kehidupan yang rukun dan tenteram di sekitarnya, maka oleh penulis sangat menarik untuk mengkajinya dalam konteks sejarah sosial. Agar pembabakan waktunya tidak terlalu luas, maka ditentukan periodisasi penulisan. Penelitian diawali mulai dari tahun 1900 di mana pada tahun inilah diresmikan desa Janji Mauli dan mulai dibangunnya gereja HKBP Janji Mauli. Sementara itu batas penulisan penelitian ini diakhiri pada tahun 1980, karena pada tahun inilah masyarakat tidak lagi termasuk di dalam naungan HKBP, berpindah ke GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan.

Sesuai dengan judul “Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli, Kec. Sipirok, Kab. Tapanuli Selatan (1900-1980)”, maka dibuatlah batasan pokok. Untuk


(23)

mempermudah permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli?

2. Bagaimana kehidupan masyarakat Desa Janji Mauli dari tahun 1900 sampai 1980?

3. Apa tradisi yang berlaku pada masyarakat Desa Janji Mauli sejak tahun 1900 sampai 1980?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah penulis menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini, maka selanjutnya adalah menentukan tujuan penulis dalam melakukan penulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik.

Adapun tujuan penelitian ini adalah.

1. Menjelaskan latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli di Kecamatan Sipirok.

2. Menjelaskan perkembangan kehidupan masyarakat desa Janji Mauli di Kecamatan Sipirok.


(24)

3. Menjelaskan tradisi yang berlaku pada masyarakat desa Janji Mauli di Kecamatan Sipirok sejak tahun 1900 sampai 1980.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Agar masyarakat di desa Janji Mauli mengetahui sejarah desa Janji Mauli. 2. Supaya masyarakat dapat membandingkan kehidupan sosial dulu dengan

sekarang dan juga untuk mengetahui perkembangan pola pikir masyarakat desa Janji Mauli.

3. Menambah wawasan pembaca dalam mengetahui tradisi masyarakat Janji Mauli di Kecamatan Sipirok.

4. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.

Lance Castles, dalam Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1915-1940 (2001), menjelaskan perubahan Tapanuli akibat kolonialisme yang ditulis berdasarkan penelitian. Penjajahan di Tapanuli telah membawa perubahan yang begitu mendasar dalam peri kehidupan masyarakat Batak. Demikian


(25)

dalamnya perubahan tersebut hingga tidaklah mungkin kita memahami masyarakat Tapanuli dewasa ini tanpa terlebih dahulu mengerti sosok kekuasaan penjajah.

Buku ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah suatu daerah di Indonesia dan penduduknya. Daerah itu adalah Keresidenan Tapanuli minus Nias dan pulau-pulau lepas pantai lainnya. Bagian daratan keresidenan itu didiami oleh kelompok etnis Batak, sedangkan Nias didiami oleh kelompok etnis lainnya, dan karena itu sebaiknya merupakan pokok penelitian yang terpisah. Karena pentingnya masalah emigrasi ke berbagai daerah lainnya di Indonesia dalam kehidupan Tapanuli sebelum perang.

Uli Kozok, dalam Utusan Damai di Kemelut Perang : Peran Zending dalam Perang Toba (2010), mengulas perjalanan seorang zending Nomensen di Tanah Batak. Uli kozok lebih menjelaskan perjumpaan para zending dengan masyarakat Batak Toba. Uli Kozok menulis peran Misi Protestan Jerman dalam sejarah Tanah Batak dan dalam perkembangan masyarakatnya. Melalui dokumen-dokumen otentik (surat-surat dan artikel para misionaris), Uli Kozok membuktikan bahwa para misionaris meminta Pemerintah Belanda agar menganeksasi daerah Silindung dan Toba, bahkan ikut sendiri secara fisik dalam Perang Batak I, pada tahun 1878. Uli Kozok menuliskan secara rinci pengalaman para penginjil (zending) di Tanah Batak. Dia menuliskan sejarah masuknya injil ke Tanah Batak, melalui tokoh-tokoh. Buku ini secara beruntun memaparkan tokoh-tokoh yang pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak.


(26)

van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1998), menjelaskan suatu gambar sederhana mengenai perkembangan kebudayaan, sebuah skema yang dapat kita pakai dalam situasi-situasi yang selalu berganti rupa dan yang kita alami sendiri. Berpangkal pada teori informasi van Peursen melihat kebudayaan sebagai siasat manusia menghadapi hari depan. Dia melihat kebudayaan itu sebagai suatu proses pelajaran yang terus menerus sifatnya. Van Peursen menyajikan suatu model kebudayaan yang bertahap tiga: tahap mitologis, ontologis, dan fungsional. Cara pendekatannya adalah struktural dan bukan fenomenologis atau berdasarkan teori pengetahuan.

Soetomo dalam Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat (2008), menjelaskan dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas antarwilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah kemiskinan.


(27)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim disebut dengan metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis.10 Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadiann pada masa yang telah berlalu.

Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan, yaitu:

Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan judul yang dikaji. Kemudian penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini. Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah disebutkan di atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang relevan dengan fokus penelitian. Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung ilmu

10

Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2007, hal. 53.


(28)

sejarah disebut auxiliary sciences atau sister disciplines,11 yang penggunaannya tergantung pada pokok atau periode sejarah yang dikaji. Ilmu bantu mempunyai fungsi-fungsi penting yang digunakan oleh para sejarawan dalam membantu penelitian dan penulisan sejarah, sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya ilmiah. Ilmu bantu dalam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang analitis-kritis ilmiah.12

Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan Perpustakaan Daerah. Kritik ini disebut kritik intern. Mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern.

Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan

11

Ibid., hal. 49.

12


(29)

dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif.

Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.

Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20 dan ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik “ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.13

13


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA JANJI MAULI

2.1 Kondisi Alam dan Geografis

Secara geografis, desa Janji Mauli berada di Indonesia bagian Barat dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 1o31‟33,36” Lintang Utara dan 99o19‟08,64” Bujur Timur.14 Dan secara administratif, sejak tahun 1970 hingga sekarang, desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Desa Janji Mauli pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan sebuah kampung,15 yang dipimpin oleh Mangaraja Porkas Siregar16 sebagai kepala kampung. Secara administratif berada di bawah Kuria Baringin, yang dipimpin oleh Sutan Parlindungan, tepatnya di Sipirok. Pengaruh Kuria Baringin terhadap tatanan kehidupan pada masyarakat Janji Mauli sangat besar, mulai dari pembangunan desa, adat, hingga agama masyarakat.

14

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. IV.

15

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda nama Huta diganti menjadi Kampung. Kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung, dan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin Huta dihapuskan.

16


(31)

Pemukiman masyarakat desa Janji Mauli sudah sangat teratur sejak dahulu. Rumah panggung yang dibangun berhadap-hadapan hingga membentuk sebuah persegi panjang, dan dibelah oleh jalan untuk menuju desa tersebut. Di tengah-tengah pemukiman, masyarakat membangun sebuah gereja sebagai tempat peribadatan masyarakat. Jumlah pemukiman sejak didirikannya desa Janji Mauli selalu berkembang, karena kepadatan penduduk yang semakin bertambah.

Desa ini dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang, karena pada dasarnya untuk mendirikan sebuah huta atau desa, masyarakat harus menanam tiga jenis tanaman yang merupakan lambang suatu huta atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud adalah pohon beringin, pohon bambu, dan sirih.17 Selain dikelilingi tanaman tersebut, desa ini juga dikelilingi oleh tali air (irigasi), yang fungsinya adalah untuk mengairi persawahan yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga untuk kebutuhan hidup masyarakat desa Janji Mauli.

Luas wilayah desa Janji Mauli adalah sekitar 600 Ha, yang jumlah penduduknya sekitar 150 jiwa dan 47 kepala keluarga. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan manfaat, yaitu pemukiman, persawahan, perkebunan, pengembalaan ternak, tombak, dan pekuburan/makam masyarakat.18 Kebanyakan penghuni ataupun penduduk yang tinggal dan mendiami desa adalah anak-anak yang berumur antara 1-15 tahun dan para orang tua yang berumur antara 40-80 tahun. Para

17

Lihat hasil musyawarah lembaga Adat-Budaya Kec. Sipirok. Berjudul: Adat Budaya Angkola-Sipirok Haruaya Mardomu Bulung Napa-Napa Ni Sibual-buali, tahun 1997, hal. 108.

18


(32)

kaum muda Janji Mauli yang berumur 16-30 tahun kebanyakan mengakses pendidikan keluar, karena tidak tersedianya Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT) yang dekat dengan desa. Dan selebihnya mencari pekerjaan di perantauan.

Desa Janji Mauli dapat ditempuh hanya dengan waktu setengah jam di perjalanan, dengan jarak sekitar 10 km dari pusat kota Sipirok. Desa Janji Mauli merupakan perbatasan antara Kota Sipirok dengan Sidempuan. Perjalanan dari Sipirok menuju desa Janji Mauli melewati beberapa desa, diantaranya adalah desa Simaningir, desa Sosopan, desa Huta Raja, desa Mandurama, desa Situmba Aek Horsik, desa Situmba Gunung Tua Baringin, desa Situmba Godang, desa Saba Siala, desa Aek Siporda, desa Kilang Papan, dan desa Dano Situmba. Selain melewati desa-desa tersebut, pegunungan dan bukit yang indah dan dipenuhi dengan pohon-pohon yang rindang ikut menghiasi perjalanan menuju desa tersebut.

Kondisi alam di desa Janji Mauli dengan iklim yang selalu berganti dan curah hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian. Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, dan pengelolaan tanah yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Dalam hal mengelolah lahan pertanian, masyarakat membagi dua jenis yaitu persawahan dan perkebunan. Hasil persawahan biasanya adalah padi, kacang, dan jenis tanaman palawija. Sedangkan, hasil perkebunan adalah kopi, karet, cokelat, kulit manis.


(33)

Pada saat malam musim hujan, desa Janji Mauli kerap ditutupi kabut. Air irigasi untuk persawahan milik masyarakat mengalir dengan deras mengelilingi desa tersebut. Saat musim kemarau tiba, masyarakat tidak perlu takut kekurangan air, karena pada dasarnya tali air/irigasi selalu mengalir dari bukit-bukit di atas desa Janji Mauli.

Jarak antara desa Janji Mauli dengan desa-desa di sekitarnya tidak begitu jauh, hanya dipisahkan oleh areal pertanian dan tali air milik penduduk. Adapun batas-batas desa Janji Mauli dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:

 Sebelah Timur berbatasan dengan desa Tolang

 Sebelah Barat berbatasan dengan Bulung Ihit/Ri Nabolak

 Sebelah Utara berbatasan dengan Aek Batang Miha

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bendi/Dusun Sitorbis.

2.2 Sejarah Desa Janji Mauli

Pada tahun 1882, Thomas Gelar Mangaraja Naposo bekerja sebagai Opzekter

(pengawas pembangunan) jalan di Pemerintahan Belanda. Beliau hilir mudik melaksanakan tugas di daerah Tapanuli. Banyak pengalaman dan cara berfikir yang sudah lebih maju, karena pada saat itu beliau menjadi mitra Pemerintahan Belanda di Sipirok. Thomas gelar Mangaraja Naposo adalah seorang tangan kanan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sipirok.


(34)

Pada saat itu, timbullah keinginan Thomas untuk meningkatkan pendapatan rakyat Kuria Baringin, supaya cukup untuk keperluan sehari-hari. Muncullah perencanaan pembukaan lahan pertanian pada saat ia menjalankan tugas pada daerah tersebut. Areal pertaniannya cukup luas jika dikelolah dengan baik, dan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Kuria Baringin. Atas ide dari Thomas tersebut, maka diadakan suatu musyawarah di Sipirok yang disetujui oleh Kepala Kuria Baringin. Dalam keputusan musyawarah tersebut disimpulkan akan diberangkatkan sebanyak 50 Kepala Keluarga ke daerah Silantom dan Danau Riman. Maka dibuatlah suatu acara adat, makan bersama di halaman rumah Tuan Hanstein di Sipirok dengan memotong seekor kerbau.19 Dengan marhata Horas-Horas (sepatah dua kata) secara bergiliran sesuai dengan aturan adat yang berlaku agar yang diberangkatkan mendapatkan kesehatan dan berkah di tempat yang akan dituju.

Pada saat pengerjaan di lahan yang baru (Silantom), masyarakat selalu mengalami kegagalan dan kesulitan dalam pembuatan air irigasi untuk persawahan, dan selalu ada masalah di sepanjang parit yang di gali oleh masyarakat, karena struktur tanah yang berpasir. Sehingga membuat masyarakat menjadi merasa jenuh, yang akhirnya parit tersebut tidak terurus dan terlantar. Maka sebagian masyarakat yang diutus dari Sipirok membuka ladang di tempat lain dan sebagian lagi pulang ke tempat asal (Sipirok).

19


(35)

Pada tahun 1899, Mangaraja Naposo mengarahkan masyarakat yang pulang ke Sipirok untuk bergabung dengan rakyat Baringin yang terlebih dahulu sudah membuat air irigasi yang akan membuat ladang persawahan di huta (desa) Danau Riman. Sesuai dengan keputusan musyawarah Kuria Baringin dan rakyat yang dijembatani oleh Thomas Gelar Mangaraja Naposo, supaya diganti/dibayarlah tenaga orang yang telah mengerjakan parit tersebut dengan uang Rp. 25,-.20 Lalu dibuatlah pengumuman di Kuria Baringin, agar dibuatlah huta atau desa baru berdasarkan satu ekor lembu dan makan bersama di ujung parit itu. Maka didirikanlah pemukiman baru yang berukuran 3x4 meter. Direncanakan akan diberangkatkan 6 keluarga pada tanggal 1 Januari 1900 dari Sipirok menuju tempat baru tersebut (Janji Mauli).

Pada tanggal 1 Januari 1900 pada pagi hari, dibuatlah acara Tahun Baru dan memberikan sepatah dua patah kata dari penetua-penetua yang ada pada saat itu. Di berangkatkanlah masyarakat berdasarkan firman tuhan 1 Musa 1, dan setelah selesai bersalaman tahun baru di rumah Tuan Hanstein, Tuan Hanstein memberi nasihat,21 yaitu :

“Mansai maol dope patupahon guruhuria di hamu tikkion. Tapi hudokkon do di hamu, angkon ro do hamu tu Sipirok on. Tapi muda nada

20

Ibid., hal. 4.

21


(36)

songoni angkon baen hamu do parmingguan di ari minggu di hamu asa janjina angkon parjolo do gereja paulion muna unang bagas muna, ima janjina.”22

Sesudah selesai acara pemberangkatan ke kampung yang baru, maka kira-kira pukul 14.00 wib, berangkatlah mereka berjalan kaki sebanyak 6 kepala keluarga. Sampailah mereka kira-kira pukul 16.00 wib, pada tanggal 1 Januari 1900 di kampung yang baru, yang sekarang bernama Desa Janji Mauli.23 Ke-6 kepala keluarga tersebutlah yang menjadi Generasi I (pertama) di Desa Janji Mauli, yaitu:

1. Mangaradja Laloe Siregar 2. Mangaradja Porkas Siregar 3. Baginda Martua Radja Siregar 4. Baginda Naoeli Siregar

5. Baginda Pangaloan Simatupang

6. Baginda Orang Kaya Pohan Simanjuntak

Penduduk yang diberangkatkan ke Janji Mauli ini adalah penduduk dari huta

Bagaslombang yang merupakan keturunan dari Ompu Sutan Hatunggal Siregar, di Kerajaan Sipirok. Siregar yang bertempat tinggal di Janji Mauli ini merupakan

22Arti ya adalah

Masih terlalu sulit untuk membentuk guru sekte untuk kalian pada saat ini, tetapi saya mengatakan kepada kalian, kalian harus datang ke Sipirok ini untuk beribadah, tetapi jika tidak begitu harus kalian buat peribadatan setiap hari minggu untuk kalian supaya janjinya harus duluan kalian mendirikan gereja dari pada ru ah kalia , itulah ja ji ya.

23


(37)

keluarga dari Thomas Gelar Mangaraja Naposo, mereka adalah kahanggi (abang beradik).

Desa Janji Mauli merupakan tempat persinggahan para pedagang yang datang dari Sidempuan ke Sipirok, dan juga sebaliknya. Masyarakat dari Sipirok, Baringin, dan Hutaraja sangat mendukung adanya desa ini, karena bisa menjadi tempat berteduh. Desa ini juga menyajikan pemandangan yang indah sebagai tempat persinggahan. Masyarakat membangun sebuah kedai kopi, sebagai tempat peristirahatan para pedagang.

Untuk menjaga kedai tersebut, masyarakat menyuruh Ompu Mina untuk berjualan goreng. Penghasilan Ompu Mina sangat besar pada masa itu, karena sangkin banyaknya orang biasa dan para pedagang yang singgah. Dalam waktu seminggu, Ompu Mina menjual pisang kepok (pisang goreng) dan menghabiskan dua

kaleng (ember) air dalam satu hari. Untuk membuat air yang enak dan wangi, Ompu Mina membakar daun kopi hingga berwarna merah dan mencampurkannya dengan air tersebut. Air yang enak dan wangi itu tidak dijual oleh Ompu Mina, hanya gorenganlah yang dijualnya sebagai penghasilannya setiap hari.24

Sebelum nama desa Janji Mauli dibuat, desa ini terkenal dengan perpindahan orang Sipirok. Masyarakat membuat namanya sebagai desa Janji Mauli, karena masyarakat telah menepati janjinya kepada seorang pendeta yang telah

24


(38)

menghantarkan mereka ke desa tersebut, yaitu janji untuk mendirikan gereja, dan desa ini sangat indah dipandang dari kejauhan.

2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli

Setelah masyarakat bermukim di desa Janji Mauli, mereka tetap melaksanakan ibadah setiap hari minggu di rumah penduduk yang kecil. Masyarakat tidak lagi pergi ke Sipirok untuk bergereja karena jaraknya sangat jauh. Mereka selalu mengingat nasihat dari Pendeta Tuan Hanstein di Sipirok untuk tetap melaksanakan ibadah. Sintua yang betindak sebagai pembawa dan pelaksana ibadah di gereja ini adalah Sintua Mangaraja Porkas Siregar.

Pada tahun 1901 masyarakat desa Janji Mauli membangun gereja dengan swadaya yang diambil dari daerah sekitar. Mereka dapat menghasilkan 30 lembar kayu dalam 1 hari, dan itu terus menerus dijemput oleh para ibu-ibu kalau sudah siang hari, karena kayu sangat mudah digergaji. Dan kolekte (uang persembahan) gereja dialihkan untuk membeli papan. Harga papan pada masa itu Rp. 1,- (satu rupiah) sudah bisa mendapatkan 10 atau 12 lembar. Belum sampai 1 tahun, mereka mengumpulkan dan menyediakan kayu untuk keperluan gereja dan membuat atap gereja dari seng.

Pada tahun 1905 datanglah guru ke Janji Mauli yaitu Pendeta Kalep Siregar dari Hutaraja, dan dibukalah sekolah zending di Situmba. Sekolah inilah yang


(39)

pertama ada di wilayah Situmba. Murid yang bersekolah hanya 15 orang. Meskipun gereja itu belum selesai dibangun, namun sudah dipergunakan sebagai tempat belajar anak-anak.

Pada tahun 1907 selesailah gereja itu dibangun. Hal ini tidak terlepas dari bantuan Sutan Paruhum dari Situmba dan Mangaraja Usin dari Sialamanjulu. Pada tahun itu juga, Gereja HKBP Janji Mauli diresmikan. Pada saat peresmian, mereka mengundang masyarakat dari Sipirok dan Parlagutan Hutaraja, dan juga dari Padang Matinnggi.

Pada tahun 1912, Tuan Toko Henneman dari Sibolga membuka kebun kopi ke Sialaman dan Tuan Pendeta Kalep Siregar yang mereka percayai untuk memberikan gaji para pekerja yang ada disitu. Dan pendeta itu menyuruh si Ernis gelar Mara Pohan Simanjuntak menjadi mandor kebun itu. Setelah tahun 1913, Sintua Paulus Gelar Marsaidi Simanjuntak menjadi mandor jalan dari sipirok, dan menjadi mandor dari Adian Balakka ke Mandurana, dan mereka juga pindah ke Janji Mauli. Pada tahun 1913 Janji Mauli memiliki kepala keluarga sebanyak 15 kk. Itulah yang masuk ke sekte Janji Mauli, Resort Sipirok. Di Saba Tarutung, ada keluarga yang masuk Kristen yaitu Op. Renda dan mereka sering beribadah ke Janji Mauli.25

Pada tahun 1913 Sintua HKBP Janji Mauli digantikan oleh Sintua Marah Pohan, yang sebelumnya adalah Sintua Mangaraja Porkas. Sintua Mangaraja Porkas

25


(40)

diganti karena beliau diangkat menjadi Kepala Kampung Janji Mauli. Pada tahun 1907 sekolah zending di Situmba Gunung Tua Baringin didirikan, oleh karena itu para muridpun dipindahkan. Berhubung karena sudah dipindahkannya sekolah

zending, maka tahun 1911 guru Kalep Siregar pun pindah dari Janji Mauli. Dan digantikan oleh guru Sarael Tambunan dari Huta Rajalah sampai tahun 1919.

Pada tahun 1919, guru Sarael Tambunan digantikan oleh guru Kondrat Siregar dari Baringin. Pada masa guru Kondrat Siregar, tahun 1925 Huria Janji Mauli merayakan pesta perak. Dibuatlah sebuah pesta syukuran dengan mengundang Huria

Hutaraja, Padangmatinggi, dan Sipirok. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai hidangan makanan Adat Angkola, dan disertai dengan satu ekor lembu.

Guru Kondrat Siregar pindah pada tahun 1927 dari Janji Mauli dan digantikan oleh guru Salman Harahap dari Hasang. Tahun 1928 datanglah guru Daud Harahap dari Padangmatinggi ke Janji Mauli, dan di Janji Maulilah mereka berdua tinggal. Mereka berdualah yang menjadi pelayan di HKBP Janji Mauli, secara bergantian mereka untuk berkotbah setiap ibadah. Pada masa ini, jumlah jemaat Huria Janji Mauli sudah ada 25 Kepala Keluarga. Guru Daud Harahap adalah orang yang sangat rajin dan baik hati untuk mengajari jemaat bernyanyi. Tetapi, pada tahun 1933 guru Daud Harahap sakit parah dan dibawa pulang ke tempat asalnya di Padangmatinggi, dan disana pulalah dia menghembuskan nafas terakhirnya.


(41)

Pada tahun 1931 guru Salman Harahap pindah dari Janji Mauli dan digantikan oleh guru Lumban Lubis dari Pakantan. Guru Lumban Lubis dipindahkan pada tahun 1935, dan digantikan oleh guru Miliater Simorangkir dari Tarutung. Guru Miliater Simorangkir tidak terlalu lama melayani di Janji Mauli, karena pada tahun 1938 beliau harus dipindah tugaskan. Guru Miliater Simorangkir digantikan oleh guru Paruntungan Sormin dari Marancar, setelah itu di tahun 1940 guru Paruntungan Sormin pindah dari Janji Mauli digantikan oleh guru Agustinus Dongoran dari Sungai Pining. Dan tahun 1942, guru Agustinus Dongoran pindah dari Janji Mauli di gantikan guru Sori Dongoran dari Sungai Pining juga.

Di tahun 1942, guru Markus Tambunan dari Sibadoar ikut dengan guru Sori Dongoran mengajar sekolah zending di Situmba, mereka sepakat untuk memimpin jemaat Janji Mauli, tapi guru Sori Dongoranlah yang mengajari pemuda-pemudi gereja dan para orang tua dalam bidang paduan suara. Pada tahun 1949, guru Sori Dongoran pindah dari Janji Mauli digantikan oleh Malanton Batubara dari Sipogu sampai tahun 1953.

Pada tahun 1943 bulan Maret masuk tentara Jepang ke Sipirok. masyarakat Janji Mauli sering tidak kebaktian karena gotong royong. Mereka tidak membedakan hari Minggu dengan hari biasa yang penting Jepang memerlukan tenaga masyarakat. Masyarakat dipaksa bekerja untuk mengumpulkan hasil padi, sayur, kerbau, dan lembu dari Padang Bolak. Masyarakat diberi upah, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat harus membayar kuda yang mengantar barang mereka.


(42)

Terlebih juga bagi guru zending, mereka tidak bisa meluangkan waktu yang banyak untuk berjumpa dengan jemaat dan para murid. Pada masa ini juga, banyak anak-anak banyak yang berhenti sekolah karena dipaksa bekerja. Sesudah itu pada tahun 1949, sekolah zending di Situmba dibakar oleh Jepang. Tahun 1938, Mara Pohan mengundurkan diri dari majelis (guru sintua) karena faktor usia. Dan digantikan oleh Mara Tupang Simatupang sebagai guru jemaat/kerberat dan Regen Pohan Simanjuntak yang menjadi majelis (Sintua).

Pada tahun 1949 Mara Tupang Simatupang mengundurkan diri dari majelis dan digantikan oleh Juara Gelar Mangaraja Aman Simatupang. Tahun 1951 bulan November, Mangaraja Aman meninggal dunia. Dan digantikan oleh Bilalung Gelar Soripada manjadi Siregar jadi majelis. Tahun 1951 majelis Regen Simanjuntak sakit parah dan digantikan oleh Gera Gelar Marasampe Simanjuntak. Tahun 1953, Resort meminta agar jemaat membiayai guru jemaat masing-masing/porhanger. Seluruh jemaat membujuk Soripada Siregar agar menjadi guru jemaat di Janji Mauli, beliau merasa berat hati untuk menerima untuk menjabat guru jemaat, karena dia merasa belum sanggup untuk menjadi hamba Tuhan di jemaat itu. Tapi semua jemaat membujuk, dan akhirnya beliau menerima jabatan itu dan ternyata Tuhan memberkati pekerjaan itu sebagai hamba tuhan. Tahun 1952, Sutan Mulia diangkat menjadi Majelis di Janji Mauli. Tahun 1969 bulan Desember, Soripada sakit-sakitan dan meninggal dunia di tahun yang sama.


(43)

Jemaat resort Janji Mauli tetap merasa terhibur sepeninggal Soripada Manjadi, karena meskipun begitu sakit penyakitnya, tetapi beliau masih tetap berpegang teguh pada Firman Tuhan. Dan firman itulah yang membujuknya untuk melihat penyakitnya dan hatinya sungguh terang. Begitu pula dengan jemaat rasa sangat diberkati oleh Tuhan sepeninggal Soripada manjadi tanggal 20 desember 1969. Walaupun Soripada sudah meninggal, masih tetap majelis yang membina jemaat dalam kebaktian di hari Minggu. Tahun 1969 bulan Maret, Pendeta Resort Z. Harahap dan guru-guru di Sipirok sangat menginginkan membuka Sekolah Pendidikan Guru Agama (SPGA). Berkat doa kami mengambil dari Janji Mauli untuk mengikuti sekolah itu yaitu Toni Simatupang dan tamat bulan Maret tahun 1970. Tanggal 13 bulan maret 1970, Toni Simatupang di baptis menjadi guru jemaat (porhanger) di Janji Mauli. Dan majelispun diganti karena faktor umur yaitu Baginda Pardamean Siregar dan Hamonangon Siregar.

Di tahun 1978 Baginda Pardamean Siregar mengundurkan diri dari majelis dan digantikan oleh H. Simanungkalit. Setelah H. Simanungkalit menjadi majelis, dia mengangkat Saut Siregar sebagai majelis.

Tahun 1974 muncul berita bahwa HKBP Janji Mauli akan diubah menjadi GKPA yang ingin berpusat di Sipirok, tapi di Huria Janji Mauli masih ragu-ragu karna belum sependapat seluruh jemaat untuk memisahkannya. Tanggal 20 Februari 1974 dibuatlah musyawarah di rumah Sutan Mulia tentang pemisahan HKBP A.


(44)

Dalam rapat tersebut, ada yang tidak sepakat untuk dipisahkan dari HKBP, karena kami sudah lama di HKBP dan kami dibaptis di HKBP.

Pada tahun 1975 majelis gereja HKBP Janji Mauli memutuskan agar bergabung dengan GKPA, tetapi ada sebagian jemaat yang tidak sepakat. Jemaat yang tidak sepakat memutuskan untuk tetap pada HKBP, dan mereka beribadah di Sipirok. Perbedaan pandangan ini berlangsung selama lima tahun lamanya, selama tahun 1975 sampai 1980. Pada tahun 1980 masyarakat Janji Mauli kembali melakukan musyawarah dan hasilnya seluruh jemaat memutuskan untuk bergabung dengan GKPA yang berpusat di Sipirok.

2.4Penduduk/Demografi

Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memili dua jenis suku sesuai dengan daerahnya, yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan Suku Batak Angkola yang mendiami daerah Sipirok. Kedua Suku inilah yang mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintahan Kolonial Belanda, dan sampai sekarang.

Kecamatan Sipirok pada umumnya didiami oleh etnis Angkola-Sipirok. Diperkirakan, etnis Angkola-Sipirok bermigrasi dari daerah Batak, yaitu Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang


(45)

sangat besar untuk mencari penghidupan dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tidak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar yang berkembang pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok, dan yang lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.

Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.26 Mereka menyebar ke tiga daerah, yaitu; Gelombang pertama di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut; Gelombang kedua di Muara Sungai Simpang atau Singkit; Gelombang ketiga di Muara Sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga, mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau Toba.27

Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar, penguasa ketika daerah Sipirok dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi tiga kerajaan, yaitu: Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua, Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan Kerajaan Sipirok dipimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal.

Secara turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal, Suku Angkola-Sipirok menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga: Harahap, Siregar, Hutasoit, Rambe, Ritonga, Pohan, dan lain-lain. Secara

26

Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta : Tanjung Pengharapan, 1964, hal.47.

27


(46)

khusus, penduduk asli di Janji Mauli ada tiga marga yaitu Siregar, Simanjuntak Pohan, dan Simatupang.

Penduduk yang bertempat tinggal di desa Janji Mauli menurut sejarahnya berasal dari keturunan Ompu Sutan Hatunggal Siregar, dari huta Bagaslombang, di Kerajaan Sipirok. Pada awalnya penduduk yang bertempat tinggal di Janji Mauli hanya berjumlah enam orang. Namun, dengan semakin bertambahnya waktu maka jumlah pendudukpun semakin banyak.

Sebagaimana yang sudah diterangkan pada bab sebelumnya, marga yang

markahanggi dan mora adalah Siregar, anak boru adalah Simanjuntak Pohan, dan Simatupang adalah Pisang Raut (Bere) marga Simanjuntak Pohan. Dengan berpegang teguh pada filosofinya, yaitu Dalihan Na Tolu, masyarakat memiliki peran tersendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pelaksanaan upacara pesta Adat.

Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Janji Mauli berdasarkan jenis kelamin.

No. Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 89

2 Perempuan 61

Jumlah 150


(47)

BAB III

KEHIDUPAN MASYARAKAT JANJI MAULI (1900-1980)

3.1 Susunan Masyarakat

Pada masa dulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama terdiri dari golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang paling rendah

adalah terdiri dari golongan budak yang dinamakan dengan “hatoban”. Lapisan sosial ini tidak lagi ditemukan pada masyarakat Janji Mauli, karena tidak mencerminkan sisi kemanusiaan. Masyarakat lebih mengutamakan sistem kekeluargaan untuk memperoleh kehidupan yang damai.

Pada dasarnya penduduk asli desa Janji Mauli adalah suku Batak Toba. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa penduduk yang mendiami desa Janji Mauli merupakan penduduk dari Kerajaan Sipirok, yang berada di Huta

(desa) Bagaslombang. Sejak terbentuknya desa ini sudah terjadi beberapa kali pertukaran pemimpinnya, dan pemimpinnya adalah keturunan dari pendiri huta

(desa). Desa Janji Mauli pertama sekali dipimpin oleh Mangaradja Porkas Siregar. Beliau diangkat menjadi seorang kepala kampung atas musyawarah dengan saudaranya semarga, yaitu Siregar.


(48)

Adapun susunan masyarakat yang terdapat di desa Janji Mauli, adalah sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Angkola-Sipirok. Kedudukan adat pada masyarakat sangat tinggi. Istilah „adat‟ dalam bahasa Indonesia memiliki arti „kebiasaan‟, dan dalam kehidupan masyarakat adat merangkum semua lapangan kehidupan, agama dan peradilan, hubungan-hubungan kekeluargaan, kehidupan dan kematian.28 Pada masyarakat Janji Mauli peran para majelis gereja dalam menata tatanan kehidupan sengat besar, hal ini tampak pada saat pengambilan keputusan dalam musyawarah desa. Sistem pemerintahan di Janji Mauli sudah sangat tertata dengan rapi, seorang Kepala Kampung merangkap juga sebagai Raja Adat. Keadaan masyarakat Janji Mauli dapat ditinjau berdasarkan sistem kekerabatannya Dalihan Na Tolu, melalui aspek inilah masyarakat menentukan posisi dan perannya dalam melakukan interaksi dan aktivitas kehidupan sehari-hari, baik dalam adat, maupun acara-acara lainnya.

Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Janji Mauli tidak terlepas dari adat Angkola-Sipirok. Masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan

patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis keturunan yang

patrilineal itu, maka masyarakat Angkola membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut dengan marga, yakni sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek yang sama. Oleh karena itu, di dalam masyarakat Angkola-Sipirok terdapat sejumlah marga yang masing-massing

28

Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,


(49)

mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Ritonga, Harahap, Pane, dan lain-lain.

Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan, maka melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan

anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis dalam perkawinan berstatus sebagai mora, dan orang-orang yang berada dalam pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama lain berbeda-beda. Hak dan Kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora

berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabaatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.

Dalam ungkapan Batak Angkola-Sipirok disebutkan “Somba marmora elek

maranak boru, manat markahanggi’.29 Ungkapan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi, ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga

29

Artinya adalah Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi.


(50)

mempunyai hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang mempunyai status sebagai kahanggi.

Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mengenal kekerabatan yang disebut dengan tutur. Sistem istilah itu menentukan dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing. Dua orang laki-laki yang masing-masing mempunyai status kekerabatan kahanggi, misalnya menggunakan panggilan

angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.

3.2 Kehidupan Sosial

Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (desa) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati

huta. Keberadaan suatu huta tidak terlepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar

huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta

mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut dengan Raja Pamusuk. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah


(51)

(geneologis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut dengan luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan “sipungka huta” (yang membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk mengacu kepada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan “Dalihan Na Tolu”.

Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Janji Mauli, tidak terlepas dari falsafah/pandangan hidup Angkola, yaitu Dalihan Na Tolu. Falsafah ini tidak hanya berlaku pada saat diberlangsungkannya sebuah pesta adat, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari untuk membina kerukunan, baik sesama masyarakat, maupun masyarakat yang berada di luar desa Janji Mauli yang pada umumnya beragama Islam.

Untuk membentuk karakter dan perilaku kepribadian yang baik pada anak-anak, sejak masih kecil para orang tua mengajarkan Poda Na Lima (nasihat yang lima) dalam kehidupan sehari-hari.30 Nasehat tersebut merupakan upaya pembentukan karakter dan kepribadian yang kemudian ditunjukkan dalam pola

30


(52)

tindakan. Adapun tujuannya adalah sebagai pandangan filosofis dari dasar pembentukan kepribadian. Poda Na Lima terdiri dari Paias Rohamu (bersihkan hatimu), Paias Bagasmu (bersihkan rumahmu), Paias Parabitonmu (bersihkan pakaianmu), Paias Pamatangmu (bersihkan badanmu), Paias Pakaranganmu

(bersihkan lingkunganmu).

Paias Rohamu artinya adalah setiap orang harus memiliki mental dan jiwa spiritual yang baik, agar mampu menjadi manusia yang bersih dan berwibawa. Paias Bagasmu atrinya adalah setiap orang harus mencukupi kebutuhan pokoknya dan mempunyai tempat tinggal yang layak dihuni sehingga keluarga itu dapat hidup sejahtera dan bahagia. Paias Parabitonmu artinya setiap orang harus membangun sarana dan prasarana untuk meningkatkan mutu dan kualitas dirinya. Paias Pamatangmu artinya adalah setiap orang harus membangun pemikiran yang jernih ataupun sebuah organisasi supaya dapat menggerakkan pembangunan. Paias Pakaranganmu artinya setiap orang harus melestarikan lingkungan dan menjaga alam yang bersih, sejuk, nyaman, indah, aman, tertib, dan sejahtera.

Keharmonisan kehidupan masyarakat Janji Mauli adalah perpaduan antara dua filosofi hidup tersebut. Setiap keluarga yang bertempat tinggal di desa tersebut, haruslah menanamkan nilai-nilai filosofi hidup, Dalihan Na Tolu dan Poda Na Lima


(53)

Dalam tradisi Batak Angkola, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Marga berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara masyarakat. Masing-masing puak mempunyai ciri khas nama marganya dan satu puak bisa memiliki banyak marga. Sebagai contoh di Janji Mauli terdapat mayoritas marga Siregar, namun marga lain juga terdapat di dalamnya. Kesemua marga tersebut terjalin hubungan baik sebagai satu kesatuan di dalam adat dan lingkungan desa Janji Mauli.

Hubungan kekerabatan masyarakat dalam marga masih tetap utuh terpelihara. Melalui peraturan eksogaminya,31 perkawinan terjadi tidak hanya antar orang per orang, tetapi merupakan transaksi antara kelompok patrilineal. Kelompok yang memberi anak perempuannya dalam perkawinan memperoleh status terhormat dan lebih tinggi daripada kelompok yang mengambil anak perempuan itu. Lebih tepat lagi, mora atau kelompok pemberi istri merupakan sumber berkah supernatural kepada anak borunya.32

Status sosial pada masyarakat Janji Mauli ditandai dengan pangkat/jabatan yang dimiliki seseorang, dalam hal ini, biasanya adalah Kepala Kampung, Penetua Adat, dan Pendeta/pengurus di gereja. Masyarakat tidak mengenal sistem kelas sosial yang diukur secara materi. Bagi masyarakat Janji Mauli, hamoraon (kekayaan) dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Tidak berbeda dengan Orang Angkola

31

Eksogami adalah prinsip perkawinan yg mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, spt di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman.

32


(54)

pada umumnya, masyarakat lebih memandang nilai hamoraon sebagai habisukon

(kearifan). Oleh karena itu, masyarakat Angkola lebih menghargai halak na bisuk33

dibandingkan dengan orang yang kaya tetapi tidak arif. Orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak, tetapi tidak arif, adalah orang yang miskin dalam pandangan orang Angkola.

Kehidupan bertani tidak boleh terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat Janji Mauli, karena bertanilah mata pencaharian utama masyarakat. Maka dalam hal bertanian, masyarakat hidup saling berdampingan, mengandalkan simbiosis mutualisme. Sistem gotong royong menjadi senjata bagi masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaan, atau lebih tepatnya masyarakat mengenalnya dengan sistem Marsiadapari.34 Demikianlah juga dalam hal pesta dan kegiatan-kegiatan lainnya yang ada pada masyarakat, mereka saling menolong untuk membangun kehidupan di desa tersebut.

Hubungan kekeluargaan yang erat dalam masyarakat desa Janji Mauli juga tercermin dalam pola perilaku masyarakatnya. Para perantau atau keluarga yang datang berkunjung ke desa atau pulang kampung pada saat liburan, tidak bisa langsung masuk ke desa. Masyarakat yang tinggal di desa menunggu mereka di tepi jalan, simpang desaJanji Mauli dan bersama-sama berjalan menuju desa, masyarakat

33

Halak na bisuk artinya orang yang arif dan bijaksana.

34

Marsiadapari adalah melakukan pekerjaan dengan cara bekerjasama di ladang/persawahan.


(55)

menyebutnya dengan mangalo-alo. Apabila perantau/keluarga yang datang membawa makanan, makanan tersebut dibagi kepada masyarakat yang bermukim di desa.

Dalam mempererat hubungan sesama umat beragama masyarakat membuat pekumpulan. Setiap malam Jumat para muda-mudi dan orang tua berkumpul dan saling bertukar pikiran, dilaksanakan secara bergiliran di rumah penduduk. Dan setiap Malam Minggu para warga berkumpul di Gereja HKBP untuk persiapan gereja hari Minggu.

Masyarakat luar menyebut desa Janji Mauli dengan julukan Jerusalem, karena seluruh penduduk desa Janji Mauli beragama Kristen dan mampu menjaga kerukunan dengan masyarakat luar desa yang beragama Islam. Menjaga kerukunan dan meningkatkan rasa kekeluargaan yang sangat erat antar masyarakat menjadi tugas bagi setiap individu di desa Janji Mauli.

3.3 Lembaga Adat

Dalam kehidupan masyarakat adat terdapat lembaga-lembaga adat yang muncul dan lahir secara alamiah. Kelembagaan adat ini tidak seperti lembaga-lembaga yang lainnya, tetapi memiliki keunikan tersendiri, sebab merupakan lembaga-lembaga yang secara turun temurun sudah ada sejak zaman nenek moyang.


(56)

Peran lembaga adat ini sangat besar, terutama dalam pelestarian dan penjagaan terhadap pawang-pawang (hutan) adat yang ada di beberapa titik kawasan hutan yang kita kenal dengan hutan adat. Selain itu, fungsi dari lembaga adat juga terdapat dalam pelaksanaan upacara pesta adat. Lembaga ini merupakan wadah para fungsionaris adat untuk memperbincangkan segala sesuatu yang perlu dan yang berguna bagi setiap masyarakat.

Lembaga adat masyarakat Janji Mauli berada di bawah lembaga adat Kuria Baringin, Kuria Baringin merupakan suatu kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi beberapa masyarakat hukum desa/huta dan masing-masing huta tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri. Adapun tujuan dari lembaga adat ini adalah : (i) Mendoakan agar setiap warga yang sudah kawin mempunyai keturunan, keturunan ini adalah orang yang nantinya membawa nama orang tuanya jika kelak sudah tua. (ii) Mendoakan agar setiap warganya makmur dalam hal pangan dan ternak, segala sesuatu yang dikerjakan oleh masyarakat dapat berbuah dan menghasilkan. (iii) Membantu agar setiap warganya memiliki rumah tempat tinggal, agar terlindung dari terik matahari, hembusan angin, dan tidak kena hujan. (iv)

Melindungi agar setiap warganya dalam keadaan aman dan tertib pada malam hari dan siang hari, dan apa yang diusahakannya di luar kebun aman. (v) Mendoakan agar setiap warga dalam keadaan sehat. (vi) Memberi nasehat kepada masyarakat agar


(57)

bersih lahir batin, dan setiap warganya cinta kepada kampung halaman, tanah tumpah darah, dan memperkuat semaangat nasionalismenya.35

Meskipun lembaga adat Janji Mauli berada di bawah hukum wilayah Kuria

Baringin, tetapi masyarakat Janji Mauli tetap memiliki struktur pengurusan dan tata susunan. Masyarakat Janji Mauli mengutus kepala kampung sebagai ketua adat, yaitu Mangaraja Porkas Siregar. Segala aktivitas masyarakat dipusatkan kepada kepala kampung dan ketua adat karena dianggap mengetahui segala peraturan-peraturan pemerintahan dan juga peraturan adat.

Peran dan fungsi seorang ketua adat pada umumnya dibagi dalam tiga bidang,36 yaitu :

1. Urusan tanah.

2. Penyelenggaraan tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat hukum desa berjalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggaran hukum.

3. Usaha yang tergolong dalam penyelenggaraan hukum untuk mengembalikan tata tertib sosial dan tata tertib hukum serta keseimbangan menurut ukuran yang bersumber pada pandangan yang religio-magis.

Struktur lembaga adat beserta tugasnya yang terdapat pada masyarakat Janji Mauli di atur sesuai dengan “Dalihan Na Tolu”. Hula-hula fungsinya adalah untuk

35

Wawancara dengan bapak Partahian Siregar, di desa Janji Mauli, 16 Februari 2015.

36


(58)

memberikan keputusan pada setiap kegiatan adat. Dongan Tubu fungsinya adalah mengatur pelaksanaan kegiatan adat, dan Boru berfungsi untuk mempersiapkan segala sesuatu keperluan adatnya.

3.4 Pemakaman Masyarakat

Sejak berdirinya desa Janji Mauli tahun 1900, tentu diiringi dengan adanya perubahan keadaan penduduk. Salah satu penyebab adanya perubahan tersebut adalah kematian.

Para pendiri desa telah mempersiapkan lahan yang diperuntukkan untuk pemakaman atau pekuburan yang disebut Pekuburan Janji Mauli. Warga yang pertama sekali dimakamkan di pekuburan tersebut adalah Op. Mina Boru ibunda dari Mangaraja Porkas Siregar pada tahun 1935.


(59)

Tabel 2. Jumlah Penduduk yang dimakamkan di desa Janji Mauli

No. Nama Jumlah Keluarga

1 Mangaraja Porkas Siregar 48 jiwa

2 Mangaraja Lalu Siregar 54 jiwa

3 Baginda Martua Raja Siregar 8 jiwa

4 Baginda Nauli Siregar 4 jiwa

5 Baginda Orang Kaya Pohan 58 jiwa

6 Baginda Pangaloan Simatupang 27 jiwa

7 Mata Tupang 28 jiwa

8 Manik 2 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Janji Mauli, 1980

Upacara pemakaman sesuai dengan Tradisi/Adat Sipirok37 :

1. Pengkupangi: upacara adat pemakaman dengan memotong kambing.

2. Marhorja : Pesta adat sebagai penghormatan tertinggi bagi yang meninggal dan harus disertai menyembeli kerbau minimal 1 ekor.

3. Pamasuk Tu Bale : bale merupakan makam sebagai peradaban tertinggi dan sebagai makam para leluhur dimana anak cucunya telah mampu dan sanggup untuk marhorja tujuh hari tujuh malam serta menyembelih kerbau, lembu. Kerbau/lembu yang disembelih minimal 1 ekor, semakin berhasil anak

37


(60)

cucunya biasanya jumlah kerbau yang disembelih semakin banyak. Bale juga merupakan perwujudan adat dan budaya Sipirok serta tidak sembarangan melaksanakannya. Pelaksana adat/horja bale harus dihadiri dan disahkan oleh tokoh adat yang disebut harajaon, hatobangon, haruaya mardobu bulung dan raja panusunan bulung sebagai pemegang adat Sipirok.

Bale yang sudah ada di pemakaman Desa Janji Mauli ada sebanyak 7 bale, yakni 3 bale marga Siregar, 2 bale marga pohan Simanjuntak, 2 bale marga Simatupang.

3.5 Sistem Mata Pencaharian Masyarakat

Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah Tapanuli Selatan pada umumnya, dan Janji Mauli pada khususnya. Setiap rumah tangga yang bertempat tinggal di Janji Mauli memiliki luas areal pertanian yang berbeda-beda, dan sudah diwariskan dari nenek moyangnya.

Sumber kehidupan masyarakat Janji Mauli sangat bergantng kepada alam, yaitu pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian dan pendapatan masyarakat sangat tergantung pada luas tanah yang dimiliki setiap keluarga yang tinggal di Janji Mauli. Masyarakat tidak salah menganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga. Sehingga masyarakat mengatakan bahwa tanah adalah ulos naso ra buruk.38

38

Bagi suku batak Angkola tanah disebut dengan ulos naso ra buruk. Artinya ulos yang tidak bisa rusak dan membusuk.


(61)

Batas kepemilikan lahan ditandai dengan adanya parit dan pohon beringin. Dalam hal pengelolahan lahan, masyarakat membagi kegunaannya sesuai dengan letak lahan tersebut. Lahan masyarakat dibagi menjadi empat, yaitu tanah sawah/persawahan, tanah darat/perkebunan, parjampalan/tempat penggembalaan ternak dan

tombak/hutan.

Tabel 3. Luas areal Pertanian Desa Janji Mauli sesuai dengan fungsinya.

Sumber: Kantor Kepala Desa Janji Mauli, 1970

3.5.1 Tanah Sawah/Persawahan

Luas lahan persawahan milik masyarakat adalah sekitar 280 Ha. Komoditas utama tanaman yang dikelolah masyarakat adalah padi. Adapun jenis tanaman palawija lainnya seperti kacang tanah, tomat, cabe, dan jagung hanya sekedar untuk mengisi lahan yang masih kosong dan untuk menambah penghasilan masyarakat.

No Fungsi Tanah Luas Tanah (Ha)

1 Tanah Sawah 280 Ha

2 Tanah Darat/Perkebunan 200 Ha

3 Tombak 100Ha

4 Parjampalan 1 Ha


(62)

Tanaman padi sebagai mata pencaharian dan penghasilan utama masyarakat dipanen hanya dalam sekali setahun yaitu pada bulan Juni. Masyarakat menanam padi pada musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, ataupun mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan September dan Desember para petani turun ke sawah untuk mengelola sawahnya. Jika cuaca baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam mengelolah tanah sampai dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.39

Peralatan kerja masyarakat dalam mengelolah persawahan masih sangat tradisional. Dengan mengandalkan seekor kerbau dan sebatang kayu atau luku yang diletakkan di atas punggung kerbau, dan dibantu dengan tenaga manusia untuk menggerakkan kerbau. Proses ini disebut dengan meluku sawah. Setelah selesai meluku, masyarakat bergotong royong untuk menanam padi. Biji padi yang ditanam masyarakat adalah biji yang di tanami oleh masyarakat.

Padi yang telah dipanen oleh masyarakat tidak untuk dijual. Masyarakat menyimpan padi tersebut sebagai kebutuhan pangan sehari-hari, dan juga untuk kebutuhan apabila ada upacara pesta adat.

Tanaman yang dikelolah masyarakat setelah panen padi adalah kacang tanah, tomat, cabe, dan jagung. Sistem pengerjaannya juga masih tradisional, dan masih

39


(63)

mengandalkan tenaga para petani. Jenis komoditas tanaman ini dikelolah secara bersamaan oleh masyarakat. Masa penanaman palawijaya ini dilakukan pada awal musim kemarau, yaitu pada bulan Juli. Sehingga para petani harus bekerja keras, agar tidak terjadi gagal panen.

Hasil panen kacang tanah, tomat, cabe, dan jagung dipasarkan ke poken, untuk tabungan masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan sandang, misalnya perabot rumah tangga, menyekolahkan anak, dan untuk bersosialisasi dengan keluarga, kerabat, dan kepentingan lainnya.

3.5.2 Tanah Darat/Perkebunan

Luas lahan perkebunan masyarakat Janji Mauli adalah sekitar 200 Ha. Jenis tanaman masyarakat yang terdapat di perkebunan adalah karet, kopi, cokelat, dan kulit manis. Pada tahun 1930-an huta Janji Mauli terkenal dengan penghasil perkebunan terbesar di Sipirok.

Pada awal berdirinya huta ini, salah satu penghasilan masyarakat adalah kopi. Dengan kontur tanah yang subur dan lembab, masyarakat mengelolah lahannya dengan menanam tanaman kopi. Namun, masyarakat tidak terlalu lama mengelolah tanaman kopi ini. Kondisinya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, harga kopi sangat murah.


(64)

Pada tahun 1969 desa Janji Mauli terkenal dengan penghasil karet terbesar dan kualitas yang baik40. Luas lahan karet masyarakat sekitar 25 hektar. Untuk menghasilkan karet yang bagus dan layak untuk digunakan, masyarakat masih menggunakan peralatan-peralatan tradisional dan corak produksinya juga masih sangat sederahan. Dalam kurun waktu selama enam tahun masyarakat menanam karet. Setelah karet sudah layak untuk dipanen, masyarakat mulai menggores pohon karet. Selama 1 minggu lamanya, masyarakat menunggu hasil karet yang sudah di goresi. Untuk mengumpulkan karet-karet tersebut, masyarakat menggunakan alat

doel.41 Setelah karet tersebut dikumpulkan dan dicampur dengan nanas, mereka menggiling dan mencetak karet tersebut dengan alat bali.42 Setelah proses ini selesai, masyarakat menjemurnya selama dua hari.

Mata pencaharian masyarakat yang juga menonjol adalah perkebunan rakyat di tanah pekarangan dan lahan kering, yaitu kulit manis. Hasil tanaman ini dipasarkan di pasar lokal setiap minggunya. Kulit manis ini dipanen dalam 2 kali seminggu, atau 1 kali 3 hari masyarakat memanennya, setelah menunggu selama bertahun-tahun.

Tanaman cokelat yang ditanami oleh sebahagian masyarakat tidak menjadi primadona. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, masyarakat kesulitan dengan adanya monyet yang masuk ke perkebunan mereka. Buah cokelat yang sudah matang dihabisi oleh monyet-monyet yang datang dari tombak/hutan. Oleh karena itu,

40

Wawancara dengan Remsi Siregar, di Desa Janji Mauli, 30 Januari 2015.

41

Doel terbuat dari bambu yang digunakan untuk mengumpulkan karet

42


(65)

masyarakat tidak terlalu antusias untuk menjaga dan mengembangkan tanaman cokelat.

3.5.3 Tombak/hutan

Tombak/hutan yang ada di sekitar desa Janji Mauli dimanfaatkan untuk tempat berburu. Berburu menjadi kegiatan rutin masyarakat di tombak. Hewan buruan yang sering didapat masyarakat di tombak adalah Babi Hutan. Mereka membuat perangkap dan janggil sebagai alat untuk berburu. Perangkapnya sangat sederhana, cukup hanya menggali tanah seluas 1x4 meter, dan kedalaman 3 meter. Mereka membuat umpan di dalam lubang tersebut. Masyarakat juga sering berburu elang yang ada di hutan. Selain sebagai tempat untuk berburu, tombak/hutan masyarakat dijadikan sebagai penghasil kayu bakar dan juga kayu untuk bangunan rumah. Di dalam tombak terdapat berbagai jenis kayu, misalnya pohon pinus, kayu jati, dan jenis pohon lainnya.

3.5.4 Parjampalan/tempat penggembalaan ternak

Mata pencaharian masyarakat desa Janji Mauli didukung juga dengan beternak. Ternak yang dipelihara oleh masyarakat adalah kerbau, sapi, kuda, kambing, dan ayam. Fungsi ternak ini sangat banyak, selain untuk menghasilkan uang, masyarakat juga memanfaatkan ternaknya untuk membantu dalam mengerjakan persawahan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Kotoran ternak dimanfaatkan masyarakat sebagai pupuk kompos.


(66)

Pada awalnya, masyarakat bermusyawarah untuk mendapatkan lahan sebagai tempat pengembalaan ternak. Mangaraja Porkas Siregar sebagai kepala kampung dan ketua adat membagi tanah seluas 10 meter bagi setiap keluarga. Setiap penduduk yang tinggal di Janji Mauli memiliki ternak masing-masing, karena lahannya sudah ditentukan oleh penetua adat.

Tabel 4. Jenis-jenis ternak penduduk desa Janji Mauli

No. Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang)

1 Kerbau 20

2 Kuda 15

3 Sapi 10

4 Kambing 25

5 Ayam 60

Total 130


(1)

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Janji Mauli, sejak tahun 1900-1980.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)