Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Yuri

Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Yurisprudensi untuk
Pembangunan Hukum di Indonesia*
Oleh: Rimas Kautsar, S.H., M.H.**

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun
2012 tentang Produk Hukum Mahkamah Konstitusi, yang dimaksud dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah pernyataan Mahkamah Konstitusi yang
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dalam rangka menjalankan
kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final: 1
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagai dimaksud dalam UUD 1945.
Selain putusan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengeluarkan produk hukum

lainnya baik di bidang yudisial maupun non yudisial, yaitu antara lain:
1. Ketetapan Mahkamah Konstitusi, adalah penetapan tertulis Mahkamah
Konstitusi yang berisi tindakan hukum, baik yang bersifat konkret-tertentu
maupun bersifat konkret-individual, dan final untuk menindaklanjuti hal-hal
yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban
Mahkamah

Konstitusi

dalam

bidang

yudisial

berdasarkan

peraturan

perundang-undangan [Pasal 9 PMK No. 1 Tahun 2012];

1*Makalah disampaikan dalam acara Kelompok Diskusi Terbatas “Penyusunan Modul Restatement:
Mendorong Kualitas dan Akuntabilitas Hukum” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia (PSHK), pada Rabu, 31 Mei 2017. Makalah ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili
pendapat Mahkamah Konstitusi lembaga tempat penulis bekerja.
**Pemerhati Hukum, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) angkatan 2003, saat ini
berprofesi sebagai PNS di Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum Mahkamah
Konstitusi. Psl. 4.

1

2. Peraturan Mahkamah Konstitusi, adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum, baik dalam bidang yudisial
maupun non-yudisial [Pasal 13 PMK No. 1 Tahun 2012];
3. Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan penetapan tertulis
yang berisi tindakan hukum yang bersifat konkret, individual, dan final dalam
bidang non-yudisial [Pasal 18 PMK No. 1 Tahun 2012].
Sifat dari putusan MK adalah bersifat final, hal tersebut dapat ditinjau dari
peraturan perundang-undangan sebagai berikut,
1. Ditinjau dari pengaturan di tingkat Undang-Undang Dasar (konstitusi):

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ...”
2. Ditinjau dari pengaturan di tingkat Undang-Undang:
a. Pasal 29 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ...”
b. Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ....”
Penjelasan:
“(1) Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan
hukum mengikat (final and binding).”
Selain ditinjau dari peraturan perundang-undangan, sifat dari putusan Mahkamah
Konstitusi dapat dilihat dari amar dan akibat hukumnya, menurut pendapat Tim
Penyusun


Hukum

Acara

Mahkamah

Konstitusi:

Sekretariat

Jenderal

dan

Kepaniteraan MKRI secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief,
terkait hal ini mereka memberikan penjelasan sebagai berikut,

2


“Secara umum putusan Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi
hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan
yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi
hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan dengan
UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan
keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan
keadaan hukum baru (bersifat constitutief-tambahan penjelasan oleh penulis).
Demikian pula dalam putusan perselisihan hasil Pemilu, putusan MK
menyatakan hukum dari penetapan KPU tentang hasil Pemilu apakah benar
atau tidak. Apabila permohonan dikabulkan, MK membatalkan penetapan
KPU itu yang berarti meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan
hukum baru.”2
Kemudian selain bersifat declaratoir dan constitutief, menurut Maruarar Siahaan
(Hakim Konstitusi periode 2003-2009), putusan MK juga dimungkinkan memiliki sifat
condemnatoir, hal ini diketahui dari uraian sebagai berikut,
“Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat
condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK

menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan
dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan yang
dipersengketakan.”3
Sebagaimana layaknya putusan badan peradilan yang lain, MK juga memiliki
dua jenis putusan, yaitu:
1. Putusan sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis
hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal
yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan
hakim. Putusan sela diartikan juga sebagai putusan yang dibuat dalam dan
menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau
sengketa. Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum
putusan akhir dijatuhkan.4

2 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2010), hlm. 55.
3 Ibid., hlm. 55.
4 Ibid., hlm. 51.


3

Terkait dengan putusan sela Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI memberikan
penjelasan sebagai berikut,
“Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya
terdapat dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara. Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan MK.
Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal dalam pengujian
UU dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela dalam perkara
pengujian UU pertama kali dijatuhkan dalam proses pengujian UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK), perkara Nomor 133/PUU-VII/2009. Dalam proses
persidangan perkara tersebut atas permohonan dari pemohon, MK
memberikan putusan sela yang pada intinya menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK

yang menjadi terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu
sebelum ada putusan MK mengenai pengujian pasal dimaksud.
Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur dalam
PMK Nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Pemilihan Umum Presiden
Dan Wakil Presiden. Putusan sela dalam PMK Nomor 16 Tahun 2009
dan PMK Nomor 17 tahun 2009 diartikan sebagai putusan yang
dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkaitan dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan
akhir.
Salah satu contoh putusan sela pada perkara perselisihan hasil Pemilu
adalah dalam Perkara Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yaitu Putusan
Sela Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009, tanggal 9 Juni 2009. Di dalam
putusan sela tersebut MK memerintahkan kepada Termohon (Komisi
Pemilihan Umum), Turut Termohon I (Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Papua) dan Turut Termohon II (Komisi Pemilihan Umum Kabupaten

Yahukimo) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang pemilihan
umum calon anggota DPD pada Distrik Ninia, Distrik Holuwon, Distrik
Soba, … .”5
2. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa
yang diadili.6
5 Ibid., hlm. 51-52.
6 Ibid., hlm. 51.

4

Berdasarkan Pasal 48 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, isi putusan
MK harus memuat:
a. Kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”;
b. Identitas pihak, dalam hal ini terutama identitas pemohon dan termohon (jika
dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik principal maupun
kuasa hukum;
c. Ringkasan permohonan;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan; dan
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Terkait isi putusan MK Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI memberikan penjelasan sebagai
berikut,
Bagian “ringkasan permohonan” dan “pertimbangan terhadap fakta yang
terungkap dalam persidangan” dalam praktik putusan MK dimuat pada bagian
“Duduk Perkara”. Pada bagian ini memuat ringkasan seluruh proses
persidangan yang terjadi, mulai dari ringkasan permohonan, alat bukti yang
diajukan, keterangan pihak terkait, keterangan saksi pemohon, keterangan
ahli ahli pemohon, keterangan saksi termohon/pihak terkait, keterangan ahli
termohon/pihak terkait, serta keterangan ahli dari MK (jika ada).
Pada bagian pertimbangan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu tentang
kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon, serta tentang pokok
perkara. Pada bagian pertama, MK akan mempertimbangkan apakah
permohonan merupakan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus. Jika merupakan kewenangan MK, pertanyaan selanjutnya yang
dipertimbangkan adalah apakah pemohon memiliki legal standing
mengajukan permohonan dimaksud.

Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok perkara, ditentukan isu hukum
yang harus dipertimbangkan dan dijawab yang menentukan amar putusan.
Berbagai isu hukum tersebut diberikan pertimbangan satu-persatu, bahkan
terhadap keterangan saksi dan ahli juga dijawab oleh majelis hakim, baik
menyetujui maupun menolak keterangan itu. Di akhir pertimbangan,
dicantumkan kesimpulan (konklusi) dan dilanjutkan dengan amar putusan.

5

Menurut penulis salah satu cara terbaik untuk melakukan analisis putusan MK
adalah dengan memperhatikan struktur putusan MK berdasarkan Pasal Pasal 48 UU
No. 8 Tahun 2011, kemudian dengan seksama memperhatikan putusan MK pada
bagian “Duduk Perkara”, kemudian berlanjut pada bagian “Pertimbangan Hukum”,
pertama pada sub bagian kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon,
apabila di sub bagian kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon tidak
terpenuhi maka hal ini akan menyebabkan permohonan pemohon tidak dapat
diterima dan eksepsi termohon diterima (apabila dalam permohonan terdapat pihak
termohon dan pihak termohon mengajukan eksepsi). Dalam perkara tertentu yang
terikat dengan batas waktu (time frame) dalam hal pengajuan permohonan seperti
perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden dan
perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, maka perlu juga diperhatikan mengenai Tenggang Waktu Pengajuan
Permohonan, apakah tenggang waktu pengajuan permohonannya terpenuhi atau
tidak? Karena apabila tidak terpenuhi, maka hal itu juga berakibat pada permohonan
pemohon tidak dapat diterima dan eksepsi termohon diterima (apabila pihak
termohon mengajukan eksepsi).
Selanjutnya pada bagian “Pertimbangan Hukum” di sinilah letak pendapat
hukum dari Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap pokok perkara, di mana
setiap dalil pemohon, dalil termohon, keterangan saksi dan ahli juga dijawab oleh
majelis hakim. Pada bagian ini setiap isu hukum yang harus dipertimbangkan dan
dijawab satu per satu oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sehingga
menentukan amar putusan. Di akhir pertimbangan, dicantumkan kesimpulan
(konklusi) dan dilanjutkan dengan amar putusan, dengan demikian akan menjadi
runtut bagaimana argumentasi atau pertimbangan hukum dari Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan amar putusannya.
Selain cara sebagaimana penulis kemukakan di atas, dalam menganalisis
suatu putusan MK penulis menyarankan untuk berkaca atau mempertimbangkan
Teknik menganalisis putusan yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yang
dijelaskannya sebagai berikut,
“Membaca atau menganalisis putusan pengadilan tidak selalu mudah, karena
pada umumnya bahasa atau konstruksi kalimatnya panjang-panjang dan
berputar-putar, sehingga diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian
6

untuk membacanya. Itu semuanya pada hakekatnya adalah demi kepastian
hukum.
Membaca putusan tidak cukup hanya membaca dictum atau amarnya saja,
tetapi pertimbangan mengenai duduk perkaranya dan pertimbangan
hukumnya tidak kurang pentingnya untuk dibaca, karena peristiwa konkrit
merupakan dasar penemuan hukum yang harus diterjemahkan dalam bahasa
hukum, kemudian dicarikan hukumnya dan akhirnya diputuskan. Bahkan
membaca kaedah hukumnya saja yang telah diseleksi atau dimuat tersendiri
dan diletakkan dalam suatu bingkai di dalam buku-buku kumpulan
yurisprudensi tidaklah cukup. Kecuali itu membaca putusan pengadilan tidak
cukup hanya membaca putusan dalam tingkat peradilan pertama saja, tetapi
juga harus pula dilengkapi dengan membaca putusan dalam tingkat banding
atau kasasi kalau ada.
Apa yang harus diperhatikan dalam menganalisis putusan ialah siapa para
pihaknya dana apa peranannya (sebagai penggugat, tergugat, pemohon
banding, terbanding dan sebagainya), peristiwa yang menjadi sengketa
(untuk ini perlu dipelajari upaya-upaya hukum yang dipergunakan) kemudian
penerapan hukumnya.
Pada dasarnya yang dicari dalam membaca putusan ialah kaedah hukum
yang terdapat dalam putusan itu.
Membaca putusan Mahkamah Agung pada umunya sukar dan melelahkan
dibandingkan membaca putusan-putusan peradilan negeri, karena
pertimbangan Mahkamah Agung lebih dipusatkan pada masalah-masalah
penafsiran yang sangat rinci.
Dari putusan sebagai sumber hukum hakim tidak dapat menemukan semua
alasan atau argument yang dicarinya, bahkan kadang-kadang tidak dapat
menemukan alasan-alasan yang dicarinya.
Perlu diketahui bahwa putusan itu tidak secara langsung dijabarkan dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan. Putusan itu dibentuk dari pelbagai
penilaian dan sikap hakim. Pemecahannya untuk sebagian besar tergantung
dari motif-motif etis, kesusliaan, religius, politik, ekonomi dan sebagainya.” 7
Putusan MK sebagai Yurisprudensi Hukum
Dinamika hukum di Indonesia di era reformasi pasca amandemen UUD 1945
yang memunculkan ide dibentuknya Mahkamah Konstitusi, menandai perubahan era
supremasi politik menjadi supremasi hukum, yaitu perubahan dalam ketatanegaraan
Indonesia dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Agar konstitusi
tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar maka harus dijamin bahwa
ketentuan hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri
dengan memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika memang
ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi, hal ini menjadi menjadi

7 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
Cetakan Keenam, 2009), hlm. 54-55.

7

penting karena aturan hukum berupa undang-undang itulah yang menjadi dasar
penyelenggaraan negara.8
Pada umumnya masyarakat memahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengandung kaedah hukum 9 yang bisa merubah suatu peraturan perundangundangan adalah putusan Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan kewenangan
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar atau konstitusi, 10 padahal
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional, dengan
sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi. 11
Berdasarkan latar belakang tersebut, setidaknya MK memiliki 5 (lima) fungsi yang
melekat

pada

keberadaan

MK

dan

dilaksanakan

melalui

pelaksanaan

kewenangannya12, yaitu:
a. MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution);
b. MK sebagai penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
c.

MK sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights);

d. MK sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of
citizen’s constitutional rights); dan
e. MK sebagai pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Dengan demikian putusan MK ada baiknya dilihat secara keseluruhan bukan hanya
dilihat putusan MK tentang perkara pengujian undang-undang saja, melainkan juga
dilihat dalam perkembangan praktik peradilan di MK terkait putusan MK dalam
melaksanakan kewenangan-kewenangannya yang lain.

8 Op. Cit. Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MKRI, hlm. 8.
9 Menurut Sudikno Mertokusumo dalam Buku “Penemuan Hukum Suatu Pengantar” halaman 11,
kaedah hukum dalam arti sempit adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit.
10 Perlu diingat juga bahwa kewenangan MK dalam pengujian undang-undang meliputi uji formil dan
uji materiil undang-undang terhadap UUD atau konstitusi.
11 Op. Cit. Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MKRI, hlm. 10.
12 MK sendiri berdasarkan atas Pasal 24C UUD 1945 memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

8

Putusan perkara pengujian undang-undang di MK memiliki dinamika yang
menunjukkan bahwa MK menganut paham hukum progresif. Di dalam Pasal 56 UU
MK membatasi isi amar putusan MK terkait pelaksanaan kewenangan pengujian
undang-undang pada tiga jenis amar saja, yaitu: 13
a. Permohonan tidak dapat diterima (Niet Ontvantkelijk Verklaard);
b. Permohonan dikabulkan; dan
c. Permohonan ditolak.
Pembatasan isi amar putusan MK tersebut bahkan diperkuat dengan ketentuan
Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (2a) UU MK,
“(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang berrtentangan
dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi memuat:
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”14
Dalam praktik peradilan MK, dalam perkembangannya, terdapat pula amar putusan
lainnya, yaitu:
a. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional);
Contoh: Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal
Pengujian UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam konklusi
putusan dinyatakan bahwa: “pasal 12 dan pasal 67 UU 10/2008
13 Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Psl. 56.
14 Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Psl. 57.

9

“konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a
quo harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di
provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD;” 15
b. Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional);
Contoh: Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam
konklusi putusan dinyatakan bahwa: “Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah
tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak
dipenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Amar Putusan ini; 16
c. Penundaan Keberlakuan Putusan;
Contoh: Putusan Perkara Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945; 17
d. Perumusan Norma dalam Putusan.
Contoh: Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal Pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terhadap UUD Negara RI
Tahun 1945. Dalam bagian Mengadili dalam putusan tersebut, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan
permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan bagian tertentu tersebut,
maka pasal-pasal tersebut menjadi sebuah norma baru yang berbeda dengan
norma sebelumnya, misalnya Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004
mengatur sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPR. Dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal tersebut menjadi: “Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” 18
Yurisprudensi

menurut

Sudikno

Mertokusumo

mengandung

beberapa

pengertian. Mengenai hal ini Sudikno Mertokusumo berpendapat sebagai berikut,

15 Op. Cit. Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MKRI, hlm. 142-143.
16 Ibid., hlm. 143-144.
17 Ibid., hlm. 144-145.
18 Ibid., hlm. 145-146.

10

“Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim. Yurisprudensi dapat pula
berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat
peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang pada umumnya
diberi annotatie oleh pakar di bidang peradilan. Selanjutnya yurisprudensi
diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan
dituangkan dalam putusannya. Di samping itu di lingkungan peradilan dikenal
apa yang disebut yurisprudensi tetap. Apabila suatu kaedah atau ketentuan
dalam suatu putusan kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para
hakim dalam putusannya dan dapat dianggap sebagai keyakinan hukum
umum, maka dikatakan bahwa terhadap permasalahan hukum tersebut telah
terbentuk yurisprudensi tetap. Di “putus-ulangnya” kaedah hukum dalam
suatu putusan oleh suatu yurisprudensi tetap akan memperkuat wibawa
kaedah hukum tersebut. Sebagai contoh yurisprudensi tetap dapat disebut
putusan HR 31 Januari 1919. Perlu kiranya mendapat perhatian bahwa
“jurisprudence” berbeda artinya dengan yurisprudensi Jurisprudence berarti
ilmu hukum.”19
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo memberikan penjelasan mengenai putusan
pengadilan tidak seluruh bagian mempunyai kekuatan mengikat, sehingga muncul
pertanyaan bagian manakah dari putusan itu yang mempunyai kekuatan mengikat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut menurut Sudikno Mertokusumo perlu diketahui
bahwa putusan hakim itu merupakan penyelesaian perkara, tetapi sekaligus juga
merupakan penetapan kaedah hukum untuk waktu yang akan datang. 20 Mengenai
hal tersebut Sudikno Mertokusumo menjelaskan sebagai berikut,
“Sebagai penyelesaian perkara maka putusan itu hanya mengikat atau
berlaku bagi para pihak atau terhukum saja, dan terutama bagian diktumlah
yang mengikat para pihak atau terhukum, baik yang deklaratif maupun yang
dispositif: ini berarti bahwa para pihak harus mematuhi dan melaksanakan
bunyi diktum.
Putusan sebagai penetapan kaedah hukum untuk waktu yang akan datang
merupakan pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara yang serupa
dengan yang diputus oleh putusan tersebut, di kemudian hari (stare decisis).
Di dalam sistem Anglo-Saks kecuali bagian-bagian yang telah dikemukakan di
atas, suatu putusan dapat mengandung pandangan atau pertimbangan yang
sifatnya sepintas lalu, tidak relevan, yang tidak secara langsung mengenai
pokok perkara yang diajukan (obiter dictum), dan pandangan atau
pertimbangan yang mengenai pokok perkara dan yang secara langsung (ratio
decidendi). Jadi suatu putusan dapat mengandung pertimbangan atau alasan
yang tidak secara langsung mengenai pokok perkara. Apabila putusan dilihat
sebagai penetapan kaedah hukum, maka yang mengikat ialah pertimbangan
atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaedah
hukum yang merupakan dasar dictum putusan (ratio decidendi).
19 Op. Cit., Sudikno Mertokusumo, hlm. 52.
20 Ibid., hlm. 53.

11

Pertimbangan-pertimbangan mengenai peristiwa konkrit atau pertimbanganpertimbangan hukum yang tidak relevan (obiter dictum) tidaklah mengikat.”21
Meskipun menurut Sudikno Mertokusumo obiter dictum tidaklah mengikat secara
hukum sebagai suatu kaedah hukum dan hanya ratio decidendi yang mengikat
secara hukum, namun menurut Satjipto Rahardjo obiter dictum tetap dianggap
penting karena bagaimanapun obiter dictum itu mempunyai nilainya sendiri dalam
rangka keseluruhan proses penerapan yang berjalan, terlebih lagi bagi penelitian
dan ilmu hukum sendiri. Mengenai hal ini, Satjipto Rahardjo memberi penjelasan
sebagai berikut,
“… . Ternyata, tidak semua pernyataan yang dikeluarkan hakim dalam proses
penerapan hukum itu bisa digolongkan ke dalam keputusan hakim dalam arti
yang sesungguhnya. Di sini kita perlu membedakan antara ratio decidende
dengan obiter dicta. Yang pertama adalah ketentuan hukum atau proposisi
yang diciptakan oleh pengadilan atau yang oleh pengadilan dianggap sebagai
ketentuan yang harus diperlakukan terhadap kasus yang dihadapi. Inilah yang
disebut sebagai hukum yang diciptakan oleh pengadilan dalam artian
sebenarnya itu.
Sementara itu, dalam proses penerapan hukum tersebut, seorang hakim juga
bisa menyatakan berbagai pendapat yang tidak langsung berhubungan
dengan persoalan yang dihadapi. Ia misalnya, akan memberikan ilustrasi
mengenai penalaran hukum pada umumnya dan menyebut situasi yang
bersifat hipotesis dan hukum yang seharusnya dikenakan terhadap situasi
tersebut. Oleh karena masalah yang disebut-sebut itu tidak langsung
berhubungan dengan persoalan yang dihadapi antara pihak yang
berkepentingan, adalah tidak adil kalau kepadanya diberikan bobot yang
sama dengan keputusan yang sesungguhnya. Tetapi diakui, bahwa
bagaimanapun obiter dicta itu mempunyai nilainya sendiri dalam rangka
keseluruhan proses penerapan yang berjalan, terlebih lagi bagi penelitian dan
ilmu hukum sendiri.”22
Dalam perkembangan kekinian terdapat disertasi yang dikemukakan oleh
Janedjri M. Gaffar pada 18 Mei 2013 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
yang berjudul “Rekontruksi Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Penanganan
Perkara Pemilihan Umum untuk Mewujudkan Pemilihan Umum yang Demokratis
dalam Perspektif Hukum Progresif”, yang selanjutnya diangkat ke dalam beberapa
buku, salah satunya buku karangan Janedjri M. Gaffar yang berjudul “Hukum Pemilu
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi”, yang menarik adalah Janedjri M. Gaffar
21 Ibid., hlm. 53-54.
22 Satjipto Rahardjo, Imu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke VII, 2012) hlm. 114.

12

mengemukakan konsep-konsep hukum yang dibentuk MK dalam mengadili perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Ia berpendapat bahwa konsep-konsep
hukum yang terbentuk dalam putusan perkara PHPU tidak hanya berlaku konkret
yang diputus final dan mengikat saja, tetapi juga akan menjadi rujukan selanjutnya.
Di dalam bukunya Janedjri M. Gaffar mengemukakan putusan PHPU MK yang
mengandung judicial review yang olehnya disebut pseudo judicial review dan tafsir
MK atas kewenangannya sehingga timbul berbagai model putusan antara lain
putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara
ulang.23

Menurut hemat penulis, apa yang disampaikan oleh Janedjri M. Gaffar

sebagai putusan PHPU MK yang mengandung judicial review yang olehnya disebut
pseudo judicial review dan tafsir MK atas kewenangannya dalam ranah akademis
adalah sesuatu hal yang didukung oleh Satjipto Rahardjo, sebab perkara PHPU itu
pada pokoknya mengenai perselisihan jumlah suara yang sah yang ditetapkan
dengan Keputusan KPU, namun Mahkamah Konstitusi di dalam pertimbangan
hukumnya ternyata juga membahas hal-hal yang tidak terkait langsung dengan
penghitungan jumlah suara yang sah menurut KPU dan bagaimana faktanya yang
terungkap di persidangan sebagai objek perkara (obiter dictum). Selain itu menurut
penulis, setiap pertimbangan hukum di dalam putusan MK memiliki nilai tersendiri
karena merupakan suatu argumentasi hukum, sebagaimana diungkapkan oleh
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati dalam buku “Argumentasi Hukum”
terdapat dua kekhususan dalam argumentasi hukum, yaitu: 24
1. Tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari
keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif.
Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun
statis, akan tetapi satu perkembangan yang berlanjut.
Dari ketentuan ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan
norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari
asas-asas

yang

terdapat

dalam

hukum

positif

untuk

mengambil

keputusan-keputusan baru.

23 Janedjri M. Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi
Press (Konpress), Cet 1, November 2013) hlm. ix.
24 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, Cetakan keenam, Januari 2014) hlm. 17-18.

13

2. Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran
hukum berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya
berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional.
Dengan demikian menurut penulis setiap pertimbangan-pertimbangan hukum di
dalam putusan MK pada intinya memiliki nilai tersendiri untuk dianalisis dan
diperdebatkan di dalam forum akademis maupun dijadikan sebagai dasar
argumentasi hukum di dalam perdebatan suatu proses peradilan lainnya sehingga
dapat menjadi sarana dan masukan yang berguna bagi pembangunan hukum
nasional Indonesia.
***
Daftar Pustaka
Buku
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, Cetakan keenam, Januari 2014.
Gaffar, Janedjri M., Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Konstitusi Press (Konpress), Cet 1, November 2013.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, Cetakan Keenam, 2009.
Rahardjo, Satjipto, Imu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke VII,
2012.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Produk Hukum Mahkamah Konstitusi.

14

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor :36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)

1 29 17

Perancangan media katalog sebagai sarana meningkatkan penjualan Bananpaper : laporan kerja praktek

8 71 19

Pembangunan aplikasi e-learning sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar di SMA Negeri 3 Karawang

8 89 291

Peranan bunga kredit sebagai sumber dana bagi PT.Bank Jabar Cabang Soreang Bandung : laporan kerja praktek

2 62 68

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58