Prinsip Misionaris Agama Buddha Buddha

PRINSIP MISIONARIS AGAMA BUDDHA
Sabar Sukarno
STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
sabar_sukarno@yahoo.com
ABSTRACT
Every religion needs faithful, caring, and soul-called disciple to
spread their religious teachings, and have good competence to carry out
the task. The effort to spread religion is known as missionary. Every
religion has its own understanding of religious missionaries. In
Buddhism, missionaries are called Dharmaduta. Compared to other
religious followers, Buddhists are known to be less aggressive in
spreading their religious teachings.
This paper aims to explain the principles of missionary in the
Buddhist perspective, the competencies required to be missionaries, and
the benefits of Buddhist missionaries. The method used is the
interpretation of the text in the scriptures Tripitaka and various studies.
The expected benefit is that it can serve as a guide for Buddhists to
perform Buddhist missionary duties.
The Buddha and his disciples are missionaries who model the
Buddhist missionaries at all times. Buddhism has a missionary principle
of spreading the doctrine lovingly for the welfare and happiness of all

beings. To carry out missionary duties requires appropriate competence so
that the teachings can be delivered properly and can be understood well by
the recipients of the teachings. Buddhist missionary efforts will benefit
both the teacher and the recipient of the teachings.
Keywords: principle, missionaries, Buddhist

PENDAHULUAN
Setiap umat beragama lazimnya ingin menunjukkan rasa
bakti kepada agamanya. Sebagian di antaranya ditempuh dengan
cara berupaya mengajarkan ajaran agamanya bahkan
menyebarkan kepada pemeluk agama lain. Hal ini dilakukan
untuk menambah jumlah umat sehingga agamanya berkembang
pesat. Upaya ini ditempuh baik secara tersamar maupun terangterangan, dengan cara halus maupun kekerasan, bahkan terdapat
juga umat yang menganut dan menempuh cara radikal. Cara

29

paling umum yang sering terlihat adalah upaya penyebaran
agama yang dikenal sebagai misionaris dilakukan oleh para
misionaris agama. Tidak jarang terjadi suasana yang kurang

harmonis antarumat beragama karena upaya-upaya semacam ini.
Di tengah gencarnya serbuan umat beragama terhadap pihak
agama lain untuk mendapatkan pengikut, umat Buddha seolah
diam dan terkesan pasif. Umat Buddha relatif mengalah ketika
umat agama lain berusaha mengambil umatnya. Sikap ini
dilakukan terutama karena umat Buddha cinta damai dan selalu
berusaha mengembangkan cinta kasih walaupun mendapatkan
perlakuan yang merugikan. Pada kenyataannya terdapat banyak
kasus di mana umat Buddha berpindah agama akibat pengaruh
pihak lain tersebut. Memang di samping kerugian, terdapat juga
dampak positif yaitu agama Buddha menjadi dikenal sebagai
agama yang cinta damai.
Melihat sikap agama Buddha dalam menghadapi ancaman
dari luar, akan timbul pertanyaan dalam diri umat Buddha sendiri.
Apakah Sang Buddha tidak memerintahkan para siswanya untuk
bertanggung jawab terhadap kelestarian Dharma dan
menyebarluaskan ajarannya? Apakah Buddha tidak menanamkan
jiwa misionaris kepada para siswanya? Apakah Buddha tidak
membentuk umat Buddha militan yang setia kepada agamanya?
Misionaris berasal dari kata misi yang dalam bahasa Latin

mission yang diangkat dari kata miterre yang artinya mengirim atau
mengutus (Harianto, 2012: 5) Misionaris adalah kegiatan mengutus
orang lain untuk menyebarkan ajaran agama. Kata misionaris lebih
dikenal di kalangan agama Kristen yang merupakan agama misi
yang berarti perutusan atau dakwah. Sebagai agama misi, Kristen
mewajibkan umatnya untuk melakukan penginjilan sebagai salah
satu bentuk kegiatan dakwah. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Dendy Sugono, 2008: 921) disebutkan bahwa misionaris
adalah orang yang melakukan penyebaran warta injil kepada
orang lain yang belum mengenal Kristus (Katolik). Kegiatan
misionaris adalah kegiatan yang dilakukan oleh umat Kristen yang
bertujuan untuk mengajarkan ajaran Yesus baik di kalangan umat
sendiri maupun non-Kristen.
Dalam agama Buddha, istilah misionaris lebih dikenal
sebagai Dharmaduta (utusan Dharma). Priastana (2005: 18)
mendefinisikan Dharmaduta sebagai utusan Dharma, yaitu
seseorang yang menyebarkan Dharma dan membuat orang lain

30


ikut meyakini Dharma, serta bertujuan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan banyak orang. Pada saat ini yang disebut sebagai
Dharmaduta tidak terbatas pada orang dengan status tertentu.
Tugas Dharmaduta dapat dilaksanakan oleh para bhikkhu
maupun umat awam seperti pandita, penyuluh agama, guru,
dosen, dan siapapun yang melakukan kegiatan pembabaran
Dharma.
Misionaris Buddhis bertujuan untuk kebaikan, kesejahteraan,
dan
kebahagiaan
semua
makhluk.
Jayatilleke
(dalam
Dhammananda, 2012: 31) menyatakan bahwa agama Buddha
adalah agama misionaris dalam sejarah kemanusiaan dengan
suatu pesan keselamatan yang universal bagi semua umat
manusia. Buddha adalah seorang guru yang cinta damai, dan
sangat toleran terhadap penganut kepercayaan lain. Buddha tidak
pernah menggunakan kekerasan sekecil apapun dalam

membabarkan Dharma, karena Ia hanya berdasarkan cinta kasih
semata dalam mengajar kepada siapa pun. Hal ini telah
ditanamkan oleh Buddha sejak pertama kali Ia mengutus para
siswanya yaitu 60 bhikkhu arahat untuk membabarkan Dharma ke
semua makhluk. Dalam kitab suci Vinaya Pitaka, Buddha
memerintahkan para bhikkhu sebagai berikut: “Walk, monks, on
tour for the blessing of the manyfolk, for the happiness of the manyfolk out
of compassion for the world, for the welfare, the blessing, the happiness of
devas and men” (Horner, 2007: 28).
Pasca kehidupan Buddha Gotama, misionaris Buddhis tetap
melanjutkan misi menyebarkan Dharma. Salah satu tokoh
misionaris yang berjasa menyebarkan Dharma ke berbagai penjuru
dunia adalah Raja Asoka dari negara Magadha pada sekitar abad 3
SM. Asoka mengirim Dharmaduta ke segenap penjuru dunia,
Majjhantika dikirim ke Kasmir; Gandhara dan Mahadeva ke
Mahisamandala; Rakkhita ke Vanavasa; Yona Dhammarakkhita ke
Aparantaka (India Barat); Maharakhita ke Yona; Majjhima ke
wilayah Himalaya; Sona dan Uttara ke Suvannabhumi (Malaya
dan Sumatera); Mahinda dengan Itthiya, Uttiya, Sambala dan
Bhaddasala ke Srilanka (Widyadharma, online).

Di Indonesia, pada era Hindia Belanda agama Buddha
bangkit berkat jasa misionaris Buddhis yaitu Bhikkhu Narada dari
Srilanka yang dimulai pada tahun 1934. Kegiatan misionaris yang
dilakukan oleh Bhikkhu Narada yaitu memberikan khotbah
Dharma, memberikan cangkokan pohon Bodhi yang berasal dari

31

pohon Bodhi di Bodgaya India yang kemudian ditanam di Candi
Borobudur, memberikan bantuan dan dukungan berdirinya Java
Buddhist Association (Perhimpunan Buddhis) pertama di Indonesia,
menjalin kerja sama dengan kelenteng-kelenteng serta
perhimpunan Theosofi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah,
dan melantik upasaka dan upasika di beberapa daerah (Diputhera,
2006: 23). Pada masa kemerdekaan, misionaris yang berjasa untuk
kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia antara lain
Bhikkhu Jinarakkhita, Bhikkhu Girirakkhito, dan Bhikkhu
Jinaputta (Rashid & Widya, 1989).

METODE KAJIAN

Artikel ini disusun dengan menggunakan metode kajian
pustaka dengan pendekatan hermeneutik. Hermeneutik
merupakan studi pemahaman khususnya tugas pemahaman teks,
yang mencakup tiga faktor di dalamnya, yaitu: dunia teks/isi teks,
dunia pemateri, dan dunia pembaca. Tiga faktor ini memiliki
perhatian berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain (Palmer,
2003: 8). Sumber utama artikel adalah naskah dalam Kitab Suci
Tipitaka dan sumber referensi lain berkaitan dengan kajian strategi
penyiaran agama Buddha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prinsip Misionaris Buddhis
Misionaris Buddhis tidak bertugas untuk membuat seluruh
umat manusia menjadi beragama Buddha. Tugas seorang
misionaris Buddhis adalah menunjukkan jalan benar untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun
kebahagiaan tertinggi nibbana. Misi yang diemban bukanlah untuk
meningkatkan kuantitas umat Buddha melainkan kualitas
pemahaman dan praktik Dharma bagi umatnya, dan mengabarkan
Dharma kepada siapa pun yang mau menerima sebagai sebuah
jalan kebaikan.

Dalam membabarkan Dharma, Buddha tidak bermaksud
mencari pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup
seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan
permasalahan kehidupan, hanya bertujuan membantu semua
makhluk untuk terbebas dari penderitaan. Indikator keberhasilan
pembabaran Dharma bukanlah pada bertambahnya jumah umat

32

pengikut Buddha, jumlah umat agama lain yang berhasil ditarik
masuk ke agama Buddha, ataupun jumlah umat Buddha yang
rajin beribadah di vihara. Pembabaran Dharma dikatakan berhasil
bila dapat bermanfaat bagi umat, merasa lebih bahagia dan
bijaksana setelah memahami dan mengamalkan Dharma dalam
kehidupannya.
Buddha menghargai ajaran lain. Dalam membabarkan
Dharma, Buddha tidak bermaksud mencari pengikut ataupun
mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk
menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya
bertujuan membantu semua makhluk terbebas dari penderitaan.

Buddha menghargai ajaran lain. Dalam mengajarkan Dharma,
Buddha tidak memaksa siapapun untuk mengikuti ajarannya.
Dalam kitab suci Digha Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta, Buddha
bersabda kepada petapa Nigrodha yang menganut cara
penyiksaan diri, sebagai berikut:
Maybe, Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said
this from a desire to get pupils; but you are not thus to explain my
words. Let him who is your teacher be your teacher still. Maybe,
Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to make
us secede from our rule; but you are not thus to explain my words.
Let that which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will
think: The Samana Gotama has said this from a desire to make us
secede from our mode of livelihood; but you are not thus to explain
my words. Let that which is your mode of livelihood be so still.
Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire
to confirm us as to such points of our doctrines as are wrong, and
reckoned as wrong by those ini our community; but you are not
thus to explain my words. Let those points in your doctrines which
are wrong and reckoned as wrong by those in your community,
remain so still for you. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has

said this from a desire to detach us from such points in our
doctrines as are good, reckoned as good by those ini our
community; but you are not thus to explain my words. Let those
points ini your doctrines which are good, reckoned to be good by
those in your community, remain so still (Davids, 2002: 51).
Agama Buddha tidak antitradisi atau budaya yang sudah
ada, bahkan mendukung tradisi yang sudah dimiliki masyarakat
bila memang itu baik dan membawa kepada kebijaksanaan. Untuk

33

melaksanakan ajaran agama Buddha tidak perlu menghilangkan
tradisi apapun yang baik. Buddha menyerahkan sepenuhnya
kepada umatnya untuk melakukan apa yang menurutnya baik.
Tanggung Jawab untuk Menjadi Misionaris Buddhis
Untuk kelestarian dan kemajuan suatu agama tentu
diperlukan umat yang peduli, mempunyai panggilan jiwa,
memiliki dedikasi tinggi, dan merasa mempunyai tanggung jawab
atas hal itu. Dalam jajaran umat Buddha, bhikkhu mempunyai
tanggung jawab paling besar untuk menjaga Dharma. Dalam

Dharmadayada Sutta (Majjhima Nikaya) Buddha bersabda “Bhikkhus,
be my heirs in Dhamma, not my heirs in material things” (Ñanamoli,
2001: 97). Kemudian dalam Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya)
dikisahkan saat menjelang wafat Buddha bersabda “The Truths, and
the Rules of the Order, which I have set forth and laid down for you all,
let them, after I am gone, be the Teacher for you” (Davids, 2002: 171).
Dari dua khotbah tersebut dapat disimpulkan bahwa bhikkhu
adalah pewaris Dharma yang bertanggung jawab menjaga
Dharma. Tugas itu dilaksanakan dengan cara memahami ajaran
(Dharma) melaksanakan aturan (Vinaya). Dengan pemahaman
Dharma yang dimilikinya dan dipraktikkan dalam hidupnya,
seorang bhikkhu merupakan orang yang memiliki kompetensi
yang baik untuk mengajarkan Dharma kepada umat.
Dalam Pathamasaddha Sutta (Anguttara Nikaya VIII.71),
dijelaskan bahwa seorang bhikkhu mungkin dihiasi dengan moral
yang baik serta terpelajar, tetapi jika tidak menjadi seorang
pembabar Dharma yang baik, dalam hal ini ia masih kurang.
Kebajikan mengajarkan Dharma adalah kesempurnaan kualitas
bagi seorang bhikkhu.
Monks, a monk has faith, virtue and learning, but is no Dhamma
preacher... he can preach, but his walk is not in the assembly ... his
walk is in the assembly, but he teaches Dhamma in the assembly
without confidence... he teaches Dhamma with confidence, but
cannot attain at will... Then must that part be perfected” (Davids,
2006: 210)
Dalam Saddhammapatirupaka Sutta (Samyutta Nikaya)
ditegaskan bahwa lenyap dan bertahannya Ajaran Kebenaran
(Dharma) menjadi tanggung jawab semua jajaran umat Buddha,

34

tidak hanya para bhikkhu saja tetapi juga para bhikkhuni, upasaka,
dan upasika.
That's the way it is, Kassapa. When beings are deteriorating and
the true Dhamma is disappearing, there are more training rules but
fewer bhikkhus are established in final knowledge. Kassapa, the true
Dhamma does not disappear as long as a counterfeit of the true
Dhamma has not arisen in the world. But when a counterfeit of the
true Dhamma has arisen in the world, then the true Dhamma
disappears...
There are five things, Kassapa, that lead to longevity of the true
Dhamma, to its nondecay and nondisappeareance. What are the
five? Here the bhikkhus, the bhikkhunis, the male lay followers, and
the female lay followers dwell with reverence and deference towards
the Teacher; they dwell with reverence and deference towards the
Dhamma; they dwell with reverence and deference towards the
Sangha; they dwell with reverence and deference towards the
training, they dwell with reverence and deference towards the
concentration (Bodhi, 2000: 681).
Umat awam juga bertanggung jawab atas kelestarian
Dharma dengan cara mempelajari dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika mampu umat awam juga dapat
mengajarkan Dharma ke orang lain yang belum mengerti.
Eksistensi dan kemurnian Dharma ajaran kebenaran harus dijaga
dengan cara tidak semata dilaksanakan sebagai pedoman hidup
juga harus diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap umat
Buddha mempunyai kewajiban untuk mengajarkan Dharma
kepada siapa pun yang mau menerima. Dharma diajarkan tidak
harus dengan label agama Buddha, melainkan sebagai kebenaran
yang universal. Dengan cara demikian maka Dharma akan lebih
mudah diterima oleh siapa pun.
Seorang perumahtangga atau umat awam juga mempunyai
kewajiban mengajarkan Dharma kepada orang lain. Hal ini terlihat
dari pengukuhan oleh Buddha kepada seorang siswa bernama
Citta sebagai umat yang terunggul dalam pembabaran Dharma
(Dhammakathika), seperti tercantum dalam Anguttara Nikaya I.
XIV.6 : “Monks, chief among my disciples, lay-followers, of Dhammateachers, is Citta, the housefather of Macchikasanda” (David, 2006: 2223). Dari tindakan Buddha ini dapat disimpulkan bahwa umat

35

awam mempunyai kualitas sebagai pembabar Dharma, dengan
demikian mempunyai kewajiban untuk membabarkan Dharma.
Kompetensi Misionaris Buddhis
Untuk melaksanakan tugas misionaris Buddhis tentu
diperlukan kompetensi yang sesuai, meliputi pemahaman
mengenai ajaran agama Buddha dan kemampuan untuk
mengajarkan atau menyampaikan ajaran dengan baik. Kompetensi
untuk mengajar adalah kecakapan yang harus dimiliki seorang
guru. Sebelum mengajarkan Dharma, seorang misionaris harus
sudah memahami dengan baik dan komprehensif, dan akan lebih
baik lagi bila ia telah mengamalkan ajaran tersebut dalam
kehidupannya. Seorang misionaris Buddhis hendaknya memiliki
kepribadian yang sesuai ajaran Buddha. Priastana (2005: 24)
mengutip Anguttara Nikaya mengemukakan delapan sifat seorang
Dharmaduta yaitu: (1) telah mendengar banyak tentang DhammaVinaya, (2) dapat membimbing orang lain untuk mendengar
(mampu mengajar), (3) terpelajar (telah merenungkan apa yang
telah didengarnya), (4) selalu mengingat apa yang telah
dipelajarinya, (5) mengerti kata-kata dan semangat Dharma-Vinaya,
(6) dapat membimbing orang lain untuk mengerti, (7) tahu apa
yang menguntungkan dan apa yang tidak menguntungkan
mengenai pelaksanaan Dhamma, dan (8) tidak membuat masalah
antara bhikkhu atau umat awam.
Misionaris harus memiliki pengetahuan, perasaan, dan
perbuatan baik yang tercermin dalam sikap pengabdian
misionaris. Sikap seorang misionaris akan tumbuh apabila
memiliki kemampuan atau kepandaian yang diperlukan sebagai
misionaris. Priastana (2005: 31) mengemukakan kompetensi
seorang misionaris yaitu receptive, selective, diggestive, asimilative,
dan transmitive. Kompetensi receptive adalah kemampuan
menerima gagasan. Kompetensi selective adalah kemampuan
menyeleksi pesan, gagasan, dan informasi. Kompetensi diggestive
adalah kemampuan menganalisis inti hakikat pesan. Kompetensi
asimilatif adalah kemampuan mengkorelasi pesan-pesan.
Kompetensi transmitif berarti mampu menyampaikan ajarannya
dengan menggunakan kata yang fungsional, logis, dan tepat
waktu.
Kompetensi di atas penting karena seorang Dharmaduta
harus mampu mengaitkan antara Dharma dengan ilmu

36

pengetahuan modern, harus mampu memberikan bimbingan cara
mengaplikasikan teori Dharma ke dalam praktik kehidupan
sehari-hari. Singkatnya seorang Dharmaduta harus memiliki bekal
ilmu pengetahuan yang baik, dan harus memahami Dharma
kontekstual yaitu kemampuan menggunakan Dharma untuk
mengatasi berbagai permasalahan kehidupan.
Misionaris Buddhis mempunyai tujuan yang jelas. Rasyid &
Widya (1989: 8) mengemukakan empat tujuan seorang misionaris
Buddhis yaitu: (1) menyebarkan Buddha Dharma dengan jalan
pemberitahuan Buddha Dharma kepada umat manusia
(vitharanam), memelihara kemurnian dan keaslian Buddha Dharma
(havanam), menjaga kelangsungan Dharma Buddha agar tetap
lestari (santaranam),
(2) mempelajari dan
mempraktikkan Dharma dengan benar, (3) melindungi Dharma
dari kemerosotan ajaran serta kehancuran agama, dan (4)
mengajarkan Dharma demi kebahagiaan semua makhluk .
Misionaris Buddhis memiliki tujuan awal yaitu menyebarkan
Buddha Dharma dengan jalan pemberitahuan (vitharanam).
Misionaris yang baik dan berkompeten harus mampu
menyampaikan Dharma dengan baik, dan diimbangi dengan
perilaku dan etika moral yang baik sehingga umat menaruh
perhatian dan hormat kepada Dharma dengan benar.
Misionaris Buddhis yang berkompeten mampu memelihara
Dharma (havanam). Memelihara Dharma berarti melindungi dari
usaha penyelewengan dan pencemaran sehingga umat
mengetahui kebenaran ajaran Buddha. Melindungi Dharma
dengan cara terus berupaya meningkatkan keyakinan,
meningkatkan kesadaran umat untuk mendengarkan, mengingat,
menghafal, mempelajari, dan melaksanakan Dharma dengan
benar. Dengan demikian Dharma terpelihara kemurniannya.
Misionaris Buddhis harus melestarikan, memperkokoh, dan
mempertahankan Dharma (santaram). Kelestarian Dharma akan
terjadi apabila masih ada orang yang menyampaikan dan
menghormat kepada Dharma. Misionaris Buddhis harus mampu
menyampaikan Dharma dengan benar.
Manfaat Misionaris Buddhis
Seorang misionaris Buddhis harus memiliki motivasi yang
kuat untuk membabarkan Dharma. Motivasi ini akan diperolehnya
antara lain dengan memiliki kesadaran akan manfaat yang besar

37

dari pembabaran Dharma. Manfaat pembabaran Dharma akan
diperoleh oleh kedua pihak baik pembabar maupun penerima
Dharma. Dalam Dhammapada Tanhavagga syair 354 Buddha
bersabda:
Sabba danam Dhamma danam jinati
Sabbaj rasaj Dhammaraso jinati
Sabbaj ratij Dhammarati jinati
Tanhakkhayo sabbadukkhaj jinati (Hinuber & Norman, 2003: 99)
Syair tersebut menyatakan bahwa pemberian 'Kebenaran'
(Dharma) mengalahkan semua pemberian lainnya; rasa
'Kebenaran' (Dharma) mengalahkan semua rasa lainnya;
kegembiraan dalam 'Kebenaran' (Dharma) mengalahkan semua
kegembiraan lainnya; orang yang telah menghancurkan nafsu
keinginan akan mengalahkan semua penderitaan. Seorang
pembabar Dharma memiliki kebajikan yang besar karena
memberikan ajaran kebenaran. Dengan membabarkan Dharma
maka pemahamannya akan semakin baik, keyakinannya semakin
kuat, dan motivasi dirinya semakin besar untuk mengamalkan
ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan selalu
tertantang untuk menjadi teladan bagi umatnya. Sementara
penerima Dharma akan mendapatkan manfaat berupa
pemahaman dan keyakinan akan Dharma, yang akan membawa
pada kebahagiaan dan kesejahteraan baginya.
SIMPULAN
Semua umat Buddha bertanggung jawab untuk
membabarkan Dharma dengan cara yang benar, berdasarkan cinta
kasih demi kebahagiaan semua makhluk. Tidak dibenarkan
mengajarkan agama dengan paksaan apalagi kekerasan, dipenuhi
sifat egois, atau pamrih apapun bahkan demi agama. Umat
Buddha memegang prinsip agama untuk hidup, bukan hidup
untuk agama. Untuk menjadi seorang misionaris Buddhis
diperlukan sikap yang bijaksana dan kompetensi yang
mendukung agar dapat membabarkan Dharma dengan baik.
Kegiatan misionaris Buddhis akan memberikan manfaat baik bagi
pembabar Dharma maupun pihak yang menerima ajaran. Sangat
penting bagi setiap umat Buddha untuk menumbuhkan jiwa
misionaris pada dirinya sendiri. Bagi para guru dan pembina umat
Buddha juga sangat penting untuk menumbuhkan jiwa misionaris
bagi para siswanya atau umat binaannya.

38

DAFTAR PUSTAKA
Bodhi. 2000. The Connected Discourses of The Buddha (Samyutta
Nikaya) Vol I. Oxford: The Pali Text Society
Dendy Sugono. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Dhammananda, Sri. 2005. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan: Ida
Kurniati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya
Davids, Rhys. 2002. Dialogues of The Buddha (Digha Nikaya) Part II.
Oxford: The Pali Text Society
___________. 2002. Dialogues of The Buddha (Digha Nikaya) Part III.
Oxford: The Pali Text Society
___________. 2006. The Book of Gradual Sayings (Anguttara Nikaya)
Vol I. Lancester: The Pali Text Society
___________. 2006. The Book of Gradual Sayings (Anguttara Nikaya)
Vol IV. Lancester: The Pali Text Society
Diputhera, Oka. 2006. Agama Buddha Bangkit. Jakarta: Arya
Suryacandra Okaberseri
Harianto. 2012. Pengantar Misiologi. Yogyakarta: Pustaka Referensi
Hinuber, Von & Norman. 2003. Dhammapada. Oxford: The Pali Text
Society
Horner, I.B. 2007. The Book of Discipline (Vinaya Pitaka) Volume IV.
Lancaster: The Pali Text Society
Banamoli, Bodhi. 2001. Middle Length Discourses of the Buddha
(Majjhima Nikaya). Oxford: The Pali Text Society
Priastana, Jo. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara
Puteri
Rashid & Widya. 1989. Penuntun Dharmaduta. Jakarta: Pengurus
Pusat Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia
Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama
Buddha. Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi
Widyadharma. 1993. Pahlawan Dharmaduta. https://samaggiphala.or.id/naskah-Dharma/asoka-2/ diakses 16 Oktober
2017

39