Sistem Polder dan Ekodrainase Sebagai

PENERAPAN SISTEM POLDER DAN EKODRAINASE SEBAGAI
BENTUK KONSERVASI AIR DAN PENGENDALIAN BANJIR DI
PERKOTAAN
Oleh:
Sarif Robo / A155140041
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
[email protected]
ABSTRAK
Satu dekade terakhir, Indonesia mengalami musibah yang silih berganti tak
hentinya dimulai dari, tsunami, gempa bumi, letusan merapi, kekeringan, banjir
dan masih banyak lagi. Musibah yang sering terjadi dan tak pernah hentinya dan
paling sering terjadi di Indonesia khsusunya daerah perkotaan adalah banjir yang
berdampak pada krisis air dan macetnya perekonomian masyarakat kota sendiri.
Indonesia merupakan salah satu negara tropika basah di dunia, krisis air
sering melanda kawasan ini. Di beberapa daerah di Indonesia sering ditemukan
kelangkaan air bersih, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhannya
selain itu faktor yang mempengaruhi terjadinya kelangkaan air bersih di perkotaan
adalah banjir yang melanda daerah perkotaan sehingga air bersih menjadi
tercemar dan sulit untuk dipakai oleh masyarakat khalayak. Penanganan banjir
dan krisis air di kota besar sudah sangat banyak dilakukan namun hasilnya masih

jauh dari harapan yang dinginkan, sehingga anggaran yang dikeluarkan
pemerintah terbuang percuma karena hasil dari anggaran untuk penanganan banjir
dan krisis air ini masih tidak maksimal. Banjir adalah masalah pokok yang sering
terjadi didaerah kota dataran rendah, sehingga aktifitas dari masyarakat kota
sering terganggu, bahkan banjir dapat melumpukan perekonomian suatu kota,
maka dari itu perlu penanganan khusus mengenai banjir dan krisis air ini. Masalah
banjir bukan hanya di pengaruhi oleh air hujan yang jatuh dan menjadi run off dan
mengalir ke sungai sehingga sungai meluap dan menyebar ke pemukiman, namun
banjir juga datang akibat dari intrusi air laut yang naik ke daratan sehingga
daratan tertutup oleh badan air tersebut. Untuk dapat mengatasi agar nantinya
bencana bencana banjir tidak terus terjadi dan menelan korban jiwa, maka dari itu
harus dipikirkan pola dan tata ruang yang baik dalam mengatasi banjir dan krisis
air ini. Untuk dapat mengatasi masalah ini pemerintah kita harus banyak belajar
mengenai tata kelola air agar tidak terjadi banjir ketika musim hujan dan krisis air
pada musim kemarau tiba.
Belanda adalah negara yang memiliki pola tata air terbaik di dunia, karena
negara ini memiliki daratan yang lebih rendah dari air laut, sehingga para pakar
air di Belanda memikirkan bagaimana cara membendung agar air laut tidak masuk
ke daratan dan mengganggu aktifitas dari masyarakat Belanda ini, sehingga di
ciptakan suatu inovasi yang pertama kalinya di cetus dinegara ini yaitu sistem

ekodrainase dan polder. Konsep ekodrainase berasal dari pemikiran eco-hidrology
yang pertama kali dikenalkan tahun 1982 oleh peneliti Belanda, Van Wirdum.
Pada dasarnya ia ingin menemukan keterkaitan antara unsur air dengan unsur
vegetasi. Bertahun-tahun kemudian pemikiran ini berkembang menjadi sebuah

sistem tata kelola air ramah lingkungan (Prayoga 2013). Selain itu konsep sistem
polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir
kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar
yang melanda Batavia tahun 1918.
PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan sekitar 6.000
merupakan pulau yang berpenghuni. Kepulauan tropis menyebar di sepanjang
seperdelapan dari ekuator sekitar 8 juta km2, dengan total luas lahan 1,92 juta
km2), dan wilayah laut seluas 3 juta km2 dengan total panjang garis pantai sekitar
84.000 km (Bappenas 2004).
Penduduk Indonesia sebanyak 226 juta (data 2008) tersebar di beberapa
pulau. Dengan tingkat pertumbuhan 1,66% dari penduduk diperkirakan tumbuh
menjadi 280 juta pada tahun 2020. Jawa, sebagai pulau yang paling padat
penduduknya hanya seluas 6,58% dari total wilayah Indonesia, berpenduduk 58%
(120,4 juta) dari total penduduk di Indonesia. Dalam dasawarsa yang lalu, imigran

perkotaan mengakibatkan pertumbuhan perkotaan sekitar 5% per tahun.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 52% penduduk akan tinggal di
lingkungan perkotaan, meningkat 38% dibandingkan tahun 1995. (Bappenas
2010).
Terlepas dari tingginya potensi sumber daya air, sumber daya air permukaan
di Indonesia mengalami kekurangan selama musim kemarau, namun terjadi banjir
selama musim hujan terutama di beberapa daerah, hal ini dikarenakan tata ruang
dan pengelolaan air yang tidak optimal sehingga menyebabkan terjadinya
musibah yang tak henti-hentinya. Untuk dapat mengoptimalkan agar tidak terjadi
kekeringan maupun bajnjir maka pemerintah ataupun akademisi sudah selayaknya
membuat inovasi terbaik dalam hal mengelola air agar tidak medatangkan
musibah. Inovasi yang telah lama ada namun belum mampu untuk diterapkan di
Indonesia karena berbagai hal, yang masih menghambat maupun tidak
transparansinya birokrasi Indonesia menyebabkan masalah ini masih terlarut –
larut bahkan setiap kali datang memakan korban jiwa dan korban finansial.
(Helmi 1997)
Konsep ekodrainase dan sistem polder ini sebenarnya sudah ada sejak jaman
kolonial Belanda, namun belum mampu untuk diaplikasikan karena masalah
banjir dan krisis air ini hanya dipandang sebagai sesuatu yang dibicarakan ketika
datangnya bencana ini namun ketika bencana ini mulai surut tidak ada yang

dibicarakan dan dipikirkan, dan inilah yang menjadi kelemahan sehingga
penerapan dari inovasi yang telah ada sangat sulit untuk diterapkan. (Kusharsanto
2013).
HISTORIS BANJIR, PENYEBAB BANJIR SERTA KONDISI AIR DI
INDONESIA
Sejarah Banjir di Indonesia
Berbicara tentang banjir di Indonesia maka, kita akan lebih melirik ke ibu
kota dari negara Indonesia yaitu Jakarta, dimana Jakarta adalah salah satu kota
yang paling sering terjadi banjir bahkan sudah menjadi langganan setiap musim
penghujan tiba, karena Jakarta merupakan daerah dataran rendah dan sebagian
dari wilayahnya termasuk daerah pesisir. Jika di lihat dari banjir di Jakarta bukan

masalah baru. Sejak VOC berkuasa, mereka sudah dipusingkan dengan genangan
air ini. Bahkan saat VOC sudah membagun kanal-kanal penghalau banjir
sekalipun.
- Tahun 1621 : Hanya dua tahun setelah sistem kanal VOC dibangun, banjir
melanda. ini pertama kalinya pis utama VOC di Asia Timur dilanda banjir
besar . Setelah itu banjir terus terjadi di tahun 1854, 1872, 1909, dan 1918.
- Tahun 1965 : Jakarta Mengalami kembali banjir besar. setelah banjir itu,
presiden sukarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta.

Tugasnya memperbaiki kanal dan membuat enam waduk di sekitar jakarta.
- Tahun 1976 : Ini mungkin menjadi banjir besar pertama kalinya. hampir
sebulan penuh yakni 1-26 Januari, jakarta terendam. 200 ribu penduduk
mengungsi. Jakarta Pusat merupakan daerah terparah. saat itu gubernur Ali
Sadikin pasrah karena kesulitan keuangan.
- Tahun 1996 : banjir Besar terjadi pada bulan Februari. saat itu, badan
meteorologi dan geofisika (BMG) memperkirakan banjir serupa akan
terjadi pada 2002.
- Tahun 2002: Prediksi BMG terbukti Gubernur Sutiyoso menyebut air telah
menggenangi 42 kecamatan di Jakarta. Luas Genangan mencapai 16.041
Hektare atau 24,25 % luas Jakarta. 21 orang Tewas.
- Tahun 2007 : Banjir besar menghantam Jakarta mulai 1 Februari 2007
akibat hujan lebat tiada henti. 60 % wilayah Jakarta terendam dalam 10
hari, 66 orang tewas akibat tersengat listrik hingga terseret arus. jakarta
nyaris lumpuh total dari kegiatan ekonominya. Kerugian mencapai Rp 8
triliun.
Sejarah banjir telah membuktikan bahwa banjir yang datang dan menjadi
langganan bukan hanya beberapa tahun terakhir saja namun sudah hampir lebih
dari se-abad namun hal ini masih saja terjadi, ini telah membuktikan bahwa
pemerintah Indonesia belum mampu menangani banjir secara optimal.

(Rohmatullah 2014).
Penyebab Banjir
1. Sampah
Menciptakan lingkungan yang bersih dan jauh dari sampah sepertinya
perlu digalakkan lagi oleh pemerintah, bukan hanya pemerintah DKI,
melainkan juga seluruh Indonesia. Tentunya kita sudah tahu, sampah dapat
menyebabkan banjir, dan hal itulah yang dirasakan oleh Jakarta sendiri.
Bagaimana sangat banyak orang yang membuang sampah sembarangan,
dan benda itu tergenang di air, sehingga terciptalah banjir yang senantiasa
menemani Jakarta hingga saat ini.
2. Gorong-gorong
Salah satu penyebab banjir di Jakarta adalah karena keberadaan kabelkabel serta pipa yang menyatu di dalam gorong-gorong. Tidak ada ducting
untuk kabel dan pipa. Semuanya kabel apapun juga ada di sana,
3. Pertumbuhan Penduduk
Banjir yang melanda Ibu Kota Jakarta beberap tahun belakangan ini adalah
akibat atau imbas dari tingginya pertumbuhan penduduk di DKI. Bukan
hanya itu, alih fungsi tata ruang yang carut-marut juga salah satu penyebab

banjir Jakarta. Dengan sungai yang sempit, otomatis tempat saluran air
juga berkurang.

4. Bangunan Diatas Saluran Air
Banyaknya saluran yang tertutup bangunan menjadi salah satu penyebab
utama terjadinya genangan banjir di wilayah ibukota Jakarta. Karenanya
pembongkaran dan penertiban bakal digelar Pemprov DKI Jakarta untuk
mengembalikan fungsi saluran tersebut secara maksimal.
5. Rusaknya Daerah Tangkapan Air Di Puncak Atau Daerah Hulu.
Dataran rendah sering menjadi korban dari daerh hulu atau daerah puncak,
karena aktifitas dari daerah puncak yang tidaka memperhatikan kaidah
konservasi lingkungan menyebabkan daerah tangkapan air hilang, karena
terjadinya konversi lahan menjadi bangunan dan sebagainya sehingga air
hujan yang turun secara langsung menjadi air larian permukaan (run off)
Banjir Jakarta adalah polemik semua warga dan pemerintah yang harus
segera diatasi. Sejarah dan penyebab banjir di DKI telah membuktikkan bahwa
kesadaran manusia itu sendirilah yang menjadi hal utama, dengan tidak
membuang sampah pada tempatnya, dan tidak melakukan aktivitas yang
merugikan, secepatnya Jakarta bisa terbebas dari banjir. Itu keinginan kita semua,
bukan? (Rohmatullah, 2014).
Kondisi Air di Indonesia
Peringatan Hari Air Dunia 2010 pada Maret lalu, diwarnai kabar tak
menyenangkan tentang ancaman krisis air bersih. Krisis yang terus berlangsung di

berbagai belahan dunia ini bahkan makin mengkhawatirkan. Sebab, jumlah
manusia dari waktu ke waktu terus bertambah. Kebutuhan akan air pun ikut
meningkat. Namun, jumlah persediaan air tidak bertambah, ancaman krisis air
bersih melanda dunia. Kini, masyarakat dunia tak hanya terancam kelaparan,
namun juga kehausan. Indonesia tentu tak luput dari ancaman ini. Menurut data
Kementerian Lingkungan Hidup, kelangkaan air dunia paling parah terjadi di
kawasan Afrika. Sedangkan untuk Asia Tengah adalah Indonesia, khususnya di
Jawa dan sepanjang pantai utara. (Roestam, 2001). Kondisi ketersediaan air yang
terbatas diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga
lingkungan. Akibatnya, tingkat pencemaran air oleh limbah cair ataupun padat
semakin tinggi. Daerah persediaan air pun rusak karena penebangan liar yang
terjadi di hutan-hutan dan daerah resapan air. Kondisi ini menjadi semakin berat
dengan adanya ancaman serius dari dampak perubahan iklim. Secara umum,
kebanyakan wilayah di Indonesia telah nyaris mengalami krisis air bersih. Selama
Maret 2010, misalnya, kelangkaan air di Provinsi Sulawesi Selatan, Yogyakarta,
Banten, dan Kalimantan Barat, mewarnai pemberitaan di berbagai media massa.
Pulau Jawa dan Bali sudah mengalami kelangkaan air sejak tahun 2000. Pada
2015, kelangkaan air diperkirakan meluas ke Sulawesi dan NTT. Bahkan di kotakota besar seperti Jakarta kini sudah masuk dalam kategori krisis air. Akibat
gangguan kualitas sumber air tersebut, biaya pengolahan air bersih terus
mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari waktu ke waktu. Hal ini

menyebabkan masyarakat harus membayar lebih mahal untuk bisa mendapatkan
air bersih. Dampak lain yang dapat muncul akibat krisis air adalah timbulnya
penyakit yang berkaitan dengan ketersediaan air. Krisis air bersih di dunia

merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah perang. Hingga kini ada
sebanyak 1,2 miliar orang yang tidak memiliki akses ke sumber-sumber air bersih
yang aman dan terjangkau. Akibatnya, setiap tahun sedikitnya 2,2 juta orang
meninggal karena penyakit diare. (Kakiangsa 2008)
SOLUSI UNTUK BANJIR DAN KRISIS AIR DI INDONESIA
Sistem Polder
Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan
hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder,
air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ)
lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi posisinya, hingga
pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke
laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan
lapisan kedap air, dinding batu, dan bisa juga berupa konstruksi beton dan
perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang
direkalamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara
sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di

daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat
wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder.
Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan
air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita
perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi
banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang berupa
rawa dan dataran rendah. Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari
laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari
luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada
akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran
rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai.
Seorang pakar pengairan Belanda menyarankan perlunya pemerintah
mengoptimalkan sistem polder dengan memasang tanggul pengaman untuk
kawasan rendah dan mengembangkan drainase di perkotaan yang masih memiliki
gravitasi, guna mengurangi kawasan banjir akibat genangan. Untuk itu, katanya,
pemerintah yang kawasannya berada di kawasan rendah seperti Indonesia harus
mewaspadainya dengan cara mengoptimalkan segala sistem dan membangun
infrastruktur dan sarana penting di kawasan yang relatif tinggi.
Menurut Budiarjo, (2008), bahwa untuk menerapkan sistem polder di

Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin,
paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari
bangunan dan permukiman liar. Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila
terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa taman ataupun jalan.
Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang
seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga
harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk
menghabiskan anggaran pemerintah.

2. Ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga
perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan
membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan
pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu.
3. Sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal,
sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah
polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu
mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang
terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana
publik ketimbang merawatnya.
4. Resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan
mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur
resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan
memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran arsitek,
kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan
sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah)
dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika
banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan
memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke
dalam tanah.
Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang
konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik
untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan
perawatan mesin-mesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya
adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya
membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air,
memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan
paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir
datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir
kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun.
Konsep Ekodrainase
Saat ini di beberapa negara dunia sedang terjadi perubahan besar-besaran
paradigma penanganan bencana alam. Pengalaman negara-negara maju
membuktikan bahwa pendekatan rekayasa teknik murni di bagian hilir tidak
mampu menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan yang terjadi akibat
permasalahan lokal, terus menerus terjadinya perubahan tata guna lahan dan
berbagai aktivitas negatif manusia serta berbagai fenomena perubahan iklim.
Apabila paradigma lama penyelesaian banjir adalah “menjauhkan air dari
manusia” dan “menjauhkan manusia dari air”, konsep baru drainase saat ini
adalah “menyimpan air selama mungkin dan memanfaatkan air semaksimal
mungkin”. Karena konsep yang lama ternyata menimbulkan banyak masalah dari
kekeringan di daerah hulu pada musim kemarau hingga besarnya debit air yang
harus dialirkan ke laut dalam waktu sesingkat mungkin agar tidak menimbulkan
genangan sementara hujan adalah bagian dari siklus hidrologi yang tidak dapat
diatur sesuai keinginan manusia. (Indrawati 2014)

Sementara rekayasa cuaca yang telah dilakukan di negara maju ternyata
menimbulkan hujan asam dan permasalahan baru seperti cyclone (badai) dan
sebagainya. Sejalan dengan berkembangnya pola pikir komprehensif dalam
bidang drainase tersebut, di mana air tidak sematamata harus dibuang melainkan
sebagai aset lingkungan yang harus senantiasa dijaga kuantitas, kualitas serta
keberlanjutannya di beberapa negara maju kemudian berkembang aplikasi baru
drainase dalam berbagai macam konsep. (Indrawati 2014)
Beberapa di antaranya adalah Low Impact Development (LID) di Amerika
Serikat dan Kanada, Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS) di Inggris
Raya, Water Sensitive Urban Design (WSUD) di Australia, dan Low Impact
Urban Design and Development (LIUDD) di New Zealand dan Ecodrain di
Indonesia.
Hasil
dari
pelaksanaan
konsep
baru
ini
cukup
menggembirakan. (Indrawati 2014)
Prinsip Eko Drainase
Karena sistem drainase baru ini sejalan dengan prinsip-prinsip keselarasan
lingkungan maka sistem ini menangani banjir dengan cara yang lebih ramah
terhadap flora, fauna maupun lingkungan. Pada prinsipnya terdapat empat tahapan
yang harus diberlakukan dalam menangani banjir dan genangan dari wilayah hulu
sampai hilir. Namun khusus untuk wilayah dengan karakteristik air tanah yang
tinggi dibutuhkan perlakuan khusus dalam aplikasinya.
Prinsip pertama adalah menampung air sebanyak mungkin dan kemudian
memanfaatkannya atau lebih dikenal dengan istilah pemanenan air hujan (rain
harvesting). Pemanenan air hujan yang paling efektif dilakukan pada skala rumah
tangga, melalui penampungan air hujan di tandon air di masing-masing rumah
penduduk dan kawasan industri serta melakukan penanaman pohon dan tanaman
di lingkungan perumahan. (Indrawati 2014)
Penampungan air diestimasikan mampu mengurangi beban limpasan dari
masingmasing rumah penduduk hingga 40%, sementara penanaman pohon
diestimasikan dapat mengurangi limpasan sebesar 14%, sehingga sisa limpasan
dari tingkat rumah tangga yang harus ditangani tinggal 48%. Sisa limpasan
tersebut dapat ditangani dengan prinsip-prinsip konvensional seperti pemanfaatan
kembali waduk-waduk, rawa, situ dan sebagainya.
DKI Jakarta memiliki waduk dengan luas total 198,26 ha serta situ dan rawa
di 23 lokasi dengan total luas 155,40 ha. Prinsip kedua adalah meresapkan air
sebanyak mungkin ke dalam tanah melalui berbagai media seperti biopori, sumur
resapan, dan sumur imbuhan. Namun, perlu diingat bahwa pemilihan jenis
bangunan peresap ini harus dilandaskan pada prinsip-prinsip teknik. Misalnya
penggunaan biopori pada wilayah dengan tanah lempung atau alluvial kurang
sesuai karena kemampuan meresapkan air yang kecil dan berbeda dengan tanah
pasir misalnya.
Prinsip ketiga adalah mengalirkan air melalui berbagai saluran air baik
makro, penghubung hingga mikro. Dengan keberadaan tiga belas sungai dengan
panjang 429,17 km dan saluran penghubung dan mikro sepanjang 13.595 km,
apabila kapasitasnya terus dijaga maka dapat mereduksi limpasan yang
mengakibatkan banjir di daratan Jakarta. Percepatan aliran juga dapat dilakukan
dengan sarana dan prasarana pompa yang ada di DKI Jakarta yaitu air sejumlah

627 unit dengan total debit 406.512 m3/detik dan pintu pengendali banjir di 42
lokasi.
Dan, prinsip keempat adalah memelihara air. Apabila pada ketiga prinsip di
atas berfokus pada segi kuantitas air, prinsip keempat ini berfokus pada penjagaan
kualitas air agar air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga flora
maupun fauna dapat tetap hidup berdampingan dengan manusia. Pada prinsip
inilah penggunaan teknologi seperti bioremediasi, fitoremediasi, penyaringan
sampah, hingga larangan membuang sampah di saluran diberlakukan
Banjir di kawasan perkotaan umumnya terjadi akibat sebagian besar
bangunan di wilayah itu terbuat dari bahan-bahan yang menghalangi peresapan air
ke dalam tanah. Akibatnya sebagian besar air hujan tidak bisa meresap ke dalam
tanah, namun mengalir di permukaan sebagai air larian. Jika saluran drainasenya
tidak mampu menampung air, pastilah menggenangi wilayah kota tersebut.
Namun, ada juga wilayah kota yang dilanda banjir meski hujan turun dalam waktu
singkat serta tidak lebat. Hal ini terjadi karena sungai-sungai yang melewati kota
itu meluap, akibat limpahan air hujan dari daerah di atasnya.
Bagaimana mengatasinya, sehingga risiko banjir bisa dikurangi? Konsep
usang mesti ditinggalkan (lihat Konsep Masih Konvensional), diganti dengan
konsep baru yang lebih ramah lingkungan. Misalnya konsep ekodrainase.
Ekodrainase kini menjadi konsep utama di dunia internasional. Ia dikembangkan
dari konsep ekohidrolik, yaitu bagaimana mengelola kelebihan air atau
mengalirkannya ke sungai, tanpa melebihi kapasitas sungai itu sendiri.
Melalui konsep ini, air yang berlebihan di musim hujan dapat dikelola sebanyak
mungkin agar meresap ke dalam tanah sebesar-besamya secara alami, untuk
meningkatkan kandungan air tanah. Sehingga pada musim kemarau, air masih
bisa diharapkan tersimpan di dalam tanah.
Konsep ekodrainase dapat dilakukan dengan beberapa metode. Misalnya
metode kolam konservasi, parit konservasi, sumur resapan, river side polder,
pengembangan perlindungan air tanah, dan metode modifikasi lansekap.
(Indrawati 2014)
Kolam Konservasi
Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam air di
perkotaan, permukiman, lahan pertanian, dan lahan perkebunan. Kolam ini untuk
menampung air hujan yang kemudian akan diresapkan, dan sisanya dialirkan ke
sungai secara pelan-pelan. Kolam konservasi dibuat dengan memanfaatkan
daerah-daerah bertopografi rendah, daerah bekas galian pasir atau mineral lainnya,
atau secara khusus dibuat dengan menggali area tertentu. Pembuatan kolam
konservasi akan menguntungkan, jika dikaitkan dengan kebutuhan rekreasi
masyarakat. Misalnya dibangun di kawasan permukiman yang diserasikan dengan
perumahan di kawasan sekitar, sehingga bisa menjadi tempat tujuan rekreasi
masyarakat sekitar. Metode ini berbeda dari parit konservasi, yang digunakan di
lahan pertanian dan perkebunan, dengan membuat galian tanah memanjang di
beberapa tempat tanpa pasangan. Parit ini sekaligus dapat digunakan sebagai
tempat budi daya ikan. Sedangkan metode sumur resapan dilakukan dengan
membuat sumur resapan untuk menampung dan meresapkan air hujan yang jatuh
dari atap rumah. Metode ini sangat dianjurkan untuk permukiman di daerah

lembah dan dataran, tetapi tidak dianjurkan untuk permukiman di daerah lereng
(terutama lereng agak terjal), karena dapat mendorong terjadinya tanah longsor.
DAFTAR PUSTAKA
Agus M. 2007. Manajemen Air Hujan di Indonesia. Diperoleh dari
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/08/opini/3301174.htm 12
Desember 2014
Agus M. 2010. Konsep Ekodrainase sebagai Pengganti Drainase Konvensional.
Diperoleh
dari
http://www.kompas.co.id/kompascetak/0702/08/opini/3301174.htm 12 Desember 2014
Amin BR. 2008. Menanggulangi Banjir dengan Sistem Polder. Diperoleh dari
(http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-16425004). 12 Desember
2014.
Azdan MD. Perubahan Paradigma Pembangunan Sumber Daya Air dan Irigasi,
2008.
Bappenas. (2004). Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 –
2009. Diperoleh dari www.bappenas.go.id. 12 Desember 2014
Bappenas. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025.
Diperoleh dari www.bappenas.go.id. 12 Desember 2014.
Biopori (2007). Desain dan Konsep Lubang Resapan Biopori. Diperoleh dari
www.biopori.com. 12 Desember 2014.
Dian I. 2014. Ekodrainase untuk Atasi Banjir. Peneliti di Pusat Studi Sumber
Daya Air ITB
Helmi. 1997. Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan:
Tantangan dan Agenda untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi
Air di Masa Depan. Jurnal Visi Irigasi Indonesia Nomor 13, 1997.
Padang PSI-SDALP Universitas Andalas.
Kakiangsa. 2008. Development of Micro Hydro as an Alternative Energy in
Remote Area. Diperoleh September 12 Desember 2014, dari
www.kakiangsa.wordpress.com 12 Desember 2014
Prayoga. 2013. Ekodrainase di Belanda. https ://kompetiblog 2013. Wordpress
.com/tag/001-050/page/6/. Di akses pada tanggal 12 Desember 2014.
Rahmatullah, YNWA. Sejarah dan Penyebab Banjir Jakarta. 2014. Diperoleh Dari
http://rohmatullahh.blogspot.com/2014/01/sejarah-penyebab-banjirjakarta.html. 12 Desember 2014
Sjarief R. 2001. Arah Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah
disajikan.dalamDiseminasi Konsep Pengelolaan Sumberdaya Air dalam
Satuan Wilayah Sungai (BWRM). Padang,November 2001.
Zulfika SK. 2013. Tata Kelola Air yang Ramah Lingkungan, Belanda Jagonya. :
http://www.ecofriend.com/. 12 Desember 2014.