ISIS dan Romantisme Khilafah

A 10

Opini & Editorial

Suara Pembaruan

Sabtu-Minggu, 9-10 Agustus 2014

Pemimpin Umum:
Theo L Sambuaga

SP

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Primus Dorimulu

Memihak Kebenaran

Editor at Large:
John Riady


Wakil Pemimpin Umum:
Randolph Latumahina

Tajuk Rencana

“Habitus” Baru

M

enjelang HUT ke-69 Republik Indonesia, termasuk 16 tahun Orde
Reformasi, sebagian besar rakyat Indonesia belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan. Bagi rakyat, kemerdekaan bukan hanya berarti
bebas menyampaikan pendapat, beraktivitas, dan berkarya, tetapi yang lebih
penting adalah peningkatan kesejahteraan. Sayangnya, sampai saat ini masih
ada puluhan juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 28,28 juta jiwa atau 11,25
persen dari total penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Bila ditambah
yang hampir miskin atau mendekati garis kemiskinan (near poor), jumlahnya
bisa melonjak menjadi 100 juta jiwa. Di sisi lain, segelintir orang Indonesia
memiliki kekayaan luar biasa, bahkan dalam waktu singkat meningkat pesat.
Akibatnya, ketimpangan ekonomi pun semakin parah. Buktinya rasio gini

Indonesia terus memburuk. Pada 2005, rasio gini tercatat 0,34, lalu pada 2009
menjadi 0,37, dan saat ini mencapai 0,41. Semakin besar rasio gini, semakin
lebar pula kesenjangan antara sekelompok kecil kaum kaya dan sebagian
besar orang miskin.
Penyebab utamanya adalah korupsi. Pajak rakyat dan hasil pengelolaan
kekayaan negara digerogoti koruptor, sehingga program pemberdayaan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan mendapat alokasi dana yang minim.
Penyebab lainnya adalah alokasi APBN yang didominasi belanja birokrasi dan
subsidi yang tak tepat sasaran. Selain itu, sebagian besar elite, birokrasi, politisi,
tokoh masyarakat, bahkan pemuka agama, lebih korup dan egois. Praktik korupsi justru menjadi semakin ganas saat Orde Reformasi, ketimbang Orde Baru!
Oleh karena itu, pergantian pemerintahan hasil Pilpres 2014 dari SBYBoediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi momentum untuk
memulai habitus baru di negeri ini. Apalagi, presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK mengusung tagline “Revolusi Mental” menuju “Indonesia
Hebat”. Habitus baru itu tercermin dari pikiran, sikap, dan perilaku dengan
meninggalkan kebiasaan lama, seperti korup, bermental priyayi, serta budaya
instan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Dalam bahasa Indonesia, habitus yang berasal dari bahasa Latin diartikan
sebagai “kebiasaan”, setelah kata tersebut diadopsi bahasa Inggris menjadi
habit. Dalam pengertian yang lebih luas, habitus bisa diartikan sebagai “karakter” dan juga “watak”.
Bagi kita, ada empat komponen bangsa yang seharusnya memulai habitus baru. Pertama, pemerintahan. Salah satu tolok ukurnya adalah penentuan
kabinet. Kita berharap Jokowi-JK menepati janji dengan menempatkan sosok
berintegritas, kapabel, dan akseptabel, dalam kabinet mendatang. Bila zaken

kabinet sukses terbentuk, perilaku birokrasi pun diharapkan berubah menjadi
semakin profesional dan melayani. Gubernur, bupati, dan wali kota, hendaknya berlaku serupa saat memilih kepala dinas, camat, dan lurah. Dengan demikian diharapkan pemerintahan mendatang betul-betul bekerja untuk memajukan kesejahteraan umum.
Kedua, parpol dan DPR. Kita sepakat dengan pernyataan bahwa daya rusak pada Orde Reformasi sangat dahsyat yang dipicu ulah politisi. Legislative
heavy membuat DPR sangat berkuasa dan menjungkirbalikkan segala tatanan. Perekrutan politik lebih mengutamakan modal dan popularitas, ketimbang
kapabilitas dan integritas. Tak heran bila banyak legislator kini dipenjara. Ke
depan, perekrutan kader harus lebih selektif dengan mengutamakan kapabilitas dan integritas.
Ketiga, penegak hukum. Salah satu penyebab korupsi marak adalah penegakan hukum yang masih lemah. Koruptor dihukum ringan, sehingga tak
menimbulkan efek jera. Penyebabnya, mafia hukum masih bergentayangan.
Oleh karena itu, Jokowi-JK wajib menunjuk tokoh berintegritas, berani, dan tak
kenal kompromi menjadi kapolri dan jaksa agung, serta mengusulkan hakim
agung dan komisioner KPK dengan kriteria serupa.
Keempat, masyarakat. Pemerintah, elite, tokoh masyarakat, dan pemuka
agama hendaknya mendidik masyarakat agar tidak menyogok dan memberi
suap dalam berbagai urusan. Bila ada aparat yang meminta suap, masyarakat
tak perlu takut melaporkannya ke instansi atau saluran yang dibuat pemerintah pusat. Sogok dan suap harus dijadikan musuh bersama!
Bila keempat komponen tersebut secara simultan melakukan habitus baru, kita yakin kesejahteraan umum lebih cepat tercapai. Hal ini sejalan dengan
keinginan Presiden Soekarno saat menyampaikan pidato lahirnya Pancasila
pada 1 Juni 1945. “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu
Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”

Tentu kita ingin seluruh rakyat Indonesia sejahtera. Semua itu bisa terwujud
dengan melakukan habitus baru yang sejalan dengan revolusi mental ala Jokowi.

S A S A R A N
Banyak yang meragukan kualitas saksi kubu Prabowo-Hatta.
– Semoga bukan saksi yang direkayasa.
u
Praktik pemerasan TKI jadi target KPK.
– Jangankan di negeri orang, di negeri sendiri pun diperlakukan tak
semestinya.

Tulisan opini panjang 900 kata disertai riwayat hidup singkat,
foto kopi NPWP, foto diri penulis dikirim ke opini@suarapembaruan.com.
Bila setelah dua minggu tidak ada pemberitahuan dari redaksi,
penulis berhak mengirim ke media lain.

ISIS dan Romantisme Khilafah

IdIng R Hasan


F

enomena gerakan Islamic
State of Iraq and Syria
(ISIS) ternyata kian mengkhawatirkan. Dukungan terhadap kelompok ekstremis ini
tampaknya cenderung meluas di
kalangan masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Bahkan,
sekarang mereka sudah berani
secara terang-terangan mendeklarasikannya di negeri ini, dan
mengklaim sebagai bagian dari
gerakan yang lahir di Timur
Tengah tersebut. Mereka juga
aktif merekrut pengikut-pengikut baru terutama kalangan
anak-anak muda.
Salah satu daya tarik ISIS di
kalangan masyarakat Islam
Indonesia adalah tujuannya untuk mendirikan khilafah
Islamiyah, seperti yang pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama

Islam, tentu saja banyak warga
Muslim yang merasa terwakili
oleh apa yang ditawarkan ISIS
tersebut, sehingga mereka mendukung sepenuhnya.

Romantisme Sejarah
Khilafah Islamiyah di kalangan umat Islam memang dipandang sebagai sesuatu yang
sangat penting. Tetapi, persoalannya adalah apakah keinginan
untuk mendirikan khilafah
Islamiyah di Indonesia merupakan langkah yang tepat? Apakah
semata-mata karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama
Islam dapat dijadikan argumentasi yang kuat untuk mendukung
keinginan tersebut?
Kalau dilihat dari tipologi
gerakan-gerakan radikal Islam
yang ingin mendirikan khilafah
Islamiyah, pada umumnya tam-

pak memiliki pola yang sama.

Mereka, meminjam istilah
Ernest Bormann, pencetus teori
konvergensi simbolik, memiliki
dan berbagi tema-tema fantasi
(fantasy themes) yang sama,
bahwa khilafah merupakan pemerintahan paling ideal yang
telah ditetapkan Allah SWT; dan
bahwa keadilan, kesejahteraan
dan kemakmuran hanya dapat
direalisasikan di bawah pemerintahan khilafah tersebut.
Dalam pandangan mereka,
berbagai praktik penyelewengan umat manusia selama ini,
merupakan akibat dari pemerintahan sekarang yang tidak mau
tunduk pada aturan Tuhan atau
sesuai bahasa mereka, tidak
mau menerapkan khilafah.
Itulah yang mereka sebut sebagai pemerintahan thaghut, yakni
pemerintahan kaum kafir yang
kejam, despotik atau sewenangwenang pada rakyatnya.
Sayangnya, mereka agaknya

tidak memahami bahwa segala
urusan duniawi, termasuk masalah pemerintahan (khilafah),
bersifat kontekstual. Artinya, ia
boleh jadi merupakan pilihan
tepat, tetapi hanya berlaku untuk ukuran saat itu. Sedangkan
di saat yang lain belum tentu tepat jika diterapkan.
Khilafah pada masa Nabi
dan khalifah-khalifahnya memang sangat layak diterapkan.
Ketika itu Islam tengah menguasai dunia, bahkan sampai tembus ke belahan Eropa, seperti
Spanyol, Italia, dan sebagainya.
Situasi di Indonesia tentu saja sangat berbeda. Benar bahwa
mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi dasar negaranya adalah Pancasila dengan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan demikian, jika ada
kelompok yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah di
Indonesia, termasuk oleh ISIS,
apalagi dengan menghalalkan
penggunaan kekerasan, jelas hal
itu merupakan tindakan ahistoris dan mencerminkan ketidakpahamannya terhadap konteks
masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

Sama sekali tidak ada argumentasi yang kuat, dari sudut
pandang manapun, untuk melakukan hal tersebut. Atau dengan
kata lain mereka sebenarnya hanyalah sedang berasyik masyuk

dengan romantisme sejarah kegemilangan Islam di masa lalu,
seraya menutup mata terhadap
realitas umat Islam kekinian di
Indonesia.
Dekonstruksi
Gerakan ISIS dan gerakangerakan radikal Islam lainnya secara umum memiliki doktrin serupa yang mendorong, untuk tidak mengatakan memaksa.
Mereka berani melakukan tindakan-tindakan yang tidak toleran, penuh kekerasan, dan sebagainya. Di antara doktrin-doktrin
yang kerap kita dengar adalah
takfiri (mengkafirkan pihak yang
berlainan agama atau yang dianggap musuhnya) dan jihad fisabilillah (berjuang dengan mengangkat senjata di jalan Allah).
Konstruksi pemahaman mereka atas dua doktrin tersebut
sebenarnya keliru dari sudut
Islam yang diajarkan oleh Nabi
sendiri. Karena itu, perlu ada
upaya dekonstruksi terhadap
doktrin tersebut. Tetapi setelahnya harus pula disertai dengan

rekonstruksi sehingga bisa meluruskan kekeliruan itu.
Doktrin takfiri, misalnya, tidak lagi relevan untuk saat ini,
apalagi di Indonesia. Dikotomi
Muslim dan kafir menjadi ambigu jika dikaitkan dengan masyarakat kita sekarang ini. Kafir tidak semata-mata diartikan sebagai non-Muslim.
Mengenai doktrin jihad, kaum radikal juga sudah sangat
keliru dalam penerapannya.
Berjuang mengangkat senjata,
yang kerap didengungkan, bahkan oleh Nabi sendiri, dianggap
sebagai ‘jihad kecil”. Jihad yang
benar adalah bersungguh-sungguh dan berusaha keras dalam
suatu hal, seperti dalam menuntut ilmu, mencari rejeki dan sebagainya. Mati dalam usaha tersebut justru dianggap mati syahid dan dijanjikan surga oleh
Tuhan.
Dengan demikian, rekonstruksi atas pemahaman kaum
radikal yang keliru tersebut harus terus dilakukan sehingga penyebaran ISIS sedikit banyak
dapat ditangkal.
P enulis adalah D EPUTI D IREKTUR
T HE P OLITICAL L ITERACY I NSTITUTE ,
DOSEN KomuniKasi POLITIK
FISIP UIN JAKARTA