BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Aktivitas Pasar Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pasar

  2.1.1 Pengertian pasar Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisonal, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pasar adalah tempat yang ditetapkan Pemerintah Daerah sebagai tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk melaksanakan transaksi dimana proses jual beli terbentuk, yang menurut kelas mutu pelayanan dapat digolongkan menjadi pasar tradisional dan pasar modern dan menurut sifat pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi eceran dan pasar perkulakan/grosir. Pengertian pasar tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los/counter, dan lemprakan yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah dan koperasi dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dengan proses jual beli melalui tawar menawar.

  2. Pasar modern adalah pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta dan atau koperasi dimana pengelolaanya dilaksanakan secara modern dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada disatu tangan, bermodal relatif kuat dan dilengkapi label yang pasti.

  9

2.1.2 Tipe dan ciri-ciri pasar

  10 Bangunan pasar adalah semua bangunan didalam pasar dengan bentuk apapun juga. Kios adalah bagian dari bangunan yang satu sama lain dibatasi dengan dinding serta dapat ditutup. Los adalah bagian dari bangunan pasar yang merupakan bangunan beratap, baik dengan penyekat maupun tidak, yang digunakan untuk menjajakan barang-barang dagangan.

  Menurut Vagale (1972) dalam Rizon PU (1977), pasar memiliki karakter yang berbeda berdasarkan:

  1. Skala Transaksi (the scale of transaction) a.

  Skala Kota, adalah pasar yang ruang lingkup transaksinya meliputi wilayah kota.

  b.

  Skala Wilayah, adalah pasar yang ruang lingkup transaksinya meliputi beberapa lingkungan pemukiman di sekitar pasar tersebut dan barang yang diperdagangkan lebih lengkap dari pada pasar lingkungan.

  c.

  Skala Lingkungan, adalah pasar yang ruang lingkup pelayanannya meliputi satu lingkungan pemukiman di sekitar pasar tersebut dan jenis barang yang diperdagangkan terutama kebutuhan sehari-hari.

  2. Tipe Komoditas (type of comodity)

  Berdasarkan barang-barang konsumsi yang dibeli untuk dikonsumsikan di beberapa wilayah. a.

  Sistem Pengelolaannya (administration) 1.

  Kelompok (dikelola bersama-sama).

  2. Individu (pedagang eceran).

  b.

  Periodesasi (perodicity) 1.

  Siklus musiman 2. Siklus non musiman c. Waktu Operasi (nature of growth) 1.

  Pasar siang hari. Yang dimaksud dengan pasar siang adalah pasar yang kegiatannya antara pukul 05.00 s.d. 18.00 WIB.

  2. Pasar malam hari. Yang dimaksud dengan pasar malam hari adalah pasar yang kegiatannya antara pukul 18.00 s.d. 05.00 WIB.

  3. Pasar siang malam. Yang dimaksud dengan pasar siang malam adalah pasar yang kegiatannya sepanjang hari.

  d.

  Kepemilikan Tanah dan Bangunan (ownership of land and building) Kepemilikan tanah dan bangunan adalah Pemerintah, sedangkan pedagang selaku pengguna dengan sistem sewa (membayar retribusi).

  Klasifikasi Pasar berdasarkan sifat kegiatan dan jenis dagangan sebagaimana terdiri dari:

  1. Pasar eceran adalah pasar yang menjual berbagai jenis barang dalam jumlah kecil misalnya: per ikat, per butir, per buah, per ekor, per kilo dan lain-lain.

  12 2. Pasar grosir adalah pasar yang menjual berbagai jenis barang dalam jumlah besar misalnya: per kwintal, per ton, per bal, per groos, per lusin dan lain-lain.

  3. Pasar induk adalah pasar yang berfungsi sebagai tempat pengumpulan, tempat pelelangan, tempat penyimpanan, tempat penyaluran barang kebutuhan sehari-hari antara lain: a.

  Pasar induk sayur mayur dan buah-buahan.

  b. pasar induk beras.

  4. Yang dimaksud dengan Pasar Khusus adalah pasar yang memperjual belikan jenis barang tertentu, antara lain: suku cadang, alat-alat teknik, ikan, ayam, kue-kue, burung. Sedangkan menurut David Dewar dan Vanessa Watson (1990), pengelompokkan tipe pasar terdapat 5 (lima) tipologi, yaitu:

  1. Besar kecilnya barang yang diperjual belikan, skala besar atau kecil (the nature of suply).

  2. Fungsi pasar dengan komoditas campuran atau komoditas tertentu (function).

  3. Bentuk linier dan nucleated market (form).

  4. Waktu operasi yaitu temporal atau permanen (time operation).

  5. Barisan pedagang informal di jalan-jalan pasar menambah penuhnya servis pada bangunan pasar (degre of formality).

  Ciri yang paling mudah diamati dari pasar menunjukkan tempat yang digunakan bagi kegiatan yang bersifat indegenous market trade sebagaimana telah dipraktekkan sejak lama. Pasar sendiri sebenarnya sangat beragam jenisnya dan pertumbuhannya memerlukan waktu yang cukup lama.

  Masing-masing pasar memantapkan peran, fungsi serta bentuknya sendiri- sendiri. Bila berfungsi sebagai pasar pengecer di satu wilayah, maka pasar yang lain berkembang menjadi pasar pengumpul dan atau menjadi pasar grosir.

  2.1.3 Tata letak (lokasi) bangunan pasar Lokasi sebuah pasar adalah merupakan faktor yang paling penting dan berpengaruh tehadap keberhasilan pasar tersebut (David Dewar dan Vanessa Watson,

  1990). Pada skala kota ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi lokasi tersebut, yaitu:

  1. Lokasi Pergerakan Populasi (Location of population movement) Pasar sangat peka pada sirkulasi dan konsentrasi dari pejalan kaki dan lalu lintas, disebut berhasil karena dekat dengan pergerakan orang banyak.

  Dengan demikian, biasanya pasar yang berada di pusat kota merupakan pasar yang sangat besar perkembangannya. Hal ini sangat wajar, karena pada lokasi pasar tersebut, banyak orang berkumpul dan mudah dicapai serta pasar tersebut menyediakan barang kebutuhan sehari-hari.

  2. Sumber Persediaan Barang (Sources of supply)

  Faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan lokasi pasar pada skala kota harus dekat dengan kiriman persediaan (is sitting of mayor sourcess of supply) sumber-sumber utama barang yang diperjual belikan serta memiliki akses mudah dikunjungi.

3. Lokasi Pembeli (Location of consumers)

  Faktor ketiga yang mempengaruhi keputusan dalam menentukan lokasi perencanaan sebuah pasar adalah kemudahan untuk melayani kebutuhan konsumen-konsumen kota. Bahwa lokasi pasar seharusnya mudah dijangkau oleh konsumen pasar, baik yang berpenghasilan tinggi (higher income) maupun yang berpenghasilan rendah (lower income). Untuk yang berpenghasilan rendah menggunakan jasa angkutan umum ataupun pejalan kaki, sehingga harus dipertimbangkan titik-titik tempat transit kendaraan umum (halte, sub terminal), juga harus memiliki areal parkir yang cukup untuk pengunjung dengan kendaraan pribadi (roda 4 dan roda 2), selain taxi stand dan mungkin juga diperlukan tempat parkir transit untuk becak, ojek dan sebagainya.

  2.1.4 Tata ruang pasar Tata ruang pasar tidak dapat terlepas dari penataan komoditi barang dagangan serta ruang-ruang yang terpinggirkan. Penataan pasar yang berkaitan dengan komoditi barang dagangan, menurut D. Dewar dan Vanessa W dalam bukunya Urban

  Market Developing Informal Retailing (1990), dibedakan penempatannya sesuai sifat-

  14 sifat barang tersebut. Barang-barang yang mempunyai karakter hampir sama seperti buah-buahan dan sayur-sayuran ditempatkan pada tempat yang berdekatan dengan daging, ikan, telur dan sebagainya.

  Menurut D. Dewar dan Vanessa W, penempatan barang-barang yang memiliki karakter sejenis ini dengan alasan, sebagai berikut:

  1. Setiap barang membutuhkan lingkungan yang spesifik untuk mengoptimalkan penjualannya, seperti butuh pencahayaan.

  2. Setiap barang mempunyai efek samping yang berlainan, seperti bau dan pandangan.

  3. Setiap barang mempunyai karakter penanganan, seperti tempat bongkarnya, drainase, pencucian dan sebagainya.

  4. Para konsumen/pembeli dengan mudah dapat memilih dan membandingkan harganya.

  5. Perilaku pembeli sangat beragam, konsentrasi dari sebagian barang- barang dan pelayanan memberikan efect image dari para konsumen.

  Berkaitan dengan pemanfaatan fungsi ruang, problem yang sangat berhubungan dengan lay out fisik ruang pasar adalah problem spatial

  marginalization . Lay out ini berkaitan dengan pergerakan populasi pengunjung di

  dalam pasar dan berhubungan dengan tata ruang/kios-kiosnya. Penyebaran dari pergerakan pedestrian dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu: lingkungan, orientasi dari pasar pada pola sirkulasi pedestrian yang dominan dan kontak visual (David Dewar dan Vanessa Watson, 1990). Dari pergerakan/sirkulasi di dalam pasar akan berpengaruh pada sering atau tidaknya los/kios yang dikunjungi atau dilewati oleh pengunjung, sehingga di dalam pasar sering dijumpai tempat yang tidak/kurang dikunjungi (dead spots).

  Menurut Nelson (1958) karakter pilihan lokasi usaha dari aspek konsumen (pembeli) agar transaksi perdagangan merupakan hasil pilihan pembeli terhadap faktor-faktor daya tarik dan penghambat dari fasilitas perdagangan yang ada, antara lain: 1.

  Ketersediaan barang dagangan.

  2. Keuntungan harga unit retail, standard, harga kompetitif, dampak promosi, penjualan khusus.

  3. Kenyamanan tempat penjualan.

  4. Kemudahan: transportasi umum (biaya, waktu frekwensi), transportasi pribadi (parkir, aksesibilitas, kondisi lalu lintas, jarak parkir).

  Sedangkan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam merencanakan los perdagangan, menyangkut tanggapan konsumen, menurut Nelson (1958), yaitu:

  1. Konsumen cenderung mengunjungi pusat perdagangan yang dominan.

  2. Konsumen tidak akan melewati suatu pusat perdagangan untuk menujupusat perdagangan lain yang mempunyai fasilitas yang sama.

  3. Konsumen akan mengunjungi pusat perdagangan terdekat dengan fasilitas yang sama.

  4. Konsumen cenderung mengikuti pola sirkulasi yang sudah umum.

  16

2.2 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

  Bangkitan dan tarikan pergerakan penduduk kota pada saat ini kecenderungannya semakin meningkat. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya kenaikan jumlah pergerakan tersebut adalah adanya peningkatan intensitas aktivitas pada suatu kota, pada hal ini ditunjukan melalui peningkatan perkembangan guna lahan yang terjadi seperti guna lahan permukiman, guna perdagangan dan jasa dan guna lahan lainnya. Adanya peningkatan jumlah pergerakan tersebut tentunya jika jumlahnya semakin besar kecenderungannya bisa menimbulkan permasalahan terutama yang terjadi pada kota-kota besar di Indonesia saat ini karena adanya over supply pada kota tersebut sehingga terjadi tundaan, kemacetan dan sebagainya.

  Kota-kota besar yang mengalami permasalahan ini tentunya banyak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti meningkatnya jumlah populasi suatu kota, dan tingginya laju urbanisasi yang akhirnya meningkatnya perkembangan tata guna lahan perkotaan. Namun seperti dikatakan dalam Tamin, (2000), bahwa timbulnya permasalahan transportasi tersebut ada bebarapa kecenderungan yang perlu diketahui, yang akan sangat mempengaruhi transportasi perkotaan, seperti berikut:

  1. Semakin jauh rata-rata pergerakan manusia setiap hari: semakin mahalnya harga tanah di pusat perkotaan menyebabkan lahan permukiman semakin bergeser ke pinggiran kota, sedangkan tempat pekerjaan cenderung semakin terpusat ke pusat perkotaan. Hal ini menyebabkan seseorang akan bergerak lebih jauh dan ebih lama untuk mencapai tempat kerja.

  Semakin jauh dan semakin lama seseorang membebani jaringan jalan, semakin tinggi pula kontribusinya terhadap kemacetan.

2. Semakin banyak wanita bekerja: tidak dapat disangkal lagi, kebutuhan keluarga pada masa sekarang tidak hanya bisa ditunjang oleh suami saja.

  Perlu ada tambahan lain, dan ini menyebabkan istri juga harus bekerja, yang berakibat semakin banyaknya pergerakan yang dilakukan oleh keluarga.

  3. Semakin banyak pelajar dan mahasiswa: kecenderungan persaingan yang semakin ketat di masa mendatang menyebabkan pendidikan berkelanjutan seperti kursus, pelatihan, pendidikan bergelar paruh waktu menjadi suatu keharusan bagi seseorang yang telah bekerja. Kecenderungan ini menyebabkan terjadi pergerakan tambahan ke pusat kota tempat biasanya pusat pendidikan berlokasi.

  4. Semakin banyak wisatawan: tingginya tekanan yang dirasakan oleh setiap orang yang tinggal di daerah perkotaan menyebabkan rekreasi menjadi suatu kebutuhan utama. Sudah tentu hal ini pun menyebabkan semakin banyaknya pergerakan.

  Tingginya laju pergerakan, yang ditunjukan dengan meningkatnya aktivitas penduduk seperti diatas, telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang semakin kompleks, karena berakibat pada besarnya permintaan lahan baik untuk keperluan permukiman maupun guna lahan lainnya, sementara cadangan lahan yang tersedia terbatas sehingga nilai lahan berfluktuatif

  18 dan tidak pasti (Pangarso, 2000). Adanya peningkatan lahan ini memacu terhadap perkembangan guna lahan yang terjadi dan ini tidak hanya terjadi di dalam kota saja tapi juga ke kawasan pingggiran. Perkembangan guna lahan perkotaan inilah yang akhirnya memacu peningkatan arus pergerakan manusia, kendaraan maupun barang, yang mengakibatkan adanya pergerakan dari kawasan permukiman ke non permukiman yang disebut dengan bangkitan dan sebaliknya dari guna lahan non permukiman ke guna lahan permukiman yang disebut dengan tarikan pergerakan.

2.3 Teori Tingkat Pelayanan Jalan

  Tingkat Pelayanan Jalan (level of Service) umumnya digunakan sebagai ukuran dari pengaruh yang membatasi akibat peningkatan volume lalu lintas. Setiap ruas jalan dapat digolongkan pada tingkat tertentu, yaitu antara A sampai F yang mencerminkan kondisinya pada kebutuhan atau volume pelayanan tertentu.

  Tingkat pelayanan digunakan untuk mengukur kualitas perjalanan, ditunjukan dengan rasio perbandingan antara volume dengan kapasitas (V/C). Agar suatu jalan dapat memberikan pelayanan yang memadai, maka volume pelayanan harus lebih kecil dari kapasitas jalan itu sendiri atau V/C-nya lebih kecil dari satu (V/C<1).

  Tingkat A berarti kondisi yang hampir ideal; tingkat E adalah kondisi lalu lintas sesuai dengan kapasitasnya, dan tingkat F adalah kondisi arus terpaksa (forced flow). Adapun tingkat pelayanan jalan ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tingkat Pelayanan Jalan

  Sumber: Tamin, 1993, dalam Merliana 2006 Faktor-faktor yang termasuk sebagai pengukur tingkat pelayanan antara lain: 1. Kecepatan perjalanan.

  Hambatan atau halangan sekeliling.

  2.

  3. Keleluasaan bergerak (volume).

  Keamanan dan kenyamanan pengemudi.

  4.

  5. Biaya jalan dari kendaraan (operating cost).

  Untuk mengukur semua faktor diatas secara kuantitas adalah tidak mungkin, oleh karena itu dua faktor yang dipakai untuk mengukur tingkat pelayanan jalan dalam penulisan ini ialah kecepatan perjalanan dan perbandingan antara volume dengan kapasitas (V/C).

  Dimana kapasitas ini merupakan volume lalu lintas maksimum yang dapat ditampung sewaktu jalan dalam batas-batas yang ideal. Rasio perbandingan antara

  20 volume dengan kapasitas dianggap dapat mewakili beberapa karakteristik tingkat pelayanan yang dapat dikuantifisir.

  Persamaan yang digunakan untuk menghitung besarnya kapasitas adalah: 1.

  Tingkat Pelayanan A (V/C 0,00-0,20) Kondisi arus beban dengan laju, kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan.

  2. Tingkat Pelayanan B (0,21-0,40) Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh lalu lintas, pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan.

  3. Tingkat Pelayanan C (0,44-0,74) Arus stabil, akan tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan.

  4. Tingkat Pelayanan D (0,75-0,84) Arus mendekati keadaan tidak stabil, kecepatan rendah.

  5. Tingkat Pelayanan E (0,85-1,00) Volume lalu lintas mendekati atau berada pada kapasitas, arus tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti.

  6. Tingkat Pelayanan F (V/C > 1,00) Macet, kecepatan rendah, volume dibawah kapasitas, antrian panjang dan terjadi hambatan-hambatan yang besar.

2.4 Manajemen Transportasi dan Upaya Penanggulangan

  Identifikasi penyebab kemacetan lalu lintas setiap ruas jalan, dilakukan pendekatan teori hubungan Kerangka dasar Transportasi, dikemukakan oleh Menheim. Dalam teori tersebut disebutkan dalam menganalisis sistem transportasi pada dasarnya ditentukan oleh 3 (tiga) peubah dasar yaitu: Sistem transportasi (T), sistem aktivitas penduduk (A), dan pola arus lalu-lintas (F).

  Pada dasarnya untuk mencari penyebab kemacetan lalu lintas tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan berikut: a.

  Melakukan tinjauan terhadap terjadinya pergerakan pada setiap ruas jalan koridor, yang meliputi tinjauan terhadap lalu lintas menerus, regional, lokal.

  b.

  Melakukan tinjauan terhadap pola bangkitan dan tarikan pergerakan yang terjadi di wilayah studi, sehingga dapat diketahui tingkat interaksi antar daerah disekiar koridor.

  c.

  Melakukan tinjauan terhadap terjadinya gangguan lalu lintas yang terjadi pada setiap ruas jalan dan pengaruhnya terhadap keadaan transportasi secara keseluruhan pada ruas jalan tersebut.

  2.4.1 Pengertian manajemen lalu lintas Manajemen lalu lintas adalah suatu teknik perencanaan transportasi yang sifatnya langsung penerapan di lapangan dan biasanya berjangka waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini menyangkut kondisi dari arus lalu lintas dan juga sarana

  22 penunjangnya baik pada saat sekarang maupun yang akan direncanakan (Hobbs, 1995 dalam Setiawan, 1994).

  Manajemen lalu lintas berhubungan dengan arus lalu lintas itu sendiri beserta pengontrolannya dalam upaya memaksimumkan pemakaian sistem jalan yang ada dan meningkatkan keamanan jalan, tanpa merusak kualitas lingkungan sehingga sumberdaya yang digunakan dapat secara efisien dan terpadu (Morlok, 1991).

  Menurut FD Hobbs (1995) tujuan manajemen lalu lintas adalah: 1.

  Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan tingkat aksesibilitas yang tentunya dengan memikirkan keseimbangan akan permintaan pergerakan dengan sarana penunjang yang tersedia.

  2. Meningkatkan dan memperbaiki tingkat keselamatan sebaik mungkin.

  3. Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana arus lalu lintas tersebut berada.

  4. Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil dari energi lain.

  Semua tujuan tersebut diatas akan dicapai jika kontrol terhadap kondisi arus lalu lintas dilakukan dengan membatasi pergerakan atau aksesibilitas, yaitu dengan menggunakan berbagai teknik lalu lintas yang terkoordinasi antara prasarana penunjangnya seperti jalan, persimpangan dan tempat parkir dan juga usaha untuk menempatkan pola lalu lintas yang diinginkan untuk segala macam tujuan secara efisiensi serta tingkat keselamatan dari pergerakan serta tujuan individu.

  Oleh karena itu dengan kondisi arus lalu lintas pada saat sekarang, sasaran dari manajemen lalu lintas adalah:

  1. Mengatur dan menyederhanakan arus lalu lintas, terutama dengan memisahkan berdasarkan tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk meminimumkan gangguan demi lancarnya arus lalu lintas.

2. Mengurangi tingkat kemacetan dengan menaikan kapasitas adalah mengurangi volume lalu lintas dari suatu jalan atau simpang.

  Dalam menentukan strategi untuk mengatasi ruas-ruas jalan dengan keadaan yang sangat buruk, perlu dianalisa terlebih dahulu penyebab kemacetannya. Salah satu penyebabnya yaitu karena volume lalu lintas melebihi kapasitas yang ada, solusinya yaitu dengan menaikkan kapasitas atau mengurangi volume lalu lintas. Cara menaikkan kapasitas adalah dengan mengurangi penyebab gangguan, misalnya dengan memindahkan tempat parkir yang ada disisi jalan, mengontrol pejalan kaki atau dengan mengalihkan lalu lintas ke rute lainnya, atau mungkin dengan cara pengaturan yang lain seperti misalnya membuat jalan satu arah.

  Langkah pertama dalam manajemen lalu lintas adalah membuat penggunaan kapasitas dan ruas jalan seefektif mungkin, sehingga pergerakan lalu lintas yang lancar merupakan persyaratan utama. Right of Way harus diorganisasikan sedemikian rupa sehingga setiap bagian mempunyai fungsi sendiri, misalnya parkir, jalur pejalan kaki dan kapasitas jalan. Penggunaan ruang jalan sepanjang ruang jalan harus dikoordinasikan secara baik.

  24 Menurut Morlok (1991), terdapat 3 (tiga) strategi manajemen lalu lintas secara umum yang dapat dikombinasikan sebagai bagian dari rencana manajemen lalu lintas.

  Untuk lebih jelasnya mengenai strategi manajemen lalu lintas dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Strategi Manajemen Lalu Lintas

STRATEGI TEKNIK

  Manajemen Kapasitas

  1. Perbaikan Persimpangan

  2. Manajemen Ruas Jalan a.

  Pemisahan tipe kendaraan b. Kontrol on street parking (tempat dan waktu) c.

  Pelebaran jalan

  3. Area Traffic Control a.

  Batasan tempat membelok b. Sistem jalan satu arah c. Koordinasi lampu lalu lintas Manajemen (Demand 1. kebijaksanaan parkir

  Restraint)

  2. Penutupan jalan

  3. Kontrol pengembangan tataguna lahan

  

4. Batasan fisik

Manajemen Prioritas

  1. Prioritas persimpangan

  2. Jalur khusus kendaraan pribadi

  3. Jalur khusus bus

  Sumber: Morlok, 1991 Penanganan masalah mengacu kepada kriteria evaluasi yang meliputi derajat kejenuhan (V/C ratio) setiap ruas jalan yang selanjutnya akan menentukan jenis penanganan untuk ruas jalan dalam daerah pengaruh.

  Menurut Tamin (2000), Jenis penanganan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Manajemen lalu lintas, pada prinsipnya ditekankan pada pemanfaatan ruas jalan yang ada, seperti: pemanfaatan lebar jalan secara efektif, kelengkapan marka dan rambu jalan yang memadai sehingga ruas jalan dapat dimanfaatkan secara optimal daik dari segi kapasitas maupun keamanan lalu-lintas yang meliputi sistem satu arah, parkir, pengaturan lokasi rambu berbalik arah, kaki lima, dan belok. Jenis penanganan ini dilakukan bila derajat kejenuhan berada antara 0,6-0,8.

  2. Peningkatan Ruas Jalan, mencakup perubahan fisik ruas jalan berupa pelebaran atau penambahan lajur sehingga kapasitas ruas jalan dapat ditingkatkan secara berarti. Dilakukan apabila derajat kejenuhan sudah lebih besar dari 0,80.

  3. Pembangunan Jalan Baru, merupakan alternatif terakhir. Jenis penanganan ini dilakukan bila pelebaran jalan dan penambahan lajur sudah tidak mungkin, terutama karena keterbatasan lahan.

  2.3.2 Teori pejalan kaki Pejalan kaki merupakan bagian penting dalam sistem transportasi dan perlu pengaturan/manajemen tersendiri. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, sehingga secara tidak langsung mereka akan memperlambat arus lalu lintas.

  Terbatasnya prasarana yang tersedia bagi pejalan kaki, mengakibatkan pergerakan pejalan kaki menggunakan sebagian badan jalan. Keadaan ini dapat mengganggu arus lalu lintas, karena selain dapat membahayakan bagi jiwa pejalan

  26 kaki, juga dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas jalan, sehingga jalan tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal.

  Pada beberapa keadaan lalu lintas yang cukup padat, maka diperlukan prasarana bagi pejalan. Adapun keadaan yang dimaksud seperti keadaan berikut ini:

  1. Daerah perkotaan yang secara umum memilki jumlah penduduk yang cukup tinggi.

  2. Jalan-jalan yang memiliki rute angkutan umum yang tetap.

  3. Daerah-daerah yang memiliki aktifitas kontinyu yang tinggi, seperti jalan pasar dan jalan perkotaan.

  4. Lokasi yang mempunyai kebutuhan transport yang tinggi dengan periode yang pendek.

  5. Pada lokasi yang mempunyai permintaan yang tinggi untuk hari-hari tertentu, seperti lapangan, gelanggang olahraga dan mesjid.

  Fungsi fasilitas pejalan kaki: 1.

  Pejalan kaki untuk memberikan kesempatan bagi lalu lintas orang, sehingga dapat berpapasan pada masing-masing arah atau menyalip dengan rasa aman dan nyaman.

  2. Lalu lintas, untuk menghindari bercampurnya atau terjadinya konflik abtara para pejalan kaki dengan kendaraan.

  Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka penyediaan fasilitas pejalan kaki adalah: arus pejalan kaki, arus kecelakaan, dan tingkat kecelakaan.

  Permasalahan utama pejalan kaki adalah karena konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan sehingga diperlukan penanganan dalam manajemen fasilitas lalu lintas. Oleh karena itu perlu ketersediaan yang memadai berupa trotoar, zebra cross, jembatan penyebrangan, terowongan penyebrangan.

  2.3.3 Studi volume lalu lintas dan kapasitas ruas Jalan Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), (Dep. PU, 1997) disebutkan bahwa jumlah kendaraan merupakan nilai arus lalu lintas yang menggambarkan komposisi arus lalu lintas yang menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp).

  Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe-tipe kendaraan.

  Adapun tipe-tipe kendaraan tersebut dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) adalah: 1.

  Light Vehicle (LV) adalah kendaraan ringan (1,00), yaitu mobil penumpang (sedan, jeep, wagon, angkutan perkotaan, bemo, minibus,

  pick up , mikro truck dan mobil abudemen).

  2. High Vehicle (HV) adalah kendaraan berat (1,20), yaitu truk, truk 2 as, truk 3 as, mobil tangki, bus dan trailer.

  3. Motor Cycle (MC) adalah sepeda motor (0,25) dan skuter.

  4. Un Motor Cycle (UM) adalah kendaraan fisik atau kendaraan tidak bermotor (0,80), yaitu sepeda, becak, andong dan gerobak dorong.

  28 Dalam menentukan kapasitas jalan digunakan volume lalu lintas pada jam puncak. Sedangkan pengertian kapasitas jalan adalah arus lalu lintas (stabil) maksimum yang dapat dipertahankan pada kondisi tertentu (geometri, distribusi arah dan komposisi lalu lintas, faktor lingkungan dalam smp/jam.

  Secara matematis, kapasitas ruas jalan dapat dirumuskan sebagai berikut: (smp/jam).............(2.1)

  CCoFCwFCspFCsfFCcs

  Keterangan: C = kapasitas ruas; Co = kapasitas dasar; FCw = faktor lebar efektif; FCsp = faktor pemisah arah; FCsf = faktor gangguan samping; FCcs = faktor ukuran kota.

  Karakteristik utama jalan akan mempengaruhi kapasitas dan kinerja jalan jika dibebani lalu lintas. Karakteristik tersebut antara lain:

1. Geometri

  Geometri meliputi faktor penyesuaian dimensi geometri jalan terhadap geometri standar jalan kota. Faktor tersebut adalah: a.

  Tipe Jalan: Berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja berbeda pada pembebanan lalu lintas tertentu, misal jalan terbagi/tak terbagi, jalan satu arah.

  b.

  Lebar jalur lalu lintas: Kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu lintas. c.

  Kerb sebagai pembatas antara jalur lalu lintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kecepatan dan kapasitas.

  Selanjutnya lapasitas berkurang jika terhadap penghalang tetap dekat tepi jalur lalu lintas, tergantung apakah jalan mempunyai kerb atau bahu.

  d.

  Bahu: jalan perkotaan tanpa kerb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu lintasnya. Lebar dan kondisi permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas dan kecepatan pada arus tertentu akibat pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan samping yang disebabkan kejadian disisi jalan seperti kendaraan angkutan untuk berhenti, pejalan kaki, dsb.

  e.

  Median: Direncanakan dengan baik uuntuk meningkatkan kapasitas.

  f.

  Alinyemen jalan: Lengkung horizontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan arus bebas.

2. Komposisi Arus dan Pemisah Jalan

  Kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisah arah 50-50 yaitu jika arus pada kedua arah adalah sama pada periode waktu yang dianalisa (umumnya satu jam). Komposisi lalu lintas mempengaruhi hubungan kecepatan arus jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam kendaraan/jam, yaitu tergantung pada rasio sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus lalu lintas. Jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam (smp) maka kecepatan kendaraan ringan dan kapasitas (smp/jam) tidak dipengaruhi oleh komposisi lalu lintas.

  30

  3. Pengaturan Lalu Lintas Aturan lalu lintas lainnya yang berpengaruh pada kinerja lalu lintas adalah pembatasan parkir dan berhenti sepanjang sisi jalan, pembatas akses tipe kendaraan tertentu, pembatasan akses dari lahan samping jalan dan sebagainya.

  4. Aktivitas Samping Jalan Banyaknya aktivitas samping jalan di Indonesia sering menimbulkan konflik, kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu lintas.

  Hambatan samping yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah pejalan kaki, angkutan umum, kendaraan berhenti, kendaraan lambat, kendaraan masuk dan keluar dari lahan samping jalan.

  5. Perilaku Pengemudi dan Populasi Kendaraan Untuk jalan tak terbagi analisis dilakukan pada kedua arah lalu lintas.

  Untuk jalan terbagi, analisa dilakukan terpisah pada masing-masing arah lalu lintas, seolah-olah masing-masing arah merupakan jalan satu arah yang terpisah.

  2.3.4 Studi parkir Menurut Munawar (2006), perparkiran merupakan bagian dari pada tata guna lahan suatu kota. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan tak perlu lagi mendapatkan kesulitan mencari tempat parkir di daerah-daerah yang digunakan secara intensif untuk bisnis, perdagangan atau tujuan pariwisata. Daerah yang terdapat pusat bisnis (CBD), pusat perbelanjaan masyarakat dan regional, parkkir industri, pelabuhan udara atau stadion biasanya merupakan daerah dimana masalah parkir yang luas terdapat.

  Parkir dapat dilakukan di badan jalan (on street) maupun diluar badan jalan (off street). Pada kondisi tertentu, parkir di badan jalan sebaiknya dilarang bagi kendaraan pribadi yang akan parkir lama karena dapat menurunkan kapasitas jalan, meningkatkan kemacetan dan perlambatan. Jadi dalam hal ini perlu dipertimbangkan adanya keseimbangan antara kebutuhan akan kelancaran lalu lintas dengan kebutuhan akan tempat parkir.

  Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan parkir adalah menetapkan kesepakatan antara jumlah lokasi yang akan digunakan untuk parkir dan lokasi untuk bergerak kendaraan menyediakan tempat parkir untuk kendaraan short

  term parking dan long term parking, merancang ruang parkir dan daerah

  pendekatannya sehingga lalu lintas di jalan tidak terganggu oleh keluar masuknya kendaraan, menjamin bahwa daerah bisnis di sepanjang jalan dapat ditingkatkan dengan membuat lokasi parkir yang baik.

  Keberadaan parkir pada bahu/badan sangat mempengaruhi besarnya volume pergerakan lalu-lintas. Bahwa sudut parkir sangat mempengaruhi pengurangan kapasitas jalan (Poernomosidhi, 1984 dalam Merliana, 2006) seperti terlihat dalam Tabel 2.2.

  32

Tabel 2.2 Penurunan Kapasitas Jalan Akibat Kegiatan Parkir di Badan Jalan

  Lebar Perkerasan Arah Lalu Lintas Sisi Jalan Untuk Parkir Sudut Parkir Penurunan Kapasitas 9 m

  2 2 32% 16 m 1 2 31-36% 16 m

  2

  2 90 82-83% 22 m 1 1 6% 22 m

  1

  1 90 22% 22 m

  1

  2 45 54% 22 m 2 2 79% 26 m 1 1 14% 26 m

  1

  1 45 29%

  Sumber: Poernomosidhi 1984, dalam Merliana 2006 Masalah parkir lebih disebut sebagai ukuran peningkatan kota. Secara historik, pengeluaran untuk fasilitas parkir belum seimbang dengan fasilitas untuk jalan raya.

  Kekurangan keseimbangan investasi ini dapat disaksikan setiap hari, yaitu tersendatnya lalu lintas akibat kendaraan yang diparkir dipusat-pusat kota besar setiap hari.

  Kekurangan kontrol penggunaan lahan sepanjang jalan yang membatasi fasilitas lalu lintas utama sesuadahnya mengakibatkan masalah arus lalu lintas di jalan.

  Pilihan yang dibatasi diperoleh dalam ”CBD” yang ada, tetapi kesempatan besar ada untuk mencapai keseimbangan fungsional antar syarat-syarat kendaraan gerak dan berhenti di daerah-daerah sub urban yang berkembang atau di daerah-daerah kota lain yang mengalami perkembangan kembali dengan skala besar.

  Oleh karena itu pengaturan parkir di sisi atau pinggir jalan ini diperlukan agar ruas jalan dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pergerakan lalu lintas. Ada beberapa cara yang mana dengan cara ini tempat parkir disediakan. Cara-cara itu adalah sebagai berikut: a.

  Fasilitas di jalan dan pinggir jalan, meliputi parkir di pinggir jalan (trotoar) yang tak dibatasi, parkir di pinggir jalan yang dibatasi.

  b.

  Fasilitas parkir di luar jalan, meliputi bidang-bidang permukaan, dan garasi.

  Tipe-tipe yang dipergunakan untuk fasilitas pemarkiran dapat dibedakan menjadi: a.

  Pemarkiran dengan sudut 90 derajat Penataan ini menggunakan tempat yang paling efisien, mobil dapat menggunakan satu jalur dalam arah dan jarak-jarak jalan dikurangi. Hal ini mengijinkan penggunaan jalur bagian depan, yang karena itu mengurangi tersia-sianya tempat.

  b.

  Pemarkiran dengan sudut yang lain Bila sudut pemarkiran kurang dari 90 derajat, maka jalur-jalur jalan harus dibuat satu arah. Peredaran satu arah adalah baik, tetapi tidak utama untuk bidang ramai, karena sudut 45 dan 30 lebih mudah dapat ditentukan oleh pemarkir sendiri. Tetapi tanpa memperhatikan sudut pemarkiran yang digunakan, ahli lalu lintas harus menjamin bahwa sistem peredaran di jalan harus mengijinkan gerakan mobil dan pejalan kaki yang mudah

  34 dan efisien. Jalan masuk dan keluar harus ditentukan dengan tujuan mengurangi konflik-konflik penting dalam bidang pemarkiran, dan antara lalu lintas bidang serta menentukan trafik-trafik jalan. Daerah-daerah pemarkiran harus dilokalisir atas sub sistem jalan lokal dan harus dihindari di jalan-jalan arteri, yang fungsi utamanya adalah untuk menggerakan lalu lintas dan bukan untuk memberikan pelayanan penggunaan lahan. Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting, kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan karakteristik masing-masing kendaraan didesain dan lokasi parkir.

  Jenis penentuan peruntukan kebutuhan ruang parkir pada suatu pusat kegiatan dapat dikelompokkan: a.

  Untuk kegiatan parkir tetap Pusat perdagangan, pusat perkantoran, pusat perdagangan eceran/pasar swalayan, pasar, sekolah, tempat rekreasi, hotel serta rumah sakit.

  b.

  Untuk kegiatan parkir yang bersifat sementara Tempat pertunjukan/bioskop, tempat pertandingan, dan rumah ibadah.

  Berikut tabel penentuan kebutuhan parkir pada pusat kegiatan (pasar). Untuk dapat lebih jelas mengenai standar luas kebutuhan parkir pada kawasan perdagangan dan pasar dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan 2.4.

Tabel 2.3 Standar Kebutuhan Ruang Parkir

  Yang Bersifat Tetap di Pusat Perdagangan

  Pusat Perdagangan Luas Area Total 2

  10

  20 50 100 500 1000 1500 2000 (100m ) Kebutuhan (SRP)

  59

  67 88 125 415 777 1140 1502

  Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

Tabel 2.4 Standar Kebutuhan Ruang Parkir

  Yang Bersifat Tetap di Pasar

  Pasar Luas area Total 2

  40

  50 75 100 200 300 400 500 1000 (100m ) Kebutuhan (SRP) 160 185 240 300 520 750 970 1200 2300

  Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Untuk dapat lebih jelas mengenai penentuan Satuan Ruang Parkir menurut jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Penentuan Satuan Ruang Parkir (Srp)

  Satuan Ruang Parkir No. Jenis Kendaraan 2 (SRP) dalam m a. 2,30 x 5,00 Mobil penumpang gol I

  1.

  b. 2,50 x 5,00 Mobil penumpang gol II c. 3,00 x 5,00 Mobil penumpang gol III

  2. Bus/truk 3,40 x 12,50

  3. Sepeda motor 0,75 x 2,00

  Sumber: Dirjen Perhubungan Darat, 1998, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir

  Keterangan: Mobil penumpang gol I: Mobil peruntukan tamu/pengunjung pusat kegiatan perkantoran, perdagangan, pemerintahan dan universitas.

  36 Mobil penumpang gol II: Mobil pengunjung tempat olahraga, pusat hiburan, rekreasi, hotel, rumah sakit dan bioskop. Mobil penumpang gol III: Mobil peruntukan bagi orang cacat.

  Mengenai dimensi Satuan Ruang Parkir untuk bus/truk dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Dimensi Satuan Ruang Parkir Untuk Bus/Truk

  Ukuran Bus/Truk Dimensi Kecil B = 170

  O = 80 R = 30

A1 = 10

L = 470

A2 = 20

Bp = 300 = B+O+R

  Lp = 500 = L+A1+A2 Sedang B = 200 A1 = 20 Bp = 320 = B + O + R O = 80 R = 40

L = 800

  

A2 = 20

Lp = 500 = L + A1 + A2 Besar B = 250

  O = 80 R = 50

A1 = 30

L = 1200

A2 = 20

Bp = 380 = B + O + R

  Lp = 1250 = L + A1 + A2

  Sumber: Dirjen Perhubungan Darat, 1998, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir Untuk kendaraan bus/truk dapat dibagi kedalam tiga jenis berdasarkan ukuran kendaraan, yaitu kecil, sedang dan besar. Satuan Ruang Parkir untuk bus/truk dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Satuan Ruang Parkir Untuk Bus/Truk

  38 Penentuan sudut parkir pada umumnya ditentukan oleh lebar jalan, volume lalu lintas kendaran, dimensi kendaraan, dan sifat peruntukan lahan sekitarnya. Sudut parkir akan berpengaruh terhadap daya tampung kendaraan parkir sehingga ruang yang tersedia akan terasa lebih efektif. Untuk lebih jelasnya untuk lebar minimum jalan untuk parkir dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan untuk kebutuhan ruang parkir dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Tabel 2.7 Lebar Minimum Jalan Untuk Parkir

  Kriteria Parkir Lebar Jalan Efektif L (meter) Lebar Total Jalan W (meter) Sudut Parkir (n o ) Lebar Ruang Parkir A (meter) Ruang Parkir Efektif D (meter) Ruang Manuver M (meter) D+M J (meter)

  2,3 2,3 3,0 5,3 2,5 5,3

30 2,5 4,5 2,9 7,4 2,5 7,4

45 2,5 5,1 3,7 8,8 2,5 8,8

60 2,5 5,3

  4,6 9,9 2,5 9,9

90 2,5 5,0 5,8 10,8 2,5 10,8

  Sumber: Dirjen Perhubungan Darat, 1998, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir

  Keterangan: