Hansipnya Orang Cina Sepak Terjang Pao

Sepak Terjang Pao An Tui di Dua Kota dalam Kancah Revolusi
Indonesia
Iqbal Rizaldin1
Pengantar
Dalam Historiografi Indonesia, tulisan sejarah yang berfokus pada periode
Revolusi Nasional telah banyak dilakukan para sejarawan Indonesia dan Indonesianis
seperti George Mc. T. Kahin, Audrey R. Kahin, Nugroho Notosusanto, Robert Cribb,
Rosihan Anwar, Anton Lucas, A. H. Nasution, Ben Anderson, dll. Mereka tentunya
sepakat apabila periode 1945-1949 menjadi tahun-tahun ujian bagi dinamika kehidupan
masyarakat Indonesia, karena selalu diwarnai dengan gejolak dan konflik sebagai
usaha untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Usaha yang dilakukan ialah
dengan membentuk tentara dan laskar perjuangan rakyat. Kelompok ini hampir berdiri
di semua wilayah Republik Indonesia, mereka tetap eksis hingga akhir tahun 1949
(Cribb, 1990: 1). Sayangnya penelitian yang ada hanya membahas tentang laskar
rakyat yang terdiri dari masyarakat bumiputra maupun yang berasal dari organisasi
keagamaan seperti Barisan Banteng di Solo, Barisan Harimau Liar di Medan, Hizbullah,
Asykar Perang Syabil di Yogyakarta, dll. Sedangkan penelitian tentang laskar atau
badan keamanan yang berasal dari etnis tertentu seperti Tionghoa masih jarang
dilakukan. Padahal sekitar tahun 1946-1949, banyak berdiri organisasi paramiliter Pao
An Tui yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa. Hal ini suatu keunikan karena etnis
Tionghoa sebagai kelompok minoritas tidak hanya mendapatkan hak istimewa dalam

bidang ekonomi, tetapi juga militer/keamanan (Sulardi, 1994: 1-3).
Sampai saat ini tulisan yang mengupas tentang sepak terjang Pao An Tui baru
dilakukan Sulardi. Skripsi tersebut hanya membahas dalam lingkup Jakarta saja,
sedangkan di kota-kota lain belum banyak dilakukan. Oleh karena itu tulisan ini akan
berusaha mengeksplorasi fungsi dan keberadaan badan keamanan Tionghoa ini. Apa
alasan yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini? Tercipta sebagai bentuk
resistensi atau dukungan terhadap Revolusi Indonesia? Siapa yang memiliki ide untuk
membentuk badan keamanan Tionghoa masa Revolusi? Bagaimana sepak terjang Pao
An Tui? Respon seperti apakah yang beredar di kalangan masyarakat bumiputra
maupun Tionghoa? Sebelum masuk ke dalam pokok bahasan ada baiknya kita bahas
terlebih dahulu masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan. Sub judul ini juga akan
menjelaskan konflik daerah di dua kota, yaitu Surabaya dan Medan yang menjadi fokus
spasial tulisan ini.
Awal Revolusi
1

Mahasiswa Ilmu Sejarah 2009, Universitas Gadjah Mada

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu yang menjadi pemenang pada laga
Perang Dunia II. Indonesia sebagai bangsa yang terjajah mulai bangkit untuk menjalani

babak baru menjadi sebuah entitas politik yang berdaulat dan berusaha sejajar dengan
negara-negara manapun di dunia. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tonggak awal
Revolusi nasional bangsa Indonesia yang ditandai dengan dicetuskannya Proklamasi
Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta. (Kahin, 1990: 11) Bertolak dari proklamasi
kemerdekaan tersebut, di berbagai daerah hampir bersamaan muncul gerakan-gerakan
pendaulatan dimana targetnya tak lebih dari sisa-sisa pendukung tatanan kolonial
Belanda dan pendudukan Jepang yang tercipta belakangan (Cribb, 1990: 7). Aksi
“pembersihan” secara sepihak yang terjadi di daerah tidak hanya menyapu kalangan
atas saja –dimana sebelumnya raja-raja tradisional, para bangsawan kecil dan
kelompok birokrat memiliki pengaruh di masa-masa sebelum kemerdekaan–, tetapi juga
menimpa kalangan lain seperti orang-orang Tionghoa. Tindakan tersebut dapat terjadi
karena respon dari masyarakat bumiputra yang menganggap orang Tionghoa memiliki
“hubungan” dengan Belanda –meskipun di Medan gerakan protes untuk meminta
perlindungan kepada sekutu baru muncul setelah aksi kekerasan terjadi. Di Surabaya
sendiri perlawanan terhadap pandangan buruk tersebut ditunjukkan oleh komunitas
Tionghoa yang turut aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi kekerasan
tetap merupakan fenomena tersendiri pada masa-masa awal Revolusi Indonesia.
Tibanya sekutu guna mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia ternyata
menimbulkan tantangan-tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Inggris yang
menjadi penanggung jawab pendaratan sekutu di wilayah Asia Tenggara ternyata tidak

sendiri, mereka diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Diawali
dari pendaratan pertama di bulan September 1945, pasukan sekutu (Inggris dan NICA)
berhasil masuk ke Jakarta untuk melepaskan tawanan Jepang. Keadaan ini seringkali
memicu bentrokan senjata dengan badan perjuangan setempat. Revolusi Nasional
yang dimulai dari Jakarta rupanya merembet hingga ke kota-kota besar lainnya di Jawa
dan Sumatra, kembalinya penguasa lama menjadi ancaman laten terhadap kemajuankemajuan yang telah dicapai oleh pihak Republik.
Masa Bersiap, begitulah pemuda-pemuda revolusioner menyebutnya sangat
terasa pengaruhnya di Surabaya. Pada akhir Oktober 1945, sekitar enam ribu prajurit
sekutu yang terdiri dari serdadu Inggris, Gurkha, dan anggota NICA mendarat di kota
ini. Kehadiran mereka membuat keadaan semakin tegang dan tak menentu. Seperti di
Jakarta, alih-alih membebaskan tawanan perang, pihak Belanda rupanya juga
mempersenjatai para tawanan dan mempengaruhi etnis Tionghoa di kota ini untuk
memihak mereka guna membangun kembali kekuasaannya (Roeslan Abdulgani, 1973:
23). Strategi ini rupanya berhasil, dimana beberapa penduduk Tionghoa Surabaya
berdinas dalam pasukan atau menjadi mata-mata Belanda. Keberpihakan ini nyatanya
tidak hanya dilakukan etnis Tionghoa saja, banyak juga diantaranya orang-orang

bumiputra (K’tut Tantri, 2006: 215-216). Menggadaikan kesetiaan bukanlah jalan yang
patut ditempuh, akan tetapi kemiskinan yang membelit akibat kekacauan Republik
Indonesia menjadi satu-satunya pilihan rasional. Hal ini tentu saja menuai reaksi bagi

penduduk Tionghoa yang pro-Republik, hingga berujung bentrokan yang menewaskan
seorang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan. Arek-arek Surabaya yang tergabung
dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan Barisan Pemuda Tionghoa segera
mengambil sikap. Mereka bersama-sama menyusun daftar hitam orang-orang Tionghoa
yang bekerja sebagai mata-mata musuh (Andjarwati Noordjanah, 2010: 111). Aksi
pembersihan yang dilakukan menimbulkan ketakutan bagi penduduk Tionghoa yang
tinggal di kota.
Keresahan mulai memuncak ketika Surabaya diguncang pertempuran hebat pada
tanggal 10 November 1945. Sebagian besar penduduk kota baik penduduk lokal
maupun Tionghoa mengungsi ke wilayah selatan. Ada juga beberapa warga yang tetap
bertahan di kota dan dilindungi Panitia Keamanan Rakyat. PKR merupakan suatu
lembaga non politik yang anggotanya terdiri dari penduduk Tionghoa dan penduduk
bumiputra. Mereka bersama-sama menjaga keamanan dan mengurus kepentingan
warga kota Surabaya yang tidak ikut mengungsi. Kepala lembaga multietnis ini dipimpin
oleh seorang pribumi walau kekuatan penggerak sebenarnya dalam organisasi ini
adalah Tionghoa yang bernama Oei Chiao Liong. Selain itu terdapat lembaga sosial
non politik lainnya seperti Palang Merah Tionghoa yang bertugas memberikan
pelayanan kesehatan kepada warga Surabaya dari berbagai etnis (Somers Heidhues,
1991: 167).
Untuk mengantisipasi bocornya informasi ke pihak musuh, para pemuda kembali

melakukan pembersihan terhadap mata-mata Belanda. Dalam sebuah penggalan cerita
pendek yang ditulis Idrus dengan judul Surabaya, perasaan takut tergambar jelas di
benak rakyat Surabaya terhadap para pengkhianat Republik:
“Rakyat cukup berani menghadapi meriam-meriam musuh…. namun betapa takut mereka
terhadap mata-mata musuh. Pemandangan yang mengerikan itu menghembus bagaikan badai
di atas kota-kota dan di dalam hati kaum lelaki, meratakan segala sesuatu di jalannya – baik
keberanian maupun kerasionalan. Setiap orang curiga terhadap semua orang lainnya, dan
untuk membebaskan diri dari siksaan pemandangan ini mereka saling membunuh” (Reid, 1996:
89).

Ketakutan berujung pada kecurigaan tersebut terbukti nyata. Seorang Tionghoa
menjadi korban ketika operasi pembersihan dilakukan, dirinya dianggap sebagai matamata Belanda. Barang-barangnya disita kemudian orangnya dibakar hidup-hidup di
Alun-alun Sidoarjo. Dugaan bahwa NICA menandai mata-matanya dengan tanda
khusus, berkembang menjadi sesuatu yang tidak dapat di nalar, dimana banyak orang
dibunuh hanya karena kebetulan pakaiannya mempunyai unsur-unsur warna bendera
Belanda. Adakalanya isu-isu negatif maupun teror yang terjadi sengaja ditiupkan oleh

pihak Belanda untuk memperkeruh keadaan. Taktik itu memang dilakukan agar sistem
segregasi dan kebencian antar ras tetap tertanam diantara kemajemukan masyarakat
Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, 1998: 165). Terbunuhnya pengungsi yang dicurigai

mata-mata Belanda membawa akibat yang buruk terhadap nama baik pemerintah dan
pejuang Indonesia di Surabaya. Pihak BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia)
sendiri segera mengambil tindakan dengan mengumumkan bahwa serangan terhadap
warga asing tidak dibenarkan dan harus dihentikan (Andjarwati Noordjanah, 2010: 131).
Ketika tersiarnya berita tentang proklamasi, banyak rakyat Indonesia yang tinggal
di luar Jawa tidak mempercayainya. Di Sumatera Utara, faktor hubungan sosial multietnis dan suasana ketidakharmonisan yang terbentuk pada masa-masa sebelumnya,
membuat informasi kemerdekaan menjadi simpang siur. Hanya dalam beberapa
minggu, isu tersebut berkembang menjadi suatu kecurigaan antar lapisan sosial dan
konflik yang bersifat vertikal dan horizontal (Reid, 1996: 111). Sikap berbeda
ditunjukkan oleh penduduk Tionghoa Medan, dimana kemerdekaan tidak mendapat
tanggapan serius dari dalam komunitas ini. Mereka lebih memilih diam dan menunggu
hingga semuanya menjadi jelas. Pedagang-pedagang Tionghoa yang memiliki kios di
pasar maupun di Pecinan memilih tutup sebagai langkah antisipasi dari tindak kriminal.
Kebenaran tentang kemerdekaan Indonesia mulai menguat ketika Mr. Teuku
Mohammad Hasan tiba di Medan. Ia tidak gegabah, terlebih dahulu dialog dengan Shu
Sangi Kai (Lembaga Perwakilan Kesultanan) yang dipimpin Dr. T. Mansjoer hal pertama
yang dilakukan, mengingat masih kuatnya otoritas bangsawan Melayu di Sumatera
Utara. Gubernur Sumatera Utara tersebut menyampaikan pesan untuk secepatnya
menyampaikan kabar kemerdekaan untuk rakyat Medan dan segera membentuk
pemerintahan daerah, akan tetapi dialog tersebut tidak menemukan titik temu. Hal ini

terjadi karena pada dasarnya mayoritas bangsawan Melayu menginginkan kembalinya
pemerintahan Belanda di wilayah ini. T.M. Hasan mulai mendapatkan angin segar
ketika dukungan penuh datang dari BKPI (Barisan Kebaktian Pemuda Indonesia) dan
organ-organ perjuangan lainnya (Nasrul Hamdani, 2013: 145-146).
Pada tanggal 6 Oktober ketakutan akan semakin meruncingnya sentimen antar
lapisan sosial menjadi nyata. Pada saat penobatan Sultan Otteman menjadi Sultan Deli
yang baru, di depan istana berkibar bendera Merah-Putih-Biru disamping bendera
Kesultanan Deli. Sore harinya aksi tandingan dilakukan oleh pemuda dengan
mengibarkan bendera Merah-Putih, dimana pembacaan kembali teks proklamasi
dilakukan oleh T.M. Hasan –Gubernur Sumatera Utara yang ditunjuk oleh pemerintah
pusat (Reid, 1987: 271). Pasukan Belanda dan Sekutu sebenarnya telah bercokol di
Sumatera Utara sejak bulan Oktober 1945, tapi mereka tidak dapat berbuat banyak
karena kekurangan personil. Sekarang tampak jelas siapa yang menjadi Republiken
dan siapa yang memihak Belanda. Keadaan semakin memanas pada saat pihak NC
(National Control) yang dipimpin Xarim M.S. mulai menghembuskan “momentum” bagi

sebuah pertukaran rezim dan perimbangan kekuasaan. Agitasi inilah yang kemudian
menyulut semangat rakyat hingga menjadi sebuah Revolusi sosial di Medan 1.
Ketika Revolusi sosial dimulai pada tahun 1946-1947, penduduk Tionghoa banyak
mengalami kekerasan dengan alasan politik maupun ekonomi. Aksi kekerasan tersebut

dimulai dari kota Medan dan Pancur Batu, dimana 4000 orang Tionghoa pada awalnya
tinggal di tempat ini, hanya tersisa 2000 orang pada awal tahun 1946. Aksi kekerasan
serupa rupanya juga merembet beberapa kota utama di Sumatera Utara. Mulai dari
kampung-kampung kecil di Delitua, Tanjungpura, Binjai, Sunggal, Lubuk Pakam,
Tebingtinggi, Tanjung Balai, Kisaran, Rantau Prapat, Pematangsiantar hingga ke
pedalaman Simalungun. Tidak ada catatan pasti mengenai jumlah orang Tionghoa yang
menjadi korban kekerasan laskar perjuangan dan tentara (Nasrul Hamdani, 2013: 156159). Tentara dan barisan perjuangan tersebut tidak hanya melakukan aksi
“pembersihan”, mereka juga secara teratur merampoki toko-toko dan gudang-gudang
milik Tionghoa sekaligus menyita barang-barang yang menurut kabar sengaja ditimbun
(van Langenberg, 1990: 139). Perampokan yang berkedok “perjuangan” tersebut
membuat Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) angkat bicara. Lewat tulisannya ia
menuturkan bahwa:
“Djamino dan Djoliteng gespuis (bajingan), marika itoe di zaman revolutie mendjadi
pemboenoeh, toekang perkosa, toekang bakar roemah pendoedoek jang tida berdosa, toekang
sembeleh korban-korbannja jang majit-majitnja kamoedian ditoewangin benzene boeat
dibakar!....., Jang golongan Djamino dan Djoliteng dari bangsa apa djoega seringkali bikin
moemet (pusing) kepala dari pemimpin-pemimpinnja, ini bisa dimengerti” (Tjamboek Berdoeri,
2004: 292-293).

Terbatasnya peran negara dalam mengontrol barisan pejuang ini disebabkan

posisi Republik saat itu sedang kacau sehingga koordinasi antara pusat dan daerah
tidak berlangsung semestinya. Pemerintah daerah sendiri tidak memiliki otoritas yang
kuat atas kegiatan yang dilakukan kelompok pejuang. Pada intinya kekerasan atas etnis
Tionghoa di Medan merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” atas golongan
aristokrat yang ambruk dihempas kemarahan massa. Meski tidak ada alasan yang tepat
untuk memusuhi Tionghoa, akan tetapi perbedaan identitas, orientasi, dan yang paling
mendasar adalah kuatnya peran mereka di bidang ekonomi, jadilah mereka sebagai
musuh bersama (Nasrul Hamdani, 2013: 160).

Lahirnya Pao An Tui: Berawal dari Suatu Kepedulian
Aksi penjarahan yang terjadi seiring meningkatnya konflik antara IndonesiaBelanda ternyata terus berlangsung dan merembet ke arah pembantaian (Ricklefs,
2008: 459-464). Di wilayah tertentu, peristiwa yang menimpa warga Tionghoa menjadi
pemandangan sehari-hari meskipun sebagian dari mereka mendukung kemerdekaan

Republik Indonesia. Pihak Republik berusaha mencari permasalahan terhadap apa
yang terjadi. Menurut mereka, tindakan tersebut terjadi karena keterlibatan beberapa
orang Tionghoa yang berdinas dalam pemerintahan Belanda. Untuk mencegah tindak
kekerasan terulang kembali, pihak Republik meminta Belanda untuk berhenti
menyerang dan mempergunakan orang Tionghoa untuk tujuan mereka, akan tetapi
protes ini tidak digubris.

Situasi bertambah parah ketika Belanda melakukan Agresi Militernya yang
pertama, untuk menghambat gerak maju Belanda pihak Republik melaksanakan
strategi bumi hangus. Ini dimaksudkan agar aset-aset yang ditinggalkan pejuang dan
rakyat tidak dimanfaatkan oleh personil Belanda. Tak pelak, orang Tionghoa-lah yang
paling dirugikan dalam strategi ini sebab tempat-tempat yang menjadi target
pembumihangusan sebagian besar milik mereka. Melihat situasi yang kacau disertai
aksi-aksi kekerasan, hal tersebut rupanya mengundang perhatian pemerintah Cina
untuk mencarikan solusi atas apa yang terjadi. Konsul Jenderal Tiongkok Tsiang Chiatung mengeluarkan intruksi:
“Kepada orang-orang Tionghoa yang berdiam di daerah Republik agar mereka menolak
apabila dipindahkan keluar batas kota dan apabila menghadapi bahaya, mereka harus
berkumpul bersama di bangunan sekolah atau perkumpulan dan mengibarkan bendera
Tiongkok bersama bendera palang merah” (Benny G. Setiono, 2008: 629).

Sebagai jawaban atas seruan tersebut unit-unit sukarela segera dibentuk di distrikdistrik Tionghoa di berbagai kota besar, akan tetapi usaha ini tidak banyak membawa
hasil.
Akibat terjadinya kekacauan yang menimbulkan banyak penderitaan kepada etnis
Tionghoa sebagai korban Revolusi dan aksi militer Belanda, timbul pemikiran sejumlah
tokoh peranakan Tionghoa di Jakarta untuk mencari jalan agar kejadian serupa tidak
terulang kembali. Perkumpulan Chung Hua Tsung Hui (CHTH) Jakarta2 memiliki inisiatif
untuk mengadakan konferensi yang terdiri dari perwakilan-perwakilan CHTH seluruh

Indonesia. Konferensi Tionghoa3 ini rencananya akan diadakan di Gedung Sing Ming
Hui Jakarta selama tiga hari, mulai dari tanggal 24-26 Agustus 1947. Setelah melalui
persidangan yang panjang akhirnya tercetuslah beberapa keputusan:
1.
2.
3.
4.

Pembentukan Pao An Tui (Badan Pelindung Keamanan Tionghoa)
Mendirikan suatu badan penyiaran resmi
Menyebarluaskan hasil keputusan ke dalam dan luar negeri
Koordinasi untuk menolong korban-korban yang akan dibentuk di setiap
daerah (Sulardi, 1994: 62-63).

Tanggal 29 Agustus 1947 merupakan hari terbentuknya Pao An Tui disahkan
berdasarkan keputusan rapat perwakilan Tionghoa Indonesia yang tergabung ke dalam

Chung Hua Tsung Hui Lien Ho Pan She Tsu (Badan Koordinasi CHTH Indonesia) –
salah satu anggotanya ialah Kwee Kek Beng 4--, dan Jakarta dipilih sebagai kantor
komite pusat. Keberadaan Pao An Tui –setelahnya akan digunakan kata PAT–
tergantung pada berlakunya masa darurat perang yang berarti sewaktu-waktu
organisasi ini dapat dibubarkan.
Beberapa hari sebelumnya Konsul Jenderal Tiongkok, Tsiang Chia Tung lewat
siaran radio Batavia memberitahukan bahwa orang-orang Tionghoa yang berada di
wilayah pendudukan Belanda diberi kebebasan untuk mendirikan badan keamanan
sendiri. Sementara itu penduduk Tionghoa yang tinggal di dalam wilayah republik jika
dirasa perlu diperbolehkan membentuk badan keamanan serupa. Himbauan tersebut
ditolak mentah-mentah oleh pemerintah RI karena mereka yakin keselamatan etnis
Tionghoa di wilayahnya terjamin dan tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa
(A.H. Nasution, 1977: 35). Selain itu, masyarakat Tionghoa yang ada di daerah
Republik juga menyadari jika mereka membentuk badan keamanan sendiri, maka posisi
mereka sangat tidak diuntungkan karena dapat menimbulkan salah paham dengan
pihak pejuang.
Kemunculan PAT pada masa Revolusi merupakan sesuatu yang istimewa karena
organisasi ini mendapat izin dari Belanda, seperti tertuang pada Keputusan Peraturan
Penguasa Militer No. 516 yang ditandatangani oleh Jenderal S.H. Spoor. Ini berarti
orang Tionghoa diberi keleluasaan dan di-“anak emas”-kan karena sebagian besar dari
mereka mendukung dan terlibat dalam kebijakan yang diterapkan Belanda. Hal ini
sebuah kewajaran mengingat pada masa ini Belanda lebih berfokus pada pemulihan
keamanan dan perekonomian Indonesia yang telah lama terkoyak akibat perang.
Organisasi kepolisian Tionghoa ini mendapat tugas dan wewenang untuk melindungi
jiwa dan harta milik orang Tionghoa, mereka akan ikut campur dalam tugas militer
apabila dibutuhkan. Keanggotaannya terbatas pada orang Tionghoa saja, dan kadangkadang mempunyai anggota orang Indonesia (Somers Heidhues, 1991: 172). Lewat
tugas dan wewenang yang diperoleh organisasi ini terlihat jelas bahwa sejak awal
Pemerintah Militer Belanda ikut campur tangan. Secara tidak langsung tugas
pemerintah pendudukan Belanda lebih diringankan karena keselamatan hidup orang
Tionghoa beserta aset-asetnya sudah terwakilkan lewat PAT. Selain itu, lembaga ini
juga dapat dijadikan pasukan cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Dari Kontroversi Menjadi Aksi
Setelah disahkan oleh komite, PAT dengan cepat bermunculan di daerah-daerah
kekuasaan Belanda yang menjadi pusat konsentrasi komunitas Tionghoa. Kemunculan
organisasi semi-militer ini lebih banyak terdapat di Jawa dan Sumatera saja, meliputi

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur untuk Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera
mereka terdapat di daerah Sumatera Timur dan Sumatera Barat (Sulardi, 1994: 66-67).
Jakarta dipilih menjadi kantor pusat PAT dari seluruh Indonesia, karena disini
merupakan pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat kegiatan utama yang
mengurusi segala bentuk administrasi lembaga ini.
Surabaya dalam beberapa hal menjadi kota yang berbeda pada masa awal
kemerdekaan. Sejak semula penduduk Tionghoa ini terpecah ke dalam dua arus yang
berbeda. Orang-orang seperti Tjoa Sik Len, Siauw Giok Tjan dan Tan Po Goan lebih
memilih untuk condong ke Republik sedangkan yang lain menjadi pro-Belanda. Setelah
proklamasi, peran nyata diberikan oleh mereka-mereka yang pro-Republik dengan cara
membantu segenap tenaga perjuangan pemuda Surabaya. Disaat kacau tersebut
seringkali orang Tionghoa mendapat perlakuan diskriminasi dan kekerasan dalam
banyak hal. Perlahan namun pasti, orang-orang Tionghoa yang pro-kemerdekaan mulai
kehilangan pengaruhnya di kota besar itu sedangkan etnis Tionghoa yang dekat
dengan Belanda mulai bangkit seiring dilaksanakannya Agresi Militer Belanda pertama.
Setelah kembali dari rapat umum CHTH seluruh Indonesia. Dua kubu yang saling
berbeda pandangan ini melakukan rapat internal. Mayoritas organisasi komunitas
Tionghoa Surabaya mendapatkan suara bulat terhadap orang-orang pro-Republik. Atas
desakan AM (Abdi Masyarakat) mereka melakukan pemboikotan atas pembentukan
Pao An Tui (Andjarwati Noordjanah, 2010: 113). Seruan penolakan juga muncul dari
Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) terhadap ide bangsanya sendiri, yang secara
getir menyatakan bahwa:
“Sebagimana pembatja tahoe, Pao An Tui dilahirken di atas toempoekan poeing dan
majit-majit sebagi soembangan decoratie dari fihaknya pendoedoek Tionghoa boat bikin
lengkep Djamino dan Djoliteng Indonesier poenja pertoendjoekan lelakoen di panggoeng
doenia”.

dan pandangannya tentang rencana pembentukan PAT Malang:
“Di Malang sendiri, niatan diriken Pao An Tui mendjadi serabi tida, koetjoer poen boekan.
Satoe hal jang biasa bagi siapa jang kenal Malang poenja pendodoek Tionghoa” (Tjamboek
Berdoeri, 2004: 300).

Sebuah organisasi PAT segera dibentuk di Surabaya pada akhir 1947. Perekrutan
yang dilakukan diambil dari pemuda-pemuda Tionghoa yang berusia 18-25 tahun.
Masuknya mereka menjadi anggota dikarenakan faktor yang beragam, ada yang
mendaftar karena sakit hati dan ingin balas dendam karena sebelumnya keluarga
mereka menjadi korban. Ada pula yang hanya ingin mengejar prestise atau sekedar
mencari nafkah. Setelah terdaftar sebagai anggota Pao An Tui, mereka selanjutnya
akan dikirim ke Cimahi selama seminggu untuk dilatih secara militer. Sekembalinya dari
Cimahi, diangkatlah satu orang sebagai pemimpin satuan paramiliter ini. Tugas utama

mereka adalah menjaga pusat-pusat ekonomi, melindungi tempat tinggal, dan tempat
pengungsian orang-orang Tionghoa dari serangan “ekstrimis” Indonesia (Tjamboek
Berdoeri, 2004: 299-300), juga mengadakan patroli kota dan mengamankan daerahdaerah perbatasan (Nasrul Hamdani, 2013: 172).
Sebagai pasukan paramiliter, ketika bertugas tentunya mereka menggunakan
seragam warna abu-abu layaknya tentara dan memiliki simbol khusus bergambar
pedang/golok yang bersilang di bagian tengah dengan rantai yang melingkar di
sepanjang garis luar dan tulisan PAT dalam huruf Tiongkok dan Latin. Badge ini biasa
digunakan di lengan sebelah kiri. Sekilas seragam yang mereka gunakan mirip
seragam KNIL, yang membedakan hanya lencananya (Sulardi, 1994: 85). Sehingga
beberapa masyarakat melihat bahwa PAT merupakan bagian dari personil Belanda.
Selama bertugas hanya sebagian kecil dari mereka yang membawa pistol sisanya
hanya membawa pemukul. Pemerintah militer Belanda tidak mengizinkan hal itu karena
mereka takut jika PAT diberi persenjataan lengkap ada kemungkinan mereka akan
membelot dan memihak pejuang Indonesia. Pada awalnya badan keamanan ini hanya
mendapatkan tugas ringan, namun tidak jarang mereka mendapat tugas layaknya
anggota militer sesungguhnya. Di dalam pertempuran, pasukan ini berada di pihak
Belanda sehingga tak jarang mereka terlibat dalam bentrokan langsung melawan
gerilyawan Indonesia.
Diawali dari serangan-serangan terhadap komunitas Tionghoa di Medan yang
intensitasnya terus meningkat. Akumulasi kekerasan yang terjadi tersebut tak dapat
terbendung lagi hingga menimbulkan demonstrasi masyarakat Tionghoa Medan pada
akhir tahun 1947. Sebelum demonstrasi terjadi mereka bahkan telah mengirimkan surat
kepada pemerintah Belanda yang pada intinya meminta perlindungan dari kekejaman
gerombolan laskar dan mendesak untuk membentuk badan kepolisian Tionghoa seperti
di Jawa (Nasrul Hamdani, 2013: 162-166). Hal ini tentu saja medapatkan respon buruk
dari pemerintah lokal Medan dimana Gubernur Sumatera Utara merasa dilecehkan
karena orang Tionghoa terlalu membesar-besarkan apa yang terjadi dan menginginkan
sesuatu yang berlebihan. Permintaan akan dibentuknya badan perlindungan khusus
bagi orang Tionghoa sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya pihak Inggris dan
Republik di Medan sudah terlebih dahulu merestui terbentuknya polisi keamanan
Tionghoa yang biasa disebut CSC (Chinese Security Corps) pada tahun 1946. Secara
struktur maupun tugas CSC tidak jauh berbeda dengan PAT bentukan Belanda,
sehingga bukanlah suatu halangan ketika CHTH merekrut kembali anggota tersebut ke
dalam PAT karena dalam waktu singkat jumlah personil dalam badan tersebut
mencapai 800 hingga 1000 orang (van Langenberg, 1990: 140). Fakta menarik
diungkapkan oleh Mary F. Somers Heidhues bahwa anggota PAT Medan:
“Disinyalir sebagai pasukan nasionalis Tiongkok yang tertangkap semasa perang
Tiongkok-Jepang dan oleh Jepang dibuang ke Sumatera. Setelah dibebaskan sekutu, sebagian

bergabung dengan PAT. Ini menjadi bukti bahwa hubungan pro-Kuomintang sangat kuat pada
satuan keamanan Medan” (Somers Heidhues, 1991: 173).

Seragam yang digunakan PAT Medan berbeda dengan PAT yang ada di Jawa.
Tidak ada atribut berupa badge “P” di lengan, hanya ada lambang matahari yang
dilingkari aksara Cina –mungkin saja tulisan Pao An Tui–, pada topi pet berwarna
serupa (Nasrul Hamdani, 2013: 175). Sedangkan tugas PAT jelas bahwa mereka harus
melakukan patroli dan penjagaan di pecinan, pasar, sekolah hingga tempat
pengungsian orang-orang Tionghoa sampai keadaan normal. Ketika sedang berpatroli
di tempat pengungsian penduduk Tionghoa di perbatasan garis demarkasi inilah
mereka kerapkali bentrok dengan pasukan Republik yang secara kebetulan juga
menjadi area pengamanan para pejuang (Benny G. Setiono, 2008: 547). Tempattempat keramaian menjadi obyek vital yang perlu dijaga ketat untuk mengantisipasi
penyusup Republik. Taktik perang kota yang berfokus pada penggeledahan rumahrumah juga melibatkan PAT dalam aksinya. Tidak hanya rumah pribumi, terkadang
rumah orang Tionghoa juga menjadi target sweeping untuk memastikan tidak adanya
penyusup Republik. Perilaku mereka pun tidak berbeda dengan gerombolan bersenjata
yang mengaku Republiken. Setiap aksinya badan semi-militer ini tak jarang melakukan
tindakan kasar seperti mengambil barang penduduk (Nasrul Hamdani, 2013: 172).
Sesekali PAT kelihatan bertindak sebagai “polisi pribadi” dimana menahan orang
Tionghoa atas desakan Wakil Konsul Cina karena dituduh membiarkan penempelan
sebuah surat kabar dinding yang menyerang Chiang Kai-shek. Untuk melaksanakan
tugas tersebut, kesatuan keamanan ini diberi perlengkapan tempur yang bisa dibilang
lebih lengkap dibanding PAT di Jawa. Mereka memiliki senjata sisa dari tentara Inggris
yang kemudian diperkuat oleh senjata laras panjang, pistol revolver, artileri ringan
hingga jip patrol (Nasrul Hamdani, 2013: 172).. Akhirnya timbul pertanyaan apakah PAT
benar-benar melindungi semua orang Tionghoa ataukah hanya pengusaha kaya yang
tentunya merupakan penyumbang utamanya selama organisasi itu dibiayai dengan
dana masyarakat. seperti dikemukakan diatas, ada petunjuk bahwa satuan ini hanya
untuk melindungi properti terutama sekali pabrik, kilang, gudang dan perkebunan dari
sabotase atau serangan pembumihangusan.

Pandangan Masyarakat
Keberadaan PAT pada awalnya disegani dan popular di kalangan Tionghoa. Lewat
PAT orang-orang Tionghoa tidak lagi merasa terancam akan tindak kejahatan karena
ada saudara sebangsa yang dapat melindungi kehidupan mereka. Orang-orang
Tionghoa akan berjejal-jejalan di pinggir jalan untuk melihat parade dan tak segan
memberikan semangat bagi para “pahlawan” mereka. Semangat yang diberikan tidak
hanya berupa dukungan moril namun juga dalam bentuk pemberian dana. Masyarakat

Tionghoa bergotong royong untuk membiayai keberlangsungan PAT. Dana tersebut
diperoleh dari donatur beberapa keluarga Tionghoa kaya maupun sejumlah tarikan
yang berasal dari uang registrasi seperti karcis pertunjukan kesenian, olahraga hingga
penyelenggaraan pasar malam. Biaya sumbangan dikenakan sebesar f. 5,- sampai f.
10,- per bulan. Selain dari masyarakat, PAT juga memperoleh bantuan dari pemerintah
Belanda sebesar f. 100.000,- (Sulardi, 1994: 81).
Bertolak belakang dengan kepopuleran PAT di awal pembentukannya, perlahan
keberadaan badan keamanan ini mulai meredup karena disebabkan beberapa faktor.
Besarnya biaya yang ditanggung setiap kepala rumah tangga Tionghoa dinilai besar.
Keadaan yang serba sulit membuat mereka enggan untuk memberikan bantuan lagi
bagi keberlangsungan PAT. Selain itu dari tahun ke tahun keberadaan PAT semakin
bergeser dari tujuan semula. Sepak terjang PAT dirasa sudah melewati ambang batas
kemanusiaan sehingga tak jarang keberadaan mereka dibenci oleh berbagai pihak.
Kebrutalan yang dilakukan personil PAT ditakutkan bagi sebagian orang Tionghoa akan
berubah menjadi balas dendam di kemudian hari kelak (Sulardi, 1994: 91). Mereka
mengecam keberadaan PAT karena lebih condong ke pihak Belanda dan seringkali
memusuhi penduduk bumiputra yang tentu saja semakin memperkeruh hubungan
Tionghoa dan Republiken. Dalam cerpen Pao An Tui karya Dwicipta, kita akan
menemukan korelasi dalam pernyataan Sin Liong tentang sukarnya posisi Tionghoa
setelah adanya Barisan Keamanan Tionghoa:
”Kita memang serba sulit. Orang-orang di Jakarta dan kota besar lain ramai-ramai
membicarakan nasib babah-babah kaya yang rumahnya terus dijarah. Dan kita merelakan diri
menjadi kacung Pao An Tui. Sementara mereka, babah-babah kaya itu, yang menyandarkan
nasib hartanya pada Pao An Tui tak pernah memikirkan nasib orang- orang miskin seperti kita,
walaupun kita loyal terhadap Republik. Menjengkelkan kalau dipikir-pikir” (Dwicipta, 2005: 2).

Berbagai dukungan untuk segera melakukan pembubaran PAT di seluruh Indonesia
menjadi agenda serius di kalangan Tionghoa agar keberadaan badan perlindungan ini
tidak terus menerus digunakan sebagai kepanjangan tangan Belanda. Di mata rakyat
dan pemerintah Indonesia sendiri sudah terpetakan secara jelas bagaimana PAT pada
masa Revolusi secara sikap telah memihak “tamu lama”.
Keberadaan Pao An Tui akhirnya ditentukan oleh kebijakan politik yang menjadi
buntut dari disahkannya perjanjian Renville. Kesepakatan dibentuknya Uni IndonesiaBelanda yang disetujui oleh kedua belah pihak, secara otomatis membuat wilayah yang
masuk ke dalam kantong-kantong pendudukan Belanda menjadi negara bagian
Republik Indonesia Serikat dan membentuk pemerintahan sendiri (Nasrul Hamdani,
2013: 182-183). Perintah pertama yang keluar dari masing-masing pemerintah negara
bagian adalah dibubarkannya milisi-milisi atau badan semi-militer di wilayah mereka.
Tentu saja keberadaan PAT di Indonesia mendapat imbasnya, beberapa daerah cabang
PAT membubarkan diri pada akhir tahun 1949. Angka statistik resmi mengenai PAT

mencatat hingga dibubarkannya badan ini, sekitar 5000 orang tercatat sebagai anggota
– seberapa jauh angka tersebut dapat dipercaya, tidak diketahui (Somers Heidhues,
1991: 174-175).
Penutup
Keberadaan Pao An Tui di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sebuah
keprihatinan orang Tionghoa terhadap keberlangsungan hidup mereka di tanah
perantauan. Tidak dapat dipungkiri, orang Tionghoa kerap kali menjadi target sentimen
beberapa golongan yang tidak suka terhadap etnis ini. Alasan masyarakat sipil juga
tidak dapat dipersalahkan karena orang Tionghoa lebih diistimewakan oleh Belanda
pada masa penjajahan. Hal ini ditambah oleh sikap beberapa oknum Tionghoa yang
lebih pro-Belanda pada masa Revolusi, meskipun ada juga sebagian orang Tionghoa
yang jelas-jelas mendukung perjuangan Republik. Akan tetapi tetap saja kekerasan
terhadap etnis satu ini berlanjut, hingga akhirnya dilakukanlah pertemuan di Jakarta
dimana salah satu poinnya mendukung terbentuknya Pao An Tui atau barisan
keamanan Tionghoa.
Tujuan utama dibentuknya PAT pada awalnya hanya untuk menjaga pemukiman
orang Tionghoa beserta aset-aset ekonominya dari sabotase, akan tetapi ternyata
pemerintah Belanda memiliki rencana lain. Dari awal sengaja pemerintah militer
Belanda ikut campur tangan dalam pembentukannya dan selanjutnya mereka
memanfaatkan PAT untuk berbagai kepentingan militer seperti ikut perang hingga
melakukan aksi sweeping di rumah-rumah bumiputra maupun Tionghoa untuk
menghalau mata-mata Republik.
Organisasi keamanan ini pada awalnya diakui keberadaannya oleh orang
Tionghoa, karena dengan adanya PAT daerah mereka aman. Masalah dana dan sikap
PAT yang semakin hari semakin brutal membuat pengakuan itu mulai luntur, disusul
ketakutan beberapa orang Tionghoa yang tidak ingin ini menjadi ajang balas dendam
dan alat bagi penguasa Belanda. PAT sendiri keberadaannya akhirnya berakhir ketika
diplomasi politik antara dua negara disetujui lewat perjanjian akan dibentuknya negara
Uni Indonesia-Belanda.

Daftar Pustaka:
Buku, Artikel, dan Skripsi:
Abdul H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. (Bandung: Angkasa,
1977).

Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya, 1910-1946. (Yogyakarta:
Ombak, 2010).
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik. (Jakarta: ELKASA, 2008).
Cribb, Robert B. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergolakan antara Otonomi
dan Hegemoni. (Jakarta: Grafiti, 1990).
Heidhues, Mary F. Somers. “Kewarganegaraan dan Identitas Etnis Cina dan Revolusi
Indonesia” dalam Jennifer Cushman dan Wang Gungwu (ed.), Perubahan
Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. (Jakarta: Grafiti, 1991).
K’tut Tantri, Revolusi di Nusa Damai. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Kahin, Audrey R. “Pendahuluan”, dalam Audrey R. Kahin (eds), Pergolakan Daerah
pada Awal Kemerdekaan. (Jakarta: Grafiti, 1990).
Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 19301960. (Jakarta: LIPI Press, 2013).
Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia. (Jakarta: Garba Budaya, 1998).
Reid, Anthony J. S. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera
Timur. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).
__________. Revolusi Nasional Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2008).
Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya. (Jakarta: Yayasan Idayu, 1973).
Sulardi, “Pao An Tui Jakarta 1947-1949”. Skripsi S-1, Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, 1994.
Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara. (Jakarta: ELKASA, 2004).
Van Langenberg, Michael. “Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam
Sebuah Keresidenan di Sumatera”, dalam Audrey R. Kahin (eds), Pergolakan
Daerah pada Awal Kemerdekaan. (Jakarta: Grafiti, 1990).

Internet:
http://cerpenkompas.wordpress.com/2005/11/27/pao-an-tui-1/

1CATATAN

AKHIR:

Revolusi Sosial di Medan terjadi setelah Volksfront dibentuk untuk membersihkan
Republik dari pengkhianat yang berasal dari golongan bangsawan. Pada tanggal 3 Maret
1946 aksi pertama dimulai, istana Sunggal diserbu oleh massa, semua keluarga
Kedatukan Sunggal dibunuh. Tanggal 6 maret, istana Maimun diserbu namun selamat dari
aksi massa karena dijaga oleh sepasukan Inggris. Dari Deli amuk massa merembet
hingga ke Langkat dan Serdang, seorang penyair dan bangsawan Langkat bernama
Tengku Amir Hamzah menjadi korban. Istana kesultanan menjadi sasaran aksi penjarahan
dan pembakaran. Perbaungan, Pematangsiantar, Tanjung Balai, Simalungun, Asahan dan
Kisaran juga tak luput dari operasi pembersihan. Pengejaran dan penangkapan terhadap
para bangsawan terus berlangsung. Para sultan, datuk, tengku dan tuan tanah menjadi
sasaran, padahal tidak semuanya dari mereka menjadi kaki tangan Belanda. Lihat Nasrul
Hamdani, Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. (Jakarta:
LIPI Press, 2013), hlm. 150-151; Idris Pasaribu, Acek Botak. (Jakarta: Kakilangit Kencana,
2009), hlm. 234-236.
2
Chung Hua Tsung Hui (CHTH) di Jakarta secara prinsip berbeda haluan dengan CHTH
yang ada di Yogyakarta. Secara terang-terangan, CHTH Jakarta lebih memilih kembalinya
kekuasaan Belanda di Indonesia sedangkan CHTH Yogyakarta lebih bersimpati kepada
perjuangan Republik. Oleh karena itu, ketika konferensi digelar di Jakarta guna
membahas keberlangsungan hidup orang Tionghoa di Indonesia berikut juga antisipasiantisipasinya, CHTH Yogyakarta memilih untuk tidak hadir.
Konferensi tersebut dihadiri hampir semua perwakilan CHTH di Indonesia terutama yang
berada di dalam kantong pendudukan Belanda di Indonesia. Konferensi dilakukan selama
tiga hari, dalam konferensi tersebut para perwakilan menyetujui akan ide dibentuknya Pao
An Tui. Lihat Sulardi, “Pao An Tui Jakarta 1947-1949”. Skripsi S-1, Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1994, hlm. 52-63.
3

Pada awalnya Kwee Kek Beng bersimpati kepada perjuangan nasionalisme Indonesia
karena sepaham dengan “ideologi Tiongkok”-nya dimana imperialisme merupakan musuh
yang harus dihalau. Ketika revolusi kemerdekaan pecah pada tahun 1946 dan
menimbulkan banyak korban di pihak orang-orang Tionghoa. Kwee Kek Beng menjadi
tidak bersimpati lagi terhadap kaum nasionalis Indonesia. Ia akhirnya mendukung
pembentukan Pao An Tui untuk melindungi kaum Tionghoa dari kekejaman revolusi dan
lebih percaya bahwa orang Tionghoa akan lebih aman di dalam wilayah pendudukan
Belanda. Lihat Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 125-127.
4