Potensi dan Daya Dukung Kawasan Hutan Ga
PULANG PISAU SKRIPSI
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat Untuk Me uk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (Strata- ata-1) Jurusan Pendidi ndidikan Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan kan Geografi
Oleh:
EPI SULASTRI NPM: 12.87202.008
FAKULTAS LTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDID IDIKAN UNIVER IVERSITAS PGRI PALANGKA RAYA YA PALANGKA RAYA 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Potensi dan Daya Dukung Kawasan Hutan Gambut Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, Pulang Pisau adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Palangka Raya, Desember 2016
Epi Sulastri NPM. 12.87202.008
ABSTRACT
EPI SULASTRI. Potential and Areal Carrying Capacity Peat Forest of Jumpun Pambelom , Tumbang Nusa, Pulang Pisau. Under direction DEDY NORSANDI and TEGUH PRIBADI.
Tourism based on ecological and social sustainability is now more widely known as one of the charms of favorable economic and continuously promoted heavily in conservation efforts. Peat forest of Jumpun Pambelom (JP) is one of the new tourist destinations in the form of peat ecosystem unspoiled. JP be a conservation area managed privately and became one of the pilot management of peatland in Palangkaraya. The poteantial of peat forest of JP measured for sustainable tourism development. The visitor behavior survey conducted to measure visitor demographics. The carrying capacity of the area is used to measure the relationship between an activity and the amount of use that will used visitors JP is generally visitors with special purposes with the mission of education and conservation as the main motivation. Despite having potensis low tourist attraction. JP as peat ecosystem sustainability based ecotourism should be developed further. Promotion and addition of facilities and infrastructure of nature can increase tourist visits. JP travel lanes are physically able to accommodate visitors amounted to 134 per day. If exceed the carrying capacity of the region could pose a major threat to the ecosystem. To overcome this it is necessary to increase the value of the carrying capacity of the region to extend the boardwalk path.
Keywords: Areal carrying capacity, ecotourism, objects and natural tourism attractions, Palangka Raya, peatland ecosystem conservation.
ABSTRAK
EPI SULASTRI. Potensi dan Daya Dukung Kawasan Hutan Gambut Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, Pulang Pisau. Dibimbing oleh DEDY NORSANDI dan TEGUH PRIBADI.
Pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi alam. Hutan gambut Jumpun Pambelom (JP) merupakan salah satu destinasi wisata baru di Palangka Raya berupa kawasan ekosistem gambut yang masih alami. JP berupa yang dikelola secara privat yang dikelola untuk tujuan konservasi pengelolaan lahan gambut di Palangka Raya. Di sini kita mendeskripsikan karakteristik pengunjung yang datang ke JP, menilai potensi wisata alam sekaligus daya dukung lingkungan JP. Pengunjung yang berkunjung dipilih secara insidental kemudian disigi dalam rangka pengumpulan data karakteristik demografi pengunjung. Penilaian obyek dan daya tarik wisata alam (ODWTA) digunakan sebagai panduan penilaian potensi wisata alam JP. Selanjutnya, daya dukung kawasan dihitung berdasarkan jumlah maksimal pengunjung yang dapat ditampung di kawasan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan pengunjung. Pengunjung JP pada umumnya adalah pengunjung dengan tujuan khusus dengan misi pendidikan dan konservasi sebagai motivasi utamanya. Meskipun memiliki potensis daya tarik wisata yang rendah. JP sebagai ekowisata berbasis kelestarian ekosistem gambut layak dikembangkan lebih lanjut. Promosi dan penambahan sarana dan prasarana wisata alam dapat dilakukan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. JP memiliki daya dukung kawasan sebesar 134 orang/hari dengan panjang jalur yang dapat dimanfaatkan 604,38 m dan waktu yang dihabiskan pengunjung untuk melakukan kegiatan di lapangan selama empat jam. Peningkatan daya tarik wisata dapat dilakukan dengan melakukan penambahan sarana dan prasarana obyek wisata alam. Di samping itu, pengelola JP melakukan promosi yang lebih intensif tentang daya tarik JP.
Kata Kunci: Daya dukung kawasan, Ekowisata, Jumpun Pambelom, ODTWA, Palangka Raya, Pelestarian ekosistem gambut.
RINGKASAN
Epi Sulastri. Potensi dan Daya Dukung Kawasan Hutan Gambut Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, Pulang Pisau. Dibimbing oleh Dedy Norsandi dan Teguh Pribadi.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di hutan gambut Jumpun Pambelom (JP). Ekowisata yang bertujuan untuk mendukung upaya –upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Pengembangan hutan gambut JP harus sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya, untuk itu harus diketahui karakteristik pengunjung, potensi ekowisata, dan kemampuan daya dukung kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik pengunjung, menilai potensi hutan gambut JP dan mengukur daya dukung kawasan hutan gambut JP.
Analisis karakteristik pengunjung diukur berdasarkan statistik deskritif. Analisis potensi hutan gambut JP diukur berdasarkan penilaian ODTWA yang dikembangkan oleh Dirjen PHKA 2003. Analisis daya dukung hutan gambut JP diukur berdasarkan jumlah maksimal wisatawan yang dapat ditampung dikawasan tanpa menimbulkan kerusakan kawasan.
Pengunjung hutan gambut JP umumnya adalah pengunjung khusus dengan tujuan pendidikan lingkungan hidup seperti pelajar atau mahasiswa. Hutan gambut JP memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi destinasi baru ekowisata di Palangka Raya, dengan melakukan peningkatan daya tarik wisata, seperti penambahan sarana dan prasarana obyek wisata alam. Disamping itu pengelola hutan gambut JP melakukan promosi yang lebih intensif tentang daya tarik hutan gambut JP. Kemampuan daya dukung hutan gambut JP sebesar 134 orang/hari dengan panjang jalur yang dapat dimanfaatkan 604,38 meter.
Kata Kunci: ekowisata, ekosistem gambut, ODTWA, daya dukung, Jumpun Pambelom
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Kanitap, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 28 Maret 1995 sebagai putri ketiga dari empat bersaudara, anak dari bapak Derman dan ibu Linsie. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Gohong Rawai lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Rungan pada tahun 2006 dan lulus tahun 2009; lulus SMAN 1 Rungan pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 Program studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Palangka Raya. Penulis mendapatkan beasiswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tegah untuk membantu menyelesaikan pendidikan S1.
Selama menempuh pendidikan S1, penulis aktif dalam keorganisasian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas PGRI Palangka Raya sebagai wakil ketua BEM periode 2014 - 2016, Pengurus Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Universitas PGRI Palangka Raya. Penulis menyajikan makalah dengan judul “Potensi Jumpun Pambelom Sebagai Ekowisata Berbasis Kelestarian Ekosistem Gambut” yang merupakan bagian dari skripsi ini.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih setiaNya yang tak pernah usai sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Potensi dan Daya Dukung Kawasan Hutan Gambut Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, Pulang Pisau” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi pendidikan geografi, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, Universitas PGRI Palangka Raya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dedy Norsandi, S.Pd., M.S selaku pembimbing pertama dan Teguh Pribadi, S.Hut., M.Si selaku pembinbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, masukan dan saran dengan penuh kesabaran, yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ungkapan terimakasih disampaikan juga kepada Ir. Januminro, M.Si dan Ir. Evi Veronika, M.Si selaku pengelola Jumpun Pambelom yang sudah memberi izin, bantuan dan masukkannya selama penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Dadang Sudirman, M.Si dan Fahrul Raji yang sudah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Daniel, Thony, Frengky Yosua dan Apriando yang sudah membantu penulis mengumpulkan data selama di lapangan.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Palangka Raya, 8 November 2016
Epi Sulastri
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. definisi opersional untuk variabel potensi ekowisata, daya dukung kawasan ekowisata dan karakteristik pengunjung ........
19
24
2. Ringkasan teknik pengambilan data ..........................................
33
3. Ringkasan karakteristik pengunjung ..........................................
35
4. Hasil penilaian potensi ODTWA Hutan Gambut JP ..................
5. Daftar daya dukung kawasan Hutan Gambut JP dibandingkan dengan beberapa tempat lain ......................................................
35
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Hutan Gambut JP yang dikembangkan menjadi destinasi wisata .........................................................................................
17
27
2. Kondisi Fisik Hutan Gambut JP .................................................
28
3. Vegetasi yang terdapat di Hutan Gambut JP...............................
29
4. Vegetasi pengayaan yang terdapat di Hutan gambut JP ...........
30
5. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di Hutan Gambut JP .................
6. Fasilitas-fasilitas pendukung yang terdapat di Hutan Gambut JP ................................................................................................
31
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dataran dan lautan di Indonesia membentuk kekayaan tumbuhan dan hewan yang terbesar di dunia. Iklim tropis dengan posisi geografi yang terletak di antara Asia dan Australia telah menghasilkan kawasan fauna dan flora yang tidak dapat dibandingkan dengan negara manapun di dunia. Kekayaan flora dan fauna yang dimiliki Indonesia membuat Indonesia mempunyai kedudukan yang terhormat di dunia. Indonesia memiliki: 10% jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, 15% serangga, tetapi luas daratan Indonesia hanya 1,32% dari seluruh luas daratan yang ada di dunia. Indonesia menanggung beban berat sebagai negara terkaya akan keanekaragaman hayati dan di kawasan sensitif. Dibandingkan dengan Brazil, yang cukup luas dan semua biota terbentang dalam kesatuan lahan, biota Indonesia tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Sehingga membuat jumlah populasi setiap individu tidak besar dan distribusinya sangat terbatas. Di sisi lain, Indonesia juga mempunyai keanekaragaman budaya, agama dan etnik yang tersebar di pantai, savana, pengunungan, dan desa-desa tradisional. Konsenkuensinya pengembangan sistem pemanfaatan keanekaragaman hayati tampaknya harus berbeda. Pengembangan sumber daya alam yang non-ekstratif dan non-konsumtif seperti ekowisata harus menjadi pilihan utama (Supriatna, 2008).
Pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial (ekowisata) saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi hutan hujan Pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial (ekowisata) saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi hutan hujan
Ekowisata bukan hanya kegiatan di destinasi alam, tak tersentuh (asing) dan jauh jaraknya saja tetapi merupakan keseluruhan kegiatan yang terdiri dari lima tahap, yang meliputi: perencanaan, perjalanan menuju destinasi, kegiatan di destinasi, perjalanan pulang dari destinasi, dan rekoleksi. Oleh karenanya definisi ekowisata harus mencakup keseluruhan tahapan tersebut dengan tetap mengacu pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan pada aspek ekologi, sosial-ekonomi dan sosial budaya. Sehingga definisi ekowisata secara holistik adalah kegiatan wisata yang keseluruhan tahapannya mengacu pada prinsip berkelanjutan dan dapat dilakukan pada semua bentuk kegiatan pariwisata (Purnomo, 2013).
Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk peningkatan kesejahteran masyarakat, dan kelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati sebagai obyek sekaligus daya tarik wisata. Ekowisata mengutamakan upaya konservasi sumber daya alam, pengembangan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara baik, benar, bertanggung jawab, dan berkelanjutan. Pengembangan ekowisata harus menggunakan kaidah-kaidah berkelanjutan yang dapat menciptakan peluang peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal dan memberi perlindungan kawasan konservasi dan lindung, membuka ruang untuk memberikan penghormatan hak atas sumber daya alam, baik bersifat perorangan maupun kelompok demi terciptanya keuntungan dan kesetaraan kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan (Purwanto, 2014).
Namun demikian, beberapa daerah yang memiliki potensi wisata telah rusak oleh karena ketidaktahuan dalam pemanfaatan, perencanaan dan pengelolaannya (Purwanto, 2014). Peningkatan permintaan wisata ke daerah-daerah yang alami akan berdampak pada penurunan kawasan yang alami baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Salah satu potensi ekowisata yang menjadi destinasi baru adalah kawasan ekosistem gambut yang masih alami. Hutan gambut Jumpun Pembelom (JP) merupakan salah satu kawasan konservasi yang dikelola secara privat dan menjadi salah satu percontohan pengelolaan lahan gambut di Palangka Raya. Kawasan tersebut selain sebagai tempat konservasi ekosistem gambut juga mulai dibuka untuk dikunjungi oleh wisatawan. Namun demikian, potensi ekowisata yang ada belum dikaji secara rinci begitu juga dengan kapasitas daya dukung kawasan tersebut terhadap kedatangan pengunjung ke lokasi tersebut
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah yang akan diungkap dari penelitian ini adalah 1) bagaimana karakteristik pengunjung yang mendatangi hutan gambut JP? 2) Apakah hutan gambut JP memiliki potensi ekowisata yang layak dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata alam baru di sekitar Kota Palangka Raya? dan 3) Berapa kapasitas maksimal pengunjung yang mampu ditampung oleh hutan gambut JP agar tetap memberikan kenyaman bagi pengunjung sekaligus tidak merusak hutan gambut JP?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan peneliti ini adalah 1) Mendeskripsikan karakteristik pengunjung huta gambut JP; 2) Mengukur potensi wisata alam yang ada di hutan gambut JP; dan
3) Mengukur daya dukung kawasan hutan gambut JP agar memenuhi persyaratan kelestarian kawasan hutan gambut JP sebagai destinasi wisata..
D. Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat teoritis dan praktis:
1. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan hasil penilaian dalam salah satu cabang kajian wisata alam (ekowisata), khususnya tentang pengukuran potensi wisata alam dan daya dukung kawasan wisata alam.
2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan hutan gambut JP dalam penerapan kebijakan pengelolaan untuk mencapai kawasan yang secara ekologis tetap lestari dan secara ekonomis menguntungkan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekowisata
Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia untuk bersenang-senang, bisnis, dan tujuan lain di luar tempat lingkungan mereka dan tinggal tidak lebih dari satu tahun (Utama & Mahadewi, 2012). Hakikat berpariwisata adalah suatu proses kepergian sementara dari seseorang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti hanya sekedar hanya ingin tahu dan untuk menambah pengalaman. Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang mengahasilkan upah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan wisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu hal yang baru (Suwantoro, 1997).
Perjalanan wisata mensyaratkan tiga hal sebagai berikut: 1) perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain, di luar tempat kediaman orang tersebut biasa tinggal; 2) tujuan perjalanan semata-mata untuk bersenang-senang, dan tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya; 3) semata-mata sebagai konsumen di tempat yang dikunjungi (Utama & Mahadewi, 2012).
Sistem pariwisata terdiri atas tiga komponen, yaitu: wisatawan, elemen geografi dan industri pariwisata. Wisatawan merupakan komponen yang sangat penting dalam model ini karena pariwisata pada hakikatnya merupakan Sistem pariwisata terdiri atas tiga komponen, yaitu: wisatawan, elemen geografi dan industri pariwisata. Wisatawan merupakan komponen yang sangat penting dalam model ini karena pariwisata pada hakikatnya merupakan
Menurut World Conservation Union (WCU), ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal. Ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan (Nugroho, 2011).
Secara konseptual, ekowista dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya- upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sementara ditinjau dari segi pengelolaanya, ekowisata dapat didefenisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Supriatna, 2008).
Ekowisata lebih lanjut dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumber daya alam. Sebagai pasar ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya- upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pariwisata secara ramah lingkungan (Purwanto, 2014).
Pengembangan ekowisata selain mengembangkan prinsip dasar konservasi sebaiknya juga mencerminkan dua prinsip lainnya, yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata. Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian lingkungan, dan budaya. Sedangkan prinsip wisata menyatakan bahwa pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan (Purwanto 2014).
Ekowisata di Indonesia dipahami sebagai suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata yang berbasis: 1) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan dan pelestarian; 2) berintikan partisipasi aktif masyarakat; 3) penyajian produk bermuatan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi; 4) berdampak negatif minimal; 5) memberikan sumbangan positif terhadap pembanguna ekonomi daerah, yang diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya (Purwanto, 2014).
Pengembangan jasa ekowisata diharuskan memiliki manajemen yang profesional, mencakup: 1) pemasaran yang sepesifik menuju tujuan wisata. Strategi pemasaran menempati posisi penting untuk menjangkau dan menarik pengunjung seluruh dunia. Mereka diharapkan menjadi sumber informasi bagi pengunjung lainnya agar dapat membantu konservasi lingkungan dan pengembangan masyarakat lokal; 2) keterampilan dan layanan kepada pengunjung secara intensif. Layanan ekowisata adalah pengalaman dan pendidikan terhadap lingkungan. Kepuasan pengunjung akan tercapai melalui ragam layanan yang sabar dan efektif; 3) keterlibatan penduduk lokal dalam memandu dan menerjemahkan objek wisata. Penduduk lokal akan memiliki insentif konservasi lingkungan apabila ia dilibatkan dalam jasa-jasa ekowisata, pemberian informasi, dan memeroleh manfaat yang pantas; 4) kebijakan pemerintahan dalam kerangka melindungi aset lingkungan dan budaya. Kebijakan penataan ruang, pemberdayaan kemasyarakatan akan mencegah mekanisme pasar beroperasi diwilayah tujuan ekowisata; dan 5) pengembangan kemampuan penduduk lokal. Penduduk lokal dan lingkungannya adalah kesatuan utuh wilayah ekowisata. Mereka perlu dikembangkan potensi dan partisipasinya untuk memeroleh keuntungan agar tercipta insentif dan motivasi untuk ikut mengkonservasi lingkungannya (Nugroho, 2011).
Ekowisata dalam pengembangan pariwisata di Indonesia memiliki banyak kemampuan untuk membangun pariwisata rakyat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa aspek dari ekowisata yang mendukung hal tesebut diatas adalah: Pertama, ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan Ekowisata dalam pengembangan pariwisata di Indonesia memiliki banyak kemampuan untuk membangun pariwisata rakyat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa aspek dari ekowisata yang mendukung hal tesebut diatas adalah: Pertama, ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan
Ketiga , ekowista meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini memengaruhi perubahan perilaku dari pengujung, masyarakat dan pengembang pariwisata, agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat, pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowista baik di tingkat internsional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkenginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkaatkan kesadaran, penghargaan, dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan buadaya setampat. Kelima, ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggaraan, pemerintahan dan masyarakat setempat, Ketiga , ekowista meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini memengaruhi perubahan perilaku dari pengujung, masyarakat dan pengembang pariwisata, agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keempat, pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowista baik di tingkat internsional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkenginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkaatkan kesadaran, penghargaan, dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan buadaya setampat. Kelima, ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggaraan, pemerintahan dan masyarakat setempat,
B. Destinasi Wisata
Destinasi pariwisata adalah area geografis atau tempat yang dikunjungi dan dialami (dilihat, dirasakan) oleh pengunjung. Sifat destinasi pariwisata beragam, tidak selalu sama dengan batas administrasi. Destinasi bisa saja hanya satu tempat, tetapi juga terdiri dari berbagai lokasi pariwisata yang memiliki identitas yang kuat karena kondisi alam geografis (Teguh, 2015).
Lima unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata, yaitu: 1) objek dan daya tarik wisata. Objek wisata yang merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan kesuatu daerah tujuan wisata.; 2) prasarana wisata. Prasarana wisata adalah sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya didaerah tujuan wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan dan lain sebagainya; 3) sarana wisata. Sarana wisata adalah kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya; 4) infrastruktur. Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasanana wisata, baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik; 5) lingkungan. Lingkungan adalah berbagai objek dan daya tarik wisata akan mengundang kehadiran wisatawan (Suwantoro, 1997).
Adapun komponen-komponen destinasi wisata menurut Teguh (2015) terdiri dari enam komponen, yaitu: 1) daya tarik; 2) akses: adanya transportasi lokal dan terminal; 3) fasilitas: ketersediaan berbagai fasilitas seperti akomodasi, restoran, tempat hiburan, tempat perbelajaan, dan pelayanan lain; 4) manusia, organisasi, dan tata kelola yang ditujukan memastikan pelayanan, aktivitas dan fasilitas; 5) citra; dan 6) harga.
Empat aspek (4A) dalam penawaran produk pariwisata, yaitu: 1) daya tarik (attractions). Ketersediaan daya tarik pada daerah tujuan wisata untuk menarik wisatawan, dapat berupa keindahan alam maupun keunikan masyarakat dan budayanya; 2) transportasi (accesabilitity). Ketersediaan alat-alat transportasi agar wisatawan domestik dan manca negara dapat dengan mudah mencapai tujuan tempat wisata; 3) fasilitas (amenities). Ketersediaan fasilitas utama maupun pendukung pada sebuah destinasi berupa akomodasi, restoran, fasilitas penukaran valas, pusat oleh-oleh dan fasilitas pendukung lainnya yang berhubungan dengan aktivitas wisatawan pada sebuah destinasi; 4) kelembagaan (ancillary). Aspek ini berupa pemandu wisata, biro perjalanan, pemesanan tiket, dan ketersediaan informasi tentang destinasi (Utama & Mahadewi, 2012).
Konsumen ekowisata adalah mereka yang menginginkan liburan dengan sensasi alam yang tinggi. Mereka bersedia meluangkan waktu yang relatif panjang dan cukup uang untuk memuaskan keinginannya selama liburannya. Karenanya, pengelolaan jasa ekowisata perlu menyediakan akomodasi dan sajian wisata dengan kemasan yang baik, aman dan memuaskan. Terlebih beberapa pengunjung kebanyakan adalah pengunjung berusia lanjut sehingga perlu diberikan kenyaman dan kemudahan secara fisik (Nugroho, 2011).
C. Daya Dukung Wisata
Daya dukung dapat dilihat pada aspek kapasitas fisik, ekologis, ekonomi, infrastruktur, dan perseptual. Perhitungan daya dukung sosial yang memungkinkan terjadinya tata kelola destinasi pariwisata yang berkelanjutan. Sedangkan daya dukung fisik adalah kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan makhluk hidup secara optimal dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung pariwisata bersifat site spesific dan dinamis, dipengaruhi oleh jenis dan autentisitas aktivitas, jumlah dan karakteristik pengguna, waktu dan distribusi waktu, dn kondisi lingkungan yang terjadi saat itu. Indikator daya dukung ekologis adalah kondisi tapak seperti luas, jenis, intensitas pengguanaan, tingkat kebisingan, kualitas air dan jumlah wisatawan; Indikator daya dukung psikologis adalah motivasi, persepsi, aspirasi wisatawanyang ditentukan oleh kondisi musim (seasonality). jumlah wisatawan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan kualitas biofisik, potensi gangguan terhadap tumbuhan dan satwa; secara psikologis menimbulkan konflik penggunaan ruang dan menurunkan kualitas pengalaman wisata.(Teguh, 2015).
Tingkat daya dukung psikologis meliputi: 1) daya tarik dan proses lingkungan lahan (natural environment features and procesess); 2) stuktur ekonomi dan pembangunan ekonomi (economic structure and economic development ); 3) struktur dan organisasi sosial (social sructure and organization);
4) organisasi politik (political organization); dan 5) tingkat pembangunan pariwisata (level of tourist developent) di destinasi pariwisata masih sangat terbatas karena masih dalam fase pengembangan (exploration) (Teguh, 2015).
Daya dukung sebagai suatu istilah yang digunakan untuk mengukur hubungan antara suatu aktivitas dan jumlah penggunaan yang akan digunakan. Hal tersebut akan memasukkan suatu manajemen pengelolaan suatu area rekreasi yang diharapkan tingkat atraksi dan petunjuk yang diatur untuk mencerminkan kualitas dan sesuai harapan wisatawan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai daya dukung bersifat dinamis dan tidak ada kemutlakkan untuk suatu area rekreasi, hanya bagaimana agar jumlah daya dukung rekreasi maksimum tersebut dapat menampung wisatawan selama periode rentang waktu yang ditentukan dan menyediakan perlindungan yang sesuai bagi sumber daya dan kepuasan para wisatawan (Utari, 2014).
Komponen-komponen yang dapat mengukur daya dukung, yaitu: 1) daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan kemampuan ini sangat bergantung pada kapasitas dari sumber daya, sistem dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologi lahan, iklim seperti pengaruh frekuwensi dan curah hujan; 2) daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya secara ekologi termasuk di dalamnya flora dan fauna, habitat alamiah, dan bentang alam; 3) daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan sebagai contoh: keragaman budaya dan kebiasaan penduduk (Purnomo, 2013).
Dalam menentukan daya dukung jumlah maksimum, daya dukung fisik dan daya dukung sosial harus dipertimbangkan bersama-sama sebab keduanya berkaitan erat. Daya dukung fisik sendiri diartikan sebagai suatu area yang dapat didukung dengan tanpa adanya perubahan kualitas yang diinginkan pada suatu lokasi rekreasi dengan kata lain apabila daya dukung fisik diperhitungkan, maka Dalam menentukan daya dukung jumlah maksimum, daya dukung fisik dan daya dukung sosial harus dipertimbangkan bersama-sama sebab keduanya berkaitan erat. Daya dukung fisik sendiri diartikan sebagai suatu area yang dapat didukung dengan tanpa adanya perubahan kualitas yang diinginkan pada suatu lokasi rekreasi dengan kata lain apabila daya dukung fisik diperhitungkan, maka
D. Ekosistem Gambut
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut. Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi (Barchia, 2006).
Ekosistem gambut adalah kawasan penampung air yang memberikan keseimbangan sistem hidroekologi dalam dan luar ekosistemnya. Ekosistem Ekosistem gambut adalah kawasan penampung air yang memberikan keseimbangan sistem hidroekologi dalam dan luar ekosistemnya. Ekosistem
Karakteristik lahan gambut, yaitu: 1) karakteristik fisik gambut penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air lahan gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya, sehingga gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya, kadar air yang tinggi menyebabkan berat isi rendah. Volume gambut akan menyusut bila lahan didrainase mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Rendahnya berat isi gambut dapat menyebabkan daya menahan beban menjadi rendah pula, mengering tidak balik adalah ketidak mampuan gambut untuk menyerap air; 2) karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian Karakteristik lahan gambut, yaitu: 1) karakteristik fisik gambut penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air lahan gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya, sehingga gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya, kadar air yang tinggi menyebabkan berat isi rendah. Volume gambut akan menyusut bila lahan didrainase mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Rendahnya berat isi gambut dapat menyebabkan daya menahan beban menjadi rendah pula, mengering tidak balik adalah ketidak mampuan gambut untuk menyerap air; 2) karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian
Konservasi lahan gambut diartikan sebagai upaya melestarikan lahan gambut sehingga terhindar dari kerusakan baik fisik, kimia maupun biologi. Pemanfaatan dan pengembangan lahan gambut perlu pembatasan yang sesuai kaidah-kaidah pengelolaan berkelanjutan untuk menghindari kerusakan lahan dan lingkungan serta hilangnya fungsi lahan gambut sebagai penyangga lingkungan, termasuk untuk merendam tingkat emisi gas rumah kaca dari lahan gambut sendiri. Upaya konservasi, restorasi terhadap lahan gambut dan rehabilitas terhadap lahan-lahan yang telah rusak dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim perlu diperluas dan ditingkatkan. Dasar-dasar perencanaan dalam pengembangan dan konservasi lahan gambut antara lain tentang penataan ruang kawasan, unit pengelolaan air, infrastruktur, institusi dan kelembangaan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Noor, 2010).
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di hutan gambut JP dengan alamat Jalan Trans Kalimantan (Palangka Raya-Banjarmasin) Km 30,5 yang berada di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau (Gambar 1). Penelitian ini dilaksanakan Bulan April sampai November 2016.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan subtantif dan metodologis sebagai berikut: 1) kawasan JP adalah kawasan gambut yang dikelola secara privat atau partikelir dan dijadikan sebagai kawasan konservasi gambut; 2) kawasan ini dikelola sebagai kawasan ekowista dengan tujuan pendidikan lingkungan hidup, pelestarian keanekaragaman tanaman langka dan demplot penyuluhan pengelolaan lahan gambut swadaya; 3) pengelolaan EJP merupakan pelopor sekaligus pos siaga kebakaran hutan dan lahan; dan 4) hutan gambut yang dikelola oleh JP merupakan penerima Kehati Award dan Kalpataru tahun 2015.
Gambar 1. Hutan gambut JP yang dikembangkan menjadi destinasi wisata.
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah unsur dari objek yang diteliti atau ciri-ciri yang melekat pada obyek atau subyek penelitian tersebut. Variabel penelitian merupakan kondisi-kondisi yang dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi oleh peneliti (Utama & Mahadewi, 2012). Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Potensi ekowisata adalah kondisi-kondisi dan/atau faktor-faktor yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah destinasi wisata (Purwanto, 2014);
2. Daya dukung kawasan ekowisata adalah jumlah maksimum orang yang boleh mengunjung suatu tempat wisata pada saat bersamaan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya, dan penurunan kepuasan wisatawan (Sari et al. 2015);
3. Karakteristik Pengunjung adalah ciri-ciri yang khas atau melekat pada pengunjung yang menjadi identitas pengunjung.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah konsep atau pengertian dasar tentang sifat-sifat atau konsep-konsep penting yang diamati sehingga membuka peluang bagi peneliti lain untuk melaksanakan hal serupa dan melakukaan pengujian kembali (Utama & Mahadewi, 2012). Definisi operasional diejawantahkan dalam indikator-indikator yang membatasi istilah variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Ukuran ketiga variabel adalah sebagai berikut: 1) potensi ekowisata diukur berdasarkan penilaian yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kawasan Alam (Dirjen PHKA) tentang obyek dan daya Definisi operasional adalah konsep atau pengertian dasar tentang sifat-sifat atau konsep-konsep penting yang diamati sehingga membuka peluang bagi peneliti lain untuk melaksanakan hal serupa dan melakukaan pengujian kembali (Utama & Mahadewi, 2012). Definisi operasional diejawantahkan dalam indikator-indikator yang membatasi istilah variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Ukuran ketiga variabel adalah sebagai berikut: 1) potensi ekowisata diukur berdasarkan penilaian yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kawasan Alam (Dirjen PHKA) tentang obyek dan daya
12 dimensi atau indikator (Hastari, 2005). Penjelasan lebih lanjut masing-masing dimensi atau indikator masing-masing variabel disarikan pada Tabel 1. Tabel 1. Definisi oprerasional untuk variabel potensi ekowisata, daya dukung
kawasan ekowisata, dan karakteristik pengunjung. Variabel
Indikator Potensi
Dimensi
Daya tarik obyek
Keindahan alam;
ekowisata wisata terestrial Keunikan sumber daya alam (SDA); Banyaknya potensi SDA; Keutuhan SDA; Kepekaan SDA; Jenis kegiatan wisata alam; Kebersihan lokasi; Keamanan lokasi.
Aksesibilitas Kondisi dan jalan darat dari ibu kota provinsi; Bandara udara terdekat; Waktu tempuh dari ibu kota provinsi; Frekuensi dari ibu kota provinsi; Pusat informasi obyek wisata.
Kondisi masyarakat Tata ruang wilayah; sekitar kawasan
Tingkat pengangguran; Mata penacahrian penduduk; Ruang gerak pengunjung; Pendidikan; Tingkat kesuburan SDA; Tanggapan masyarakat terhadap ODTWA.
Elemen Institusi Kegiatan sosialiasai yang dilakukan; Dukungan para pihak; Mutu pelayanan; Kemampuan berbahasa petugas; Dan kegiatan perawatan terhadap ODTWA.
Tabel 1. Lanjutan Variabel
Indikator Potensi
Dimensi
Potensi Pasar Jumlah penduduk per provinsi; Ekowisata
Tingkat kebutuhan wisata. (lanjutan) Akomodasi
Jumlah kamar (buah) Pengelolaan dan
Pengelolaan;
pelayanan Kemampuan berbahasa; Pelayanan wisatawan.
Iklim Pengaruh iklim terhadap lama waktu kunjungan; Suhu udara pada musim kemarau; Jumlah bulan sering rata-rata per tahun; Kelembaban rata-rata pertahun.
Keamanan Keamanan pengunjung. Sarana dan prasarana Jenis sarana pelayanan di dalam dan
wisatawan
sekita ODTWA; Jenis sarana trasportasi; Sarana interpretasi; Kesiapan petugas di lapangan; Tenaga pemandu.
Ketersediaan air
Volume;
bersih Jarak air bersih terhadap obyek; Dapat tidaknya air dilairkan ke obyek; Kelayakan kosumsu; Ketersediaan.
Hubungna dengan
0 s/d 50 sejenis tak sejenis; obyek wisata di
51 – 100 sejenis tak sejenis; sekitarnya
101 – 150 sejenis tak sejenis; 151 – 200 sejenis tak sejenis.
Penurunan kualitas Permasalahan lingkungan yang lingkungan
mungkin terjadi.
Daya dukung kawasan Jumlah pengunjung;
Kepekaan tanah trhadap erosi; Kemiringan lahan; Jenis kegiatan; Luas unit zona kegiatan.
Pangsa pasar
Asal pengunjung; Tingkat pendidikan; Mata pencahrian.
Tabel 1. Lanjutan Variabel
Indikator Daya dukung
Dimensi
Panjang Panjang trek (meter). kawasan Waktu
Waktu kunjungan (jam). Karakateristik Jenis kelamin
Jenis kelamin
pengunjung Status menikah
Status menikah
Kelompok usia Rata-rata usia setelah lulus SD dengan jarak antar kelompok 10 tahun.
Asal Status kewarganegaraan. Pendidikan
Jenjang pendidikan formal. Pekerjaan
Jenis pekerjaan formal. Pendapatan
Pendapatan tetap resmi bulanan. Bentuk kunjungan
Status atau peserta kunjungan wisata. Lama kunjungan
Selisih antara waktu kepulangan dengan kedatangan.
Frekuensi kunjungan Jumlah. Pengeluaran
Biaya yang dikeluarkan untuk wisata. kunjungan Informasi tentang
Sumber informasi tentang hutan hutan gambut JP
gambut JP.
D. Rancangan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pertimbangan bahwa pernyataan penelitian akan lebih mudah terjawab melalui deskripsi kuantitatif. Pendekatan tersebut memperlakukan subyek sebagai sasaran untuk teknik pengumpulan dan analisis data. Pendekatan kuantitatif dipilih karena lebih bersifat menyederhanakan kompleksitas data dan informasi tentang subyek penelitian untuk menjelaskan keterkaitan dan saling pengaruh beragam variabel. Meskipun demikian, pendekatan kualitatif tetap digunakan untuk menginterpretasi wisatawan yang akan dianalisis (Teguh, 2015).
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sigi (survey) atau rancangan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bermaksud mendeskripsikan dan mengakumulasikan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang diambil sebagai data. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk mencari hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna atau implikasi. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan atau memecahkan masalah secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Rianse & Abdi, 2009).
E. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh obyek penelitian (Rianse & Abdi 2009). Populasi pengunjung hutan gambut JP adalah seluruh pengunjung hutan gambut JP dalam kurun waktu tiga bulan terakhir (April – Juni 2016). Sampel adalah bagian populasi yang memiliki sifat-sifat yang sama dari obyek merupakan sumber data. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling insidental untuk memilih pengunjung yang akan dijadikan sebagai responden. Jumlah sampel studi dihitung dengan persamaan Slovin yang dikutip oleh Sarjono & Julianita (2011), sebagai berikut:
N = Nd + 1
Keterangan: n : jumlah sampel N : jumlah pengunjung hutan gambut JP dari bulan April sampai Maret 2016 (71
pengunjung)
d : batas maksimum yang bisa diterima dengan asumsi 5% (0,05)
n = 60,29 ≈ 60
F. Data dan Cara Pengambilan Data Penelitian
Pengumpulan data adalah tahapan yang disusun secara sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Data penelitian digolongkan dalam dua kategori yaitu data primer dan data sekunder. Data primer di peroleh langsung dari subyek atau obyek penelitian dengan mengunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain atau tidak langsung diperoleh peneliti. Jenis-jenis data primer dan data sekunder dapat berupa data kuntitatif berupa angka adapun data kualitatif berupa katagori-katagori (Utama & Mahadewi, 2012).
Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket dan lembar pengamatan. Angket yang digunakan dan dikembangkan oleh Hastari (2005) dengan beberapa modifikasi. Potensi ekowisata diukur berdasarkan lembar pengamatan tentang ODTWA (Dirjen PHKA, 2003 cit Purwanto, 2014). Ringkasan teknik pengambilan data disajikan pada Tabel 2.
G. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari dua tahapan, yaitu: 1) persiapan. Persiapan penelitian meliputi pengurusan perizinan, penelusuran pustaka dan pengadaan perlengkapan pendukung ke lapangan, dan pengumpulan data sekunder; 2) pelaksanaan penelitian meliputi: penyebaran angket kepada wisatawan/pengunjung hutan gambut JP, pengamatan lapangan, wawancara dengan narasumber; dan 3) pembuatan laporan yang terdiri dari: pengolahan data dan penyusunan skripsi.
Tabel 2. Ringkasan teknik pengambilan data. Teknik Pengumpulan
Variabel Jenis Data
Sumber data
data Potensi
Lembar pengamatan ekowisata
Kuantitatif
Observasi lapangan;
dan kualitatif Pengelola hutan lapangan;
gambut JP;
Wawancara.
BPS Kabupaten Pulang Pisau; BPS Provinsi Kalimantan Tengah; Data kependudukan; data Desa Tumbang Nusa
Daya Kuantitatif
Lembar pengamatan dukung
Observasi lapangan;
lapangan kawasan Karakteristik Kuantitatif
Angket. Pengunjung dan Kualitatif
Pengunjung;
H. Analisis Data Penelitian
Potensi ekowisata diukur berdasarkan penilaian ODTWA yang dikembangkan oleh Dirjen PHKA (2003). Metode ini menggunakan sistem penskoran dan pembobotan terhadap indikator-indikator yang digunakan untuk mendapatkan penilaian dan pengembangan obyek wisata alam. Hasil rekaputulasi penilaian dapat digunakan untuk menentukan unsur-unsur dan sub-subunsur yang ada telah maksimal atau perlu ditingkatkan kembali. Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi dalam pengelolaan obyek dan daya tarik wisata (Purwanto, 2014).