KHILAFAH ISLAMIYAH : STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR DAN ISIS.

(1)

KHILAFAH ISLAMIYAH

(Studi Komparasi Pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS)

SKRIPSI:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Filsafat Politik Islam

Oleh:

AIMMATUL HASANAH NIM: E54212056

PRODI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul KHILAFAH ISLAMIYAH (STUDI KOMPARASI

PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR DAN ISIS), merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang membahas tentang suatu persoalan yang dirumuskan dalam rumusan masalah: 1) Bagaimana konsep khila>fah Isla>miyah

perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS?; 2) Apa persamaan dan perbedaan konsep

khila>fah Isla>miyah pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS; 3) Bagaimana relevansi

khila>fah Isla>miyah di era kontemporer?. Dalam penulisan skripsi ini, metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dimana data diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder baik berupa buku-buku, jurnal, majalah, koran, artikel-artikel yang berada di website, hasil rekaman dan lain sebagainya yang membahas tentang tema yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini adalah, dalam memandang konsep khila>fah Isla>miyah, antara Hizbut Tahrir dan ISIS memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut kedua gerakan ini sama-sama menganut sistem khila>fah

politik. khila>fah Isla>miyah dipandang sebagai satu-satunya sistem pemerintahan mutlak bagi umat Islam, dimana sistem pemerintahan lain seperti demokrasi, sekuler dan lain-lain dianggap sebagai sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun perbedaan konsep khila>fah perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS bisa dilihat dari beberapa aspek, meliputi; syarat menjadi khalifah, strategi atau metode perjuangan yang dilakukan untuk mengaktualisasikan cita-cita tersebut, struktur khila>fah dan syarat sah untuk mendirikan khila>fah Isla>miyah.

Konsep khila>fah baik yang ditawarkan Hizbut Tahrir atau ISIS dalam konteks kekinian, merupakan sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan. Pasalnya, jika melihat relitas politik kontemporer kini negara-negara di dunia mayoritas sudah mapan dalam bentuk nation-state, yang menekankan adanya batas-batas teritorial dan tentunya tidak akan rela melebur menjadi satu dengan negara lain di bawah satu sistem pemerintahan, yakni khila>fah.

KATA KUNCI: khila>fah Isla>miyah, Hizbut Tahrir, ISIS, sistem pemerintahan, politik.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ... i

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Telaah pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 9

1. Jenis Penelitian ... 9

2. Sumber Data ... 9

3. Metode Pengumpulan Data ... 11

4. Metode Pendekatan ... 11

5. Metode Analisis Data ... 12


(8)

BAB II PROFIL HIZBUT TAHRIR DAN ISIS

A. Profil Hizbut Tahrir ... 15

1. Sejarah Kelahiran Hizbut Tahrir ... 15

2. Aktivitas Hizbut Tahrir ... 19

3. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir ... 21

B. Profil ISIS ... 23

1. Sejarah kelahiran ISIS ... 23

2. Ideologi ISIS ... 30

3. Perekrutan Anggota ... 34

BAB III KHILAFAH ISLAMIYAH A. Tinjauan Umum tentang Khilafah Islamiyah ... 39

B. Khilafah Islamiyah Perspektif Hizbut Tahrir ... 45

1. Khilafah Islamiyah: Sistem Pemerintahan Mutlak Umat Islam ... 45

2. Hukum dan Tujuan Khilafah ... 48

3. Metode Penegakkan Khilafah ... 50

4. Struktur Khilafah ... 55

5. Khalifah ... 59

C. Khilafah Islamiyah Perspektif ISIS ... 64

1. Khilafah Islamiyah: Sistem Pemerintahan Mutlak Umat Islam ... 64

2. Hukum dan Tujuan Khilafah ... 66

3. Metode Penegakkan Khilafah ... 68

4. Struktur Khilafah ... 72

5. Khalifah ... 77

BAB IV PERBANDINGAN KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR DAN ISIS A. Persamaan ... 81


(9)

C. Relevansi Khilafah di Era Kontemporer ... 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 99 B. Saran ... 101 DAFTAR PUSTAKA


(10)

TRANSLITERASI

Arab Indonesia Arab Indonesia

ا a ض d}

ب b ط t}

ت t ظ z}

ث th ع

ج j غ gh

ح h} ف f

خ kh ق q

د d ك k

ذ dh ل l

ر r م m

ز z ن n

س s و w

ش sh ھ h

ص s} ي y

Vocal Tunggal (Monoftong) : a =

ۖ

; i =

ۖ

; u =

ۖ

Vocal Panjang (Madd) : a> =

ا

; i> =

ي

; u> =

و

Vocal Rangkap (Diftong) :ay =

ي

ا

; aw =

و

ا

Shaddah (

ّۖ

) : contoh:

ّدس

(sadd)


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan yang selalu menarik untuk dikaji dalam Islam adalah perbincangan seputar hubungan agama dengan negara atau sebaliknya negara dengan agama. Meski telah menjadi subjek diskusi selama berabad-abad lamanya, persoalan tersebut tidak pernah terselesaikan secara tuntas dan akan selalu menarik untuk diperbincangkan, karena pada dasarnya Islam adalah satu sistem kepercayaan yang mempunyai kaitan yang erat dengan politik. Agama dan negara merupakan dua institusi yang sama-sama kuat berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia.

Ketika muncul wacana tentang hubungan agama dan negara, selalu ada kemungkinan untuk membahas sistem pemerintahan, dan salah satu sistem pemerintahan dalam Islam yang paling sering menjadi perbincangan adalah tentang khila>fah Isla>miyah. Tidak bisa dipungkiri konsep khila>fah Isla>miyah

memang menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam di kalangan para pemikir-pemikir muslim, dan bahkan ada yang menganggapnya tidak ada. Singkatnya, mereka menolak sistem khila>fah tersebut. Hal ini didasari karena agama Islam secara khusus tidak mempunyai konsep bernegara.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika Nabi Muhammad wafat, beliau

tidak meninggalkan “wasiat” yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan


(12)

2

atau siapa saja yang berkewajiban menyusun undang-undang. Karena tidak adanya ketetapan inilah dapat kita lihat dalam perkembangannya praktek sistem pemerintahan negara Islam selalu berubah-ubah. Pada masa Khulafaur Rasyidin, masing-masing khalifahnya diangkat atau dipilih melalui cara yang berbeda. Pertama yaitu Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang dipilih melalui pemilihan di

saqifah Bani Sa’idah yang diselenggarakan dua hari setelah Nabi wafat melalui

majelis syuro. Kemudian Umar bin Khattab dipercaya menjabat sebagai khalifah kedua tidak melalui cara yang sama dengan sebelumnya yang menggunakan majelis musyawarah, melainkan dengan wasiat pendahulunya atau langsung ditunjuk oleh Abu Bakar. Sedangkan Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang yang sebelumnya ditunjuk/ditetapkan oleh Umar sebelum beliau wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat melalui pemilihan yang tidak bisa dikatakan sempurna sama sekali.1

Di masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan masa-masa setelahnya, penyelenggaraan negara jauh berbeda dibandingkan dengan masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Karena pada masa tersebut pemerintahan telah berubah bentuknya menjadi sistem monarkhi, dimana dalam rangka suksesi tidak lagi menggunakan musyawarah namun menjadi penunjukan terhadap anak atau keturunannya.2 Sedangkan di masa kemunduran Islam, umat Islam malah hampir

1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:

UI-Press, 1993), 21-30.

2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),


(13)

3

tidak mempunyai negara atau pemerintahan Islam, hal ini disebabkan kebanyakan bangsa muslim berada di bawah imperium Barat.

Dewasa ini konsep khila>fah Isla>miyah kembali menjadi pembahasan setelah adanya sekelompok orang yang gencar menyuarakan pentingnya menghidupkan kembali negara atas dasar syariah. Salah satu dari kelompok tersebut adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Sejak awal kemunculannya, ISIS tidak pernah lepas dari kontroversi dan kritikan-kritikan tajam baik dari para intelektual, analis bahkan dari para masyarakat awam. ISIS merupakan gerakan keagamaan yang berupaya untuk menegakkan pemerintahan atau negara yang berlandaskan sistem Islam (khila>fah Isla>miyah). Kelompok ekstremis ini mengikuti ideologi garis keras dari pendahulunya, yakni Al-Qaeda dan berpedoman kepada prinsip-prinsip jihad global.3

Pada hari Jum’at tanggal 5 Juli 2014, Abu> Bakr al-Baghda>di, seseorang

yang dianggap sebagai “Sang Khalifah” oleh anggota ISIS atau para pengikutnya,

untuk pertama kalinya muncul dihadapan khalayak umum setelah diangkat menjadi khalifah ISIS pada 16 Mei 2010, setelah kematian khalifah pertama ISIS,

Abu> Umar al-Baghda>di.4 Saat itu ia mengisi khutbah Jum’at di masjid Mosul dan

mengumumkan klaimnya sendiri beserta kelompoknya bahwa ia adalah khalifah Islam dan telah mendirikan negara Islam di Irak.5 Beberapa hari sebelumnya

3 Ramadhian Fadillah, Berapa Jumlah anggota dan kekuatan ISIS di Indonesia, 2014.

http://www.merdeka.com/peristiwa/berapa-jumlah-annggota-dan-kekuatan-isis-di- Indonesia.html. Diakses hari Senin, tanggal 13 Oktober 2015 pukul 23:06.

4 Muhammad Haidar Assad, ISIS: Oraganisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini

(Jakarta: Zahira, 2014), 101.


(14)

4

pengikut al-Baghda>di telah berhasil menguasai kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad itu, dan mengusir tentara pemerintah.6

Yang menjadi kekhawatiran dunia saat ini adalah gerakan ISIS yang dianggap keluar dari koridor Islam. Banyak kalangan yang mencekal gerakan mereka, karena banyaknya tindak kekerasan yang mereka lakukan. Akan tetapi ISIS berdalih bahwa tindak kekerasan tersebut hanya mereka lakukan terhadap pihak-pihak yang ingin menghancurkan Islam atau kelompok yang mereka anggap kafir. Oleh karena itu banyak pihak yang menentang dan menolak khila>fah Isla>miyah yang diusung oleh ISIS.

Ulama-ulama besar dunia juga angkat bicara mengenai gerakan ISIS ini. Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qardhawi, sangat marah ketika mengetahui bahwa Abu> Bakr al-Baghda>di telah mendeklarasikan berdirinya negara Islam di Irak dan Suriah, serta mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah. Menurutnya, pendeklarasian daulah Islamiyah dan pengangkatan al-Baghda>di sebagai amirul mukminin tersebut batal secara agama dan akan berdampak negatif dan sangat membahayakan keberadaan kelompok Sunni di Irak dan jalannya revolusi di Suriah.7

Pandangan lebih keras disampaikan oleh Sheikh Rasyid al-Ghanusyi, pemimpin dari gerakan an-Nahdlah di Tunisia, yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan al-Baghda>di beserta pengikutnya menunjukkan bahwa mereka haus akan kekuasaan. Sementara itu, al-Azhar di Kairo juga telah memfatwakan perjuangan ISIS bukanlah perjuangan Islam, karena menghalalkan segala cara

6 Ikhwanul Kiram Mashuri, ISIS: Jihad atau Petualangan (Jakarta: Republika, 2014), 50. 7Ibid, 77.


(15)

5

untuk mencapai tujuan. Sedangkan Majelis Ulama (Ahlus Sunnah/Sunni) Irak yang diketuai Syekh Haris adh-Dhori mengatakan, pendeklarasian negara khila>fah

bukan untuk kepentingan Islam, namun justru untuk memecah belah masyarakat Irak. Disusul oleh pernyataan dari juru bicara Front Nasional Oposisi Suriah, Kholid ash-Sholeh, bahwa pendeklarasian daulah khila>fah sebagai bentuk mendelegitimasi revolusi rakyat. Tujuan mereka adalah untuk merebut kekuasaan.8 Serta masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya yang menentang gerakan jihad ini.

Sebelum munculnya ISIS, salah satu organisasi Islam yang lebih dahulu ada dengan perjuangan untuk mendirikan negara khila>fah adalah Hizbut Tahrir. Organisasi ini juga dilarang di beberapa negara karena mengancam atau tidak sesuai dengan sistem demokrasi. Hizbut Tahrir berupaya menawarkan agar sistem

khila>fah seperti yang pernah diterapkan pada masa Khulafaur Rasyidin kembali dihidupkan dan diterapkan pada masa kontemporer kini. Gerakan ini berpandangan, Islam telah membatasi bentuk kekuasaannya yang tunggal, yaitu pemerintahan yang menjalankan hukum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Meskipun Hizbut Tahrir dan ISIS merupakan organisasi politik Islam yang sama-sama ingin menghidupkan kembali khila>fah Isla>miyah, namun Hizbut Tahrir menentang keras sistem khila>fah versi ISIS, serta menganggap organisasi tersebut sesat. Hizbut Tahrir Internasional yang selalu menggaungkan berdirinya kekhalifahan Islam berdasarkan teladan Rasulullah SAW telah mengeluarkan


(16)

6

pernyataan keras terhadap al-Bahgdadi dan pengikutnya. Melalui kepala kantor komunikasinya, Mahmud Quthoisyat, mengatakan bahwa kelompok al-Baghdadi sangat membahayakan dunia. ISIS ia sebut sebagai gerakan garis keras bersenjata, baik sebelum maupun setelah pendeklarasian daulah khila>fah dan pembaiatan al-Baghdadi sebagai khalifah.9

Dari penjabaran-penjabaran di atas, menarik kiranya untuk diteliti bagaimana pemikiran kedua gerakan tersebut terhadap khila>fah Isla>miyah. Sejauh mana persamaan dan perbedaan diantara pemikiran mereka. Melihat realitas bahwa salah satu gerakan tersebut menentang gerakan yang lain, padahal keduanya sama-sama kelompok minoritas dan ditolak oleh beberapa pihak/kalangan serta sama-sama mempunyai tujuan menerapkan kembali sistem

khila>fah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep khila>fah Isla>miyah perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS? 2. Apa persamaan dan perbedaan konsep khila>fah Isla>miyah pemikiran Hizbut

Tahrir dan ISIS?

3. Bagaimana relevansi khila>fah Isla>miyah di era kontemporer?


(17)

7

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan konsep khila>fah Isla>miyah perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)

2. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan konsep khila>fah Isla>miyah dalam pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS.

3. Mendeskripsikan relevansi khila>fah Isla>miyah di era kontemporer.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari sisi teoritis penelitian ini berguna untuk menambah khazanah keilmuan tentang konsep khila>fah dalam pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS, terutama dalam kajian Filsafat Politik Islam.

2. Dalam sisi praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti selanjutnya terkait khila>fah Isla>miyah perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS.

E. Telaah Pustaka

Seperti yang telah dikemukakan pada rumusan masalah, penelitian ini berfokus pada pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS tentang khila>fah Isla>miyah, serta persamaan dan perbedaan diantara pemikiran keduanya. Dalam pengamatan penulis, belum ada penelitian yang membandingkan pemikiran kedua gerakan politik Islam tersebut mengenai khila>fah. Adapun penelitian-penelitian yang penulis temukan hanya sebatas penelitian satu gerakan saja, tanpa disandingkan dengan gerakan yang lain. Berikut ini akan penulis jabarkan beberapa penelitian dan tulisan-tulisan terkait.


(18)

8

Dedy Slamet Riyadi dalam skripsinya “Analisis Terhadap Konsep

Khilafah menurut Hizbut Tahrir”. Dalam skripsi ini dijelaskan secara cukup detail tentang profil Hizbut Tahrir, bagaimana konsep khilafahnya serta politik perekonomian, strategi pendidikan, dan politik luar negeri dalam sistem

khila>fah.10

Selanjutnya yaitu skripsi oleh Rosi Selly yang berjudul “Globalisasi dan

Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir”.

Secara garis besar penelitian ini membahas tentang profil Hizbut Tahrir dan konsepsi politiknya. Dibahas juga makna globalisasi bagi gerakan ini dan bagaimana relasinya terhadap kebangkitan khila>fah Isla>miyah, yang dianggap sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi.11

Sedangkan penelitian skripsi yang membahas tentang ISIS diantaranya adalah skripsi dari saudara Ahmad Zainul Muttaqin yang berjudul “Konsep Takfir

Islamic State of Iraq and Syiria”, yang mengemukakan tentang sejarah terbentuknya ISIS serta ideologi-ideologi yang mendasarinya. Namun skripsi ini lebih terfokus kepada konsep takfir perspektif ISIS, bukan pada pemikirannya terhadap khila>fah Isla>miyah.12

Dalam beberapa hasil penelitian di atas yang telah mengkaji tentang

khila>fah Isla>miyah telah ditemukan banyak oleh penulis. Namun sampai saat

10 Dedy Slamet Riyadi, “Analisis Terhadap Konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir

(Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008).

11 Rosi Selly, “Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif

Pemikiran Hizbut Tahrir” (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Pemikiran Politik

Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2006).

12 Ahmad Zainul Muttaqin, “Konsep Takfir Islamic State of Iraq and Syiria” (Skripsi

tidak diterbitkan, Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).


(19)

9

penulis skripsi ini mengkaji penelitian tersebut belum menemukan penelitian skripsi yang mengkaji tentang pemikiran gerakan Hizbut Tahrir dan ISIS dalam pandangannya tentang khila>fah dalam studi perbandingan pemikiran.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Secara metodologis penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research) artinya peneliti mengungkapkan dan mengelola data yang berasal dari referensi kepustakaan.13 Sifat penelitian ini adalah deskriptif-komparatif yaitu menguraikan pemikiran gerakan politik Islam Hizbut Tahrir dan ISIS secara sistematis dan seobyektif mungkin. Serta membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapatnya tentang khila>fah Isla>miyah.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini tidak jauh dari judul penelitian ini. Secara umum sumber data akan diambil dari literatur-literatur, baik itu bersumber dari buku, jurnal, majalah, koran, artikel-artikel yang berada di website, hasil rekaman dan lain sebagainya yang tentunya masih berhubungan dengan penelitian ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

13 Nasuk Hamid dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi


(20)

10

a. Sumber data primer, merupakan sumber utama, yaitu buku yang membahas secara langsung tentang garis perjuangan politik Hizbut Tahrir atau ISIS, yaitu: Nidham Hukm fi Islam, Mafahim Hizb al-Tahrir, Sistem Pemerintahan Islam yang merupakan karya Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Pemerintahan Islam karya Abdul Qadim Zallum.

Struktur Negara Khilafah: Pemerintahan dan Administrasi, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis, Titik Tolak Perjalanan Perjuangan Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, yang diterbitkan langsung oleh Hizbut Tahrir. Sedangkan untuk ISIS, penulis memakai buku berjudul I’la>mu al-Ana>m bi Mi>la>di Daulah al-Isla>m. Buku tersebut disusun oleh Dewan Syariah Negara Islam Irak yang menjadi pijakan ISIS untuk membuktikan legalitas kekhalifahannya. Sumber primer lain juga didapat dari majalah Dabiq. Dabiq merupakan majalah propaganda yang dikeluarkan oleh Al-Hayat Media Center (lembaga resmi ISIS), serta video berjudul The Structure of the Khilafah, dimana video ini merupakan video yang dirilis oleh salah satu media resmi ISIS, yakni Al-Furqon Media.

b. Sumber data sekunder, berupa tulisan atau buku-buku orang lain yang terkait materi yang akan diteliti. Misalnya: ISIS The Inside Story oleh Hassan Hassan dan Michael Weiss, ISIS: Jihad atau Petualangan

karangan Ikhwanul Kiram Mashuri, Proyek Khilafah HTI karya Ainur Rofiq al-Amin serta masih banyak tulisan lain yang terkait topik pembahasan.


(21)

11

3. Metode Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu, data-data diambil dari sumber kepustakaan, baik berupa buku, buletin, majalah, jurnal dan sumber-sumber yang berkaitan. Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Metode dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.14 Metode ini penulis gunakan untuk menggali pemikiran Hizbut Tahrir dan ISIS yang terdapat dalam buku primer maupun sekunder. 4. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif historis untuk melakukan pembacaan terhadap gerakan serta pandangan Hizbut Tahrir dan ISIS terhadap konsep khila>fah Isla>miyah. Dalam konteks pembahasan tentang Hizbut Tahrir dan ISIS sisi historisitas merupakan bentuk sejarah bagaimana sebenarnya kedua kelompok tersebut muncul dan melakukan serangkaian gerakan untuk mencapai visi, misi serta cita-citanya.

Sedangkan sisi normatif adalah aturan baku yang ada dalam ajaran Islam baik yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, ijma’ para ulama, qiyas, maupun norma-norma yang diakui keabsahannya dalam peradaban Islam,

14 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Salemba Humanika,


(22)

12

yang menjadi dasar gerakan Hizbut Tahrir dan ISIS. Normativitas itu sendiri sudah pasti tidak dapat dipisahkan dari kedua gerakan tersebut. Karena selama ini baik Hizbut Tahrir atau ISIS mengklaim sebagai kelompok yang memperjuangkan sebuah misi yang berdasarkan norma-norma dan syariat yang sesuai dalam ajaran Islam.

5. Metode Analisis Data

Analisis data akan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan instrumen deduktif dan komparatif. Deduktif yaitu logika berfikir yang bertumpu pada kaidah-kaidah yang umum untuk kemudian memberikan penilaian terhadap hal-hal yang bersifat khusus.15 Dalam hal ini penulis akan menjelaskan tentang khila>fah Isla>miyah secara umum yang kemudian dikerucutkan atau lebih dikhususkan pada pendapat kedua gerakan tersebut mengenai khila>fah.

Sedang metode komparatif menjelaskan relasi dari dua sistem pemikiran. Dalam perbandingan, sifat hakiki dari objek penelitian dapat menjadi lebih jelas dan tajam. Perbandingan ini akan menentukan secara tegas persamaan dan perbedaaan sehingga hakekat objek dipahami dengan semakin murni.16 Dengan ini akan ditemukan hasil pemikiran atau gagasan mengenai khila>fah dalam lingkaran persamaan dan perbedaan dari kedua gerakan tersebut secara terperinci. Dengan metode ini juga akan diketahui

15Ibid, 4.

16 Anton Baker dan Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,


(23)

13

relevan atau tidaknya gagasan Hizbut Tahrir dan ISIS tentang khila>fah yang dihadapkan pada kondisi politik kontemporer kini.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini dibuat untuk mempermudah proses penulisan skripsi dan juga akan mempermudah pembaca untuk memahaminya. Penulisan skripsi ini disusun menjadi beberapa bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan dalam penelitian.

Bab pertama, berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua menguraikan tentang profil dari gerakan politik Islam Hizbut Tahrir dan ISIS, mulai dari sejarah terbentuknya dua gerakan tersebut, sepak terjangnya, serta aktivitas program-program yang dilaksanakan.

Selanjutnya, bab ketiga membahas tentang khila>fah Isla>miyah, yang terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama menjelaskan mengenai gambaran umum tentang khila>fah, kemudian sub bab kedua berisi khila>fah Isla>miyah perspektif Hizbut Tahrir, dan sub bab ketiga menguraikan tentang khila>fah Isla>miyah

perspektif ISIS.

Pada bab keempat ini adalah menjelaskan perbandingan pemikiraan tentang khila>fah Isla>miyah antara Hizbut Tahrir dan ISIS yang meliputi persamaan dan perbedaannya. Tujuannya untuk menguraikan sejauh mana


(24)

14

persamaan dan perbedaan pemikiran yang dihasilkan kedua gerakan tersebut, serta membahas relevansi khila>fah Isla>miyah di era modern.

Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban dari permasalahan yang muncul dari penelitian ini. Saran-saran adalah Saran-saran untuk pihak-pihak terkait.


(25)

BAB II

PROFIL HIZBUT TAHRIR DAN ISIS

A. Profil Hizbut Tahrir

1. Sejarah Kelahiran Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir atau Liberation Party (Partai Pembebasan) merupakan sebuah organisasi politik Islam ideologis berskala internasional yang aktif memperjuangkan agar umat Islam kembali kepada kehidupan Islam melalui ditegakkannya kembali khila>fah Isla>miyah.1 Gerakan ini didirikan di al-Quds Palestina pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1977 M). Sebelumnya, pada awal 1953, Hizbut Tahrir berupaya mengajukan izin pendirian partai politik kepada Departemen Dalam Negeri Pemerintahan Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat tersebut terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya, akan tetapi ditolak dan dilarang serta aktivitasnya dinyatakan illegal.2

Permohonan tersebut ditolak dengan alasan agenda aktivitas yang dianggap membahayakan dan bertentangan dengan Undang-Undang Yordania. Sebagai contoh, Hizbut Tahrir menolak pewarisan kekuasaan dan menghendaki pemilihan penguasa. Mereka menolak nasionalisme sebagai asas berdirinya negara, tetapi menghendaki Islam. Hal ini dianggap akan

1 Ihsan Samara, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani (Bogor: Al-Izzah Press, 2002),

4.


(26)

16

berlawanan dengan penerapan sistem politik Yordania bahkan akan menimbulkan perpecahan dikalangan rakyat.3

Hizbut Tahrir telah beberapa kali berupaya melakukan

pengambilalihan kekuasaan di beberapa negara-negara di Arab, seperti Yordania pada tahun 1969, Mesir pada tahun 1973, dan serentak di Iraq, Sudan, Tunisia, Aljazair pada tahun 1973, namun sayangnya semuanya gagal. Sejak saat itulah Hizbut Tahrir mulai merubah strategi perjuangannya dengan lebih banyak melontarkan wacana dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat melalui dakwah.4

Oleh al-Nabhani, Hizbut Tahrir dimaksudkan sebagai basis politik untuk memperjuangkan umat Islam agar terbebas dari kemunduran dan penderitaan yang telah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang. Keterpurukan dan kemunduran Islam sejak abad ke-19 M ini bukan tanpa sebab. Mereka dijajah dan di bawah kekuasaan imperium Barat. Karena alasan itulah kemudian banyak melahirkan gerakan sosial politik yang berusaha menyelamatkan keterpurukan Islam dan berjuang menentang penjajah atas negara mereka. Namun, menurut Hizbut Tahrir, bukan malah menyelamatkan justru menambah problem lain bagi umat Islam.5

Al-Nabhani mengidentifikasikan ada tiga faktor penyebab kegagalan gerakan tersebut: pertama, aktivis kebangkitan Islam di samping tidak memiliki pemahaman yang mendalam terhadap paradigma fikrah

3 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalime Islam Timur

Tengah ke Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 56.

4 Samarah, Biografi Singkat, 5-6. 5 Al-Amin, Proyek Khilafah, 42.


(27)

17

Islamiyah (pemikiran Islam), juga dipengaruhi oleh pemikiran yang berasal dari luar Islam. Salah satu produk pemikiran asing yang sering dikritik al-Nabhani adalah adalah filsafat.6

Kedua, lemahnya al-t}ariqah al-Islamiyah (metode Islam). Dalam aspek ini, oleh al-Nabhani, umat Islam dinilai tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai al-t}ariqah al-Islamiyah. Al-Nabhani mengkritik fikrah aktifis gerakan kebangkitan Islam tersebut sebagai fikrah yang masih umum, tanpa adanya batasan yang jelas sehingga muncul kekaburan atau pembiasan, yang menyebabkan fikrah tersebut tidak lagi murni.7

Faktor berikutnya yang dinilai al-Nabhani sebagai menyebab kegagalan aktivis gerakan kebangkitan Islam adalah tidak adanya jalinan yang kokoh antara fikrah dan t}ariqah (pemikiran dan metode). Menurut beliau, kaum muslimin hanya memperhatikan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan pemecahan persoalan kehidupan yang menyangkut aspek-aspek fikrah saja. Sedangkan syariat yang menjelaskan cara praktis

pemecahan masalah, justru diabaikan. Al-Nabhani menyayangkan

ketidakpedulian umat Islam dalam mempelajari hukum-hukum yang berhubungan dengan jihad, ghanimah, serta hukum yang menyangkut

khila>fah. Cara seperti ini memisahkan antara fikrah dengan t}ariqah, antara teori dengan praktik, sehingga mustahil fikrah bisa diterapkan.8

6 Taqi al-Din al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tharir (al-Quds: Hizb al-Tahrir, 1953), 4. 7Ibid.

8 Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis (Malang:


(28)

18

Dari aspek normatif, Hizbut Tahrir menyandarkan berdirinya gerakan ini untuk menyambut dan menjawab firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:

َنْ ُحِلنفُمنلا ُمُ كِئ لنوُأ و

ج

ِر كنن ُمنلا ِن ع َ نْ هن ن ي و ِفنوُرنع منلااِب َنوُرُمنأ ي و ِني نْا لِإ َنُْعند ي ةَمُأ نمُكننِم ننُك تنل و

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)

Hizbut Tahrir adalah partai yang telah memahami dan menguasai fikrah, melihat dengan jelas dakwahnya; memahami permasalahnnya dan konsisten dengan sirah} Rasulullah SAW, maka tujuan gerakan ini adalah sebagai berikut:

a. Melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam. Hizbut Tahrir mengklaim bahwa permasalahan, urgen dan mendasar yang dihadapi umat Islam saat ini hanya dapat diatasi dengan mengembalikan hukum melalui penegakan khila>fah.9

b. Membangkitkan kembali umat Islam dengan cara yang benar, yaitu dengan pola pikir cemerlang yang dibangun di atas aqidah Islam dan berusaha untuk mengembalikan masa kejayaan dan keemasan umat Islam sehingga mampu mengambil alih kendali kepemimpinan dari negara-negara dan bangsa-bangsa lain di dunia, sebagaimana yang telah terjadi di masa lampau tatkala Islam memimpin dan memelihara urusan kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Islam.

9 Al-Amin, Proyek Khilafah, 43.


(29)

19

c. Mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dan memimpin umat dalam bertarung melawan sistem kufur, berikut pemikiran-pemikirannya secara menyeluruh, sehingga Islam dapat meliputi seluruh dunia.10

Organisasi ini diakui oleh pendirinya sekaligus para aktivisnya bukan sebagai organisasi sosial keagamaan, melainkan sebagai partai politik. Setelah Taqiyuddin al-Nabhani meninggal, kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Sheikh Abdul Qodim Zallum. Sepeninggal pemimpin kedua, sejak tahun 2003, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Sheikh Atha’ Abu Rostah secara internasional. Beliaulah orang nomor satu dalam struktur kepemimpinan Hizbut Tahrir sekarang ini.11

2. Aktivitas Hizbut Tahrir

Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir adalah kegiatan yang bersifat politik. Dimana mereka memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i, karena politik adalah mengurus dan memelihara urusan masyarakat (rakyat) banyak sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.12

Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas di dalam mendidik dan membina umat dengan thaqafah (kebudayaan) Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari akidah-akidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta dari persepsi yang keliru, dan

10 Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2001),

39-40.

11 Endang Turmudzi dan Riza Sihabudin (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia

(Jakarta: LIPI Press, 2006), 265-266.

12 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir (Bogor:


(30)

20

sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politiknya.

Adapun pergolakan pemikiran tersebut dapat terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Seperti halnya dalam penentangannya terhadap ide yang salah, aqidah-aqidah yang rusak atau pemahaman yang keliru dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, yang disertai dengan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut. Adapun perjuangan politiknya, dapat terlihat dari penentangannya terhadap orang-orang kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu kekuasaannya, membebaskan umat dari tekanan dan pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.13

Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam menentang para penguasa, mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat; melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, begitu halnya bila mereka melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam.

13 Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2001),


(31)

21

Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah mengambil alih kegiatan di luar hukum pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan. Kegiatan Hizbut Tahrir tidak hanya pada aspek pendidikan. Hizbut Tahrir bukan madrasah. Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk. Akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara

mengemukakan fikrah-fikrah Islam beserta hukum-hukumnya untuk

dilaksanakan, dipikul dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.

Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan, sehingga aqidah Islam menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan undang-undang. Karena aqidah Islam adalah aqidah aqliyah (dasar untuk pemikiran) dan aqidah siyasiyah (dasar untuk politik) yang memancarkan aturan yang dapat memecahkan problema manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial masyarakat dan lain-lain.14

3. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir

Sejak awal berdirinya, Hizbut Tahrir menyatakan diri sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya. Dalam mindset pemikiran mereka, Islam ditafsirkan sebagai ideologi bagi kemaslahatan umat, yang di dalam ajarannya terdapat pedoman untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia

14 Tim Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis (Bogor:


(32)

22

baik politik, ekonomi, maupun sosial. Oleh karenanya Islam tidak bisa dilepaskan dari praktek kegiatan politik yang mereka anggap memiliki hukum fardu kifayah. Konsepsi partai tentang otoritas dan kepemimpinan diambil dari tradisi Islam. Referensi yang mereka jadikan panutan adalah dengan melakukan tinjauan historis kejayaan Islam di masa lalu yang ingin mereka representasikan ke dalam kehidupan modern yang mereka nilai telah terkontaminasi oleh ide-ide serta praktek sistem Barat.

Hizbut Tahrir terkenal bukan hanya karena watak politiknya yang kentara, tetapi juga karena sistem pemikirannya yang konsisten dan program politiknya yang terpadu. Mereka menafsirkan Islam sebagai ideologi yang mengungguli sosialisme dan kapitalisme. Sistem yang mengatur segala aspek kehidupan muslim adalah syariat. Partai ini mendesak kaum muslim untuk berijtihad dalam mengelaborasi syariat secara terus-menerus. Partai ini menganggap implementasi syariat sangat penting bagi pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan ini.15

Menurut Hizbut Tahrir, Islam adalah prinsip ideologi yang terdiri dari

aqidah dan syari’at. Aqidah merupakan fungsi untuk memecahkan persoalan

manusia, menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan tersebut,

memelihara dan mengembangkan ideologi tersebut. Islam sebagai prinsip ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas yang sangat


(33)

23

berbeda dengan pola hidup lainnya, seperti kapitalisme, sosialisme dan isme-isme lainnya.16

Adapun bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki partai ini adalah model pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan klasik. Model ini mereka anggap sebagai satu-satunya bentuk autentik pemerintahan Islam, yang diupayakannya untuk dihidupkan kembali bersama lembaga-lembaga tradisional yang menyertainya. Untuk mencapai tujuan ini, partai menyusun konstitusi yang memerinci sistem politik, ekomomi, dan sosial negara yang dimaksud. Hizbut Tahrir merinci dan menggambarkan sebuah sistem kekhilafahan yang sentralistik dalam arti sistem yang memberikan kekuasaan eksekutif dan legislatif kepada khalifah terpilih, yang pada dirinya sebagian besar fungsi negara terpusat.

B. Profil ISIS

1. Sejarah Kelahiran ISIS

ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) merupakan kelompok jihadis sempalan dari al-Qaeda, yang mengklaim berhaluan Ahl Sunnah wa al-Jamâ’ah serta mempunyai tujuan untuk mendirikan negara Islam (khila>fah

Isla>miyah). Lahirnya gerakan ini memiliki sejarah yang cukup panjang.17

16Muhammad Hussain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Penerjemah

Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 43.

17 Beberapa sumber menyatakan bahwa ISIS dan tentu saja Al-Qaeda awalnya

merupakan sebuah organisasi bentukan dari tiga negara, yakni satuan intelijen Inggris (M16), AS (FBI-CIA), dan Israel (Mossad) yang bertujuan untuk membendung ekspansi militer Uni Soviet di Afghanistan. Organisasi ini dibekali persenjataan dan militer yang mumpuni. Mantan pegawai National Security Agency (NSA), Edward Snowden, meliris sebuah dokumen yang menyatakan bahwa pembentukan organisasi tersebut untuk menarik semua ekstremis dari seluruh dunia dalam satu tempat yang sama. Taktik


(34)

24

Sebelum namanya menjadi ISIS atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah), akar dari gerakan ISIS bermula dari dibentuknya Jama’at al-Tawh}i>d wal Jiha>d (Jemaat Tauhid dan Jihad) yang

didirikan oleh Abu Mus’ab al-Zarqawi pada tahun 2004.18

Adalah Ahmad Fadhil Nazzal al-Khalaylah, nama asli dari Abu

Mus’ab al-Zarqawi, orang yang disebut-sebut sebagai founding father

berdirinya gerakan ISIS. Sejak kecil al-Zarqawi bukanlah siswa yang menjanjikan. Kemampuan baca tulis Arabnya tidak bagus, dan dia di drop out

dari sekolahnya pada 1984, tahun dimana ayahnya meningggal dunia. Saat melakukan wawancara untuk New York Times, salah satu sepupunya menuturkan bahwa al-Zarqawi sering melanggar hukum dengan perbuatan

“buruk” nya.19

Al-Zarqawi kemudian melanjutkan studinya di sekolah agama di Masjid al-Husayn Ben Ali di Amman. Di masjid itulah al-Zarqawi mengenal

tersebut dibuat demi melindungi kepentingan zionis. Dengan diciptakannya musuh di perbatasan tersebut akan memperpanjang instabilitas di Timur Tengah. Dalam dokumen itu pula memaparkan bahwa Al-Baghdadi (khalifah ISIS sekarang) telah mendapatkan pelatihan militer setahun penuh dari Mossad, sekaligus mendapatkan kursus teologi dan retorika dari lembaga intelijen zionis tersebut. Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan geopolitik global, Al-Qaeda dan ISIS justru menjadikan AS dan Barat

sebagai musuh “jauh” (far enemy) mereka. Sementara itu, musuh dekat mereka adalah rezim berkuasa yang disokong oleh Barat, seperti kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki. Selengkapnya baca: Reno Muhammad,

ISIS; Kebiadaban Konspirasi Global (Bandung: Noura Books, 2014); Masdar Hilmy,

“Genealogi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) di

Indonesia”, Teosofi: Jurnal Tassawuf dan Pemikiran Islam, Volume 4 Nomor 2 (Desember, 2014); Muhammad Haidar Assad, ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini (Jakarta: Zahira, 2014).

18 Masdar Hilmy, “Genealogi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Teosofi: Jurnal Tassawuf dan Pemikiran Islam, Volume 4 Nomor 2 (Desember, 2014), 406.

19 Michael Weiss dan Hassan Hassan, ISIS: The Inside Story, terj. Tri Wibowo BS


(35)

25

Salafisme, sebuah doktrin yang mendukung pemurnian teologis dan tradisi Nabi Muhammad. Salafis memandang demokrasi Barat dan modernitas bukan hanya pada dasarnya tidak sejalan dengan Islam, tetapi juga merusak peradaban Arab. Pada posisi ekstremnya, Salafi juga menganut doktrin jihad.

Kata ini berarti “perjuangan, berjuang” dalam bahasa Arab dan memuat

banyak definisi. Namun, ketika Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun

1979, definisi utama jihad dalam konteks ini lebih kepada “perlawanan

bersenjata.”20

Pada tahun 1999 Zarqawi mendapatkan kepercayaan oleh Osama bin Laden yang merupakan pemimpin Al Qaeda untuk mengelola sebuah camp

pelatihan di Herat (Afghanistan Barat). Akan tetapi ada perbedaan pandangan mengenai perjuangan jihad dan mendirikan negara Islam yang ideal antara Zarqawi dan Bin Laden. Bin Laden berfokus hanya terhadap musuh negara besar seperti Amerika Serikat, dan tidak tertarik kepada menguasai satu negara atau wilayah dan menyebarkan ideologi jihadnya. Sedangkan Zarqawi sendiri lebih kepada kegiatan menggunakan kekerasan untuk melakukan infiltrasi terhadap suatu wilayah atau negara yang dijalankan oleh rezim yang menurut mereka murtad dan pada akhirnya untuk dikuasai.21

Dengan dasar pemikiran itulah kemudian Zarqawi membuat kelompok yang dinamai Jama’at al-Tawh}i>d wal Jiha>d (JTJ) dan juga mengelola camp pelatihan di Herat Afghanistan. JTJ lebih dari sebuah

20 Michael Weiss dan Hassan Hassan, ISIS: The Inside Story, terj. Tri Wibowo BS

(Jakarta: Prenada, 2015), 2-3.

21 Fernando Tambunan, Sejarah dan Ideologi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria),


(36)

26

jaringan. JTJ merupakan kelompok yang terorganisir yang dibangun dengan bantuan finansial dari Bin Laden. Zarqawi merekrut masyarakat Islam terbuang yang berasal dari Jordan, Palestina, dan Suriah yang berada di Eropa. Pada tahun 2001 populasi di camp Herat sudah mencapai 2.000 (dua ribu) sampai 3.000 (tiga ribu) orang sehingga menjadikan Zarqawi pemimpin penuh kelompok teroris di Herat.22

Berikut adalah skema genealogi terbentuknya ISIS:

22Ibid, 2.


(37)

27

Pada Oktober 2004, al-Zarqawi berbaiat kepada pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden. Organisasi baru yang dipimpin oleh al-Zarqawi setelah bergabung dengan al-Qaeda bernama Tanz}i>m Qa>’idat al-Jiha>d fi> Bila>d

al-Ra>fidayn, yang berarti al-Qaeda di negeri dua sungai, karena Negara Irak dibelah oleh dua sungai yaitu Sungai Tigris dan Sungai Eufrat. Akan tetapi di kalangan Internasional lebih dikenal dengan nama al-Qaeda in Irak (AQI).23

Pada tahun itu pula ia membentuk Majelis Syuro “al-Mujahidin” yang

dipimpin oleh Abdullah Rasyid al-Baghdadi.24

Pada 7 Juni 2006, al-Zarqawi terbunuh oleh serangan udara yang dilakukan oleh AS. Kematian al-Zarqawi bukan berarti AQI juga ambruk.

Majelis Syuro “al-Mujahidin” yang dibentuknya kemudian mengangkat

seorang pemimpin baru, yakni Abu Ayyub al-Masri, seorang kebangsaan Mesir yang menggunakan nama julukan Abu Hamzah al-Muhajir. Pada tahun 2006 pula AQI mengumumkan pembentukan Tanz}i>mu daulah Iraq

al-Isla>miyyah fi> Iraq atau Negara Islam Iraq (Islamic State of Iraq/ISI), dan menunjuk Abu Umar al-Baghdadi sebagai amirnya.25 ISI memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Irak dan menggantinya dengan negara Islam murni yang berdasarkan syariah, serta menempatkan fokus yang lebih besar pada masa depan jihad, kelompok dan Irak.26

23 Trias Kuncahyono, “Genesis ISIS dan Demonstrative Effect di Indonesia”, dalam

Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, ed. Komaruddin Hidayat (Jakarta: Mizan, 2014), 214.

24 Mashuri, ISIS: Jihad atau Petualangan, 4. 25Trias Kuncahyono, “Genesis ISIS”, 216-217. 26 Tambunan, Sejarah dan Ideologi ISIS, 4.


(38)

28

Pada tanggal 15 Oktober 2006 Tawh}i>d wa al-Jiha>d yang dipimpin oleh Abu> ʻUma>r berkoalisi dengan beragam kabilah dan suku di Iraq seperti: al-Dulaim, al-Jabbur, al-ʻUbaid, Zuubaa, Qays, Azza, Tay, Janabiyin, al-Halaliyin, al-Mushahada, al-Dayniya, Bani Zayd, al-Mujama’, Bani Shammar, Inaza, al-Suwaidah, al-Nuʻaim, Khazraj, Bani al-Him, al-Buhairat, Bani Hamdan, al-Sa’adun, al-Ghanim, al-Sa’adiya, al-Ma’awid, al-Karbala, al-Salman dan al-Qubaysat. Selanjutnya hasil dari koalisi ini lahirlah Islamic State of Iraq (ISI) dan sekaligus menunjuk Abu> ʻUmar al-Baghda>di> sebagai pemimpin ISI.27

Empat tahun kemudian ISI menyulut perang dengan tentara Amerika Serikat yang ada di Iraq, sampai Abu> ʻUma>r terbunuh pada 2010. Kemudian kepempinan jatuh pada Abu> Bakr al-Baghda>di>, yang dikenal sebagai komandan perang yang memiliki analisa dan taktik yang jitu. Kemudian pada 2012 al-Baghda>di> memperluas jaringannya sampai ke Suriah dan mengirim

Abu> Muhammad al-Jau>lani> untuk membantu para milisi Suriah yaitu Jabhat

al-Nushrah (JN) sebagai salah satu bagian al-Qaeda. Tidak lama kemudian JN mampu menguasai banyak wilayah di Suriah.28

Sebenarnya, pemimpin kelompok jihad al-Qaeda, Ayma>n al-Zawa>hiri, memang menghendaki agar ISI hanya berkonsentrasi pada wilayah Iraq saja, tidak menyeberang ke Suriah. Ternyata al-Baghda>di>, pemimpin tertinggi ISI, tidak menggubris peringatan dari mentornya dan lebih memilih jalannya

27 Reno Muhammad, ISIS; Kebiadaban Konspirasi Global (Bandung: Noura Books,

2014), 31


(39)

29

sendiri sekaligus tepat pada 17 April 2013 ISI mendeklarasikan diri sebagai kekuatan baru yang terpisah dari al-Qaeda. Kemudian al-Baghda>di> menambahkan Syria atau the Levant pada nama mereka, dan kemudian dikenal dengan sebutan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL).29

Pada tanggal 29 Juni 2014 al-Baghda>di> menyerukan untuk baiat kepadanya sebagai khalifah,30 dan sekaligus mengubah nama menjadi Islamic State (IS). Mereka menanggalkan nama Iraq dan Syria atau the Levant untuk menegaskan bahwa mereka menghendaki wilayah penguasaan lebih luas dari pada sekedar kedua wilayah tersebut. Maka muncul ISIS yang sekarang ini, sebuah kekuatan yang sangat dahsyat sebagai kombinasi antara ideologi jihadisme, militer, militansi, dan kekerasan. Dengan ideologi khila>fah dan

Sunni>, keberadaan ISIS ini bertujuan menandingi sekaligus memberangus

keberadaan insitusi Shi>’ah di negara-negara yang ada Timur Tengah.31 Bahkan di bawah kepemimpinan Abu> Bakr Al-Baghda>di> ISIS mendeklarasikan Negara Islam di sepanjang Iraq dan Suriah dan juga menyatakan Al-Baghda>di> akan menjadi pemimpin bagi umat muslim di seluruh dunia.32

Tidak dapat dipungkiri, sejak kepemimpinan ISIS di pegang oleh al-Baghda>di>, kekuatan ISIS semakin besar dan terorganisir. Hal tersebut jelas

29Ibid, 32

30 Baiat; Kewajiban, Aplikasi dan Penyelewengan, Majalah Digital Kiblat, Edisi 01

Ramadhan 1435H (www.kiblat.net), 3.

31 Masdar Hilmy, Genealogi dan Pengaruh, 407.

32 Muktafi Ni’am, Mengenal Ideologi ISIS dan Sepak Terjangnya dalam www.nu.or.id


(40)

30

terbukti dengan ditaklukannya sejumlah wilayah di Iraq dan Suriah seperti Anbar, Mosul, Ramadi, Fallujah, Sinjar dan Raqaa.33

2. Ideologi ISIS

Melihat dari sejarahnya, ideologi yang dianut ISIS adalah jihadis salafi,34 yang berarti perjuangan untuk memelihara dan membawa kembali kemurnian aqidah dan manhaj Islam agar selalu sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW. Adapun konsep-konsep pemikiran yang menjadi pilar dari gerakan jihadis salafi, diantaranya adalah; ideologi salafisme modern yang yang dibawa Al-Zarqawi ketika masih belajar di Peshawar, Pakistan. Gagasan sentral dari salafisme modern adalah tetap purifikasi Islam, yang waktu itu telah terkontaminasi korupsi dan stagnasi sebagai hasil dari kolonisasi Barat.

Mereka berpendapat bahwa Kesultanan Ottoman (Kekhalifahan

Utsmaniyyah) sebagai penyebab utama kegagalan Arab memodernisasi diri. Karena itu, mereka menyerukan agar semua umat Islam kembali pada kemurnian agama, kembali ke asal-usul Islam, dan ajaran Nabi. Inilah proses esensial purifikasi agama, proses pembersihan dari abad-abad dominasi politik dan ekonomi.35

Di tempat itu pula, Al-Zarqawi bersentuhan dengan konsep al-tauh}i>d (keesaan Allah) yang pernah diformulasikan kembali oleh Sayyid Qutb pada

33 Reno Muhammad, ISIS, 38.

34 Cole Bunzel, From Paper State to Caliphate: The Ideology of the Islamic State”,

Project on U.S. Relations with the Islamic World, No. 19 (March 2015), 7. Baca juga: Tambunan, Sejarah dan Ideologi ISIS, 8.

35 Trias Kuncahyono, “Genesis ISIS dan Demonstrative Effect di Indonesia”, dalam

Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, ed. Komaruddin Hidayat (Jakarta: Mizan, 2014), 210.


(41)

31

tahun 1950-an. Sayyid Qutb menulis, “Allah adalah sumber kekuatan, bukan

orang, bukan partai atau makhluk lainnya.” Ini yang disebut al-h{akimiyyah

lilla>h (prinsip pemerintahan Allah), memproyeksikan Allah ke inti arena politik. Ajaran lain yang dikenal Al-Zarqawi adalah soal takfi>r (riddah atau kemurtadan). Sehingga gerakan ISIS ini menuduh kaum sekuler dan Muslim Irak moderat (terutama mereka yang memiliki kecenderungan liberal dan demokratik), juga kaum Syiah adalah murtad. Mereka yang telah dianggap murtad oleh ISIS maka halal untuk dibunuh.36

Melihat ideologi radikal yang dibawa oleh ISIS, menunjukkan bahwa gerakan ini bermuara pada aliran Wahabi. Wahabi merupakan sebuah sekte keras dan kaku yang merupakan prototipe “salafi radikal yang bisa

dipastikan” atau “pembersihan aqidah” dan didirikan oleh Muhammad Ibnu

‘Abdul Wahab di Semenanjung Arab pada abad ke-18. Dia menerapkan

literalisme yang ketat yang menjadikan teks suci (al-Qur’an dan hadits) sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah dan menampilkan permusuhan ekstrem kepada intelektualisme, mistisisme atau tahayul, dan semua perbedaan sekte yang ada dalam Islam. Dengan menyatakan memiliki ketaatan harfiah pada teks suci agama Islam, aliran ini mengklaim bahwa mereka memiliki keautentikan yang dapat dipercaya dan menegaskan diri bahwa mereka hanya sekedar mematuhi ketentuan sala>f as}-s}a>lih (para pendahulu yang terbimbing, yakni Rasulullah dan para sahabatnya) dan

36Ibid, 210-211.


(42)

32

dengan demikian, kaum Wahabi dapat memanfaatkan simbol dan kategori Salafisme.37

Dalam perkembangannya, setelah tidak sabar dengan proses dialog dalam melakukan perubahan, Muhammad Ibnu Abdul Wahab akhirnya menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidaklah cukup, sehingga dia melakukan perubahan melalui perbuatan. Aksi kekerasan pertama yang dilakukan oleh Wahabi adalah dengan menghancurkan makam Zaid bin al-Khatab (sahabat Nabi dan saudara kandung Umar bin Khatab). Sebelum itu, aksi-aksi pemurtadan dan pengkafiran pun dilancarkan, sebagai pembuka aksi-aksi kekerasan yang dilakukan.38

Pada tahun 1746 M/1159 H, Wahabi secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapapun yang mempunyai pemahaman tauh}i>d berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam berbeda dari Wahabi dianggap murtad, oleh karena itu perang diperbolehkan atau bahkan diwajibkan terhadap mereka. Razia, penggerebekan dan perampokan terhadap mereka pun dilakukan. Sehingga, predikat Muslim (menurut Wahabi) hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Wahabi.39

Sejarah Wahabi tidak pernah lepas dari aksi-aksi kekerasan, baik doktrinal, kultural, maupun sosial. Dalam penaklukan Jazirah Arab 1920-an

37 Rahmat, Arus Baru, 69-71.

38 Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional

di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), 65-66.


(43)

33

ini, lebih dari 400 ribu umat Islam dibunuh, dieksekusi atau diamputasi secara publik, termasuk wanita dan anak-anak. Selain itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukan sering dibawa sebagai rampasan perang. Setelah itu, seperti biasa, Wahabi memaksakan ajarannya kepada semua Muslim yang berada di daerah taklukannya.40

Ringkasnya, sikap dan kegemaran utama Wahabi sejak awal gerakannya, selain membunuh serta merampas kekayaan dan wanita, juga termasuk menghancurkan makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah; membakar buku-buku yang tidak sepaham dengan mereka; memvonis musyrik, murtad dan kafir pada siapapun yang melakukan amalan-amalan yang tidak sejalan dengan ajaran Wahabi. Memang, sebelum mempunyai kekuatan fisik atau militer, Wahabi lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun sebagai musyrik, murtad dan kafir. Namun, setelah mereka mempunyai kekuatan fisik atau militer, tuduhan tersebut diiringi dengan serangan-serangan fisik seperti pemukulan, eksekusi dan pembunuhan. Wahabi menyebut semua ini sebagai dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad, yang sebenarnya semua terminologi tersebut tidak mempunyai konotasi kekerasan dalam bentuk apapun.41

Fenomena tersebut serupa dengan apa yang dilakukan ISIS sejak awal kemunculannya. Dimana mereka menghukumi kafir dan menyerang siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Disamping itu, gerakan ekstremis

40Ibid, 69.


(44)

34

ini juga melakukan penghancuran terhadap peninggalan sejarah dan budaya Irak di Mosul. Bahkan mereka juga meratakan makam Nabi Yunus a.s. dengan tanah, yang diikuti dengan penghancuran sedikitnya 24 tempat suci dan pusat peradaban di Mosul, Irak. Serta masih banyak situs-situs sejarah lain yang menjadi target penghancuran oleh ISIS. Penghancuran tersebut bukan tanpa sebab. ISIS berkeyakinan, telah terjadi perilaku syirik di tempat tersebut.42 Sehingga, dapat ditarik benang merah bahwa ISIS atau gerakan

ekstremis lainnya yang berdakwah atau berjihad dengan jalan kekerasan dapat dipastikan bahwa mereka termasuk dalam golongan Wahabi.

3. Perekrutan Anggota

ISIS mempunyai beberapa strategi dalam hal perekrutan anggota, yakni: pertama, merekrut orang-orang yang menganut corak keislaman atau mempunyai kesamaan dengan ideologi ISIS. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang berpendapat Islamnya sebagai Islam murni dan menganggap selainnya sebagai kafir serta praktek-praktek keislaman di luar yang mereka praktekkan sebagai bid’ah (sesat). Selain itu kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang menginginkan berdirinya negara Islam dan menganggap pemerintahan selain Islam (termasuk pemerintahan demokratis) sebagai thoghut. Selebihnya, secara umum mereka adalah muslim ekstrim dan radikal.43

42 Reno Muhammad, ISIS, 2.

43 Tempo. PBNU: Ubah Paradigma untuk Tangkal ISIS.

http://www.tempo.co/read/news/2014/08/07/078597832/pbnu-ubah-paradigma-untuk-tangkal-isis. Diakses pada 15 Desember 2015.


(45)

35

Kedua, mengadakan pertemuan-pertemuan damai dengan suku-suku. ISIS memiliki sejarah panjang dalam membangun hubungan dengan suku-suku di wilayahnya dalam upaya memperkuat jajaran kaum muslimin, menyatukan mereka di bawah satu pemimpin, dan bekerja sama menuju

khila>fah ‘ala> minhaj al-nubuwwah. Prakteknya dengan menghadiri forum-forum suku, membahas kekhawatiran para pemimpin suku, dan menerima

bai’at mereka secara teratur, yang umumnya berakhir dengan sukses.44

Tahun lalu, atas undangan dari kepala bagian Hubungan Masyarakat di wilayah Halab, Kepala Urusan Kesukuan wilayah Halab menghadiri pertemuan dengan perwakilan dari suku-suku Albu Khamis, Banu Sa’id,

Al-‘Awn, suku-suku di wilayah Khafsah dan sekitarnya serta suku dari

al-Ghanim. Dalam pertemuan tersebut pihak ISIS menjelaskan tentang misi-misi mereka, mereka juga menyerukan akan menerapkan syariat, menegakkan agama, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Lebih lanjut lagi mereka menjelaskan tentang kemenangan-kemenangan jihad mereka dan menekankan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk bertemu dengan suku-suku, menolong dan berkomunikasi dengan mereka, bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan bekerja sama dalam ketakwaan dan kebaikan.45

Namun sebagai timbal balik, ISIS meminta suku-suku tersebut dukungan dan kesetiaan mereka untuk membantu ISIS dengan harta mereka,

44 Dabiq, “The Return of Khilafah, Al-Hayat Media Center, Issue 1 (Ramadhan, 1435),

12.


(46)

36

senjata mereka, anak-anak dan laki-laki dari mereka untuk turut serta bergabung dan berpartisipasi dengan militer ISIS.46

Ketiga, ISIS merekrut orang-orang yang sebelumnya mempunyai kehidupan carut marut atau mempunyai tingkat kriminalitas yang tinggi. Dijanjikan kehidupan mulia serta kematian syahid (mendapat surga) dengan instan ketika bergabung dengan ISIS menjadi mujahidin.47 ISIS mengajarkan kepada mereka tentang ke-syahid-an dan ditegaskan bahwa satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkannya hanya dengan menjadi mujahidin sebagai bentuk penebusan dosa dan jalan menuju surga. Bisa dikatakan bahwa inilah cara efektif bagi ISIS dalam hal perekrutan anggota. Sebab begitulah awal mula jalan al-Zarqawi hingga kemudian menjadi penganut pertama sekaligus pendiri gerakan ini.

Keempat, yang menjadi target utama ISIS adalah anak muda, yang perekrutannya dilakukan dengan berbagai motif dan metode. Dalam konteks Suriah, motif yang digunakan ISIS untuk merekrut anak muda adalah dengan alasan ekonomi. Krisis berkepanjangan yang terjadi di Suriah menyebabkan perekonomian negara menjadi rendah dan minim lapangan pekerjaan. Kondisi tersebut membuat mayoritas anak muda menjadi pengangguran. Mereka yang bersedia bergabung dengan ISIS dijanjikan bayaran tinggi dan jaminan ekonomi. Sedangkan untuk negara lain, Indonesia misalnya, perekrutan lebih ke arah ideologi. Mereka yang mempunyai semangat perjuangan Islam yang

46Ibid.

47 Youtube. Sejarah ISIS menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat. Diakses pada 16 Desember


(47)

37

tinggi, namun tidak memiliki pengetahuan agama dan peta Islam yang cukup, ISIS bisa menjadi alternatif untuk menyalurkan semangat jihad mereka.48

Selain itu, ISIS juga memanfaatkan kecanggihan teknologi dan media internet. Mereka menjadi organisasi jihad yang paling canggih dengan kekuatan media (khususnya media digital-online) yang cukup meyakinkan.

Mereka bahkan membangun doktrin “jihad media” untuk mengajak seluruh

pendukungnya menyumbang bagi media ISIS atau bahkan ikut berpatisipasi dalam propaganda media mereka.

ISIS memiliki satu lembaga khusus untuk pelayanan publik mereka

yang bernama “al-ida>roh al-Islamiyyah lil khidmati al-‘a>mmah” atau yang

berarti “Administrasi Islami untuk Pelayanan Publik” yang dipimpin oleh

Abu Jihad asy-Syami. Salah satu urusan lembaga ini adalah menjamin ketersediaan internet dan membangun sistem serta jaringan digital untuk kebutuhan warga dan jihad mereka. Bahkan lembaga ini terus berupaya memberikan jaringan internet berkapasitas maksimum. Inilah yang menjadi salah satu basis kekuatan ISIS.49

Kelihaian ISIS dalam menggunakan IT sebagai sarana merekrut anggota dan simpatisan bisa dikatakan sangat berhasil. Pasalnya, paham ISIS dengan cepat menyebar di seluruh penjuru dunia dengan bantuan media sosial. Mereka mempropagandakan jihad mereka melalui situs internet, twitter, YouTube, dan media sosial lainnya kepada para pemuda di seluruh

48 Koran Sindo. Vatikan: Ekonomi Alasan Anak muda gabung ISIS.

http://international.sindonews.com. Diakses ada 15 Desember 2015.


(48)

38

dunia. Hasilnya, paling tidak, lebih dari 3000 pemuda dari negara-negara Barat yang telah bergabung dengan ISIS.

Dikabarkan ISIS sekarang ini beranggotakan kurang lebih sekitar 15.000 milisi lintas-negara dan seorang komandan perang yang memiliki gaya kepemimpinan khas al-Qaeda, telah berkembang menjadi ancaman di seluruh dunia. Tidak dapat dipungkiri, sejak kepemimpinan ISIS di pegang oleh al-Baghda>di>, kekuatan ISIS semakin besar dan terorganisir. Hal tersebut jelas terbukti dengan ditaklukannya sejumlah wilayah di Iraq dan Suriah seperti Anbar, Mosul, Ramadi, Fallujah, Sinjar dan Raqaa.50

50 Reno Muhammad, ISIS, 38.


(49)

BAB III

KHILAFAH ISLAMIYAH

A. Tinjauan Umum tentang Khilafah Islamiyah

Secara etimologis, kata khila>fah berarti perwakilan, penggantian. Dalam sejarah, khila>fah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus fungsi Rasulullah SAW sebagai pembuat syara’ dalam urusan agama dan politik. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa sinonim khila>fah adalah imamah, yang berkaitan dengan fungsi Rasulullah SAW oleh seseorang untuk memelihara agama dan dunia.1

Definisi serupa juga dikemukakan oleh Mawardi. Menurut Al-Mawardi, imamah merupakan pengganti tugas kenabian dalam melindungi agama dan mengatur urusan dunia.2 Sementara itu, Al-Baidhawi dan Al-Iiji memberikan unsur tambahan dalam mendefinisikan khila>fah, yaitu adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti dan tunduk pada orang yang dipilih dan diangkat sebagai pengganti dalam menjalankan tugas kenabian tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan definisi imamah sebagai proses seorang umat Islam dalam menggantikan tugas Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga

1 Din Syamsuddin dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah” Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), 2.

2 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, cet. 1 (Kuwait: Maktabah Ibnu Qutaibah,


(50)

40

eksistensi agama, dimana ada kewajiban bagi seluruh umat islam untuk mengikuti atau tunduk kepadanya.3

Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur terpenting dari institusi khilafah adalah, (1) wakil dalam menjalankan tugas kenabian, (2) pertanggungjawaban untuk menegakkan agama dan mengatur kemaslahatan umat, dan (3) cakupan kepemimpinannya meliputi urusan agama dan dunia umat Islam serta adanya kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk tunduk dan taat kepadanya.

Adapun mengenai gelar yang dipakai dalam sistem ketatanegaraan

khila>fah, terkenal tiga istilah yang sering disematkan kepada para pemimpin yang telah dilantik, yaitu khalifah, amirul mukminin dan imam.

Istilah khila>fah dan khalifah (dalam pengertian pemimpin/kepala negara) mulai terdengar dan dipergunakan pertama kali oleh Abu Bakar ketika dipilih menjadi pemimpin umat Islam di saqifah bani Saidah, yang kemudian diteruskan oleh tiga generasi pemimpin selanjutnya, yakni Umar, Utsman dan Ali. Melihat kecenderungan orientasi politik Abu Bakar dan generasi sesudahnya, khalifah yang dimaksud adalah dalam pengertian kekuasaan politik penerus Nabi. Khalifah dalam pengertian sebagai pengganti Nabi sebagai pemimpin politik untuk meneruskan cita-cita perjuangan Islam, bukan sebagai pengganti posisi kenabian.4

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa pemerintahan Khulafaur Rasyidin merupakan khilafah yang sejati. Kesejatian ini disebabkan oleh beberapa

3 Ali Sadikin dkk, “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra Pembentukan Sebuah Negara Baru,” Syamina, Edisi XIII, Agustus 2014, 54.

4 Ma’shum, “Islam dan Pencarian Identitas Politik: Ambiguitas Sistem Khilafah dalam

Institusi Politik Islam”, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2 (Desember, 2013), 483.


(51)

41

hal, antara lain: (1) mereka adalah para sahabat Rasulullah SAW yang terpercaya dan dijamin masuk surga, (2) sikap moral mereka tinggi, dan (3) naiknya mereka sebagai khalifah melalui proses musyawarah atau aklamasi komunitas.5

Pada dasarnya, kata khila>fah mengandung pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Menurut para fuqaha’, penegakan institusi khila>fah mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam.6 Menurut Iqbal, mengutip dari Abdul al-Qadir ‘Audah, khila>fah

merupakan kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.7

Model pemerintahan ini memiliki ciri khas menjalankan syariat Islam dan jabatan kepala negara dipegang oleh seorang khalifah yang diangkat oleh umat muslim melalui baiat atau sumpah setia kepada khalifah selama khalifah tersebut menjalankan syariat Islam. Syariat tersebut dipandang sebagai alat koreksi jika suatu waktu khalifah hendak melenceng dan meluruskannya dari penyimpangan. Sebagian berpendapat jika khalifah melakukan penyimpangan maka ia harus dicopot dari kekhilafahannya.8

5 Din Syamsuddin dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah”

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), 5.

6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2001), 129.

7Ibid, 130.

8 Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan (Yogayakarta: Jendela, 2002),


(52)

42

Untuk menempati posisi sebagai khalifah ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Para ulama pada masa klasik telah mencatat dan mensyaratkan adanya kriteria-kriteria ini. Ibn Abi Rabi' misalnya, mengemukakan enam persyaratan yang harus dipenuhi seorang khalifah, yaitu: anggota dari keluarga raja serta mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya, aspirasi yang luhur, pandangan yang mantap dan kokoh, ketahanan dalam menghadapi kesukaran dan tantangan, kekayaan yang besar, dan pembantu-pembantu yang setia.9

Sedangkan menurut al-Mawardi, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak menempati jabatan imam atau kedudukan sebagai khalifah harus memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah: sikap adil dengan semua persyaratannya, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad, sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya, utuh anggota tubuhnya, wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh, serta berasal dari keturunan Quraisy.10

Kriteria yang dikemukakan al-Ghazali sebagai persyaratan seorang imam dan khalifah ada sepuluh. Kesepuluh kriteria itu adalah: dewasa atau aqil-baligh, otak yang sehat, merdeka dan bukan budak, laki-laki, keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata, hidayah, ilmu

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI

Press, 1993), 48.


(1)

100

dan ISIS meliputi; syarat menjadi khalifah, metode atau strategi perjuangan yang digunakan untuk menegakkan khila>fah, struktur khila>fah serta syarat sah

khila>fah. Dalam penyebarannya menegakkan khila>fah Isla>miyah, Hizbut Tahrir terkesan lebih lunak dibanding ISIS. Hal ini dikarenakan Hizbut Tahrir masih tataran ide-ide (pemikiran) dalam mewujudkan daulah khila>fah Isla>miyah tersebut. Selain itu, tampak Hizbut Tahrir masih banyak melakukan penanaman pemikiran agar daulah khila>fah Isla>miyah berjalan dengan baik, tanpa harus melalui pertumpahan darah. Namun, ISIS dalam mewujudkan daulah khila>fah Isla>miyah sudah dalam level (tataran) gerakan militer bersenjata yang terjun langsung di medan perang yang mereka kategotikan sebagai jihad fi>sabi>lillah, dan bertujuan untuk membebaskan negara dari sistem pemerintahan thaghut, dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan syariat, yakni khila>fah Isla>miyah.

3. Tujuan khila>fah Isla>miyah adalah ingin menyatukan seluruh umat Islam di dunia dengan satu sistem politik dan pemerintahan. Jika dilihat dalam konteks kekinian, hal tersebut mustahil untuk dilakukan. Pasalnya, mayoritas negara di dunia saat ini telah menganut sistem nation-state dimana dalam sistem ini sangat menekankan adanya batas teritorial bagi setiap negara. Selain itu, negara dalam masa kontemporer ini telah memiliki sistem politik dan pemerintahan yang sudah mapan dan berbeda-beda di setiap negara. Jadi, menerapkan kembali khila>fah Isla>miyah hanya akan menabrak tatanan sistem pemerintahan tersebut dan akan menyebabkan instabilitas politik di negara yang bersangkutan. Khila>fah Isla>miyah jelas tidak relevan bila diterapkan di


(2)

101

Indonesia. NKRI dengan Pancasila sebagai ideologinya merupakan harga mati yang tidak bisa dirubah lagi. Sedangkan konsep khila>fah Isla>miyah

berpandangan bahwa segala ideologi, undang-undang dan sumber hukum yang dibuat manusia tidak sesuai syariat dan harus diganti.

B. Saran

Bagi peneliti selanjutnya, dalam skripsi ini, penjelasan penulis tentang perbandingan konsep pemerintahan Islam antara khila>fah Isla>miyah perspektif Hizbut Tahrir dan ISIS masih bersifat umum di dalam masing-masing sistem

khila>fah yang sesungguhnya kompleks. Dengan demikian, saran penulis alangkah baiknya mengambil satu topik yang lebih spesifik, tetapi mendalam. Misalnya mengambil satu topik pemikiran Hizbut Tahrir atau ISIS dalam pemerintahan

khila>fah tentang syarat mendirikan negara Islam, atau struktur khilafahnya, tetapi dianalisis sedalam mungkin, dan lebih dari itu, juga mengemukakan bagaimana landasan-landasan dan argumen-argumen yang digali dari Al-Quran, sunnah dan khazanah Islam yang dilakukan oleh kedua gerakan tersebut, yang di dalam skripsi ini juga tidak penulis jelaskan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Syamsuddin, Din dan Sudarnoto Abdul Hakim, “Khilafah” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2012.

Al-Amin, Ainur Rofiq. Proyek Khilafah HTI. Yogyakarta: LKiS, 2015. Arifin, Syamsul. Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum

Fundamentalis. Malang: UMM Press, 2005.

Armando, Nina M. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Assad, Muhammad Haidar. ISIS: Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini. Jakarta: Zahira, 2014.

Baker, Anton dan Charis Zubair. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Burhani, Ahmad Najib. “Genesis ISIS dan Demonstrative Effect di

Indonesia”, dalam Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, ed. Komaruddin Hidayat. Jakarta: Mizan, 2014.

Dewan Syariah Daulah Islam Irak. ‘Ilamul Anam bi Miladi Daulatil Islam. terj. Abu Hafsh As-Sayyar dan Abu Musa Ath-Thoyyar. t.k.: Al-Qoidun Group, 2008.

Elposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jakarta: Mizan, 2001.

Hamid, Nasuk dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: Ceqda, 2007.

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika, 2012.

Hilal, Syamsu. Gerakan Dakwah Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2002.


(4)

Hizbut Tahrir Indonesia. Struktur Negara Khilafah: Pemerintahan dan Administrasi. Jakarta: HTI Press, 2006.

Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Hizbut Tahrir. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2001.

Hizbut Tahrir. Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir. terj. Moh. Maghfur Wachid. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

Iqbal, Hakim Javid. “Konsep Negara dalam Islam”, dalam Teori Politik Islam, ed. Mumtaz Ahmad. terj. Ena Hadi. Bandung: Mizan, 1996. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.

Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. Magelang: Indonesiatera, 2001.

Khan, Qomaruddin. Negara Al-Mawardi. terj. Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.

Kuncahyono, Trias. “Genesis ISIS dan Demonstrative Effect di Indonesia”,

dalam Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, ed. Komaruddin Hidayat. Jakarta: Mizan, 2014.

Kurnia, MR. Menjadi Pembela Islam. Bogor: Al-Izzah, 2003.

Mashuri, Ikhwanul Kiram. ISIS: Jihad atau Petualangan. Jakarta: Republika, 2014.

Muhammad, Reno. ISIS; Kebiadaban Konspirasi Global. Bandung: Noura Books, 2014.

Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam. terj. Moh. Maghfur Wachid. Bangil Al-Izzah, 1996.

Ra’id, Abu Abdirrahman. Ad-Durar Bahiyyah fi Fiqhi Khilafah al-Islamiyyah. terj. Usdul Wagha. t.k: Thareeqa al-Haq Publishing, 2015. Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal; Transmisi Revivalisme


(5)

Raziq, Ali Abdur. Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan. Yogyakarta: Jendela, 2002.

Samara, Ihsan. Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani. Bogor: Al-Izzah Press, 2002.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.

Suyuthi, Imam Al. Tarikh Al-Khulafa: Ensiklopedia Pemimpin Umat Islam dari Abu Bakar Hingga Mutawakkil. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2010. Turmudzi, Endang dan Riza Sihabudin (ed.). Islam dan Radikalisme

Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2006.

Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Weiss, Michael dan Hassan Hassan. ISIS: The Inside Story, terj. Tri Wibowo

BS. Jakarta: Prenada, 2015.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Zallum, Abdul Qadim. Sistem Pemerintahan Islam. Bangil: Al-Izzah, 2002.

B. Jurnal dan Majalah

Majalah Digital Kiblat, “Baiat: Kewajiban, Aplikasi dan Penyelewengan”, Edisi 01 Ramadhan 1435H (www.kiblat.net)

Masdar Hilmy. “Genealogi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) di Indonesia”, Teosofi, Volume 04, No. 02. 2014.

Ma’shum. “Islam dan Pencarian Identitas Politik: Ambiguitas Sistem Khilafah dalam Institusi Politik Islam”, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu

Syari’ah dan Hukum, Volume 47, No. 02. 2013.

Fernando Tambunan. “Sejarah dan Ideologi ISIS (Islamic State if Iraq and Syria). Kajian Ketahanan Nasional, Kekhususan Stratejik Intelijen. Jakarta: UI.


(6)

Cole Bunzel. “From Paper State to Caliphate: The Ideology of the Islamic

State”, Project on U.S. Relations with the Islamic World”. No. 19.

2015.

Dabiq. “The Return of Khilafah”. Al-Hayat Media Center. Issue 1, 1435 H.

Dabiq. “The Law of Allah or The Law of Men”. Al-Hayat Media Center. Issue 10, 1436 H.

Ali Sadikin dkk. “Takdir Daulah Khilafah: Pro Kontra Pembentukan Sebuah

Negara Baru”. Syamina. Edisi XIII. 2014.

Abdul Waid. “ISIS: Perjuangan Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Komparasi Nilai-Nilai Keislaman ISIS dengan Sistem Politik

Kekinian)”. Episteme̒. Vol. 9 No. 2. 2014.

M. Ismail Yusanto. “Berkah dan Ancaman”. Al-Wa’ie. Nomor 169. 2014.

C. Website

Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, Madd Al-Ayya>di bi Bai’ah Al-Baghda>di, http://www.tawhed.ws/r?i=05081301. Diakses pada 20 Mei 2016.

https://ummulfaraidh.wordpress.com/2013/08/06/khilafah-structure/. Diakses pada Jum’at, 01 Juli 2016.

Muktafi Ni’am, Mengenal Ideologi ISIS dan Sepak Terjangnya, Kamis, 25 Februari 2016 (www.nu.or.id)

Ramadhian Fadillah, Berapa Jumlah anggota dan kekuatan ISIS di Indonesia, 2014. http://www.merdeka.com/peristiwa/berapa-jumlah-annggota-dan-kekuatan-isis-di-Indonesia.html. (Senin, 13 Oktober 2015)

Tempo. PBNU: Ubah Paradigma untuk Tangkal ISIS. http://www.tempo.co/read/news/2014/08/07/078597832/pbnu-ubah-paradigma-untuk-tangkal-isis. Diakses pada 15 Desember 2015.

“Vatikan: Ekonomi Alasan Anak Muda Gabung ISIS”,