Pramoedya dan Ilmu Sejarah dan
Pramoedya dan Ilmu Sejarah
Oleh Bagas Yusuf Kausan
Pasca kejatuhan rezim militer Soeharto, geliat dunia literasi dan kebudayaan menapaki jalan
baru yang lebih bebas. Segala bentuk pengekangan, penyeragaman, hingga indoktrinasi
dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia, perlahan-lahan mulai memudar (meskipun tidak
semuanya). Gelombang reformasi, masih menyisakan banyak sektor yang berjalan stagnan
dan—alih-alih mendapat angin segar reformasi—sektor-sektor tersebut justru menguat dan
sukar untuk berubah. Sementara salah satu sektor yang mendapat dampak cukup signifikan
dari gelombang reformasi ialah studi kesejarahan. Monopoli kebenaran dalam sejarah, yang
dahulu dipraktekan oleh Pemerintahan Orde Baru melalui narasi sejarah dan produk
kebudayaannya, mulai menemukan banyak kritik dan narasi tandingannya. Sebanyak 1600
judul buku yang mempersoalkan kisah masa lalu versi Orde Baru, beramai-ramai terbit
dengan bantuan dana yang besar dari Ford Foundation, pasca Mei 1998 (Nordholt, dkk,
2013). Sedangkan sederet nama tokoh-tokoh yang sempat dianggap berbahaya, mulai
direhabilitasi dan kembali mencuat ke permukaan. Dari sekian nama tokoh-tokoh yang
dilupakan pada masa Orde Baru, adalah sosok Pramoedya Ananta Toer.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu
korban pembuangan massal ke Pulau Buru, pada masa-masa awal berkuasanya Orde Baru.
Pram dianggap sebagai orang komunis, yang pada tahun 1965, diceritakan telah melakukan
pengkhianatan terhadap ideologi pancasila. Cap sebagai komunis yang disandang oleh Pram
—yang mengantarkannya menuju pembuangan massal, sirna setelah Pram dinyatakan bebas
pada tahun 1979. Meski demikian, dengan rekam-jejak sebagai eks-tapol, Pram tetap
dikenang sebagai salah-satu sastrawan terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia.
Karya-karya yang ditulis oleh Pram, sempat diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh
dunia. Berkat pencapaiannya itu, Pramoedya sering kali mendapat penghargaan Internasional.
Pada tahun 1995, Pramoedya berkesempatan untuk mendapatkan Anugerah Magsaysay dan
tahun-tahun berikutnya, Pram kerap menjadi langganan calon penerima Anugerah Nobel di
bidang sastra. Sementara itu, penghargaan Internasional lainnya yang pernah disandang
Pramoedya ialah: The PEN Freedom-to-write Award, Fukuoka Cultur Grand Price, dan The
Norwegian Authours Union. Puluhan karya-karyanya—baik berupa buku, artikel, maupun
stensilan—disamping menjadi bukti kepiawaiannya dalam dunia tulis-menulis, telah
mengantarkan Pramoedya menjadi inspirasi bagi para penulis di Indonesia, hingga saat ini.
Dari sekian produk tulisan yang dilahirkan oleh Pram, Tetralogi Pulau Buru bisa dibilang
merupakan Magnum Opus dari karya-karya yang dihasilkan lelaki asal Blora tersebut.
Melalui karyanya itu, Pramoedya melejit menjadi salah satu penulis karya fiktif terkemuka di
Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadikan karya-karya Pram lainya menjadi
lesu dan tak bernilai. Puluhan karya ilmiah-akademik—baik berupa buku, disertasi, skripsi,
dan artikel—yang menyangkut pembahasan, peninjauan, dan kajian atas karya-karya
Pramoedya Ananta Toer—baik karya-karya diawal karir penulisan, maupun semasa menjadi
tahanan Pulau Buru—merupakan simbol pengakuan atas karya-karya Pramoedya Ananta
Toer lainya.
Dengan bekal keberagaman bentuk tulisan dan segudang penghargaan dan apresiasi yang luar
biasa bagi sosok Pramoedya Ananta Toer, sayangnya, Ia tetap hanya dikenal dan diposisikan
sebagai sastrawan dan seorang novelis semata. Jarang sekali ada yang memposisikan Pram
sebagai seorang sejarawan, misalnya, atau memposisikan Pramoedya sebagai intelektual dan
kritikus budaya (Farid, 2013). Padahal, jika menelusuri kembali karya-karya Pramedya
Ananta Toer, kita akan menemukan berbagai tulisan yang tidak hanya bergenre novel.
Banyak tulisan Pramoedya yang berbentuk artikel dan terbit dalam koran, maupun pamplet di
masa itu. Disamping itu, terdapat pula produk penulisan Pramoedya yang dijadikan bahan
diktat perkuliahan.
Di ranah kesejarahan, penyebab dikesampingkannya sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai
peneliti cum sejarawan, dapat ditelisik dari berbagai faktor. Salah satu faktor yang paling
dominan ialah label seorang Pram yang hanya dianggap sebagai penulis fiksi yang jauh dari
kaidah-kaidah keilmiahan. Salah satu karya Pramoedya, Tetralogi Pulau Buru, yang terdiri
dari 4 buah judul tulisan; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca, meski memiliki kandungan sejarah, tetap dianggap sebagai karya fiksi dan bukan
merupakan karya sejarah. Meskipun dalam penyusunannya, novel tersebut bukan sematamata novel fiktif, yang dilahirkan oleh kekuatan imajinasi dan keliaran pemikiran penulisnya
saja. Tetralogi tersebut terlahir dari serangkaian penelusuran, penelitian dan pembacaan atas
sejarah masa lalu yang cukup ketat dan mendalam. Tetralogi tersebut, setidaknya, dihasilkan
dari 150 artikel Pramoedya tentang sejarah—yang terhimpun dalam rentan waktu 1956-1965
—ketika Pram mulai menaruh minat serius akan studi kesejarahan, hingga sebelum
pembuangan dirinya ke Pulau Buru (Farid, 2013).
Latar belakang ini lah yang kerap luput dari penglihatan, terutama oleh instansi-akademik
kesejarahan. Hal ini, secara tidak sadar, telah menimbulkan pelbagai dampak yang terusmenerus menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Maka pertanyaan semacam; apakah novel
Pram layak dijadikan sumber sejarah; apakah layak Pram disebut sebagai sejarawan; dan
mengapa nama Pramoedya Ananta Toer sempat dianggap berbahaya oleh negara—pada
akhirnya, tak kunjung juga menemukan jawabannya.
Historiografi, Stigma, dan Hegemoni
Dalam studi keilmuan sejarah, historiografi merupakan sebuah tahapan terakhir dari
serangkaian metodologi penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini, historiografi merupakan
sebuah proses menyusun secara tertulis hasil temuan-temuan dalam satu penelitian sejarah
yang siap dibaca oleh pembacanya. Historiografi dapat pula dipandang sebagai bentuk akhir
dari sebuah rekonstruksi masa lalu dalam bentuk sebuah tulisan sejarah. Tak heran, banyak
juga yang menganggap historiografi adalah sebentuk dari penulisan sejarah itu sendiri.
Perkembangan historiografi, tidak dapat dipisahkan pula dari konteks kekuasaan dan ilmu
pengetahuan di suatu zaman tertentu. Hal-hal tersebut, berdampak cukup jelas dalam corak
historiografi yang dihasilkan. Pada masa penjajahan Belanda, historiografi mengenai
Indonesia disesaki oleh kecenderungan Belandasentris. Sementara pasca Seminar Sejarah
tahun 1957, historiografi Indonesia bergeser menjadi Indonesiasentris, dengan semangat
untuk menulis sejarah Indonesia dari perspektif orang Indonesia sendiri atau history from
within. Dekolonisasi menjadi term utama dalam setiap penulisan sejarah. Diponegoro yang
dipandang Belanda sebagai seorang ‘pemberontak’, mulai diputar menjadi seorang
‘pahlawan’. Pergeseran corak historiografi dari Belandasentris ke Indonesiasentris—yang
sesuai dengan tema pembangunan nasion oleh Bung Karno—ternyata memiliki pula
implikasi yang cukup mengejutkan, yaitu; menguatnya kecenderungan jawasentris.
Kecenderungan baru ini disebabkan oleh penelusuran asal-usul nasion Indonesia, yang
disadur dari pengalaman keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa. Sontak, kecenderungan ini
menimbulkan ragam kritik dan tawaran alternatif untuk melihat asal-usul nasion Indonesia.
Selanjutnya bergulir pula perdebatan hangat mengenai konteks dan arah sejarah yang ditulis.
Jika pada masa-masa awal kemerdekaan sejarah ditulis hanya dari sudut pandang penguasa
saja, maka semenjak kemunculan kecenderungan arah sejarah yang dibawa salah satunya
oleh Sartono Kartodirdjo, maka mulai terbuka celah untuk menuliskan sejarah dari perspektif
masyarakat kecil, dan golongan masyarakat yang terpinggirkan lainya. Hal ini tentu sarat
dipengaruhi oleh ketersediaan basis Critical Studies, keberadaan aliran sejarah Mazhab
Annales, dan mulai munculnya pendekatan Multidementional Approach yang menyediakan
ruang bagi ilmu-ilmu sosial lain dalam sebuah penelitian sejarah. Produk intelektual Sartono
Kartodirdjo dalam hal ini ialah dengan munculnya buku Pemberontakan Petani Banten 1888
yang menyisakan porsi yang besar bagi masyarakat kecil dalam sejarah.
Gerbang baru penulisan sejarah (historiografi) Indonesia kembali menemukan babak
kelamnya, ketika Presiden Soeharto dengan kekuatan militer dan jejaring Internasionalnya
menduduki singgasana kepresidenan Indonesia. Historiografi pada masa ini, yang
berbarengan dengan memuncaknya politik Floating Mass yang digawangi Orde Baru,
memunculkan sekian produk penulisan sejarah—yang sarat akan kepentingan penguasa.
Lebih parahnya lagi, kebenaran dalam sejarah, oleh Orde Baru, dimonopoli sedemikian rupa
hingga membentuk memori kolektif tertentu dalam pemikiran masyarakat. Kondisi demikian
berkelindan dengan terjadinya geger politik tahun 1965, dimana konstruksi sejarah sangat
diperlukan untuk melegitimasi kekuasaan yang baru terbentuk. Dan Pramoedya Ananta Toer
adalah salah satu penulis sejarah, yang menjadi korban atas bangunan kesejarahan masa Orde
Baru. Stempel komunis yang disandang Pram, semakin memperjelas kesuraman karir
kepenulisan Pramoedya Ananta Toer ini.
Pelebelan dan stigma komunis yang disandang oleh Pramoedya pada masa Orde Baru, kuat
kaitannya dengan keterlibatan Pramoedya Ananta Toer dalam wadah Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang dianggap merupakan lembaga underbouw nya Partai Komunis
Indonesia. Carut-marutnya kondisi Indonesia ketika itu, turut mendorong Pramoedya Ananta
Toer untuk menimbang kesusastraan yang lebih tajam dalam menilai situasi-kondisi masa itu.
Oleh Pram, keberadaan kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan semangat
Humanisme Universalnya terbukti tidak mampu menjawab masalah-masalah yang telah
menggunung. Maka ditengah kegelisahan dan kerisauannya itu, Pramoedya dipertemukan
dengan beberapa tokoh kiri (AS Dharta, Rivai Apin, Dodong Djiwapradja) yang pada
akhirnya mempengaruhi pola pikir Pramoedya Ananta Toer. Bahkan jika pada masa-masa
sebelumnya Pramoedya terkesan apolitis, melalui pergaulan dengan golongan kiri,
Pramoedya mulai membentuk ulang pemahamannya tentang politik. Pergaulan baru inilah
yang kemudian menarik Pramoedya Ananta Toer untuk masuk ke dalam lingkaran Lekra,
sekaligus diminta untuk memimpin Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) pada tahun 1959.
Meski demikian, kedekatan Pramoedya dengan orang-orang kiri, tidak serta-merta selalu
berjalan seiringan. Dalam beberapa hal, Pramoedya kerap memiliki pendapat berbeda dengan
kelompok kiri. Maka dari segi pemikirannya, sebenarnya, Pramoedya lebih dekat dengan
tradisi nasionaliskiri yang diwakili oleh Partindo dan Soekarno sendiri, ketimbang tradisi
Marxis PKI (Farid, 2013).
Perbedaan kerangka berpikir dalam melihat kesenian antara realisme sosialisnya Lekra dan
humanisme universalnya Manikebu, sempat mewarnai dinamika kehidupan masyarakat
Indonesia pada tahun 1960an. Meski pada akhirnya kelompok Manikebu harus dibubarkan
oleh Presiden Soekarno, namun pikiran dan tokoh-tokohnya masih tersisa dan menciptakan
hegemoni kebudayaan pasca tahun 1965. Pramoedya yang terlibat dalam perseteruan
tersebut, baik secara tulisan dan tindakan untuk menggasak lawan politiknya, berdampak pula
pada status dan stigma yang mengantarkannya ke Pulau Buru. Perlu diingat, Manikebu yang
dekat juga dengan PSI, merupakan salah satu kelompok yang mendapatkan posisi tawar
paling meyakinkan setelah berkuasanya Presiden Soeharto. Dengan rekam jejak Pramoedya
Ananta Toer sebagai salah satu seniman Lekra, sekaligus sebagai gerombolan komunis yang
melakukan pemberontakan pada tahun 1965, maka Pramoedya pantas untuk dibuang ke
Pulau Buru.
Dipenjarakannya Pram di Pulau Buru, turut menyeret pemenjaraan pula terhadap karyakaryanya. Banyak karya-karya Pramoedya yang belum sempat terbit, dan beragam tulisan,
analisis, serta arsip-dokumen mengenai sejarah, turut dibumi-hanguskan seiring dengan huruhara politik tahun 1965. Sedengkan memiliki, memperjualbelikan, membaca dan
mendiskusikan karya-karya Pramoedya yang sempat terbit, pada masa-masa Orde Baru,
dianggap sebagai tindakan subversif yang dapat dijerat oleh hukum. Hal tersebut terjadi pada
tahun 1989, dimana 3 orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan
dijatuhi hukuman penjara, akibat kedapatan mendiskusikan buku Rumah Kaca. Di
lingkungan akademik, hal demikian nampak serupa. Pada tahun 1981, sebuah acara dihelat
dengan turut serta mengundang Pramoedya Ananta Toer sebagai pembicara di Universitas
Indonesia. Ketika acara tersebut sedang berlangsung, aparatur kampus masuk dan
membubarkan acara tersebut. Bahkan beberapa orang pihak penyelenggara ditangkap oleh
militer, dan dipecat dari universitasnya (Farid, 2013). Stigma yang terlanjur diterima oleh
Pramoedya tersebut, semakin mempersulit ruang-geraknya sebagai penulis, serta semakin
menjauhkannya dari keabsahannya sebagai intelektual di satu sisi dan sebagai sejarawan
disisi lainya.
Disamping label yang terlanjur melekat dalam diri Pramoedya Ananta Toer sebagai eks-tapol,
terdapat pula faktor lain yang turut menyumbang kesukaran menentukan posisinya dalam
Ilmu Sejarah. Pemisahan antara sastra dan sejarah, terutama semenjak sejarah mulai
diproyeksikan sebagai sebuah ilmu—yang dengan itu memiliki kaidah, metodologi, dan
kekhasannya sendiri—berdampak besar pada posisi karya-karya Pramoedya dalam diskurs
penulisan sejarah. Disamping itu, menguatnya cara pandang dan cara kerja positivisme dalam
sejarah, yang identik dengan obsesinya pada objektivitas, kenetralan, dan berkaidah ilmiah
yang ketat, secara tidak langsung, memojokan pula posisi Pramoedya Ananta Toer yang
dipandang sebagai penulis yang penuh gairah, sangat subjektif, bermuatan politik, dan tidak
terlalu peduli pada kaidah ilmiah dalam tiap-tiap penulisan sejarah (historiografi) yang Ia
buat. Hegemoni cara pandang positivistik inilah yang mekar di tubuh Ilmu Sejarah, hingga
saat ini. Meskipun, dari segi ke-obyektif-an dalam penulisan sejarah pun, telah menuai
banyak kritik yang mendasar. Semisal, dalam pengembangan pemikiran Michael Foucault,
dimana Ia mampu membuka peluang penyingkapan relasi kekuasaan dalam ilmu
pengetahuan, yang berarti bahwa; pada dasarnya, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sejarah)
sebenarnya tidak dapat bersifat netral, obyektif, dan tak berdosa. Hal ini dikarenakan oleh
keterkaitannya dominasi dan relasi kekuasaan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri (Fakih,
2001). Selain itu, berpijak pada sejarah historiografi, akan terlihat pula bahwa historiografi
pada masa apapun—termasuk pemikir dan aliran penyokongnya—sulit untuk benar-benar
mampu obyektif dan netral sebagaimana yang diimpikan oleh cara pandang positivistik. Pada
titik ini, Pramoedya adalah contoh sempurna sosok pemikir cum penulis sejarah yang
terbunuh oleh hegemoni cara pandang positivisme.
Pramoedya Ananta Toer Melampaui Ilmu Sejarah
Bisa dikatakan bahwa meskipun Pramoedya Ananta Toer menempuh kesunyian dalam studi
kesejarahan, Ia tetap memiliki kontribusi yang meyakinkan bagi Ilmu Sejarah. Alih-alih
hanya berpikir untuk mengkonstruksi sejarah, Pram justru berdiri pada simpul yang lebih
tinggi dengan menawarkan dekonstruksi dalam studi kesejarahan. Meskipun Pramoedya tidak
telibat langsung dalam perdebatan mengenai historiografi kolonial yang diposisikan diametral
dengan historiografi Indonesia, Pram turut berkomentar pula mengenai hal tersebut, seperti
yang ditangkap oleh Hilmar Farid (2013);
“Karena sedjarah adalah titiktolak dari masakini dan masadatang, maka penjusunannja
memang harus didasarkan pada falsafah sedjarah yang sesuai dengan tudjuan jang hendak
ditjapai, jaitu sosialisme, dan sedjalan dengan itu filsafat sedjarah jang paling tepat ialah
filsafat jang mendjadi dasar negara, jaitu Pantjasila dengan program umumnya Manipol”
(Toer 1964), (Farid, 2013)
Kritik Pram terhadap historiografi kolonial, tidak hanya menyasar pada perspektif kolonial
dalam membangun sejarah kita semata, namun juga menyisir sisi perbuatan kolonial dalam
membersihkan sejarah dengan memusnahkan arsip, menyingkirkan karya dan orang tertentu
dari catatan sejarah, dan membuang orang agar dilupakan oleh masyarakatnya. Untuk
melawan kecenderungan kolonial ini, Pramoedya giat mengenalkan sosok Tirti Adhisoerjo,
Mas Marco, dan Kartini dalam studi kesejarahan. Selain itu, berbeda dengan sejarawan
akademik Indonesia lainya, Pramoedya justru lebih mempedulikan sumber-sumber sejarah
lokal-tradisional, yang dianggap Pramoedya merupakan sebentuk dokumen sosial yang akan
membantu memahami konteks dan kesadaran sosial dalam kurun waktu tertentu. Kemudian,
Pramoedya berdiri berbeda pandangan dalam hal menilai sebuah arsip. Bagi Pramoedya,
arsip perlu dibaca terbalik dan tidak lagi memposisikan arsip sebagai jalan satu-satunya
dalam menemukan fakta. Karena arsip pun, merupakan konstruksi kebenaran yang ditulis
oleh elit masyarakat dan penguasa. Dengan kesadaran ini, maka wajar jika Pramoedya
dianggap sebagai pelopor aliran sejarah lisan di Indonesia. Sumber-sumber sejarah yang
ditelusuri oleh Pramoedya yang tak hanya berbentuk arsip, mengharuskan pula Pramoedya
untuk mencari sumber informasi lainya seperti peninggalan sejarah dan bentuk-bentuk
peninggalan visual lainya. Dan Pramoedya merupakan salah satu penulis sejarah pertama
yang menggunakan foto sebagai informasi.
Ketika sejarawan berpandangan bahwa titik permulaan nasionalisme bermula pada pendirian
Boedi Oetomo, Pramoedya justru melihat semangat kebangsaan jauh lebih lama, hingga ke
masa-masa akhir abad ke-19, dimana mulai muncul tokoh-tokoh seperti Tirtho Adhisurjo
yang melek akan nasib bangsanya. Tidak berhenti disitu, Pramoedya memberi pemahaman
yang agak berlainan dalam melihat konteks pembentukan nasion itu sendiri dalam tubuh
Indonesia. Bagi Pramoedya, Indonesia tidak dibangun oleh Barat atau Timur, melainkan oleh
keinginan melawan ketidakadilan yang berakar pada kolonialisme oleh Barat dan tradisi
feodal Timur, dengan senjata pemikiran yang memiliki banyak sumber (Farid, 2013).
Namun demikan, Pramoedya tetap saja dianggap sepi dan merupakan pemikir sejarah
pinggiran dalam khazanah studi keilmuan sejarah. Meski Ia menyumbangkan pelbagai
pemikiran, sumber, penafsiran, serta tulisan alternatif tentang sejarah, Ia tetap sulit mendapat
posisi dalam dunia sejarah akademik—manakala stigma yang pernah disandang Pramoedya
serta hegemoni pendekatan positivistik masih tumbuh subur dalam studi kesejarahan. Ketika
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terkenal apa yang dinamakan ‘Turba’ atau Turun
ke Bawah secara langsung, Pramoedya Ananta Toer telah menerjemahkan hal tersebut
dengan keuletan dan ketekunan menggali informasi sejarah dengan intens—yang jarang
sekali ditemukan pada penulis dan ahli sejarah lainya. ***
Oleh Bagas Yusuf Kausan
Pasca kejatuhan rezim militer Soeharto, geliat dunia literasi dan kebudayaan menapaki jalan
baru yang lebih bebas. Segala bentuk pengekangan, penyeragaman, hingga indoktrinasi
dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia, perlahan-lahan mulai memudar (meskipun tidak
semuanya). Gelombang reformasi, masih menyisakan banyak sektor yang berjalan stagnan
dan—alih-alih mendapat angin segar reformasi—sektor-sektor tersebut justru menguat dan
sukar untuk berubah. Sementara salah satu sektor yang mendapat dampak cukup signifikan
dari gelombang reformasi ialah studi kesejarahan. Monopoli kebenaran dalam sejarah, yang
dahulu dipraktekan oleh Pemerintahan Orde Baru melalui narasi sejarah dan produk
kebudayaannya, mulai menemukan banyak kritik dan narasi tandingannya. Sebanyak 1600
judul buku yang mempersoalkan kisah masa lalu versi Orde Baru, beramai-ramai terbit
dengan bantuan dana yang besar dari Ford Foundation, pasca Mei 1998 (Nordholt, dkk,
2013). Sedangkan sederet nama tokoh-tokoh yang sempat dianggap berbahaya, mulai
direhabilitasi dan kembali mencuat ke permukaan. Dari sekian nama tokoh-tokoh yang
dilupakan pada masa Orde Baru, adalah sosok Pramoedya Ananta Toer.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu
korban pembuangan massal ke Pulau Buru, pada masa-masa awal berkuasanya Orde Baru.
Pram dianggap sebagai orang komunis, yang pada tahun 1965, diceritakan telah melakukan
pengkhianatan terhadap ideologi pancasila. Cap sebagai komunis yang disandang oleh Pram
—yang mengantarkannya menuju pembuangan massal, sirna setelah Pram dinyatakan bebas
pada tahun 1979. Meski demikian, dengan rekam-jejak sebagai eks-tapol, Pram tetap
dikenang sebagai salah-satu sastrawan terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia.
Karya-karya yang ditulis oleh Pram, sempat diterjemahkan ke berbagai bahasa di seluruh
dunia. Berkat pencapaiannya itu, Pramoedya sering kali mendapat penghargaan Internasional.
Pada tahun 1995, Pramoedya berkesempatan untuk mendapatkan Anugerah Magsaysay dan
tahun-tahun berikutnya, Pram kerap menjadi langganan calon penerima Anugerah Nobel di
bidang sastra. Sementara itu, penghargaan Internasional lainnya yang pernah disandang
Pramoedya ialah: The PEN Freedom-to-write Award, Fukuoka Cultur Grand Price, dan The
Norwegian Authours Union. Puluhan karya-karyanya—baik berupa buku, artikel, maupun
stensilan—disamping menjadi bukti kepiawaiannya dalam dunia tulis-menulis, telah
mengantarkan Pramoedya menjadi inspirasi bagi para penulis di Indonesia, hingga saat ini.
Dari sekian produk tulisan yang dilahirkan oleh Pram, Tetralogi Pulau Buru bisa dibilang
merupakan Magnum Opus dari karya-karya yang dihasilkan lelaki asal Blora tersebut.
Melalui karyanya itu, Pramoedya melejit menjadi salah satu penulis karya fiktif terkemuka di
Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadikan karya-karya Pram lainya menjadi
lesu dan tak bernilai. Puluhan karya ilmiah-akademik—baik berupa buku, disertasi, skripsi,
dan artikel—yang menyangkut pembahasan, peninjauan, dan kajian atas karya-karya
Pramoedya Ananta Toer—baik karya-karya diawal karir penulisan, maupun semasa menjadi
tahanan Pulau Buru—merupakan simbol pengakuan atas karya-karya Pramoedya Ananta
Toer lainya.
Dengan bekal keberagaman bentuk tulisan dan segudang penghargaan dan apresiasi yang luar
biasa bagi sosok Pramoedya Ananta Toer, sayangnya, Ia tetap hanya dikenal dan diposisikan
sebagai sastrawan dan seorang novelis semata. Jarang sekali ada yang memposisikan Pram
sebagai seorang sejarawan, misalnya, atau memposisikan Pramoedya sebagai intelektual dan
kritikus budaya (Farid, 2013). Padahal, jika menelusuri kembali karya-karya Pramedya
Ananta Toer, kita akan menemukan berbagai tulisan yang tidak hanya bergenre novel.
Banyak tulisan Pramoedya yang berbentuk artikel dan terbit dalam koran, maupun pamplet di
masa itu. Disamping itu, terdapat pula produk penulisan Pramoedya yang dijadikan bahan
diktat perkuliahan.
Di ranah kesejarahan, penyebab dikesampingkannya sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai
peneliti cum sejarawan, dapat ditelisik dari berbagai faktor. Salah satu faktor yang paling
dominan ialah label seorang Pram yang hanya dianggap sebagai penulis fiksi yang jauh dari
kaidah-kaidah keilmiahan. Salah satu karya Pramoedya, Tetralogi Pulau Buru, yang terdiri
dari 4 buah judul tulisan; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca, meski memiliki kandungan sejarah, tetap dianggap sebagai karya fiksi dan bukan
merupakan karya sejarah. Meskipun dalam penyusunannya, novel tersebut bukan sematamata novel fiktif, yang dilahirkan oleh kekuatan imajinasi dan keliaran pemikiran penulisnya
saja. Tetralogi tersebut terlahir dari serangkaian penelusuran, penelitian dan pembacaan atas
sejarah masa lalu yang cukup ketat dan mendalam. Tetralogi tersebut, setidaknya, dihasilkan
dari 150 artikel Pramoedya tentang sejarah—yang terhimpun dalam rentan waktu 1956-1965
—ketika Pram mulai menaruh minat serius akan studi kesejarahan, hingga sebelum
pembuangan dirinya ke Pulau Buru (Farid, 2013).
Latar belakang ini lah yang kerap luput dari penglihatan, terutama oleh instansi-akademik
kesejarahan. Hal ini, secara tidak sadar, telah menimbulkan pelbagai dampak yang terusmenerus menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Maka pertanyaan semacam; apakah novel
Pram layak dijadikan sumber sejarah; apakah layak Pram disebut sebagai sejarawan; dan
mengapa nama Pramoedya Ananta Toer sempat dianggap berbahaya oleh negara—pada
akhirnya, tak kunjung juga menemukan jawabannya.
Historiografi, Stigma, dan Hegemoni
Dalam studi keilmuan sejarah, historiografi merupakan sebuah tahapan terakhir dari
serangkaian metodologi penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini, historiografi merupakan
sebuah proses menyusun secara tertulis hasil temuan-temuan dalam satu penelitian sejarah
yang siap dibaca oleh pembacanya. Historiografi dapat pula dipandang sebagai bentuk akhir
dari sebuah rekonstruksi masa lalu dalam bentuk sebuah tulisan sejarah. Tak heran, banyak
juga yang menganggap historiografi adalah sebentuk dari penulisan sejarah itu sendiri.
Perkembangan historiografi, tidak dapat dipisahkan pula dari konteks kekuasaan dan ilmu
pengetahuan di suatu zaman tertentu. Hal-hal tersebut, berdampak cukup jelas dalam corak
historiografi yang dihasilkan. Pada masa penjajahan Belanda, historiografi mengenai
Indonesia disesaki oleh kecenderungan Belandasentris. Sementara pasca Seminar Sejarah
tahun 1957, historiografi Indonesia bergeser menjadi Indonesiasentris, dengan semangat
untuk menulis sejarah Indonesia dari perspektif orang Indonesia sendiri atau history from
within. Dekolonisasi menjadi term utama dalam setiap penulisan sejarah. Diponegoro yang
dipandang Belanda sebagai seorang ‘pemberontak’, mulai diputar menjadi seorang
‘pahlawan’. Pergeseran corak historiografi dari Belandasentris ke Indonesiasentris—yang
sesuai dengan tema pembangunan nasion oleh Bung Karno—ternyata memiliki pula
implikasi yang cukup mengejutkan, yaitu; menguatnya kecenderungan jawasentris.
Kecenderungan baru ini disebabkan oleh penelusuran asal-usul nasion Indonesia, yang
disadur dari pengalaman keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa. Sontak, kecenderungan ini
menimbulkan ragam kritik dan tawaran alternatif untuk melihat asal-usul nasion Indonesia.
Selanjutnya bergulir pula perdebatan hangat mengenai konteks dan arah sejarah yang ditulis.
Jika pada masa-masa awal kemerdekaan sejarah ditulis hanya dari sudut pandang penguasa
saja, maka semenjak kemunculan kecenderungan arah sejarah yang dibawa salah satunya
oleh Sartono Kartodirdjo, maka mulai terbuka celah untuk menuliskan sejarah dari perspektif
masyarakat kecil, dan golongan masyarakat yang terpinggirkan lainya. Hal ini tentu sarat
dipengaruhi oleh ketersediaan basis Critical Studies, keberadaan aliran sejarah Mazhab
Annales, dan mulai munculnya pendekatan Multidementional Approach yang menyediakan
ruang bagi ilmu-ilmu sosial lain dalam sebuah penelitian sejarah. Produk intelektual Sartono
Kartodirdjo dalam hal ini ialah dengan munculnya buku Pemberontakan Petani Banten 1888
yang menyisakan porsi yang besar bagi masyarakat kecil dalam sejarah.
Gerbang baru penulisan sejarah (historiografi) Indonesia kembali menemukan babak
kelamnya, ketika Presiden Soeharto dengan kekuatan militer dan jejaring Internasionalnya
menduduki singgasana kepresidenan Indonesia. Historiografi pada masa ini, yang
berbarengan dengan memuncaknya politik Floating Mass yang digawangi Orde Baru,
memunculkan sekian produk penulisan sejarah—yang sarat akan kepentingan penguasa.
Lebih parahnya lagi, kebenaran dalam sejarah, oleh Orde Baru, dimonopoli sedemikian rupa
hingga membentuk memori kolektif tertentu dalam pemikiran masyarakat. Kondisi demikian
berkelindan dengan terjadinya geger politik tahun 1965, dimana konstruksi sejarah sangat
diperlukan untuk melegitimasi kekuasaan yang baru terbentuk. Dan Pramoedya Ananta Toer
adalah salah satu penulis sejarah, yang menjadi korban atas bangunan kesejarahan masa Orde
Baru. Stempel komunis yang disandang Pram, semakin memperjelas kesuraman karir
kepenulisan Pramoedya Ananta Toer ini.
Pelebelan dan stigma komunis yang disandang oleh Pramoedya pada masa Orde Baru, kuat
kaitannya dengan keterlibatan Pramoedya Ananta Toer dalam wadah Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang dianggap merupakan lembaga underbouw nya Partai Komunis
Indonesia. Carut-marutnya kondisi Indonesia ketika itu, turut mendorong Pramoedya Ananta
Toer untuk menimbang kesusastraan yang lebih tajam dalam menilai situasi-kondisi masa itu.
Oleh Pram, keberadaan kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan semangat
Humanisme Universalnya terbukti tidak mampu menjawab masalah-masalah yang telah
menggunung. Maka ditengah kegelisahan dan kerisauannya itu, Pramoedya dipertemukan
dengan beberapa tokoh kiri (AS Dharta, Rivai Apin, Dodong Djiwapradja) yang pada
akhirnya mempengaruhi pola pikir Pramoedya Ananta Toer. Bahkan jika pada masa-masa
sebelumnya Pramoedya terkesan apolitis, melalui pergaulan dengan golongan kiri,
Pramoedya mulai membentuk ulang pemahamannya tentang politik. Pergaulan baru inilah
yang kemudian menarik Pramoedya Ananta Toer untuk masuk ke dalam lingkaran Lekra,
sekaligus diminta untuk memimpin Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) pada tahun 1959.
Meski demikian, kedekatan Pramoedya dengan orang-orang kiri, tidak serta-merta selalu
berjalan seiringan. Dalam beberapa hal, Pramoedya kerap memiliki pendapat berbeda dengan
kelompok kiri. Maka dari segi pemikirannya, sebenarnya, Pramoedya lebih dekat dengan
tradisi nasionaliskiri yang diwakili oleh Partindo dan Soekarno sendiri, ketimbang tradisi
Marxis PKI (Farid, 2013).
Perbedaan kerangka berpikir dalam melihat kesenian antara realisme sosialisnya Lekra dan
humanisme universalnya Manikebu, sempat mewarnai dinamika kehidupan masyarakat
Indonesia pada tahun 1960an. Meski pada akhirnya kelompok Manikebu harus dibubarkan
oleh Presiden Soekarno, namun pikiran dan tokoh-tokohnya masih tersisa dan menciptakan
hegemoni kebudayaan pasca tahun 1965. Pramoedya yang terlibat dalam perseteruan
tersebut, baik secara tulisan dan tindakan untuk menggasak lawan politiknya, berdampak pula
pada status dan stigma yang mengantarkannya ke Pulau Buru. Perlu diingat, Manikebu yang
dekat juga dengan PSI, merupakan salah satu kelompok yang mendapatkan posisi tawar
paling meyakinkan setelah berkuasanya Presiden Soeharto. Dengan rekam jejak Pramoedya
Ananta Toer sebagai salah satu seniman Lekra, sekaligus sebagai gerombolan komunis yang
melakukan pemberontakan pada tahun 1965, maka Pramoedya pantas untuk dibuang ke
Pulau Buru.
Dipenjarakannya Pram di Pulau Buru, turut menyeret pemenjaraan pula terhadap karyakaryanya. Banyak karya-karya Pramoedya yang belum sempat terbit, dan beragam tulisan,
analisis, serta arsip-dokumen mengenai sejarah, turut dibumi-hanguskan seiring dengan huruhara politik tahun 1965. Sedengkan memiliki, memperjualbelikan, membaca dan
mendiskusikan karya-karya Pramoedya yang sempat terbit, pada masa-masa Orde Baru,
dianggap sebagai tindakan subversif yang dapat dijerat oleh hukum. Hal tersebut terjadi pada
tahun 1989, dimana 3 orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan
dijatuhi hukuman penjara, akibat kedapatan mendiskusikan buku Rumah Kaca. Di
lingkungan akademik, hal demikian nampak serupa. Pada tahun 1981, sebuah acara dihelat
dengan turut serta mengundang Pramoedya Ananta Toer sebagai pembicara di Universitas
Indonesia. Ketika acara tersebut sedang berlangsung, aparatur kampus masuk dan
membubarkan acara tersebut. Bahkan beberapa orang pihak penyelenggara ditangkap oleh
militer, dan dipecat dari universitasnya (Farid, 2013). Stigma yang terlanjur diterima oleh
Pramoedya tersebut, semakin mempersulit ruang-geraknya sebagai penulis, serta semakin
menjauhkannya dari keabsahannya sebagai intelektual di satu sisi dan sebagai sejarawan
disisi lainya.
Disamping label yang terlanjur melekat dalam diri Pramoedya Ananta Toer sebagai eks-tapol,
terdapat pula faktor lain yang turut menyumbang kesukaran menentukan posisinya dalam
Ilmu Sejarah. Pemisahan antara sastra dan sejarah, terutama semenjak sejarah mulai
diproyeksikan sebagai sebuah ilmu—yang dengan itu memiliki kaidah, metodologi, dan
kekhasannya sendiri—berdampak besar pada posisi karya-karya Pramoedya dalam diskurs
penulisan sejarah. Disamping itu, menguatnya cara pandang dan cara kerja positivisme dalam
sejarah, yang identik dengan obsesinya pada objektivitas, kenetralan, dan berkaidah ilmiah
yang ketat, secara tidak langsung, memojokan pula posisi Pramoedya Ananta Toer yang
dipandang sebagai penulis yang penuh gairah, sangat subjektif, bermuatan politik, dan tidak
terlalu peduli pada kaidah ilmiah dalam tiap-tiap penulisan sejarah (historiografi) yang Ia
buat. Hegemoni cara pandang positivistik inilah yang mekar di tubuh Ilmu Sejarah, hingga
saat ini. Meskipun, dari segi ke-obyektif-an dalam penulisan sejarah pun, telah menuai
banyak kritik yang mendasar. Semisal, dalam pengembangan pemikiran Michael Foucault,
dimana Ia mampu membuka peluang penyingkapan relasi kekuasaan dalam ilmu
pengetahuan, yang berarti bahwa; pada dasarnya, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sejarah)
sebenarnya tidak dapat bersifat netral, obyektif, dan tak berdosa. Hal ini dikarenakan oleh
keterkaitannya dominasi dan relasi kekuasaan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri (Fakih,
2001). Selain itu, berpijak pada sejarah historiografi, akan terlihat pula bahwa historiografi
pada masa apapun—termasuk pemikir dan aliran penyokongnya—sulit untuk benar-benar
mampu obyektif dan netral sebagaimana yang diimpikan oleh cara pandang positivistik. Pada
titik ini, Pramoedya adalah contoh sempurna sosok pemikir cum penulis sejarah yang
terbunuh oleh hegemoni cara pandang positivisme.
Pramoedya Ananta Toer Melampaui Ilmu Sejarah
Bisa dikatakan bahwa meskipun Pramoedya Ananta Toer menempuh kesunyian dalam studi
kesejarahan, Ia tetap memiliki kontribusi yang meyakinkan bagi Ilmu Sejarah. Alih-alih
hanya berpikir untuk mengkonstruksi sejarah, Pram justru berdiri pada simpul yang lebih
tinggi dengan menawarkan dekonstruksi dalam studi kesejarahan. Meskipun Pramoedya tidak
telibat langsung dalam perdebatan mengenai historiografi kolonial yang diposisikan diametral
dengan historiografi Indonesia, Pram turut berkomentar pula mengenai hal tersebut, seperti
yang ditangkap oleh Hilmar Farid (2013);
“Karena sedjarah adalah titiktolak dari masakini dan masadatang, maka penjusunannja
memang harus didasarkan pada falsafah sedjarah yang sesuai dengan tudjuan jang hendak
ditjapai, jaitu sosialisme, dan sedjalan dengan itu filsafat sedjarah jang paling tepat ialah
filsafat jang mendjadi dasar negara, jaitu Pantjasila dengan program umumnya Manipol”
(Toer 1964), (Farid, 2013)
Kritik Pram terhadap historiografi kolonial, tidak hanya menyasar pada perspektif kolonial
dalam membangun sejarah kita semata, namun juga menyisir sisi perbuatan kolonial dalam
membersihkan sejarah dengan memusnahkan arsip, menyingkirkan karya dan orang tertentu
dari catatan sejarah, dan membuang orang agar dilupakan oleh masyarakatnya. Untuk
melawan kecenderungan kolonial ini, Pramoedya giat mengenalkan sosok Tirti Adhisoerjo,
Mas Marco, dan Kartini dalam studi kesejarahan. Selain itu, berbeda dengan sejarawan
akademik Indonesia lainya, Pramoedya justru lebih mempedulikan sumber-sumber sejarah
lokal-tradisional, yang dianggap Pramoedya merupakan sebentuk dokumen sosial yang akan
membantu memahami konteks dan kesadaran sosial dalam kurun waktu tertentu. Kemudian,
Pramoedya berdiri berbeda pandangan dalam hal menilai sebuah arsip. Bagi Pramoedya,
arsip perlu dibaca terbalik dan tidak lagi memposisikan arsip sebagai jalan satu-satunya
dalam menemukan fakta. Karena arsip pun, merupakan konstruksi kebenaran yang ditulis
oleh elit masyarakat dan penguasa. Dengan kesadaran ini, maka wajar jika Pramoedya
dianggap sebagai pelopor aliran sejarah lisan di Indonesia. Sumber-sumber sejarah yang
ditelusuri oleh Pramoedya yang tak hanya berbentuk arsip, mengharuskan pula Pramoedya
untuk mencari sumber informasi lainya seperti peninggalan sejarah dan bentuk-bentuk
peninggalan visual lainya. Dan Pramoedya merupakan salah satu penulis sejarah pertama
yang menggunakan foto sebagai informasi.
Ketika sejarawan berpandangan bahwa titik permulaan nasionalisme bermula pada pendirian
Boedi Oetomo, Pramoedya justru melihat semangat kebangsaan jauh lebih lama, hingga ke
masa-masa akhir abad ke-19, dimana mulai muncul tokoh-tokoh seperti Tirtho Adhisurjo
yang melek akan nasib bangsanya. Tidak berhenti disitu, Pramoedya memberi pemahaman
yang agak berlainan dalam melihat konteks pembentukan nasion itu sendiri dalam tubuh
Indonesia. Bagi Pramoedya, Indonesia tidak dibangun oleh Barat atau Timur, melainkan oleh
keinginan melawan ketidakadilan yang berakar pada kolonialisme oleh Barat dan tradisi
feodal Timur, dengan senjata pemikiran yang memiliki banyak sumber (Farid, 2013).
Namun demikan, Pramoedya tetap saja dianggap sepi dan merupakan pemikir sejarah
pinggiran dalam khazanah studi keilmuan sejarah. Meski Ia menyumbangkan pelbagai
pemikiran, sumber, penafsiran, serta tulisan alternatif tentang sejarah, Ia tetap sulit mendapat
posisi dalam dunia sejarah akademik—manakala stigma yang pernah disandang Pramoedya
serta hegemoni pendekatan positivistik masih tumbuh subur dalam studi kesejarahan. Ketika
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terkenal apa yang dinamakan ‘Turba’ atau Turun
ke Bawah secara langsung, Pramoedya Ananta Toer telah menerjemahkan hal tersebut
dengan keuletan dan ketekunan menggali informasi sejarah dengan intens—yang jarang
sekali ditemukan pada penulis dan ahli sejarah lainya. ***