Special Meeting on Irregular Migration
“Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean”
Harapan Baru Krisis Kemanusiaan Rohingya atau Formalitas Tuntutan Dunia ?
Winda Noviana
14010413120040
Pendahuluan
Peningkatan arus migrasi yang lain daripada biasanya melalui Bay of Bengal telah
menimbulkan beberapa permasalahan. Meski peningkatan migrasi ini bukan isu baru,
melainkan telah berlangsung selama beberapa tahun ke belakang, sebuah pertemuan khusus
diskusi penyelesaian masalah ini baru akan diadakan pada 29 Mei mendatang. Disponsori
oleh Thailand, negara-negara terdampak arus migrasi yang selama ini bersikap anteng-anteng
saja, kini mencoba disatukan dalam sebuah forum guna menyelesaikan atau paling tidak
memunculkan solusi bagi masalah yang semakin hari semakin menarik perhatian dunia.
ASEAN sebagai organisasi intra Asia Tenggara diharapkan memegang andil terkait
anggotanya: Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia yang berhadapan face to face
dengan pokok permasalahan.1 Pertemuan mendatang adalah hasil pertimbangan akan tuntutan
yang meluas dari dunia internasional mengenai banyaknya permasalahan yang ditimbulkan
oleh hal di atas. Permasalahan terbesar yang dihadapi kini adalah krisis kemanusiaan. Banyak
diketahui kapal berisi asylum-seekers yang berasal dari Bangladesh dan Myanmar yang
kemudian terdampar di negara bukan tujuannya atau karam di laut kedaulatan suatu negara.
Atau dalam beberapa kasus seperti di Malaysia orang-orang ini tidak dikenali sebagai
asylum-seekers atau refugee, tetapi migran ekonomi.2 Dengan terjadinya seperti ini, maka tak
dapat dipungkiri bahwa peningkatan arus migrasi bukan lagi hanya permasalahan negara asal
dan tujuan, namun juga negara-negara sekitarnya.
Pertemuan khusus semacam ini memang sering diadakan dalam situasi yang benarbenar mendesak dan terkait dengan kepentingan negara. Tetapi, apakah Special Meeting on
Irregular Migration in the Indian Ocean di akhir bukan Mei mendatang mampu benar-benar
memberikan solusi yang dibutuhkan adalah suatu pertanyaan penting. Solusi dibutuhkan
terutama oleh etnis Rohingya sebagai pelaku sekaligus korban migrasi yang berujung pada
krisis kemanusiaan atau bisa disebut juga sebagai korban krisis kemanusiaan di Myanmar,
negara yang tidak mengakui kewarganegaraan dan mengkondisikan mereka untuk mau tidak
mau bermigrasi keluar termasuk dengan migrasi via jalur laut yang dipermasalahkan.3
1 Carl Grundy-Warr dan Elaine Wong, “Sanctuary under a Plastic Sheet: The Unresolved
Problems of Rohingya Refugees”, dalam IBRU Boundary and Security Bulletin (1997)
hal.88
2 Chris Lewa, “Asia’s New Boat People”, dalam Forced Migration Review No. 30 - Burma's
displaced people (Oxford, 2008) hal.42
3 Syeda Naushin Parnini, “Non-traditional Security and Problems of Rohingya across the
Bangladesh-Maynmar Borders”, dalam British Journal of Arts and Social Sciences Vol.5
No.2 (Kuala Lumpur, 2012) hal.285
1
Neo-realis memandang skeptis tentang Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean dalam menghasilkan kerjasama dan solusi yang merangkul antarnegara.
Melainkan setiap negara dipastikan justru hanya akan mengutarakan kepentingannya yang
terganggu dengan adanya permasalahan migrasi ini. Di dalam sistem internasional yang
anarki, negara-negara memilih bertahan sebagai tujuan utamanya, bahkan cenderung
memegang konsekuensi atas anarki yang ada. Jika dipandang dari neo-realisme maka kerja
sama penyelesaian solusi adalah dimungkinkan adanya, meski sulit diraih dalam
keberlanjutan tindakan pasca pertemuan khusus. Dikatakan sulit diraih karena negara akan
tetap mempertahankan kepentingannya, kerja sama akan dilakukan apabila membawa
keuntungan bagi national interest-nya. Dalam kasus ini adalah setiap negara akan tetap
mempertahankan kedaulatannya daripada harus membuka perbatasan wilayahnya bagi
asylum-seekers yang mungkin justru akan membawa permasalahan lain di kemudian hari dan
perdebatan berkepanjangan. Lagipula dibukanya perbatasan bagi asylum-seekers dirasa tidak
membawa manfaat signifikan bagi negara bersangkutan. Meskipun dibukanya perbatasan
adalah dalam rangka mencegah meluasnya dampak peningkatan arus migrasi terhadap
kemungkinan krisis kemanusiaan regional.
Dengan skeptisme tersebut dilihat bahwa tidak akan ada tindakan yang benar-benar
dilakukan negara pasca forum, apalagi sampai dengan tahap pembentukan institusi dan kamp
pengungsian yang digadang-gadang mampu menyelesaikan masalah bagi migran Rohingya.
Neo-realisme tidak meletakkan perhatian kepada institusi dan rezim internasional bagi suatu
penyelesaian. Jika ditanyakan mengapa skeptisme merasuki peran institusi dan rezim bagi
negara-negara, maka jawaban yang paling tepat adalah karena institusi dan rezim (yang
apabila kemudian terbentuk) tidak akan mempunyai kekuasaan dalam menghukum
penyeberang. Yang dimaksudkan di sini adalah jika kemudian dibentuk institusi lalu apa ?
Toh negara yang melanggar ketentuan tidak akan mendapat hukuman, tidak ada yang
membedakannya dari yang tetap menjalankan aturan. Negara adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, tidak ada yang bisa mengatur negara di atas negara. Bahkan jika negara keluar dari
hasil forum, juga tidak akan ada yang mampu menindak, karena bagaimanapun juga alasan di
balik penyeberangan adalah kepentingan negara sendiri dan tidak ada yang lebih penting dari
national interest. Kebimbangan atas penegakan kepentingan ini hanya akan dianggap sebagai
pelanggaran kedaulatan negara.
Tulisan ini akan menjelaskan apakah Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean akan mampu membawa harapan baru bagi aspek krisis kemanusiaan Rohingya
ataukah tak lebih sebuah talk-shop yang diberlangsungkan atas respon formalitas terhadap
tuntutan dunia internasional. Menggunakan perspektif neo-realisme dalam kajian studi
kawasan Asia Tenggara, tulisan ini akan menunjukkan bahwa 15 negara yang akan disatukan
dalam forum ini tidak akan menghasilkan hasil institusional yang efektif sebagai solusi
permasalahan, selain pengutaraan kepentingan sebagai konsekuensi pertimbangan
kepentingan nasionalnya. Tesis dasar tulisan ini adalah bahwa Special Meeting on Irregular
Migration in the Indian Ocean terselenggara sebagai formalitas menjawab tuntutan dunia,
tidak memberi solusi berarti bagi harapan baru krisis kemanusiaan Rohingya. Dengan ini
maka sebenarnya forum dibentuk atas dasar kepentingan negara, bukan solusi
berkepanjangan respon terkait hak asasi manusia. Dengan demikian, Special Meeting on
2
Irregular Migration in the Indian Ocean sebagai bentuk keinginan kerja sama solusi adalah
benar adanya, di samping negara bertindak di dalamnya atas dasar kepentingannya masingmasing.
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean, pencegahan krisis
keamanan regional
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean dengan Thailand sebagai
tuan rumah, diikuti oleh 15 negara, di antaranya Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar,
Vietnam, Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Australia, dan Amerika Serikat sebagai negara
observer. Forum ini sebagai respon panggilan mendesak tingkat regional untuk secara
komperhensif bekerja bersama-sama mengatasi peningkatan irregular migrasi melalui Bay of
Bengal beberapa waktu ini berada di luar kebiasaan. 4 Pertemuan juga diselenggarakan
sebagai respon atas kasus-kasus sebelumnya: penemuan kuburan massal di kamp human
trafficking di hutan dekat perbatasan Malaysia oleh pemerintah Thailand, hubungan jaringan
perdagangan manusia dengan migrasi etnis Rohingya korban konflik sektarian Myanmar,
penemuan kapal-kapal berisi asylum-seekers asal Rohingya Myanmar dan Bangladesh yang
karam dan terdampar di wilayah Indonesia dan Malaysia.
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean diharapkan menjadi
sarana pembicaraan antarnegara dalam penemuan solusi atas kekhawatiran meluasnya krisis
kemanusiaan yang dialami Rohingya sebelum berkembang menjadi krisis kemanusiaan
regional.
Pertemuan khusus ini adalah respon Thailand menindaklanjuti penemuan kuburan
massal, kerangka dan kamp-kamp perdagangan manusia pada awal Mei 2015.5 Penemuan
kamp yang terbesar diperkirakan mampu menampung 800-1000 orang, yang ditinggalkan
dalam keadaan terburu-buru oleh migran asal Rohingya dan Bangladesh serta pihak-pihak
penyelundup. Operasi terhadap kamp-kamp perdagangan manusia di hutan perbatasan
Thailand-Malaysia yang dilakukan oleh pemerintah Thailand menciptakan ketakutan bagi
para pelaku perdagangan manusia, sehingga banyak dari mereka yang takut tertangkap
kemudian meninggalkan kamp dan kapal-kapal yang berisi korban perdagangan begitu saja,
menyisakan para migran terlantar di tengah hutan atau terombang-ambing di tengah lautan. 6
Para migran terlantar ini mengalami kekurangan makanan, air, fasilitas kebersihan dan
kesehatan yang memadai, banyak darinya ditemukan meninggal, kelaparan, dehidrasi dan
terjangkit penyakit.7 Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa mereka terombangambing tanpa tujuan destinasi yang jelas. Sementara yang kemudian dapat dilakukan negara
4 Song Miou, “Thailand to Host Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean”,
XinhuanetNews,
diakses
dari
http://news.xinhuanet.com/english/201505/12/c_134232824.htm, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 8.33
5 Max Constant dan Ainur Romah, “Thai Officials Find Largest Human Trafficking Camp
Yet”, Anadolu Agency, diakses dari http://www.aa.com.tr/en/news/508724--thai-officialsfind-largest-human-trafficking-camp-yet, pada tanggal 14 Mei 2014 pukul 11.23
6 Jocelyn Gecker, “How Southeast Asia has Created its Own Humanitarian Crisis”, Hearst
Seattle Media, diakses dari http://www.seattlepi.com/news/world/article/How-SoutheastAsia-has-created-its-own-6260224.php#photo-7966102, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul
11.16
7 Chris Lewa, Loc. Cit. hal.1
3
penemu kapal migran adalah mengembalikan mereka kembali ke lautan8, kecuali apabila
kapal tersebut kemudian karam.9
Saat dunia internasional peristiwa-peristiwa tersebut, tekanan mulai dilancarkan ke
negara-negara Asia Tenggara sebagai wilayah yang terkait langsung krisis kemanusiaan yang
terjadi. The ASEAN Parliamentarians for Human Rights mendorong kesepuluh anggota
ASEAN untuk mengesampingkan kebijakan non-intervensi yang menjadi dasar justifikasi
penghindaran diskusi isu Rohingya, yang dianggap memburuk karena kegagalan ASEAN
mengambil tindakan mencegah meningkatnya krisis yang dapat berefek kepada seluruh
region.10 Myanmar sebagai negara asal konflik sendiri didesak oleh PBB untuk memberi
Rohingya akses kewarganegaraan yang sama dan mengambil tindakan atas kekerasan yang
dilakukan Buddhist kepada Muslim di sana.11 Tentang masalah migran di lautan, PBB
mengundang negara-negara ASEAN untuk memakai kekuatan maritimnya untuk menemukan
dan menyelamatkan mereka.12 Sementara The International Organization for Migration
(IOM) memanggil pemerintah negara Asia Tenggara untuk menyelamatkan ribuan migran
yang terjebak di lautan dan beresiko kematian.13 Kemudian UNHCR menarik negara-negara
Asia Tenggara untuk membuka perbatasannya dalam rangka penyelamatan ribuan orang yang
terkatung-katung di kapal-kapal perdagangan manusia antara Laut Andaman dan Selat
Malaka.14
Formalitas Tuntutan Dunia dan Kepentingan Nasional, bukan Solusi
Lalu apakah dengan dilangsungkannya Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean akan memberi solusi bagi penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya, serta
memunculkan harapan baru bagi penyelesaian dampak konflik berkepanjangan tersebut ?
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean sendiri adalah suatu bentuk kerja
sama positif antarnegara dalam upaya menghasilkan solusi. Namun jika dilihat lebih lanjut,
yang dimunculkan justru lebih banyak skeptisme atas kerja sama ini. Mengapa ? Pertamatama ada dua dasar alasan mengapa Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean tidak dapat dijadikan tonggak penyelesaian solusi.
8 Danish Immigration Service, Rohingya Refugees in Bangladesh and Thailand, Danish
Immigration Service, Kopenhagen, 2011, hal.47
9 M. Jegathesan, “Misery for Migrant Boats Denied Safe Havem in South-East Asia”,
Seychelles
News
Agency,
diakses
dari
http://www.seychellesnewsagency.com/articles/2927/Misery+for+migrant+boats+denied
+safe+haven+in+South-East+Asia, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 11.19
10 Eileen Ng, “Southeast Asian Leaders Urged to Act on Rohingya Crisis”, The Philippine
Star, diakses dari http://www.philstar.com/world/2015/04/22/1446920/southeast-asianleaders-urged-act-rohingya-crisis, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 8.53
11 Ibid
12 Steve Herman, “SE Asia Nations Rebuff Calls to Rescue Stranded Boat People”, VOA
News, diakses dari http://www.voanews.com/content/se-asian-nations-rebuff-calls-torescue-stranded-boat-people/2765612.html, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.07
13 “Migration Organisation IOM Calls on S-E Asian Govts to Rescue Thousands Stranded
at Sea”, The Straits Times, diakses dari http://www.straitstimes.com/news/asia/southeast-asia/story/intergovernmental-organisation-iom-calls-southeast-asia-rescue-thous,
pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.11
14 “UNHCR Urges South East Asian Governments to Prioritize Saving Lives Amid Reports
that
Thousands
Adrift
in
Region’s
Water”,
UNHCR
Site,
diakses
dari
http://www.unhcr.org/5551f3149.html, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.16
4
Poin pertama, negara-negara peserta pertemuan akan lebih banyak mengungkapkan
kepentingan nasionalnya dalam masalah ini. Misalnya Indonesia dan Malaysia akan
mengungkapkan permasalahan wilayah laut mereka yang dilintasi para kapal migran dan
bagaimana kerugian mereka atas hal tersebut. Sehingga skeptisme tentang kemungkinan
ending negara-negara akan secara terbuka membuka perbatasannya dirasa terlalu memaksa,
apalagi menyangkut hal kedaulatan teritorial.15 Di dalam poin ini menjelaskan alasan
mengapa negara akan lebih banyak mengungkapkan kepentingannya. Yang pertama, seperti
dijabarkan di atas, kedaulatan adalah prioritas utama, tidak mungkin negara merelakan
kepentingan nasional dalam menjaga dan mempertahankan batas wilayahnya untuk
mengatasi permasalahan yang bahkan solusi institusionalnya pun belum jelas. Yang kedua,
tidak ada alasan tepat mengapa negara harus membuka perbatasan. Jika alasan kemanusiaan
yang dijadikan landasan utama16, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah permasalahan lain
mengikuti, (misal negara penampung mau tidak mau mengeluarkan biaya tidak sedikit dalam
bantuan ini, masalah kewarganegaraan Rohingya yang stateless, kemungkinan gesekan
dengan penduduk asli negara tersebut, dan lain-lain), maka apakah masih harus negara
mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya demi permasalahan yang lebih besar
dan kompleks di kemudian hari.
Poin kedua, skeptisme tentang keberlanjutan hasil Special Meeting on Irregular
Migration in the Indian Ocean sendiri. Tidak ada yang lebih berkuasa dari aktor negara, jadi
tak ada pula yang mampu memaksa negara untuk mematuhi, mengikuti hasil dari pertemuan
ini. Jika lebih banyak merugikan seperti poin pertama, maka negara pasti akan menyimpang
dari hasil yang disepakati bersama. Tidak adanya kekuasaan institusi dalam menghukum
penyeberang adalah alasannya. Bisa dibilang pertemuan semacam ini hanyalah sekedar
agenda talk-shop tanpa implementasi tetap yang mampu memaksa anggotanya.
Skeptisme tak hanya datang dari sisi forum pertemuan mendatang. Dari apa yang
dipahami dalam regional Asia Tenggara selama ini, timbul hal-hal yang semakin mendukung
pemikiran neo-realis ini. Analisis yang akan dikemukakan adalah hasil penilikan historikal
dan struktur regional Asia Tenggara.
Pertama, norma non-intervensi. Prinsip non-intervensi termasuk ke dalam apa yang
dinamakan dengan ASEAN ways. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam
ASEAN sejak awal berdirinya menganut prinsip tersebut sebagai dasar interaksi antara
mereka. Dalam menyikapi konflik Rohingya-pun negara ASEAN tidak bisa sembarangan
mengambil keputusan, kedaulatan adalah sesuatu yang sangat dihargai dalam regional ini.
Mencampuri terlalu dalam urusan suatu negara berarti melanggar norma non-intervensi
ASEAN ways. Meski norma non-intervensi sendiri dianggap sebagai penyebab tidak segera
selesainya konflik yang dampaknya mulai menyebar keluar Myanmar dan mempengaruhi
anggota region lain seperti agenda Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean mendatang, negara-negara diperkirakan akan tetap kekeh dalam pendiriannya. Tetap
15 K. Yhome, “The Bay of Bengal at the Crossroads: Potential for Cooperation among
Bangladesh, India, and Myanmar”, Friedrich Ebert Stiftung (New Delhi, 2014) hal.7
16 Jacques P. Leider, “Rohingya: the name, the movement and the quest for identity”,
dalam collection of essay Nation Building in Myanmar (Rangon, 2014) hal.3
5
mengutamakan non-intervensi, memberi solusi dan bantuan sebatas apa yang secara minimal
bisa dilakukan, tertahan di batas prinsip yang mereka anut.
Kedua, pengalaman kemunduran iktikad baik. Beberapa negara seperti Indonesia,
Thailand, dan Malaysia dahulu pernah menyatakan keterbukaan perbatasannya bagi asylumseekers korban konflik sektarian Rohingya Myanmar. Keadaan ini berbalik dibandingkan
yang saat kini terjadi. Contohnya dengan melihat apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia
dalam menghadapi kapal migran yang masuk ke wilayahnya, yaitu mengembalikan mereka
ke lauatan (setelah memberi bantuan makanan, air, obat-obatan secukupnya) meski tahu
bahwa muatan kapal tersebut adalah orang-orang yang ditinggalkan kru dan penyelundup
sehingga mereka buta akan tujuan destinasi sebenarnya. Apa yang dilakukan kedua negara
adalah bukti kemunduran iktikad baik yang pernah mereka kemukakan jauh sebelumnya.
Penarikan iktikad baik tentu berlangsung atas dasar pertimbangan panjang plus minus bagi
kepentingan negara. Melihat pengalaman tersebut, maka rasa-rasanya kemungkinan sangat
kecil bagi negara-negara untuk merubah sikap nyaris 180 derajat atas apa yang telah mereka
praktikkan selama ini.
Ditambahkan, posisi negara-negara yaitu tidak memiliki hak dan kewajiban terhadap
pengurusan masalah kapal-kapal yang ditinggalakan. Seperti dikatakan David Hammond,
seorang ahli hukum maritime asal Inggris: “If a [ship] master abandons his vessel and in this
case with migrants or trafficked persons onboard, and if that vessel is flagged and the master
known, the flag state has primacy to bring that individual to account”.17
Kesimpulan
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean terselenggara sebagai
formalitas menjawab tuntutan dunia, namun tidak memberi solusi berarti bagi harapan baru
krisis kemanusiaan Rohingya. Negara adalah aktor utama yang bertujuan bertahan dalam
sistem internasional dengan jalan mendahuluan kepentingan nasional dan kedaulatannya
sendiri. Kerja sama dalam forum mendatang adalah bentuk perpanjangan upaya negara
memperjuangkan kepentingannya, bukan pencarian solusi permasalahan bersama, bahkan
meskipun tantangan perluasan krisis kemanusiaan menjadi regional menghadang di kemudian
hari. Analisis historikal dan regional Asia Tenggara juga berkontribusi penyimpulan
skeptisme akan Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean sebagai jalan
solusi.
Daftar Pustaka
17 Steve Herman, Loc. Cit. hal.4
6
Warr, Carl Grundy dan Elaine Wong. 1997. “Sanctuary under a Plastic Sheet: The Unresolved
Problems of Rohingya Refugees”, IBRU Boundary and Security Bulletin, hal.88
Lewa, Chris. 2008. “Asia’s New Boat People”, Forced Migration Review No. 30 - Burma's
displaced people, hal.42
Parnini, Syeda Naushin. 2012. “Non-traditional Security and Problems of Rohingya across
the Bangladesh-Maynmar Borders”, British Journal of Arts and Social Sciences,
Vol.5, No.2, hal.285
Miou, Song. 2015. “Thailand to Host Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean” http://news.xinhuanet.com/english/2015-05/12/c_134232824.htm, diakses
tanggal 14 Mei 2015
Constant, Max dan Ainur Romah. 2015. “Thai Officials Find Largest Human Trafficking
Camp Yet” http://www.aa.com.tr/en/news/508724--thai-officials-find-largest-humantrafficking-camp-yet, diakses tanggal 14 Mei 2014
Gecker, Jocelyn. 2015. “How Southeast Asia has Created its Own Humanitarian Crisis”
http://www.seattlepi.com/news/world/article/How-Southeast-Asia-has-created-itsown-6260224.php#photo-7966102, diakses tanggal 14 Mei 2015
Danish Immigration Service. 2011. Rohingya Refugees in Bangladesh and Thailand.
Kopenhagen: Danish Immigration Service.
Jegathesan, M. 2015. “Misery for Migrant Boats Denied Safe Havem in South-East Asia”
http://www.seychellesnewsagency.com/articles/2927/Misery+for+migrant+boats+deni
ed+safe+haven+in+South-East+Asia, diakses tanggal 14 Mei 2015
Ng, Eileen. 2015. “Southeast Asian Leaders Urged to Act on Rohingya Crisis”
http://www.philstar.com/world/2015/04/22/1446920/southeast-asian-leaders-urgedact-rohingya-crisis, diakses tanggal 14 Mei 2015
Herman, Steve. 2015. “SE Asia Nations Rebuff Calls to Rescue Stranded Boat People”
http://www.voanews.com/content/se-asian-nations-rebuff-calls-to-rescue-strandedboat-people/2765612.html, diakses tanggal 14 Mei 2015
The Straits Times. 2015. “Migration Organisation IOM Calls on S-E Asian Govts to Rescue
Thousands Stranded at Sea” http://www.straitstimes.com/news/asia/south-eastasia/story/intergovernmental-organisation-iom-calls-southeast-asia-rescue-thous,
diakses tanggal 14 Mei 2015
UNHCR Site . 2015. “UNHCR Urges South East Asian Governments to Prioritize Saving
Lives Amid Reports that Thousands Adrift in Region’s Water”
http://www.unhcr.org/5551f3149.html, diakses tanggal 14 Mei 2015
7
Yhome, K. 2014. “The Bay of Bengal at the Crossroads: Potential for Cooperation among
Bangladesh, India, and Myanmar”, Friedrich Ebert Stiftung, hal.7
Leider, Jacques P. 2014. “Rohingya: the name, the movement and the quest for identity”,
collection of essay Nation Building in Myanmar, hal.3
8
Harapan Baru Krisis Kemanusiaan Rohingya atau Formalitas Tuntutan Dunia ?
Winda Noviana
14010413120040
Pendahuluan
Peningkatan arus migrasi yang lain daripada biasanya melalui Bay of Bengal telah
menimbulkan beberapa permasalahan. Meski peningkatan migrasi ini bukan isu baru,
melainkan telah berlangsung selama beberapa tahun ke belakang, sebuah pertemuan khusus
diskusi penyelesaian masalah ini baru akan diadakan pada 29 Mei mendatang. Disponsori
oleh Thailand, negara-negara terdampak arus migrasi yang selama ini bersikap anteng-anteng
saja, kini mencoba disatukan dalam sebuah forum guna menyelesaikan atau paling tidak
memunculkan solusi bagi masalah yang semakin hari semakin menarik perhatian dunia.
ASEAN sebagai organisasi intra Asia Tenggara diharapkan memegang andil terkait
anggotanya: Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia yang berhadapan face to face
dengan pokok permasalahan.1 Pertemuan mendatang adalah hasil pertimbangan akan tuntutan
yang meluas dari dunia internasional mengenai banyaknya permasalahan yang ditimbulkan
oleh hal di atas. Permasalahan terbesar yang dihadapi kini adalah krisis kemanusiaan. Banyak
diketahui kapal berisi asylum-seekers yang berasal dari Bangladesh dan Myanmar yang
kemudian terdampar di negara bukan tujuannya atau karam di laut kedaulatan suatu negara.
Atau dalam beberapa kasus seperti di Malaysia orang-orang ini tidak dikenali sebagai
asylum-seekers atau refugee, tetapi migran ekonomi.2 Dengan terjadinya seperti ini, maka tak
dapat dipungkiri bahwa peningkatan arus migrasi bukan lagi hanya permasalahan negara asal
dan tujuan, namun juga negara-negara sekitarnya.
Pertemuan khusus semacam ini memang sering diadakan dalam situasi yang benarbenar mendesak dan terkait dengan kepentingan negara. Tetapi, apakah Special Meeting on
Irregular Migration in the Indian Ocean di akhir bukan Mei mendatang mampu benar-benar
memberikan solusi yang dibutuhkan adalah suatu pertanyaan penting. Solusi dibutuhkan
terutama oleh etnis Rohingya sebagai pelaku sekaligus korban migrasi yang berujung pada
krisis kemanusiaan atau bisa disebut juga sebagai korban krisis kemanusiaan di Myanmar,
negara yang tidak mengakui kewarganegaraan dan mengkondisikan mereka untuk mau tidak
mau bermigrasi keluar termasuk dengan migrasi via jalur laut yang dipermasalahkan.3
1 Carl Grundy-Warr dan Elaine Wong, “Sanctuary under a Plastic Sheet: The Unresolved
Problems of Rohingya Refugees”, dalam IBRU Boundary and Security Bulletin (1997)
hal.88
2 Chris Lewa, “Asia’s New Boat People”, dalam Forced Migration Review No. 30 - Burma's
displaced people (Oxford, 2008) hal.42
3 Syeda Naushin Parnini, “Non-traditional Security and Problems of Rohingya across the
Bangladesh-Maynmar Borders”, dalam British Journal of Arts and Social Sciences Vol.5
No.2 (Kuala Lumpur, 2012) hal.285
1
Neo-realis memandang skeptis tentang Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean dalam menghasilkan kerjasama dan solusi yang merangkul antarnegara.
Melainkan setiap negara dipastikan justru hanya akan mengutarakan kepentingannya yang
terganggu dengan adanya permasalahan migrasi ini. Di dalam sistem internasional yang
anarki, negara-negara memilih bertahan sebagai tujuan utamanya, bahkan cenderung
memegang konsekuensi atas anarki yang ada. Jika dipandang dari neo-realisme maka kerja
sama penyelesaian solusi adalah dimungkinkan adanya, meski sulit diraih dalam
keberlanjutan tindakan pasca pertemuan khusus. Dikatakan sulit diraih karena negara akan
tetap mempertahankan kepentingannya, kerja sama akan dilakukan apabila membawa
keuntungan bagi national interest-nya. Dalam kasus ini adalah setiap negara akan tetap
mempertahankan kedaulatannya daripada harus membuka perbatasan wilayahnya bagi
asylum-seekers yang mungkin justru akan membawa permasalahan lain di kemudian hari dan
perdebatan berkepanjangan. Lagipula dibukanya perbatasan bagi asylum-seekers dirasa tidak
membawa manfaat signifikan bagi negara bersangkutan. Meskipun dibukanya perbatasan
adalah dalam rangka mencegah meluasnya dampak peningkatan arus migrasi terhadap
kemungkinan krisis kemanusiaan regional.
Dengan skeptisme tersebut dilihat bahwa tidak akan ada tindakan yang benar-benar
dilakukan negara pasca forum, apalagi sampai dengan tahap pembentukan institusi dan kamp
pengungsian yang digadang-gadang mampu menyelesaikan masalah bagi migran Rohingya.
Neo-realisme tidak meletakkan perhatian kepada institusi dan rezim internasional bagi suatu
penyelesaian. Jika ditanyakan mengapa skeptisme merasuki peran institusi dan rezim bagi
negara-negara, maka jawaban yang paling tepat adalah karena institusi dan rezim (yang
apabila kemudian terbentuk) tidak akan mempunyai kekuasaan dalam menghukum
penyeberang. Yang dimaksudkan di sini adalah jika kemudian dibentuk institusi lalu apa ?
Toh negara yang melanggar ketentuan tidak akan mendapat hukuman, tidak ada yang
membedakannya dari yang tetap menjalankan aturan. Negara adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, tidak ada yang bisa mengatur negara di atas negara. Bahkan jika negara keluar dari
hasil forum, juga tidak akan ada yang mampu menindak, karena bagaimanapun juga alasan di
balik penyeberangan adalah kepentingan negara sendiri dan tidak ada yang lebih penting dari
national interest. Kebimbangan atas penegakan kepentingan ini hanya akan dianggap sebagai
pelanggaran kedaulatan negara.
Tulisan ini akan menjelaskan apakah Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean akan mampu membawa harapan baru bagi aspek krisis kemanusiaan Rohingya
ataukah tak lebih sebuah talk-shop yang diberlangsungkan atas respon formalitas terhadap
tuntutan dunia internasional. Menggunakan perspektif neo-realisme dalam kajian studi
kawasan Asia Tenggara, tulisan ini akan menunjukkan bahwa 15 negara yang akan disatukan
dalam forum ini tidak akan menghasilkan hasil institusional yang efektif sebagai solusi
permasalahan, selain pengutaraan kepentingan sebagai konsekuensi pertimbangan
kepentingan nasionalnya. Tesis dasar tulisan ini adalah bahwa Special Meeting on Irregular
Migration in the Indian Ocean terselenggara sebagai formalitas menjawab tuntutan dunia,
tidak memberi solusi berarti bagi harapan baru krisis kemanusiaan Rohingya. Dengan ini
maka sebenarnya forum dibentuk atas dasar kepentingan negara, bukan solusi
berkepanjangan respon terkait hak asasi manusia. Dengan demikian, Special Meeting on
2
Irregular Migration in the Indian Ocean sebagai bentuk keinginan kerja sama solusi adalah
benar adanya, di samping negara bertindak di dalamnya atas dasar kepentingannya masingmasing.
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean, pencegahan krisis
keamanan regional
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean dengan Thailand sebagai
tuan rumah, diikuti oleh 15 negara, di antaranya Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar,
Vietnam, Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Australia, dan Amerika Serikat sebagai negara
observer. Forum ini sebagai respon panggilan mendesak tingkat regional untuk secara
komperhensif bekerja bersama-sama mengatasi peningkatan irregular migrasi melalui Bay of
Bengal beberapa waktu ini berada di luar kebiasaan. 4 Pertemuan juga diselenggarakan
sebagai respon atas kasus-kasus sebelumnya: penemuan kuburan massal di kamp human
trafficking di hutan dekat perbatasan Malaysia oleh pemerintah Thailand, hubungan jaringan
perdagangan manusia dengan migrasi etnis Rohingya korban konflik sektarian Myanmar,
penemuan kapal-kapal berisi asylum-seekers asal Rohingya Myanmar dan Bangladesh yang
karam dan terdampar di wilayah Indonesia dan Malaysia.
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean diharapkan menjadi
sarana pembicaraan antarnegara dalam penemuan solusi atas kekhawatiran meluasnya krisis
kemanusiaan yang dialami Rohingya sebelum berkembang menjadi krisis kemanusiaan
regional.
Pertemuan khusus ini adalah respon Thailand menindaklanjuti penemuan kuburan
massal, kerangka dan kamp-kamp perdagangan manusia pada awal Mei 2015.5 Penemuan
kamp yang terbesar diperkirakan mampu menampung 800-1000 orang, yang ditinggalkan
dalam keadaan terburu-buru oleh migran asal Rohingya dan Bangladesh serta pihak-pihak
penyelundup. Operasi terhadap kamp-kamp perdagangan manusia di hutan perbatasan
Thailand-Malaysia yang dilakukan oleh pemerintah Thailand menciptakan ketakutan bagi
para pelaku perdagangan manusia, sehingga banyak dari mereka yang takut tertangkap
kemudian meninggalkan kamp dan kapal-kapal yang berisi korban perdagangan begitu saja,
menyisakan para migran terlantar di tengah hutan atau terombang-ambing di tengah lautan. 6
Para migran terlantar ini mengalami kekurangan makanan, air, fasilitas kebersihan dan
kesehatan yang memadai, banyak darinya ditemukan meninggal, kelaparan, dehidrasi dan
terjangkit penyakit.7 Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa mereka terombangambing tanpa tujuan destinasi yang jelas. Sementara yang kemudian dapat dilakukan negara
4 Song Miou, “Thailand to Host Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean”,
XinhuanetNews,
diakses
dari
http://news.xinhuanet.com/english/201505/12/c_134232824.htm, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 8.33
5 Max Constant dan Ainur Romah, “Thai Officials Find Largest Human Trafficking Camp
Yet”, Anadolu Agency, diakses dari http://www.aa.com.tr/en/news/508724--thai-officialsfind-largest-human-trafficking-camp-yet, pada tanggal 14 Mei 2014 pukul 11.23
6 Jocelyn Gecker, “How Southeast Asia has Created its Own Humanitarian Crisis”, Hearst
Seattle Media, diakses dari http://www.seattlepi.com/news/world/article/How-SoutheastAsia-has-created-its-own-6260224.php#photo-7966102, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul
11.16
7 Chris Lewa, Loc. Cit. hal.1
3
penemu kapal migran adalah mengembalikan mereka kembali ke lautan8, kecuali apabila
kapal tersebut kemudian karam.9
Saat dunia internasional peristiwa-peristiwa tersebut, tekanan mulai dilancarkan ke
negara-negara Asia Tenggara sebagai wilayah yang terkait langsung krisis kemanusiaan yang
terjadi. The ASEAN Parliamentarians for Human Rights mendorong kesepuluh anggota
ASEAN untuk mengesampingkan kebijakan non-intervensi yang menjadi dasar justifikasi
penghindaran diskusi isu Rohingya, yang dianggap memburuk karena kegagalan ASEAN
mengambil tindakan mencegah meningkatnya krisis yang dapat berefek kepada seluruh
region.10 Myanmar sebagai negara asal konflik sendiri didesak oleh PBB untuk memberi
Rohingya akses kewarganegaraan yang sama dan mengambil tindakan atas kekerasan yang
dilakukan Buddhist kepada Muslim di sana.11 Tentang masalah migran di lautan, PBB
mengundang negara-negara ASEAN untuk memakai kekuatan maritimnya untuk menemukan
dan menyelamatkan mereka.12 Sementara The International Organization for Migration
(IOM) memanggil pemerintah negara Asia Tenggara untuk menyelamatkan ribuan migran
yang terjebak di lautan dan beresiko kematian.13 Kemudian UNHCR menarik negara-negara
Asia Tenggara untuk membuka perbatasannya dalam rangka penyelamatan ribuan orang yang
terkatung-katung di kapal-kapal perdagangan manusia antara Laut Andaman dan Selat
Malaka.14
Formalitas Tuntutan Dunia dan Kepentingan Nasional, bukan Solusi
Lalu apakah dengan dilangsungkannya Special Meeting on Irregular Migration in the
Indian Ocean akan memberi solusi bagi penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya, serta
memunculkan harapan baru bagi penyelesaian dampak konflik berkepanjangan tersebut ?
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean sendiri adalah suatu bentuk kerja
sama positif antarnegara dalam upaya menghasilkan solusi. Namun jika dilihat lebih lanjut,
yang dimunculkan justru lebih banyak skeptisme atas kerja sama ini. Mengapa ? Pertamatama ada dua dasar alasan mengapa Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean tidak dapat dijadikan tonggak penyelesaian solusi.
8 Danish Immigration Service, Rohingya Refugees in Bangladesh and Thailand, Danish
Immigration Service, Kopenhagen, 2011, hal.47
9 M. Jegathesan, “Misery for Migrant Boats Denied Safe Havem in South-East Asia”,
Seychelles
News
Agency,
diakses
dari
http://www.seychellesnewsagency.com/articles/2927/Misery+for+migrant+boats+denied
+safe+haven+in+South-East+Asia, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 11.19
10 Eileen Ng, “Southeast Asian Leaders Urged to Act on Rohingya Crisis”, The Philippine
Star, diakses dari http://www.philstar.com/world/2015/04/22/1446920/southeast-asianleaders-urged-act-rohingya-crisis, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 8.53
11 Ibid
12 Steve Herman, “SE Asia Nations Rebuff Calls to Rescue Stranded Boat People”, VOA
News, diakses dari http://www.voanews.com/content/se-asian-nations-rebuff-calls-torescue-stranded-boat-people/2765612.html, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.07
13 “Migration Organisation IOM Calls on S-E Asian Govts to Rescue Thousands Stranded
at Sea”, The Straits Times, diakses dari http://www.straitstimes.com/news/asia/southeast-asia/story/intergovernmental-organisation-iom-calls-southeast-asia-rescue-thous,
pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.11
14 “UNHCR Urges South East Asian Governments to Prioritize Saving Lives Amid Reports
that
Thousands
Adrift
in
Region’s
Water”,
UNHCR
Site,
diakses
dari
http://www.unhcr.org/5551f3149.html, pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 9.16
4
Poin pertama, negara-negara peserta pertemuan akan lebih banyak mengungkapkan
kepentingan nasionalnya dalam masalah ini. Misalnya Indonesia dan Malaysia akan
mengungkapkan permasalahan wilayah laut mereka yang dilintasi para kapal migran dan
bagaimana kerugian mereka atas hal tersebut. Sehingga skeptisme tentang kemungkinan
ending negara-negara akan secara terbuka membuka perbatasannya dirasa terlalu memaksa,
apalagi menyangkut hal kedaulatan teritorial.15 Di dalam poin ini menjelaskan alasan
mengapa negara akan lebih banyak mengungkapkan kepentingannya. Yang pertama, seperti
dijabarkan di atas, kedaulatan adalah prioritas utama, tidak mungkin negara merelakan
kepentingan nasional dalam menjaga dan mempertahankan batas wilayahnya untuk
mengatasi permasalahan yang bahkan solusi institusionalnya pun belum jelas. Yang kedua,
tidak ada alasan tepat mengapa negara harus membuka perbatasan. Jika alasan kemanusiaan
yang dijadikan landasan utama16, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah permasalahan lain
mengikuti, (misal negara penampung mau tidak mau mengeluarkan biaya tidak sedikit dalam
bantuan ini, masalah kewarganegaraan Rohingya yang stateless, kemungkinan gesekan
dengan penduduk asli negara tersebut, dan lain-lain), maka apakah masih harus negara
mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya demi permasalahan yang lebih besar
dan kompleks di kemudian hari.
Poin kedua, skeptisme tentang keberlanjutan hasil Special Meeting on Irregular
Migration in the Indian Ocean sendiri. Tidak ada yang lebih berkuasa dari aktor negara, jadi
tak ada pula yang mampu memaksa negara untuk mematuhi, mengikuti hasil dari pertemuan
ini. Jika lebih banyak merugikan seperti poin pertama, maka negara pasti akan menyimpang
dari hasil yang disepakati bersama. Tidak adanya kekuasaan institusi dalam menghukum
penyeberang adalah alasannya. Bisa dibilang pertemuan semacam ini hanyalah sekedar
agenda talk-shop tanpa implementasi tetap yang mampu memaksa anggotanya.
Skeptisme tak hanya datang dari sisi forum pertemuan mendatang. Dari apa yang
dipahami dalam regional Asia Tenggara selama ini, timbul hal-hal yang semakin mendukung
pemikiran neo-realis ini. Analisis yang akan dikemukakan adalah hasil penilikan historikal
dan struktur regional Asia Tenggara.
Pertama, norma non-intervensi. Prinsip non-intervensi termasuk ke dalam apa yang
dinamakan dengan ASEAN ways. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam
ASEAN sejak awal berdirinya menganut prinsip tersebut sebagai dasar interaksi antara
mereka. Dalam menyikapi konflik Rohingya-pun negara ASEAN tidak bisa sembarangan
mengambil keputusan, kedaulatan adalah sesuatu yang sangat dihargai dalam regional ini.
Mencampuri terlalu dalam urusan suatu negara berarti melanggar norma non-intervensi
ASEAN ways. Meski norma non-intervensi sendiri dianggap sebagai penyebab tidak segera
selesainya konflik yang dampaknya mulai menyebar keluar Myanmar dan mempengaruhi
anggota region lain seperti agenda Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean mendatang, negara-negara diperkirakan akan tetap kekeh dalam pendiriannya. Tetap
15 K. Yhome, “The Bay of Bengal at the Crossroads: Potential for Cooperation among
Bangladesh, India, and Myanmar”, Friedrich Ebert Stiftung (New Delhi, 2014) hal.7
16 Jacques P. Leider, “Rohingya: the name, the movement and the quest for identity”,
dalam collection of essay Nation Building in Myanmar (Rangon, 2014) hal.3
5
mengutamakan non-intervensi, memberi solusi dan bantuan sebatas apa yang secara minimal
bisa dilakukan, tertahan di batas prinsip yang mereka anut.
Kedua, pengalaman kemunduran iktikad baik. Beberapa negara seperti Indonesia,
Thailand, dan Malaysia dahulu pernah menyatakan keterbukaan perbatasannya bagi asylumseekers korban konflik sektarian Rohingya Myanmar. Keadaan ini berbalik dibandingkan
yang saat kini terjadi. Contohnya dengan melihat apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia
dalam menghadapi kapal migran yang masuk ke wilayahnya, yaitu mengembalikan mereka
ke lauatan (setelah memberi bantuan makanan, air, obat-obatan secukupnya) meski tahu
bahwa muatan kapal tersebut adalah orang-orang yang ditinggalkan kru dan penyelundup
sehingga mereka buta akan tujuan destinasi sebenarnya. Apa yang dilakukan kedua negara
adalah bukti kemunduran iktikad baik yang pernah mereka kemukakan jauh sebelumnya.
Penarikan iktikad baik tentu berlangsung atas dasar pertimbangan panjang plus minus bagi
kepentingan negara. Melihat pengalaman tersebut, maka rasa-rasanya kemungkinan sangat
kecil bagi negara-negara untuk merubah sikap nyaris 180 derajat atas apa yang telah mereka
praktikkan selama ini.
Ditambahkan, posisi negara-negara yaitu tidak memiliki hak dan kewajiban terhadap
pengurusan masalah kapal-kapal yang ditinggalakan. Seperti dikatakan David Hammond,
seorang ahli hukum maritime asal Inggris: “If a [ship] master abandons his vessel and in this
case with migrants or trafficked persons onboard, and if that vessel is flagged and the master
known, the flag state has primacy to bring that individual to account”.17
Kesimpulan
Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean terselenggara sebagai
formalitas menjawab tuntutan dunia, namun tidak memberi solusi berarti bagi harapan baru
krisis kemanusiaan Rohingya. Negara adalah aktor utama yang bertujuan bertahan dalam
sistem internasional dengan jalan mendahuluan kepentingan nasional dan kedaulatannya
sendiri. Kerja sama dalam forum mendatang adalah bentuk perpanjangan upaya negara
memperjuangkan kepentingannya, bukan pencarian solusi permasalahan bersama, bahkan
meskipun tantangan perluasan krisis kemanusiaan menjadi regional menghadang di kemudian
hari. Analisis historikal dan regional Asia Tenggara juga berkontribusi penyimpulan
skeptisme akan Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean sebagai jalan
solusi.
Daftar Pustaka
17 Steve Herman, Loc. Cit. hal.4
6
Warr, Carl Grundy dan Elaine Wong. 1997. “Sanctuary under a Plastic Sheet: The Unresolved
Problems of Rohingya Refugees”, IBRU Boundary and Security Bulletin, hal.88
Lewa, Chris. 2008. “Asia’s New Boat People”, Forced Migration Review No. 30 - Burma's
displaced people, hal.42
Parnini, Syeda Naushin. 2012. “Non-traditional Security and Problems of Rohingya across
the Bangladesh-Maynmar Borders”, British Journal of Arts and Social Sciences,
Vol.5, No.2, hal.285
Miou, Song. 2015. “Thailand to Host Special Meeting on Irregular Migration in the Indian
Ocean” http://news.xinhuanet.com/english/2015-05/12/c_134232824.htm, diakses
tanggal 14 Mei 2015
Constant, Max dan Ainur Romah. 2015. “Thai Officials Find Largest Human Trafficking
Camp Yet” http://www.aa.com.tr/en/news/508724--thai-officials-find-largest-humantrafficking-camp-yet, diakses tanggal 14 Mei 2014
Gecker, Jocelyn. 2015. “How Southeast Asia has Created its Own Humanitarian Crisis”
http://www.seattlepi.com/news/world/article/How-Southeast-Asia-has-created-itsown-6260224.php#photo-7966102, diakses tanggal 14 Mei 2015
Danish Immigration Service. 2011. Rohingya Refugees in Bangladesh and Thailand.
Kopenhagen: Danish Immigration Service.
Jegathesan, M. 2015. “Misery for Migrant Boats Denied Safe Havem in South-East Asia”
http://www.seychellesnewsagency.com/articles/2927/Misery+for+migrant+boats+deni
ed+safe+haven+in+South-East+Asia, diakses tanggal 14 Mei 2015
Ng, Eileen. 2015. “Southeast Asian Leaders Urged to Act on Rohingya Crisis”
http://www.philstar.com/world/2015/04/22/1446920/southeast-asian-leaders-urgedact-rohingya-crisis, diakses tanggal 14 Mei 2015
Herman, Steve. 2015. “SE Asia Nations Rebuff Calls to Rescue Stranded Boat People”
http://www.voanews.com/content/se-asian-nations-rebuff-calls-to-rescue-strandedboat-people/2765612.html, diakses tanggal 14 Mei 2015
The Straits Times. 2015. “Migration Organisation IOM Calls on S-E Asian Govts to Rescue
Thousands Stranded at Sea” http://www.straitstimes.com/news/asia/south-eastasia/story/intergovernmental-organisation-iom-calls-southeast-asia-rescue-thous,
diakses tanggal 14 Mei 2015
UNHCR Site . 2015. “UNHCR Urges South East Asian Governments to Prioritize Saving
Lives Amid Reports that Thousands Adrift in Region’s Water”
http://www.unhcr.org/5551f3149.html, diakses tanggal 14 Mei 2015
7
Yhome, K. 2014. “The Bay of Bengal at the Crossroads: Potential for Cooperation among
Bangladesh, India, and Myanmar”, Friedrich Ebert Stiftung, hal.7
Leider, Jacques P. 2014. “Rohingya: the name, the movement and the quest for identity”,
collection of essay Nation Building in Myanmar, hal.3
8