SEJARAH JURNALISTIK DUNIA jurnalistik radio

SEJARAH JURNALISTIK DUNIA
Berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa
merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa
pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM). “Acta Diurna”,
yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan
informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama;
pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia.
Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya,
Caesar
hanya
meneruskan
dan
mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya
kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala
kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang
digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu
merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan
memerlukannya. Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan
agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari
diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang

kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang
perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman
itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum
Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat
itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja
membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan
“Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para
hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik
berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian”
atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du
Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan
harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata
“Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).

Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama
kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar
melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta
sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam

hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh
mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau
keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung
dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak
muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya
pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah
mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh
penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari
berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal
Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Masa Perkembangan
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat
kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao,
artinya "Kabar dari Istana". Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo
mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin
cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran
cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama
kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa

besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar
adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke
Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang
bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu
Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada
awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang
penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan

murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap
hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar
ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika
Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia
telah menggunakan istilah “Newspaper”. Di Amerika Serikat ilmu
persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan
istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang
modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di
Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya

memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan
sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita.
Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis)
bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan.
Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan
berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad
ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan
alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar
tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini.
Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang
dengan kian majunya teknik percetakan. Perceraian antara
jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga
wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan
berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan
lebih
berpengaruh
ketimbang
tokoh-tokoh
politik

atau
pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang
mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi
kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan
tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan
majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini
antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-

France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah
Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk
“pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New
York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh
William Randolph Hearst.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS
awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang
politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan
berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki
kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah

memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong
para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka
sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di
Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara
lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai
banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian
melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias
dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi
jurnalisme profesional.
Teknologi Informasi
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi
publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900,
terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang
paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat,
sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam
hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS
menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di
koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi


merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh
kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing
baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun
demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya,
karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya
sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit
teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era
1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita.
Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak,
copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan,
hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar
dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak
terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi
komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi
wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video
melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan

yang meliput di medan paling sulit sekalipun. Setiap pengusaha
media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media
internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan
beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau
elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang
updating datanya bisa dalam hitungan menit.

Sejarah Jurnalistik Indonesia
Zaman pendudukan Belanda
1. Kolonial
Pers kolonial adalah pers yang di usahakan oleh orang-orang
Belanda pada masa penjajahan Belanda. Pers ini berupa surat
kabar, majalah, koran berbahasa Belanda atau bahasa daerah
Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis
Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun
menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan.
Pada tahun 1744 terbit tabloid Belanda pertama di Indonesia
yaitu Batavis Novelis atau dengan namapanjangnya Bataviasche
Nouvelles en Politique Raisonnementes. Sebenarnya pada tahun


1615 Gubernur Jenderal pertama VOC Jan Piterszoon Coen telah
memerintahkan menerbitkan Memorie der Nouvelles . surat kabar
ini berupa tulisan tangan. Tanggal 5 Januari 1810 Gubernur
Jenderal Daendels menerbitkan sebuah surat kabar mingguan
Bataviasche Koloniale Courant yang memuat tentang peraturanperaturan tentang penempatan jumlah tenaga untuk tata buku, juru
cetak, kepala pesuruh dan lain-lain. Setelah itu mulai bermunculan
surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Seperti;
Medan Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih
banyak lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar pertama yang
dimiliki oleh masyarakat pribumi Indonesia, yang didirikan oleh
Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo. Oleh sebab itu Raden
Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai tokoh
Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia adalah orang pertama dari
Indonesia yang mampu memprakarsainya dan dimodali oleh modal
Nasional.
Pada tahun 1811 saat Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris
Bataviasche Koloniale Courant tidak terbit lagi. Orang Inggris
menerbitkan Java Government Gazette. Surat kabar ini sudah
memuat humor dan terbit antara 29 Februari 1812 sampai 13
Agustus 1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera harus

dikembalikan kepada Belanda.
Belanda kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan
kemudian tahun 1828 diganti dengan Javasche Courant memuat
berita-berita resmi , juga berita pelelangan, kutipan dari surat kabar
di Eropa. Tahun 1835 di Surabaya terbit Soerabajaasch
Advertentieblad. Kemudian di Semarang pada pertengahan abad
19 terbit Semarangsche Advertentieblad dan De Semarangsche
Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en
Advertentieblad. Surat kabar ini merupakan harian pertama yang

mempunyai lampiran bahasa lain seperti Jawa, Cina dan juga Arab.
Tahun 1862 untuk pertama kali dibuka jalan kereta api oleh
Pemerintah Hindia Belanda maka untuk menghormati hal tersebut
Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti nama
menjadi de Locomotief.
Setelah itu mulai bermunculan surat kabar baru dari masyarakat
Indonesia itu sendiri. Seperti; Medan Priyayi (1910), Bintang
Barat, Bintang Timur, dan masih banyak lagi. Medan Priyayi
adalah surat kabar pertama yang dimiliki oleh masyarakat pribumi
Indonesia, yang didirikan oleh Raden Jokomono atau Tirto Hadi

Soewirjo. Oleh sebab itu Raden Jokomono atau Tirto Hadi
Soewirjo disebut sebagai tokoh Pemrakarsa Pers Nasional, karena
dia adalah orang pertama dari Indonesia yang mampu
memprakarsainya dan dimodali oleh modal Nasional.

2. Pers Masa Pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di
bawah penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang
menggantikan Belanda. Pers nasional adalah pers yang di usahakan
oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan
di peruntukan bagi orang Indonesia. Setelah munculnya pergerakan
modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, Surat kabar yang di
keluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat
perjuangan. Pers menyuarakan kepedihan,penderitaan,dan
merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi
pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib
dan kedudukan bangsa.

Zaman Penjajahan Jepang
Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran dilarang. Akan
tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit:
Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Beberapa keuntungan yang di dapat oleh para wartawan di
Indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang,antara lain sebagai
berikut :
 Pengalaman yang di peroleh para karyawan pers Indonesia
bertambah.Fasilitas dan alat-alat yang di gunakan jauh lebih
banyak dari pada masa pers zaman Belanda.
 Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin
sering dan luas.
 Pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita
yang di sajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang.Selain
itu,kekejaman dan penderitaan yang di alami pada masa
pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa
memberikan semangat untuk melawan penjajahan.
Revolusi Fisik (Pendudukan Belanda)
Pada masa revolusi fisik ini, pers terbagi menjadi dua
golongan,yaitu sebagai berikut :

 Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh tentara
pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya di

namakan pers Nica ( Belanda ).
 Pers yang di terbitkan dan di usahakan oleh orang Indonesia
yang di sebut pers republik.
Pers republik disuarakan oleh masyarakat Indonesia yang berisi
semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha
pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan
masa itu. Sebaliknya, pers Nica berusaha memengaruhi rakyat
Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di
Indonesia.
3. Orde lama
Pers pada masa Orde lama digunakan untuk mengkritisi pemimpin.
Dewan Pers pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui
Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers. Fungsi dari Dewan Pers saat itu adalah sebagai
pendamping
Pemerintah
serta
bersama-sama
membina
perkembangan juga pertumbuhan pers di tingkat nasional. Saat itu,
Menteri Penerangan secara ex-officio menjabat sebagai Ketua
Dewan Pers.
4. Orde baru
Pada era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak
berubah yaitu masih menjadi penasihat pemerintah, terutama untuk
Departemen Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang
No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur
keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6

ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 4 Tahun 1967 :
“Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil
Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di
bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain.”
Pada masa ini, khususnya ketika Ali Murtopo menjadi Menteri
Penerangan (1977-1982), Departemen Penerangan difungsikan
sebagai sebuah "departemen politik" bersama Departemen Dalam
Negeri. Artinya, ia mempunyai fungsi pembinaan politik.
Departemen ini berada di garda terdepan dalam setiap kampanye
pemilu. Fungsi ini semakin kental terasa tatkala Harmoko menjadi
Menteri Penerangan (1982-1997), dan selama tiga periode
berturut-turut Harmoko merangkap menjadi Ketua Umum Golkar
(1987-1998) dan Ketua Umum MPR (Maret 1998 -November
1998). Ini adalah jabatan dan kedudukan yang sangat strategis.
Dalam struktur kekuasaan seperti itu, Departemen Penerangan
menjadi lembaga penjaga gerbang informasi yang sangat efektif
bagi kepentingan pemerintah. Departemen Penerangan (melalui
Direktorat Bina Wartawan Dirjen PPG) mempunyai kewenangan
untuk mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden
luar negeri serta mempunyai kewenangan untuk mencegah tangkal
tayangan siaran langsung televisi dari dan ke luar negeri. Karena
itu, Departemen Penerangan juga mempunyai wewenang dalam
pengaturan agenda informasi dari dan ke luar negeri. (Hidayat,
dkk, 2000:225)
5. Reformasi

Disahkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
membuat berubahnya Dewan Pers menjadi Dewan Pers yang
Independen, dapat dilihat dari Pasal 15 ayat (1) UU Pers
menyatakan :
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers
yang independen
Fungsi Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai penasihat
Pemerintah sekarang telah menjadi pelindung kemerdekaan pers.
Tidak ada lagi hubungan secara struktural dengan Pemerintah.
Dihapuskannya Departemen Penerangan pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid menjadi bukti. Dalam keanggotaan, tidak ada
lagi wakil dari Pemerintah dalam Dewan Pers. Tidak ada pula
campur tangan Pemerintah dalam institusi dan keanggotaan,
meskipun harus keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan
Presiden. Untuk Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, dipilih
melalui mekanisme rapat pleno (diputuskan oleh anggota) dan
tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden. Pemilihan anggota
Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers lama.
Atang Ruswati menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan
Pers, sebuah badan bentukan Dewan Pers sebelum dilakukannya
pemilihan anggota. Badan Pekerja Dewan Pers kemudian
melakukan pertemuan dengan berbagai macam organisasi pers juga
perusahaan media. Pertemuan tersebut mencapai sebuah
kesepakatan bahwa setiap organisasi wartawan akan memilih dan
juga mencalonkan dua orang dari unsur wartawan serta dua dari
masyarakat. Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih
serta mencalonkan dua orang yang berasal dari unsur pimpinan
perusahaan media juga dua dari unsur masyarakat. Ketua Dewan
Pers independen yang pertama kali adalah Atmakusumah

Astraatmadja.

Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia dapat digolongkan
dalam tiga kategori, yaitu sejarah pers nasional, sejarah pers
nasional, sejarah pers kolonial, dan sejarah pers Cina.
Pers nasional adalah surat kabar dan majalah dalam bahasa
Indonesia atau bahasa daerah bahkan bahasa Belanda yang
ditujukan terutama bagi bangsa Indonesia.
Pers kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda dalam bahasa
Belanda, Indonesia, maupun daerah yang bertujuan demi
kepentingan kolonialis Belanda.
Pers Cina adalah surat kabar dan majalah yang diterbitkan oleh

golongan Cina dalam bahasa Cina, Indonesia, dan Belanda.
A. Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang
kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC,
diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama
di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari
negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar
tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan
Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat
kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di
beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk
koran iklan
Ciri-Ciri pers pada masa belanda :
v Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana
v Persbreidel Ordonantie
v Haatzai Artikelen
v Kontrol yang Keras Terhadap Pers
B. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang
semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi
satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencanarencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan
apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia

Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers
merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang
dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang :
v Penekanan Terhadap Pers Indonesia
v Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan
kekusaan pemerintahannya
C. Masa Revolusi Fisik
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat
proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan
dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para
wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi.
Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan
teguh bagi para wartawan.
Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode
“revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan
fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke
dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan
di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian
Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang
dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.
Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:
v Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik
v Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik
v Pembatasan Pers
D. Masa Demokrasi Liberal
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers
republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai

dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan
pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliranaliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan
kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang
melampaui batas-batas kesopanan.
Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
v Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam
Prakteknya Tidak
v Pembatasan Terhadap Pers
v Adanya Tindakan Antipers
E. Masa Demokrasi Terpimpin
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering
disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat
terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
v Tidak Adanya Kebebasan Pers
v Adanya Ketegasan Terhadap Pers
v Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
F. Masa Orde Baru
Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan
pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun
mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers

mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di
mana
pers
itu
bergerak.
Pers
sebagai
sarana
penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital
dalam proses pembangunan.
Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers
mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi
masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini
menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan
memperjuangkan
hak-hak
asasinya
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru
v Kebebasan Terhadap Pers
v Pers Masa itu Sangat Buram
v Berkembangnya Dunia Pers
G. Masa Reformasi
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru
yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden
Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers,
sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya
sebagai presiden.
Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi
v Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi
Manusia)
v Wartawan Mempunyai Hak Tolak
v Penerbit Wajib Memiliki SIUPP
v Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen
Penerangan untuk Mendapat SIUPP
H. Pers di masa pasca Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era
reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan,
termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan
ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers
Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayangbayang ancaman pencabutah surat izin terbit.Sejak masa reformasi
tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal
ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi
yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau
tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini
disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang PokokPokok Pers (UUPP).Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas
dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara
(pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu
tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran
sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999,
maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
• Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan
informasi.
• Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati

kebhinekaan.
• Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat,
akurat, dan benar.
• Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
• Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat
melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan
identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi
di pengadilan.