ANALISIS DAMPAK MARKET POWER PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT SUMATERA UTARA Diana Chalil Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Zahari Zen ( zzeinindo.net.id zahari.zeingmail.com) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Harapan ABSTRACT - Analisis Dampak Market Po

  Jurnal Keuangan &Bisnis Volume 2 No. 3, November 2010

  

ANALISIS DAMPAK MARKET POWER PADA INDUSTRI KELAPA SAWIT

SUMATERA UTARA

Diana Chalil

  Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

  

Zahari Zen

  ( zzein@indo.net.id / zahari.zein@gmail.com ) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Harapan

  

ABSTRACT

The aim of this study is to analyse the behaviour of palm oil market, particularly cooking

oil supply chain, oil palm farmers, crude palm oil (CPO) mill, refineries and cooking oil

consumers. Analysis was conducted through the New Empirical Industrial Organization (NEIO)

model, employing secondary data in the period of January 2006 to December 2008. Primary data

are collected from 60 farmers in Labuhan Batu District and Serdang Bedagai District, interviewing

60 traders and 90 buyers at the tradisional markets in Medan. Survey is also onducted toward 3

CPO mill and 3 refineries.

  Estimation results show that in general both CPO mills and refineries behave

competitively. However, on the scenario 3 show that both mill and refineries exercise successive

market oligopoly power, and of indicating a monopolistic behaviour. Such conditions are likely to

be influenced by the Government upon cooking oil price policy, which is to address the public

concern to reduce the price of cooking oil instead of improving the market structure of oil palm

industries to become a competitive market. The price of cooking oil would much cheaper than of

under regulation. Keywords: market power, NEIO approach, oil palm

LATAR BELAKANG

  Stabilisasi harga minyak goreng merupakan masalah lama yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah ini banyak dibicarakan oleh kalangan ekonom maupun Pemerintah karena minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai nilai strategis. Sebagai produk strategis, masalah yang timbul akibat kenaikan harga minyak goreng tidak hanya terbatas pada isu ekonomi, tetapi juga dapat merambat ke masalah sosial dan politik (Susila 2005).

  Dengan peningkatan harga minyak goreng yang cukup tajam dan konstan dalam satu tahun terakhir (mulai dari bulan Mei 2007, peran Pemerintah untuk pengendalian harga menjadi sangat dibutuhkan . Berbagai kebijakan dan intervensi telah dilakukan Pemerintah sejak tahun 1970an (Larson 1996). Salah satunya adalah kebijakan Domestic

  Market Obligation , yang mewajibkan

  produsen CPO (yang merupakan bahan baku utama pembuatan minyak goreng) dari perusahaan perkebunan negara dan swasta untuk mendistribusikan sebagian dari outputnya ke pasar domestik dengan harga yang relatif murah. Sayangnya, program stabilisasi harga tersebut pada akhirnya gagal (Drajat, 2007). Kelihatannya hal tersebut terjadi karena Pemerintah tidak mempunyai cukup informasi yang dibutuhkan.

  Gausch dan Hahn (1999) menyarankan agar kebijakan yang diambil mencapai hasil yang diharapkan harus didukung informasi yang relevan dan memadai. Kebijakan yang hanya didasari pada informasi yang terbatas umumnya akan memberikan hasil yang kurang efisien dan kurang efektif. Dalam kasus ini, perilaku pasar merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan untuk melakukan intervensi harga pasar. Akan tetapi kajian tentang perilaku pasar domestik pada industri kelapa sawit masih sangat terbatas. Untuk mengisi kesenjangan tersebut, penulis merasa bahwa penelitian mengenai perilaku pasar di industri kelapa sawit perlu dilakukan, sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dalam

  2010 Diana Chalil dan Zahari Zen

  menetapkan intervensi pasar yang lebih optimal, namun tidak menimbulkan perilaku monopoli.

  pengolahan yang umumnya sangat spesifik, di mana bahan mentah yang digunakan sama sekali tidak dapat disubstitusikan dengan bahan mentah yang lain. Akibatnya, demand menjadi sangat inelastis, sehingga penjual dapat meningkatkan harga di atas biaya marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak permintaan. Monopsony atau oligopsony

TUJUAN PENELITIAN

  (2) Menganalisis dampak perilaku pasar pada kesejahteraan petani perkebunan rakyat dan konsumen minyak goreng melalui perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen. Hasil análisis diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan bagi

  dapat berasal karakteristik hasil produk pertanian yang bersifat bulky sehingga biaya transportasi menjadi mahal. Bahan mentah tersebut juga perishable (mudah rusak), sehingga petani terpaksa menjual hasil panennya hanya ke pengolah yang letaknya berdekatan dengan usahataninya. Di samping itu, untuk beberapa komoditi pertanian, petani berkonsentrasi hanya pada 1 jenis produk akibat tingginya sunk costs yang menjadi exit

  market power . Akibatnya, harga domestik

  dari kebutuhan dana investasi untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Di samping itu, kuatnya integrasi vertikal di antara PKS dan pabrik minyak goreng memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk mengatur distribusi produksinya. Sedangkan petani-petani kelapa sawit tidak leluasa mengatur distribusi produknya. Dengan pangsa pasar yang cukup signifikan, kemampuan mengatur distribusi produksi tersebut dapat memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk mempengaruhi harga dan mempraktekkan

  costs dalam industri kelapa sawit dapat terlihat

  CPO sangat bulky dan harus diolah dalam waktu 24 jam agar kualitas CPO yang dihasilkan tetap terjaga. Ketiga, besarnya sunk

  Crude Oil . Kedua, TBS sebagai bahan baku

  Pada industri kelapa sawit terdapat indikasi adanya ketiga faktor tersebut diatas, baik karakter pabrik pengolahan yang spesifik, sifat produk yang bulky dan perishable, serta tingginya sunk costs . Pertama adalah walaupun minyak goreng kelapa merupakan substitusi minyak goreng kelapa sawit, dengan desain PKS yang sedemikian rupa, penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng tidak dapat disubstitusi oleh Coconut

  supply menjadi sangat inelastis, sehingga pembeli dapat menurunkan harga di bawah benefit marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak penawaran.

  barriers bagi petani tersebut. Akibatnya,

  power

  stakeholders .

  Tujuan penelitan secara umum adalah mengetahui struktur pasar pada industri kelapa sawit di Indonesia. Secara spesifik, tujuannya adalah untuk (1) Menganalisis perilaku pasar TBS, CPO dan minyak goreng menggunakan model market power index, baik oligopoly

  power , oligopsony power, successive oligopoly power dan successive oligopsony power dan

  ekonom, mulai dari industri hulu sampai hilir (Sexton dan Zhang, 2001). Pada industri hulu (pasar bahan mentah) monopoly atau oligopoly

  power telah banyak dibicarakan di kalangan

  Khusus untuk hasil pertanian, isu market

  outputnya dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan biaya marjinalnya atau pembeli akan membeli dengan harga yang lebih rendah daripada benefit marjinalnya.

  power , di mana penjual dapat menjual

  Salah satu karakteristik utama dalam pasar persaingan adalah baik penjual maupun pembeli bertindak sebagai penerima harga (price taker). Dalam pasar yang bersaing tidak ada penjual atau pembeli yang mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Harga pasar tidak ditentukan oleh keputusan sebuah atau sekelompok penjual atau pembeli, melainkan terbentuk dari keseimbangan seluruh supply dan demand. Penjual akan menjual outputnya dengan harga yang sama dengan biaya marjinalnya, sedangkan pembeli akan membeli barang dengan harga yang sama dengan benefit marjinalnya. Dengan demikian umumnya pasar persaingan mempunyai harga efisien. Sebaliknya, dalam pasar yang tidak bersaing penjual atau pembeli mempunyai market

  METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

  power berasal dari karakteristik pabrik

  

186 – 197 Jurnal Keuangan & Bisnis November

  P c k P k θ η

  menunjukkan biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng. Turunan pertama dari fungsi profit adalah sebagai berikut:

    

    

     

    

    

     

     

    

    

   o CPO mg CPO mg mg mg

  ξ

  inverse suplai bahan baku atau CPO, dan o

  1

  1 1 1 3 ..............................................................(1) dimana CPO CPO CPO CPO CPO

  Q P P Q  

   

  adalah elastisitas harga suplai CPO (oleh PKS), mg mg mg mg mg

  Q P P Q  

    1 η

  adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan minyak goreng oleh konsumen yang berperlaku kompetitif, dan CPO CPO CPO CPO mg

  Q q q Q

    

  θ

  c

    Q S

  tetap tinggi dan stabilisasi harga sukar untuk dicapai. Lebih jauh lagi, tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun.

  pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopsony power .

  Penentuan Lokasi dan Penentuan Sampel

  Daerah penelitian ditentukan secara

  purposive , yaitu Medan sebagai pusat

  pemasaran minyak goreng di Sumatera Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu serta Kabupaten Serdang Bedagai sebagai sentra perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Sampel ditentukan dengan dua cara. Untuk petani kelapa sawit penjual dan pembeli minyak goreng; sampel ditentukan secara random dengan rincian sebagai berikut : interview terhadap 60 petani kelapa sawit, 60 penjual minyak goreng dan 90 pembeli minyak goreng. Untuk sampel PKS dan pabrik minyak goreng, sampel juga ditentukan secara purposive, sesuai dengan izin yang diperoleh . Dari penjajakan terhadap 12 PKS dan 13 pabrik minyak goreng di Sumatera Utara hanya 3 PKS dan 2 pabrik minyak goreng yang menerima peneliti untuk dapat diwawancarai.

  Metode Analisis

  Analisis pelaku pasar dalam rantai suplai minyak goreng yang mencakup: (1) petani perkebunan rakyat kelapa sawit sebagai produsen TBS dan bertindak sebagai tandan buah segar (TBS), yang diasumsikan selalu bertindak kompetitif; (2) PKS sebagai pengolah TBS menjadi bahan setengah jadi Crude Palm Oil (CPO), yang bertindak sebagai pembeli TBS ke petani dan penjual CPO ke pabrik minyak goreng; (3) Pabrik minyak goreng sebagai pengolah CPO menjadi minyak goreng, yang bertindak sebagai pembeli CPO ke PKS dan penjual minyak goreng ke konsumen akhir; dan (4) Konsumen akhir sebagai pembeli dan pengguna bahan jadi (minyak goreng), yang diasumsikan selalu bertindak kompetitif. Dengan kata lain, hanya PKS dan pabrik minyak goreng yang dianggap mempunyai kemungkinan untuk mempraktekkan market power.

  Market power index diestimasi dengan

  menggunakan 4 skenario yaitu (1) PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power, (2) Pabrik minyak goreng dapat mempunyai

  oligopsony dan oligopoly power, (3) PKS dan

  pabrik minyak goreng dapat mempunyai

  successive oligopoly power , dan (4) PKS dan

  Prosesor, baik PKS maupaun pabrik minyak goreng, diasumsikan menggunakan teknologi fixed proportion dalam mengubah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan setengah jadi menjadi bahan jadi, sehingga:

  menunjukkan inverse demand yang dihadapi pabrik minyak goreng,

    Q k k Q k Q Q k Q CPO mg CPO 1 2 2 1 ;    Q k Q k k 3 1 2  

  atau

  CPO mg q k q q k q 3 1

  ;   .

  Q dan q adalah jumlah TBS pada tingkat pasar dan perusahaan, k 1 dan k 2 merupakan rendemen CPO dan minyak goreng, superscript TBS, CPO dan mg menyatakan tandan buah segar, crude palm oil dan minyak goreng yang merupakan output yang dihasilkan petani, pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng.

  Skenario 1: market power index pabrik

  minyak goreng diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit pabrik minyak goreng. Jika diketahui fungsi profit pabrik minyak goreng

      q k c q k Q S q k Q D o mg 1 1 3

    

  π

  , di mana

    Q D

  ,

  2010 Diana Chalil dan Zahari Zen mg mg mg mg mg Q q q Q

  power . Market power index successive oligopoly power diperoleh dari turunan

  1

  , dengan turunan pertama dari fungsi profit menjadi

  π

    P q c q q k Q D TBS CPO PKS 1 1   

  . Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan sebagai

  P

  sedangkan harga input merupakan konstanta TBS

    Q D CPO

  pertama dari fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Dalam hal ini harga minyak goreng ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama, harga CPO ditentukan oleh PKS yang dapat mempunyai oligopoly power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar input. Dengan kata lain, harga output yang merupakan variabel yaitu invers demand dari perusahaan minyak goreng

  minyak goreng yang berada pada rantai produsen minyak goreng mempunyai oligopoly

  1 P 1 c P k TBS CPO PKS CPO

  Skenario 3: baik PKS maupun produsen

  menjual CPO ke pabrik minyak goreng. Nilai 0 menunjukkan kondisi persaingan sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan kondisi monopsoni atau monopoli.

  oligopsony market power dan oligopoly market power PKS dalam membeli TBS ke petani dan

  mengukur

  ξ

     1 , PKS

  dan

  θ

     1 , PKS

  ξ adalah conjectural elasticities PKS.

  1

        

   

    1 3 P 1 c P k k CPO mg mg mg      

  1 η ξ

  P 1 1 1

   CPO PKS TBS CPO k P c

     

     

  .....................................................................(4) Dengan harga CPO yang telah ditetapkan PKS sebesar

  η ξ

    

       

  , dengan turunan pertamanya sebagai berikut:

     

  π

    

    q k c q k P q k Q D CPO o mg mg 1 1 3

  . Dengan demikian, fungsi profit pabrik minyak goreng dapat dinyatakan sebagai berikut:

  P

  sedangkan harga input merupakan konstanta CPO

    Q D mg

  .....................................................................(3) Tahap kedua, harga minyak goreng ditentukan oleh pabrik minyak goreng yang juga dapat mempunyai oligopoly power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar input. Dengan kata lain, harga output juga merupakan variabel yaitu invers demand minyak goreng

  η ξ

       

  

  Q q q Q

    

  diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit PKS. Diketahui fungsi profit PKS

  menunjukkan biaya marjinal pengolahan dari TBS menjadi CPO. Turunan pertama dari fungsi profit adalah sebagai berikut:

  c 1

  merupakan inverse suplai bahan baku atau TBS, dan o

    Q S TBS

  menunjukkan inverse demand yang dihadapi PKS,

    Q D CPO

  di mana

  ,

      q c q Q S q k Q D TBS o CPO PKS 1 1    π

  Skenario 2: market power index PKS

    

  dalam membeli CPO ke PKS dan menjual minyak goreng CPO ke konsumen. Nilai 0 menunjukkan kondisi persaingan sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan kondisi monopsoni atau monopoli.

  oligopoly market power pabrik minyak goreng

  mengukur oligopsony market power dan

  ξ

     1 , mg

  dan

  θ

     1 , mg

  adalah conjectural elasticities pabrik minyak goreng.

  ξ

    

     

  , CPO CPO CPO CPO PKS

  adalah elastisitas harga suplai TBS, CPO CPO CPO CPO CPO

  θ

  

   

  Q q q Q

  adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan CPO oleh pabrik minyak goreng yang berperlaku kompetitif, dan PKS PKS PKS PKS PKS

  η

    1

   

  Q P P Q

   

    

  Q P P Q  

  ...............................................................(2) di mana TBS TBS TBS TBS TBS

  η ξ

  TBS 1 P 1 c P k TBS PKS CPO PKS CPO θ

   1 1 1

    

    

     

     

    

  atau

  • – Desember 2008, jumlah suplai CPO (Y dalam kg) diregresikan terhadap harga domestik riil CPO (x1 dalam Rp/kg), harga internasional riil CPO (x2 dalam Rp/kg), harga domestik riil minyak goreng (x3 dalam Rp/kg) dan variabel dummy hari besar tahun baru, bulan Ramadhan/ puasa dan hari raya idul fitri (D) (Lampiran 1). Alasan penggunaan nilai riil

  θ 

     

     

       

    o CPO mg CPO mg P c k P k θ

  1 1 3

  .....................................................................(6) Tahap kedua, harga TBS ditentukan oleh

  PKS yang juga dapat mempunyai oligopsony

  power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar

  output. Dengan kata lain, harga input juga merupakan variabel yaitu invers supply TBS

    Q S TBS

  sedangkan harga output merupakan konstanta CPO

  P

  atau

    , c Q S P CPO mg CPO

  yang menunjukkan inverse supply CPO oleh PKS, given market power index pabrik minyak goreng dan biaya marjinal pengolahan CPO menjadi minyak goreng. Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan sebagai

  π

      q c q Q S q k Q P TBS CPO PKS 1 1    π

  , dengan turunan pertama dari fungsi profit menjadi: .....................................................................(7) Dengan harga CPO given market power index pabrik minyak goreng pada Persamaan 4, maka Persamaan 7 dapat dinyatakan sebagai .....................................................................(8)

  Untuk mendapatkan harga riil harga- harga TBS, CPO dan Minyak Goreng yang barasal dari data time series dilakukan deflasi dengan tahun dasar 2003

  HASIL DAN PEMBAHASAN Skenario1 Elastisitas Suplai CPO oleh PKS

  Dengan menggunakan data time series bulanan pada periode Januari 2006

  untuk semua variabel harga adalah untuk menghindari regresi yang palsu (spurious

  regression ) akibat penggunaan data time series . Hasil estimasinya adalah sebagai

  berikut: Ŷ = 7863755,09 + 454609,37 X 1 – 339747,94

  X 2 (10.56) (6.70) (-6.65)

  R 2 = 0.58 F hit = 22.79 ....................................

  (9) Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas dapat menerangkan sekitar 60% variasi jumlah suplai CPO domestik, 40% lainnya diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Harga domestik riil minyak goreng dan hari besar kelihatannya tidak mempengaruhi jumlah suplai domestik, sehingga dengan metode

  backward SPSS 15 mengeluarkan kedua o TBS PKS TBS CPO P c k P 1 1 1 

     

     

  , dengan turunan pertamanya sebagai

    

  

186 – 197 Jurnal Keuangan & Bisnis November

TBS o PKS TBS CPO mg mg

     

  P c k P c k k 1 1 1 3

  1

  1     

      

       

       

    η θ

  θ   1

  , c Q D P PKS CPO CPO

  ξ 

  , yang menunjukkan inverse demand CPO oleh pabrik minyak goreng, given market power index PKS dan biaya marjinal pengolahan TBS menjadi CPO maka Persamaan 4 dapat ditulis menjadi

         

       

     

       

    Q q k c q k S q k P CPO o mg mg 1 1 3

  dari turunan pertama dari fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Analog dengan skenario 3, dalam hal ini harga TBS juga ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama, harga CPO ditentukan oleh pabrik minyak goreng yang dapat mempunyai

  . Dengan demikian, fungsi profit pabrik minyak goreng dapat dinyatakan sebagai

  P

  sedangkan harga output merupakan konstanta mg

    Q S CPO

  dalam pasar output. Dengan kata lain, harga input yang merupakan variabel yaitu invers supply dari PKS

  oligopsony power tetapi berlaku kompetitif

  index successive oligopsony power diperoleh

       

  maupun produsen minyak goreng yang berada pada rantai produsen minyak goreng mempunyai oligopsony power. Market power

  Skenario 4 : Pada skenario ini baik PKS

  .....................................................................(5)

  η ξ η ξ

  1 1 c k P c P k CPO PKS TBS mg mg mg

     1 1 1 3

  η θ

  2010 Diana Chalil dan Zahari Zen

  variabel tersebut dari model. Secara serempak, ketiga variabel tersebut secara nyata mempengaruhi jumlah suplai CPO di pasar domestik. Harga riil CPO, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah suplai CPO. Harga domestik berpengaruh positif sedangkan internasional negatif. Artinya kenaikan harga CPO di pasar domestik meningkatkan insentif produsen CPO untuk meningkatkan suplai CPO nya ke pasar domestik, sedangkan harga kenaikan harga CPO di pasar internasional meningkatkan insentif produsen untuk meningkatkan jumlah ekspor CPO dan mengurangi suplainya ke pasar domestik.

  Dengan menggunakan koefisien regresi harga riil CPO di pasar domestik dan harga serta jumlah suplai rata-rata diperoleh nilai elastisitas suplai sebesar 1,8. Artinya, keputusan produsen CPO dalam menentukan jumlah suplai CPO di pasar domestik dapat dikatakan cukup elastis. Hal tersebut dimungkinkan karena produsen CPO telah berintegrasi vertikal dengan perusahaan minyak goreng, baik sebagai milik sendiri atau melalui kerjasama. Dengan kondisi demikian, produsen CPO cukup leluasa memilih pasar tujuannya, apakah ke pasar domestik untuk diolah menjadi minyak goreng atau langsung diekspor dalam bentuk CPO. Namun demikian, perubahan suplainya relatif kecil. Lebih spesifiknya, peningkatan harga riil CPO sekitar Rp 450.000,-/ kg di pasar domestik atau Rp 340.000,-/kg di pasar internasional dapat meningkatkan suplai CPO di pasar domestik sebesar 1 kg/ bulan. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, permintaan CPO di pasar domestik yang relatif tetap karena sebagian besar peruntukannya adalah untuk minyak goreng yang merupakan bahan pokok. Kedua, kapasitas produksi pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan produsen minyak goreng juga relatif tetap. Ketiga, penawaran CPO lebih ditentukan oleh panen yang dihasilkan. Sementara jumlah panen lebih ditentukan oleh umur tanaman.

  Elastisitas permintaan minyak goreng

  Dalam model ini, data diperoleh dari 90 sampel yang mengkonsumsi 2 jenis minyak goreng, curah dan bermerek (Lampiran 13). Karena sebagian besar sampel (sekitar 71% atau 60 sampel) menggunakan minyak goreng curah, maka dipilih regresi untuk minyak goreng curah. Di samping harga (X 1 dalam

  Rp/kg), pendapatan (X 2 dalam Rp/bulan), jumlah tanggungan (X 3 dalam orang) dan pendidikan (X 4 dalam tahun) juga dimasukkan sebagai variabel bebas dalam fungsi konsumsi yang akan diestimasi.

  Sebelum dilakukan estimasi, data dibersihkan dari outlier yang berasal dari data konsumsi dan pendapatan. Dengan metode backward SPSS 15, variabel jumlah tanggungan dikeluarkan dari estimasi akhir. Kemungkinan jumlah tanggungan tidak berpengaruh karena penggunaan minyak goreng dilakukan untuk seluruh keluarga. Jumlah pemakaian yang dibutuhkan umumnya tidak terlalu banyak berbeda untuk keluarga dengan jumlah 2 sampai 7 orang anggota keluarga. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut:

  = 12,458– 0,001 X 1 +1,25-06 X 2 -0,169 X 5 (2,853) (-1,855) (3,249) (-2,218)

  R 2 = 0,239 F hit = 5,646 .......................(10) Dari hasil estimasi akhir (model ketiga) diperoleh nilai R 2 sebesar 0,239. Artinya, sekitar 25% variasi permintaan minyak goreng di pasar domestik dapat diterangkan oleh variasi harga minyak goreng, pendapatan konsumen dan tingkat pendidikan.

  Pengamatan di lapang dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng di Indonesia relatif meningkat pada saat hari besar seperti bulan puasa, lebaran atau tahun baru. Di samping itu, intervensi Pemerintah yang berkaitan dengan jumlah dan harga minyak goreng, seperti operasi pasar juga dapat mempengaruhi tingkat pembelian masyarakat. Namun demikian, karena data yang digunakan merupakan data cross section, maka penambahan variabel tersebut tidak dapat dilakukan.

  Dari hasil estimasi terlihat bahwa walaupun harga dan pendapatan konsumen berpengaruh secara signifikan, namun pengaruhnya tidak besar. Koefisien variabel harga menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp1000,- akan meningkatnya konsumsi minyak goreng sebanyak

  1 kg/keluarga/ bulan. Dengan kata lain, sebagai bahan pokok, minyak goreng dikonsumsi

  

186 – 197 Jurnal Keuangan & Bisnis November

  hampir setiap hari oleh keluarga Indonesia, termasuk di Medan, namun dalam jumlah yang relatif tetap. Koefisien variabel pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan hampir tidak berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng. Kecilnya pengaruh tersebut dapat merupakan efek dari pemberian subsidi Pemerintah pada masyarakat miskin. Ditambah dengan sifat minyak goreng sebagai bahan pokok, maka pengaruh pendapatan terhadap konsumsi menjadi sangat kecil. Koefisien variabel pendidikan menunjukkan hubungan yang negatif. Semakn tinggi pendidikan, maka semakin kecil permintaan minyak goreng. Umumnya, alasan utamanya adalah pertimbangan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak informasi yang telah didapatkannya, termasuk mengenai minyak goreng.

  Dengan menggunakan koefisien variabel harga (P) sebesar -0.001 serta harga dan jumlah konsumsi rata-rata minyak goreng, yang masing-masing sebesar 5,17 dan 7935 maka diperoleh perkiraan elastisitas sebesar - 1,53. Hal tersebut mengindikasikan bahwa permintaan minyak goreng curah cukup elastis. Kemungkinan, hal tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik minyak goreng yang dapat disimpan lama. Dengan demikian, walaupun minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang secara umum hampir setiap hari dikonsumsi, karena dapat disimpan, konsumen dapat mengurangi pembeliannya pada saat harga mahal dan menambah stoknya pada saat harga murah.

  Indeks Market Power

  Dari data primer diketahui bahwa nilai rendemen TBS (k 1 ) dan CPO (k 2 ) masing- masing sebesar 21,98% dan 77,95%. Dengan asumsi keseimbangan jangka panjang, biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng didekati dari biaya riil rata-ratanya sebesar Rp0,167/kg, sedangkan harga riil rata- rata CPO dan harga rata-rata minyak goreng masing-masing sebesar Rp36,04,-/kg dan Rp34,41,-/kg. Selanjutnya, dengan menggunakan hasil perhitungan elastisitas penawaran CPO dan elastisitas permintaan minyak goreng yang telah dihitung, diperoleh persamaan 9,38 = -,51 ξ mg - 19,97 θ mg

  Diketahui bahwa market power index mempunyai kisaran nilai antara 0 dan 1, sehingga persamaan tersebut tidak dapat terpenuhi. Hal tersebut dapat diterangkan dari marjin harga riil rata-rata dari CPO ke minyak goreng yang negatif (Rp34,41,- - Rp36,04,-), sementara nilai market power index terendah (nol) tercapai pada saat marjin harga sama dengan nol. Hal tersebut diasumsikan karena dalam jangka panjang, untuk perusahaan yang bertindak rasional, marjin negatif akan membuat perusahaan keluar dari pasar.

  Namun demikian, untuk pasar minyak goreng di Indonesia, hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan harga minyak goreng sering diintervensi Pemerintah. Salah satunya adalah dengan pemberian subsidi, yang dapat diberikan secara langsung ke konsumen akhir atau secara tidak langsung ke produsen minyak goreng. Contohnya pada tahun periode 2007- 2008 subsidi diberikan kepada pengusaha atau produsen minyak goreng yang melaksanakan operasi pasar untuk masyarakat dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng, baik dalam bentuk Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, Pajak terutang tidak dipungut, atau PPN ditanggung Pemerintah. Dengan demikian, marjin yang negatif belum tentu berarti perusahaan minyak goreng mengalami kerugian dan harus keluar dari pasar, karena pasar tidak bekerja secara kompetitif.

  Di sisi lain, dari studi data sekunder, hasil wawancara dan observasi di lapang diperoleh keterangan bahwa pabrik minyak goreng berintegrasi dengan PKS dan/ atau perkebunan kelapa sawit, baik sebagai kebun milik perusahaan yang sama atau kerjasama dengan pihak lain. Dengan integrasi tersebut, pabrik minyak goreng membeli CPO dengan Harga Pokok Produksi (HPP). Dari kedua hal tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perusahaan minyak goreng berlaku kompetitif, baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual.

  Skenario 2 Elastisitas Suplai CPO oleh PKS

  Dengan menggunakan data time series bulanan dari perusahaan yang mempunyai PKS dan pabrik minyak goreng (vertikal integrasi), jumlah suplai CPO (Y dalam kg) diregresikan terhadap harga domestik riil CPO (x1 dalam Rp/kg), harga internasional riil CPO (x2 dalam Rp/kg), harga domestik riil minyak goreng (x3 dalam Rp/kg) dan variabel dummy hari besar tahun baru, bulan Ramadhan puasa dan hari raya idul fitri (D) (Lampiran 15). Alasan penggunaan nilai riil untuk semua

  2010 Diana Chalil dan Zahari Zen

  variabel harga adalah untuk menghindari regresi yang palsu (spurious regression) akibat penggunaan data time series. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut: Ŷ = 7863755,09 + 454609,37 X 1 – 339747,94

  X 2 (10.56) (6.70) (-6.65)

  R 2 = 0.58 F hit = 22.79 .......................(11) Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas dapat menerangkan sekitar 60% variasi jumlah suplai CPO domestik, 40% lainnya diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Harga domestik riil minyak goreng dan hari besar kelihatannya tidak mempengaruhi jumlah suplai domestik, sehingga dengan metode

  backward SPSS 15 mengeluarkan kedua variabel tersebut dari model.

  Secara serempak, ketiga variabel tersebut secara nyata mempengaruhi jumlah suplai CPO di pasar domestik. Harga riil CPO, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah suplai CPO. Harga domestik berpengaruh positif sedangkan internasional negatif. Artinya kenaikan harga CPO di pasar domestik meningkatkan insentif produsen CPO untuk meningkatkan suplai CPO nya ke pasar domestik, sedangkan harga kenaikan harga CPO di pasar internasional meningkatkan insentif produsen untuk meningkatkan jumlah ekspor CPO dan mengurangi suplainya ke pasar domestik.

  Dengan menggunakan koefisien regresi harga riil CPO di pasar domestik dan harga serta jumlah suplai rata-rata diperoleh nilai elastisitas suplai sebesar 1,8. Artinya, keputusan produsen CPO dalam menentukan jumlah suplai CPO di pasar domestik dapat dikatakan cukup elastis. Hal tersebut dimungkinkan karena produsen CPO telah berintegrasi vertikal dengan perusahaan minyak goreng, baik sebagai milik sendiri atau melalui kerjasama. Dengan kondisi demikian, produsen CPO cukup leluasa memilih pasar tujuannya, apakah ke pasar domestik untuk diolah menjadi minyak goreng atau langsung diekspor dalam bentuk CPO. Namun demikian, perubahan suplainya relatif kecil. Lebih spesifiknya, peningkatan harga riil CPO sekitar Rp 450.000,-/ kg di pasar domestik atau Rp 340.000,-/kg di pasar internasional dapat meningkatkan suplai CPO di pasar domestik sebesar 1 kg/ bulan. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi beberapa hal.

  Pertama, permintaan CPO di pasar domestik yang relatif tetap karena sebagian besar peruntukannya adalah untuk minyak goreng yang merupakan bahan pokok. Kedua, kapasitas produksi pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan produsen minyak goreng juga relatif tetap. Ketiga, penawaran CPO lebih ditentukan oleh panen yang dihasilkan. Sementara jumlah panen lebih ditentukan oleh umur tanaman.

  Elastisitas permintaan minyak goreng

  Dalam model ini, data diperoleh dari 90 sampel yang mengkonsumsi 2 jenis minyak goreng, curah dan bermerek (Lampiran 2). Karena sebagian besar sampel (sekitar 71% atau 60 sampel) menggunakan minyak goreng curah, maka dipilih regresi untuk minyak goreng curah. Di samping harga (X 1 dalam

  Rp/kg), pendapatan (X 2 dalam Rp/bulan), jumlah tanggungan (X 3 dalam orang) dan pendidikan (X 4 dalam tahun) juga dimasukkan sebagai variabel bebas dalam fungsi konsumsi yang akan diestimasi. Sebelum dilakukan estimasi, data dibersihkan dari outlier yang berasal dari data konsumsi dan pendapatan. Dengan metode backward SPSS 15, variabel jumlah tanggungan dikeluarkan dari estimasi akhir. Kemungkinan jumlah tanggungan tidak berpengaruh karena penggunaan minyak goreng dilakukan untuk seluruh keluarga. Jumlah pemakaian yang dibutuhkan umumnya tidak terlalu banyak berbeda untuk keluarga dengan jumlah 2 sampai 7 orang anggota keluarga. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut: Ŷ = 12,458– 0,001 X 1 +1,25-06 X 2 -0,169 X 5

  (2,853) (-1,855) (3,249) (-2,218) R 2 = 0,239 F hit = 5,646 ..................(12)

  Dari hasil estimasi akhir (model ketiga) diperoleh nilai R 2 sebesar 0,239. Artinya, sekitar 25% variasi permintaan minyak goreng di pasar domestik dapat diterangkan oleh variasi harga minyak goreng, pendapatan konsumen dan tingkat pendidikan. Pengamatan di lapang dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng di Indonesia relatif meningkat pada saat hari besar seperti bulan puasa, lebaran atau tahun baru. Di samping itu, intervensi Pemerintah yang berkaitan dengan

  

186 – 197 Jurnal Keuangan & Bisnis November

  jumlah dan harga minyak goreng, seperti operasi pasar juga dapat mempengaruhi tingkat pembelian masyarakat. Namun demikian, karena data yang digunakan merupakan data cross section, maka penambahan variabel tersebut tidak dapat dilakukan.

  Dari hasil estimasi terlihat bahwa walaupun harga dan pendapatan konsumen berpengaruh secara signifikan, namun pengaruhnya tidak besar. Koefisien variabel harga menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp1000,- akan meningkatnya konsumsi minyak goreng sebanyak

  1 kg/keluarga/ bulan. Dengan kata lain, sebagai bahan pokok, minyak goreng dikonsumsi hampir setiap hari oleh keluarga Indonesia, termasuk di Medan, namun dalam jumlah yang relatif tetap. Koefisien variabel pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan hampir tidak berpengaruh terhadap konsumsi minyak goreng. Kecilnya pengaruh tersebut dapat merupakan efek dari pemberian subsidi Pemerintah pada masyarakat miskin. Ditambah dengan sifat minyak goreng sebagai bahan pokok, maka pengaruh pendapatan terhadap konsumsi menjadi sangat kecil. Koefisien variabel pendidikan menunjukkan hubungan yang negatif. Semakn tinggi pendidikan, maka semakin kecil permintaan minyak goreng. Umumnya, alasan utamanya adalah pertimbangan kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin banyak informasi yang telah didapatkannya, termasuk mengenai minyak goreng.

  Dengan menggunakan koefisien variabel harga (P) sebesar -0.001 serta harga dan jumlah konsumsi rata-rata minyak goreng, yang masing-masing sebesar 5,17 dan 7935 maka diperoleh perkiraan elastisitas sebesar - 1,53. Hal tersebut mengindikasikan bahwa permintaan minyak goreng curah cukup elastis. Kemungkinan, hal tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik minyak goreng yang dapat disimpan lama. Dengan demikian, walaupun minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang secara umum hampir setiap hari dikonsumsi, karena dapat disimpan, konsumen dapat mengurangi pembeliannya pada saat harga mahal dan menambah stoknya pada saat harga murah.

  Indeks Market Power

  Dari data primer diketahui bahwa nilai rendemen TBS (k 1 ) dan CPO (k 2 ) masing- masing sebesar 21,98% dan 77,95%. Dengan asumsi keseimbangan jangka panjang, biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng didekati dari biaya riil rata-ratanya sebesar Rp0,167/kg, sedangkan harga riil rata- rata CPO dan harga rata-rata minyak goreng masing-masing sebesar Rp36,04,-/kg dan Rp34,41,-/kg.

  Selanjutnya, dengan menggunakan hasil perhitungan elastisitas penawaran CPO dan elastisitas permintaan minyak goreng yang telah dihitung, diperoleh persamaan 9,38 = - ,51 ξ mg - 19,97 θ mg . Diketahui bahwa market

  power index mempunyai kisaran nilai antara 0

  dan 1, sehingga persamaan tersebut tidak dapat terpenuhi. Hal tersebut dapat diterangkan dari marjin harga riil rata-rata dari CPO ke minyak goreng yang negatif (Rp34,41,- - Rp36,04,-), sementara nilai market power index terendah (nol) tercapai pada saat marjin harga sama dengan nol. Hal tersebut diasumsikan karena dalam jangka panjang, untuk perusahaan yang bertindak rasional, marjin negatif akan membuat perusahaan keluar dari pasar. Namun demikian, untuk pasar minyak goreng di Indonesia, hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan harga minyak goreng sering diintervensi Pemerintah. Salah satunya adalah dengan pemberian subsidi, yang dapat diberikan secara langsung ke konsumen akhir atau secara tidak langsung ke produsen minyak goreng. Contohnya pada tahun periode 2007- 2008 subsidi diberikan kepada pengusaha atau produsen minyak goreng yang melaksanakan operasi pasar untuk masyarakat dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng, baik dalam bentuk Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, Pajak terutang tidak dipungut, atau PPN ditanggung Pemerintah. Dengan demikian, marjin yang negatif belum tentu berarti perusahaan minyak goreng mengalami kerugian dan harus keluar dari pasar.

  Di sisi lain, dari studi data sekunder, hasil wawancara dan observasi diperoleh keterangan bahwa pabrik minyak goreng berintegrasi dengan PKS dan/ atau perkebunan kelapa sawit, baik sebagai kebun milik perusahaan yang sama atau kerjasama dengan pihak lain. Dengan integrasi tersebut, pabrik minyak goreng membeli CPO dengan Harga Pokok Produksi (HPP). Dari kedua hal tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perusahaan minyak goreng berlaku kompetitif, baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual.

  2010 Diana Chalil dan Zahari Zen

  Gambar 1. Pengaruh subsidi yang mengakibatkan PCM positif

  1 PCM

  PCM

Dokumen yang terkait

Peranan Analisis SWOT Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

2 48 55

Laporan Analisis Swot ( Strenghts, Weaknesess, Opportunities, Threats) Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

1 40 58

Peranan Analisis Swot Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

13 142 57

BAB II PROFIL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Singkat Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara - Peranan Tata Kerja Bagian Akademik Terhadap Kinerja Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 16

BAB II PROFIL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas Fakultas Ekonomi USU - Efisiensi Kerja pada Bagian Kemahasiswaan Fakulta Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 14

BAB II FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA - Pengawasan Intern Aktiva Tetap pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 0 10

BAB II FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Singkat Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara - Peranan Sistem Informasi Akuntansi Atas Aktiva Tetap Dalam Pengambilan Keputusan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 17

BAB II FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Singkat Fakultas Ekonomi USU - Pengendalian Internal Atas Biaya Operasional Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 18

BAB II FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Singkat Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara - Fungsi Anggaran Kas Sebagai Alat Perencanaan Dan Pengawasan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 18

BAB II FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara - Peranan Sistem Informasi Akuntansi dalam Meningkatkan Efektifitas Pengendalian Intern Terhadap Aset Tetap Milik Fakultas Ekonomi Sumatera U

0 0 15