BAB II PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian - Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasiona

BAB II PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian a. Penyelesaian Sengketa Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional merupakan hal penting

  dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Wujudnya keamanan serta ketenteraman dalam segala aspek kehidupan merupakan tujuan tertinggi dalam hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam yang merupakan agama kedamaian dan keselamatan memberi perhatian besar pada persoalan tersebut. Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat mengantarkan pada penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan maslahat bagi umat manusia secara umum, dan kaum muslimin khususnya.

  Disamping itu, Islam menggalakkan upaya-upaya preventif bagi segala perkara yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala individu maupun

   internasional.

  Dalam konteks ini Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang

  

beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari

prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan

janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (Q.S Al-Hujurat: 12). Rasulullah

  SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin berjual beli di atas jual beli

  saudaranya dan janganlah meminang (wanita) pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya” (HR. Muslim No. 1413). Ayat dan hadits diatas hanya sebagai

  contoh bahwa seluruh sifat-sifat yang dilarang tersebut, yakni prasangka buruk, mencari-cari keburukan orang lain, menggunjing, berjual beli di atas jual beli saudaranya dan selainnya, merupakan sumber-sumber lahirnya sengketa yang dapat merusak hubungan antarsesama yang karenanya diharamkan oleh syariat Islam.

  Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi isyarat akan anjuran untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara manusia, antara lain: 1.

  Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-

  bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mendamaikan (perselisihan) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa: 114)

  Mendamaikan perselisihan di antara manusia dalam ayat ini sifatnya umum, mencakup persoalan darah, harta, dan harga diri serta segala sesuatu yang menjadi sumber perselisihan dan sengketa di antara manusia. Bahkan, mengadakan perdamaian tersebut dianjurkan dalam menyelesaikan sengketa antaragama.

  

2. Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

  (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

  Tolong menolong dalam kebaikan sifatnya umum dan luas, mencakup segala jenis dan bentuk kebaikan serta maslahat. Sebagaimana diketahui bahwa maslahat dan kebaikan yang paling besar adalah mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia dan negara sebagaimana ditunjukkan oleh Ayat 114 surat An-Nisaa diatas.

  3. Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dikatakan sebagai pendusta orang yang (berdusta) untuk

  mendamaikan (sengketa) antara manusia, maka ia menumbuhkan kebaikan atau berkata yang baik-baik.” (HR. Bukhari No. 2692)

  Ibnu Syihab (w. 124 H) berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi SAW

  memberi keringanan pada sesuatu dari ucapan manusia berupa kebohongan melainkan pada tiga keadaan: perang, mendamaikan sengketa manusia, serta ucapan (cumbuan) seorang suami pada istri nya dan sebaliknya demi kemaslahatan.” (HR. Muslim No. 2605)

  Dimana hadits ini merupakan anjuran dari Nabi SAW untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, kendati dalam merealisasikan hal tersebut seseorang terpaksa harus berbohong dan tidak mengatakan hakikat yang sebenarnya.

  4. Dari Abu Darda’ ra. (w. 32 H), ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sukakah aku kabarkan pada kalian sesuatu yang paling afdhal

  dari kedudukan puasa, salat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Mendamaikan sengketa manusia.” (HR. Abu

  Daud No. 4921) Dari keterangan tentang urgensi menciptakan perdamaian serta mencegah perselisihan dan sengketa, khusus persoalan sengketa internasional yang melibatkan dua negara atau lebih, maka dalam perspektif hukum Islam, sarana terpenting dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut adalah adanya keterlibatan dan peran dari negara lain, khususnya negara-negara muslim melalui media perundingan dalam hal mencari solusi dan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian sengketa, apa pun motif sengketa itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

  

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

  (QS. Al-Maidah:2) Syariat Islam telah mencanangkan pentingnya penegakan sebuah lembaga internasional yang memiliki otoritas untuk membantu penyelesaian berbagai sengketa internasional melalui jalur perdamaian atau kekuatan jika keadaan dan kondisi menuntut. Penjelasan hal ini termaktub dalam firman Allah Ta’ala: “Dan

  

kalau ada golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu

damaikan keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang

lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut

kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara

keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya

Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang

  

beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara

kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat

rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)

  Secara umum, ayat ini memuat empat point penting yang merupakan asas bagi penyelesaian sengketa internasional secara damai:

  1. Perintah melakukan ishlah (perdamaian) bagi pihak-pihak yang bersengketa.

  2. Adanya tindakan nyata dari sebuah kelompok (organisasi internasional), berupa teguran atau kekuatan militer terhadap pihak yang membelot (melanggar) perjanjian damai yang telah disepakati, hingga mereka menyatakan kesiapan diri kembali pada kesepakatan semula.

  3. Memberi keputusan secara adil dan bijaksana bagi pihak-pihak yang bersedia kembali pada perjanjian damai tersebut.

  4. Isyarat akan anjuran membentuk sebuah kelompok atau organisasi internasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi antarkelompok atau antarnegara.

   Kata perang dalam permulaan ayat ini, “Dan kalau ada dua golongan dari

mereka yang beriman itu berperang” , bukanlah semata perang dalam tataran arti

  yang sempit. Akan tetapi termasuk didalamnya seluruh makna umum yang mengarah pada arti perselisihan atau sengketa. Ayat ini memberi keterangan akan kewajiban menegakkan perdamaian di antara kelompok yang berselisih. Oleh karenanya, merupakan perkara aksiomatik, bahwa tindakan-tindakan penegakkan perdamaian yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau organisasi internasional itu, sudah pasti tercakup di dalamnya seluruh sarana-sarana, seperti perundingan, negosisasi, perwakilan, dan arbitrase.

  Umat Islam diberi izin untuk membela diri terhadap musuh Islam adalah karena dalam kondisi tertentu yang ekstrim, namun demikian izin tersebut diberikan dalam kondisi tertentu yang menyertainya seperti terbukti dari ayat-ayat yang baru saja dikutip. Allah Ta’ala menyatakan izin tersebut diberikan karena adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Mereka yang telah melakukan pelanggaran boleh diperangi sampai pada akhirnya kembali kepada hal yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

  Secara umum ayat ini mewajibkan pentingnya menyelesaikan segala bentuk sengketa melalui keputusan final yang mengikat. Jika keduanya (golongan yang berselisih itu) tunduk dan menghormati kesepakatan, maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk menahan diri dari perang. Adapun jika salah satu dari keduanya menyimpang berbuat aniaya, tidak bersedia tunduk terhadap putusan lembaga internasional serta menolak kembali perintah Allah Ta’ala, atau memaksa dengan permusuhan, maka ia dikategorikan sebagai “baghiyah” (pembelot) yang menyimpang dari otoritas hukum internasional Islam dan

  

membangkang terhadap undang-undang.

  Mengutip perkataan Ibnu At-Thabari (w. 310 H), Al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:

  “Jika seandainya wajib menghindar dan menetapi rumah setiap pecah sengketa antara dua kelompok (negara), maka hukum tidak akan tegak dan kebathilan akan merajalela. Di samping itu pelaku nifak dan fujur (kaum pendosa) akan mendapat jalan menghalalkan segala hal yang diharamkan (oleh Allah Ta’ala) seperti membunuh, merusak dan menawan wanita. Karenanya, wajib bersatu membentuk

  

  suatu kelompok guna menghadapi kaum pembelot tersebut.” Pernyataan ini tentunya berpedoman pada sabda Rasulullah SAW., sebagai mana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. (w. 93 H):

  “Berilah bantuan pada saudaramu baik yang melakukan kezaliman maupun yang

  

dizalimi”. Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika

ia terzalimi, bagaimana saya menolong jika ia melakukan kezaliman itu?” Beliau

menjawab: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, maka itu termasuk

menolongnya. ” (HR. Bukhari No. 2443)

  Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengikuti keputusan perundingan antara dua golongan yang bersengketa, serta upaya menciptakan perdamaian di antara keduanya. Di dalamnya diserukan kerja sama dalam rangka mewujudkan perdamaian internasional yang tegak di atas keadilan, serta memerintahkan pentingnya menciptakan perwakilan untuk pengaturan penjagaan keamanan, yang pada akhirnya terwujud kewajiban menegakkan hukuman untuk membantu

  

  negara-negara yang tertindas. Makanya Islam tidak menafikan pentingnya 24 Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jami’ li Ahkam Al-Quran, Cet. III, (Kairo: Daar

  al-Kitab al-Arabi, 1387 H/1967 M) Hlm. 317, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 274 25 Al-Thayyar, Ali bin Abdur Rahman, Al-Niza’at Al-Dauliyah fi Syari’ah Al-Islamiyah, Cet. I, (Riyadh: Huquq Al-Thab’i lil Muallif, 1424 H) Hlm. 147, dikutip dalam buku Muhammad badan-badan internasional yang bertujuan mengawal terwujudnya perdamaian dan keamanan bersama agama-agama non-muslim lainnya.

  Islam membolehkan adanya perjanjian dan kesepakatan bersama dengan agama lain, serta mengarahkan agar selalu konsisten menghormati kesepakatan yang telah dilahirkan, tentunya untuk tujuan mencegah peperangan, fitnah, serta mewujudkan perdamaian antarbangsa di dunia. Sa’id Hawwa berkata: “Dibolehkan bagi kelompok muslim untuk ikut dalam perjanjian dalam mencari

  

kebaikan dan takwa, selama tidak membawa kepada diskriminasi dan

permusuhan melawan kaum muslimin. Juga diperbolehkan bagi muslim untuk ikut

kesepakatan bersama non-muslim melawan segala bentuk kekejaman dan

kejahatan, selama masih memperhatikan kepentingan umat muslim untuk jangka

waktu panjang dan pendek. Pada peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya,

setelah diutus menjadi Nabi, beliau tetap mengungkapkan keinginannya untuk

   mendukung perjanjian kerja sama tersebut bila dipanggil lagi .”

  Dari sini tampak akan kebolehan menyelenggarakan kerja sama dan kesepakatan antara negara Islam dengan negara-negara non-muslim, seperti ikut bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menyelesaikan berbagai sengketa internasional, mewujudkan perdamaian global, serta menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimanayang ditunjukkan oleh keinginan beliau untuk kembali bergabung dalam hilf al-fudhul yang dahulu

26 Sa’id Hawwa, Al-Asas fi Al-Sunnah (Sirah Nabawiyah), t.Cet, (Riyadh: Daar Al-Salam, 1989 M), Vol. II, Hlm. 171-172, dikutip Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm.

  

  diselenggarakan oleh bangsa Quraisy. Tentunya, kebolehan tersebut berlaku selama tidak melanggar batas-batas hukum syariat serta tidak mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin.

  Di samping itu, syariat Islam membatasi konsep-konsep penggunaan jalur perang pada batas-batas tertentu, mengharamkan permusuhan dalam segala aspek dan motif, serta berupaya senantiasa menyebarkan keadilan, rahmat, kasih sayang dan persamaan di antara umat manusia. Islam menghormati hukum dan peraturan yang berlaku hingga pada persoalan perang. Karena itu, secara tegas Islam menekankan segala upaya verifikasi atau tabayyun dalam setiap sebab yang dapat melahirkan sengketa internasional, selama hal itu dapat menyelesaikan sengketa yang bakal terjadi. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa

  

suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu

musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan

kamu menyesal atas perbuatanmu itu .” (QS. Al-Hujurat: 6)

  Sebab turunnya ayat ini, bahwasannya Rasulullah SAW pernah mengajak Al-Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’i masuk Islam, dan dia pun menerima dan memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, pergilah kepada kaumku lalu ajaklah mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Setelah itu Al- Harits pun ditugaskan mengumpulkan dari kaumnya harta zakat (sebab mereka 27 Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, (Beirut: Muassassah Al-

  Risalah, 1401 H/1985 M), Hlm. 354, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung telah memelihara Islam) serta meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengutus seorang yang akan mengambilnya. Rasulullah SAW kemudian mengutus Al- Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith (w. 61 H). Melihat keterlambatan utusan yang datang, Al-Harits menyangka Rasulullah marah kepada mereka. Maka ia pun berinisiatif keluar bersama kaumnya untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Demi menyaksikan Al-Harits bin Dhirar dan kaumnya keluar, Al-Walid yang saat itu telah dekat lantas berbalik pulang dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa Al-Harits menolak zakat dan berniat membunuhnya. Mendengar hal ini, Nabi SAW tidak lantas bertindak, bahkan mengirim utusan untuk verifikasi berita

   dari Al-Walid, hingga kemudian berhasil tercegah meletusnya perang.

  Upaya verifikasi terhadap suatu hal merupakan perkara wajib dan mengikat demi mendedahkan dan menjelaskan hakikat suatu kebenaran. Upaya ini sudah barang tentu membantu perwujudan perdamaian dan keamanan yang diserukan oleh agama Islam. Jadi kesimpulannya, dalam tataran hukum Islam, penyelesaian sengketa internasional itu terbagi menjadi dua: (1) Penyelesaian secara damai, yang meliputi upaya-upaya yang mengarah kepadanya, berupa verifikasi, negosiasi, mediasi, perundingan, hingga penyelesaian melalui badan internasional, karena ia merupakan asas bagi penyelesaian sengketa tersebut; (2) Penyelesaian melalui jalur kekerasan, dalam hal ini perang dan yang semakna dengannya, jika salah satu dari kedua pihak yang berselisih membangkang dan tidak bersedia menempuh jalur perdamaian. 28 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Cet. II, (Riyadh: Daar Al-salam dan Damaskus: b.

  Perdamaian Secara etimologi, kata al-mu’ahadah (Perjanjian Damai) berasal dari Al-

  

ahdu , yang berarti setiap yang terjadi di antara manusia berupa kesepakatan,

  menjaga kehormatan serta menjamin keamanan. Al-mu’ahad artinya, seseorang yang menjalin kesepakatan dengan kita. Adapun al-mu’ahadah dan al-ta’ahud maknanya sama, yakni membuat perjanjian akan sesuatu yang disepakati. Kata al-

  

ahdu dalam makna etimologi digunakan pula untuk makna kesepakatan antara dua

  orang atau dua kelompok atas suatu perkara yang harus ditepati untuk menciptakan maslahat bersama antara kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya. Sementara, kata al-mu’ahadah bermakna membuat kesepakatan

   tersebut.

  Adapun makna kata al-mu’ahadah secara terminologinya, menurut para ulama Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya:

  1. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Bahwa ia adalah perjanjian damai dari kaum muslimin untuk penduduk daar al-harb selama tahun-tahun (waktu) yang disepakati.

  2. Al-Kasani (w. 587 H) mendefinisikannya sebagai kesepakatan damai untuk meninggalkan perang.

  3. Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 682 H) menyatakannya sebagai “kesepakatan yang dibuat oleh penduduk daar al-harb untuk meninggalkan perang dalam jangka waktu tertentu baik dengan membayar 29 sesuatu atau tidak.”

  Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, (Beirut: Muassassah Al- Risalah, 1401 H/1985 M), Hlm. 345-346. (Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung

  4. Menurut Muhammad Khair Haikal, al-mu’ahadah adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara non-muslim untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi maupun tidak.

  5. Komite Pengkajian Bahasa Arab di Kairo memberi definisi bagi kata al-

  mu’ahadah , bahwasanya ia adalah kesepakatan yang terjadi antara dua

   negara atau lebih untuk mengatur hubungan antarmereka.

  Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan. Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa

   permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.

  Kesimpulannya bahwa makna kesepakatan damai bagi negara Islam adalah segala kesepakatan yang diselenggarakan oleh pemimpin (imam) atau wakilnya dengan golongan ahlu harbi dan ahlu dzimmah sserta kelompok kaum muslimin yang membelot, untuk hubungan yang disyariatkan, disertai lampiran akan 30 Diakses pada kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjanjian tersebut.Dalam perspektif syariat Islam, menyelenggarakan kesepakatan damai dengan negara-negara nonmuslim hukumnya mubah (boleh), selama dipandang mengandung maslahat bagi agama

  

  dan kaum muslimin. Karenanya, segala kesepakatan damai yang tidak mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, apalagi jika kemudian melahirkan mudarat, maka hukumnya tidak boleh.

  Dalil yang menunjukkan kebolehan ini sangat banyak di antaranya: 1. Firman Allah Ta’ala:

  “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, makacondonglah

  kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al-Anfal: 61)

  Ayat ini merupakan dalil pembolehan al-mushalahah dan al-muwada’ah (perdamaian) jika kaum musyrikin meminta dan condong padanya. Kalau dalam perdamaian itu terdapat maslahat, maka tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk memulai (permohonan damai tersebut) jika memang

   dibutuhkan.

2. Firman Allah Ta’ala:

  “Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum,

  yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang- 32 orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan Muhammad Ra’fat Utsman, al-Haquq wa al-Wajibaat wa al-Ilaaqaat al-Dauliyah fi al- Islam, Cet. IV, (Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991 M), Hlm. 233. Di ambil dalam buku Muhammad

  Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 359

  untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. ” (QS. An-Nisaa: 90)

  Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb (negeri non-muslim) dan

  ahlu al-Islam diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.

   B.

   Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai

  Wahbah Al-Zuhaili menyatakan, Islam menjunjung tinggi persoalan kesepakatan damai serta segala sarana yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan (syariat) yang bersifat umum. Bagi seorang pemimpin, merupakan satu keharusan untuk menjalin perdamaian dengan kalangan non-muslim jika terdapat padanya kebaikan agama. Melalui perjanjian damai itu, diharapkan mereka mendapat pemahaman yang baik terhadap agama Islam dan tertarik padanya.Adapun contoh berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW diantaranya:

  Pertama : Perjanjian damai diselenggarakan oleh Nabi SAW dengan kaum

  Yahudi di Madinah pada tahun ke-1 H. Hal demikian terlaksana setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah dan sukses menegakkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, berupa kesatuan aqidah, politik, dan sistem kehidupan di antara kaum muslimin. Perhatian beliau pada saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, serta mengatur kehidupan di daerah itu dalam suatu kesepakatan.

  Tetangga paling dekat dengan kaum muslimin di Madinah adalah kaum Yahudi. Beliau menawarkan perjanjian damai dengan mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, serta tidak boleh

  

  saling menyerang dan memusuhi. Adapun isi traktat itu adalah sebagai berikut: 1.

  Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kaum Yahudi selain Bani ‘Auf.

  2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, begitu pula orang-orang muslim.

  3. Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan piagam perjanjian ini.

  4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak, dan tidak boleh berbuat jahat.

  5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang telah terikat dengan perjanjian ini.

  6. Wajib membantu orang-orang yang terzalimi.

  7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin saat mereka terjun dalam kancah pertempuran.

  8. Yastrib (madinah) adalah kota yang dianggap suci oleh setiap pihak yang menyetujui perjanjian ini.

  9. Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini, yaitu dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah Ta’ala dan Muhammad SAW.

  10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh ditolong.

  11. Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang Yastrib.

  12. Perjanjian tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim atau jahat.

   Kedua : Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan kaum Quraisy pada

  tahun ke-VI Hijriah. Peristiwa ini dimulai saat Nabi SAW keluar bersama sekitar 1.400 personel (dalam riwayat lain 1.500 orang) menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah. Mendengar rencana Nabi SAW itu, pihak Quraisy tidak tinggal diam. Mereka bermufakat mencegat Nabi SAW masuk ke dalam Masjidil Haram. Diutuslah Suhail bin Amru (w. 18 H) untuk menemui beliau dan mengadakan perundingan. Dari perundingan itu, lahirlah traktat-traktat kesepakatan bersama yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah. Di antara point-point perjanjian itu adalah sebagai berikut: 36 Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-

  Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H), Hlm. 182-183, dikutip dalam buku Muhammad

  1. Rasulullah SAW harus kembali pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.

  2. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.

  3. Siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan terhadap kabilah tertentu, dianggap menyerang terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.

  4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri), maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri

   darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.

37 Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-

  Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H) , Hlm. 325, dikutip dalam buku Muhammad Ashri

  Al-Nawawi (w. 672 H) menyatakan saat mengomentari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah:

  “Seorang pemimpin berhak menjalin perjanjian damai (Al-Shulh) selama

  hal itu dipandang dapat mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin, kendati pada mulanya perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang

   tidak membawa kemaslahatan .”

  Selain itu terdapat beberapa dalil lain yang menerangkan kepada umat muslim untuk melakukan perjanjian damai, yakni: a.

  Firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

  (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ” (Surat Al-Maa’idah: 2)

  b.

  Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Setiap persendian tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama

  matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang yang berselisih adalah shadaqah, menolong seseorang menaiki kendaraan adalah shadaqah atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah. ” (HR. Bukhari No. 2827 dan HR. Muslim No. 1009)

  c.

  Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam 38 saling mencintai dan mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu tubuh

  An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarhu Shahih Muslim, t. Cet, (Kairo:

  merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh tidak bisa tidur dan demam.

  (HR. Bukhari dan Muslim) Berlaku adil di antara orang yang bertengkar dan berselisih serta memutuskan hubungan, dilakukan dengan cara menghukumi mereka dengan adil, mendamaikan di antara mereka dengan cara yang dibolehkan, yaitu dengan tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini adalah bentuk

  

taqarrub yang paling utama dan ibadah yang paling sempurna. endamaikan

  orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat dengan ishlah tersebut keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam

   meleraikan dibolehkan berbohong.

  Perlu digarisbawahi, nota kesepakatan internasional yang diselenggarakan antara kaum muslimin dan non-muslim tidak disyaratkan mesti sejalan dengan aturan-aturan Islam. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama dalam penyelenggaraan perjanjian tersebut adalah terwujudnya maslahat bagi kaum muslimin dan tidak melanggar kaidah-kaidah syariat. Perkara ini dapat dilihat dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, di situ banyak hal-hal yang disepakati oleh Nabi

   SAW kendati secara lahir tidak sejalan dengan aturan-aturan syarak.

  Sebagai contoh, perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin Amru (w.

  18 H) kala merumuskan isi nota kesepakatan tersebut. Pada saat itu Nabi SAW 39 An-Nawawi, Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-Wafi: Syarah Hadits

  Arba’in , Cet. VI, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Hlm. 233 Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 15.00 WIB memanggil Ali bin Abi Thalib ra. (W. 40 H) untuk menulis isi perjanjian itu. Beliau mendiktekan pada Ali: “Bismillahir rahmanir rahim.” Suhail menyela: “Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa Dia?” Tapi tulislah: “Bismika Allahuma.” Nabi pun memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu.

  Kemudian beliau berkata lagi: “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad Rasul Allah.” Suhail kembali menyela: “Andaikan kami tahu engkau adalah Rasul Allah tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tapi tulislah: “Muhammad bin Abdillah.” Beliau pun berkata: “Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalianpun kalian mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang tertulis. Namun Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu

   dengan tangannya sendiri.

C. Jenis-jenis Perdamaian

  Jenis-jenis perdamaian dalam kajian hukum Islam disesuaikan pada dua tabiat hubungan, yakni hubungan yang bersifat permanen (daaim) dan temporer (muaqqat). Perjanjian yang sifatnya permanen (al-Mu’ahadah al-Daimah) adalah perjanjian yang tidak boleh dibatalkan oleh imam (pemerintah) secara sepihak kendati dalam pembatalan tersebut terdapat maslahat bagi kaum muslimin, selama pihak kedua tidak menyelisihi poin-poin perjanjian. Ini dinamakan sebagai akad

   dzimmah .

  Sementara itu, perjanjian yang sifatnya temporer (al-Mu’ahadah al-

  Muaqqat ) terbagi menjadi dua jenis:

  1) Jenis yang jumlahnya terbatas, yakni jumlah orang yang mengikat perjanjian dengan kaum muslimin terbatas. Perjanjian jenis ini boleh diselenggarakan oleh setiap kaum muslimin dengan kaum nonmuslim, dan ia disebut juga dengan akad al-aman.

  2) Jenis yang jumlah tidak terbatas, dan ia dinamakan sebagai al-hudnah; dinamakan pula al-muwada’ah, al-mu’ahadah, al-musalamah, dan al-

  muhadanah .

  Berikut ini adalah rincian jenis-jenis dari perdamaian menurut hukum Islam: 1.

  Akad Dzimmah (Jizyah) Secara etimologi dzimmah berarti al-ahdu (perjanjian) dan al-aman

  (jaminan keamanan), al-dhaman (jaminan), al-kafalah (tanggungan), al-haq (keberhakan). Adapun dzimmah menurut terminologi berarti akad perjanjian damai yang sifatnya permanen dengan golongan selain kaum muslimin sebagai jaminan bagi mereka untuk tinggal di negara Islam, dalam keadaan terjamin keselamatan diri, harta, dan kehormatan mereka. Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Akad dzimmah adalah perjanjian penghentian perang, dan keharusan bagi ahlu dzimmah tunduk kepada segala ketentuan aturan 43 Wabah Az-Zuhaili, Op.Cit, Hlm. 358, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung

  Islam dalam hal-hal yang berkaitan dengan hubungan (perjanjian), serta rela

  

  tinggal di negeri Islam.” Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad dzimmah, yaitu:

  1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 29: “Perangilah orang-

  orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

  Surat At-Taubah ini turun setelah penaklukan kota Mekkah tahun 9 H. Khusus ayat di atas diturunkan tatkala Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat beranjak menuju Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya dari kabilah Kristen bangsa Arab. Penetapan akad dzimmah dalam syariat serta pemungutan jizyah mulai berlaku setelah turunnya surat At-Taubah ini. 2)

  Dari Sulaiman bin Buaraidah ra. (w. 105) dari bapaknya (w. 63 H), ia berkata: “Rasulullah SAW jika hendak mengutus panglima perang beliau akan memberi wasiat akan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan kebaikan pada diri pribadinya serta kaum muslimin yang bersamanya.” Beliau bersabda: “Jika engkau berhadapan dengan musuh dari musyrikin, maka 44 ajaklah mereka pada salah satu dari tiga perkara: Ajaklah mereka pada

  Al-Sarakhsi, al-Mabsuth, t.Cet, (Beirut: Daar al-Fikr li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1421

  Islam; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Jika mereka menolak, maka ajaklah mereka untuk membayar jizyah; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Namun jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan pada Allah dan perangilah mereka. ” (HR. Muslim No. 1731)

  Melalui akad ini, maka ahlul dzimmah berhak untuk berdomisili dalam negara Islam dan hidup bersama kaum muslimin, dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sama terhadap negara, berupa jaminan keamanan serta kebebasan dalam hal mencari penghidupan serta menjalankan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hikmah pensyariatan jizyah yaitu membangun jalinan sosial antara muslim dan nonmuslim. Hidup berdampingan secara damai tidak jarang menjadi daya tarik nonmuslim untuk memeluk agama Islam. Selain itu, interaksi dengan kaum muslimin dapat dapat menambah wawasan mereka tentang Islam. Diharapkan dari hubungan ini akan

   muncul para muallaf baru yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.

2. Akad Al-Aman

  Al-Aman menurut bahasa adalah lawan dari ketakutan. Namun, yang

  dikehendaki dalam pembahasan di sini adalah penghentian membunuh dan berperang dengan musuh. Akad ini merupakan bagian dari rekayasa perang dan kebaikan dalam perang. Terdapat beberapa definisi yang dilontarkan para sajana hukum Islam mengenai makna al-aman, di antaranya:

  1) Definisi golongan Hanafiyah terhadap akad al-aman, al-Kasaani (w. 587

  H) menyatakan: “Kata ini bermakna suatu proses di mana pasukan (Islam) mengepung benteng musuh, lalu mereka meminta jaminan keamanan, dan kaum muslimin menyanggupi untuk memberi jaminan tersebut. 2)

  Al-Dasuqi (w. 1230 H) dari kalangan Malikiyah memberi definisi bagi

  akad al-aman sebagai: “Hilangnya kebolehan menumpahkan darah dan

  mengambil harta golongan harbi (kaum nonmuslim yang diperangi) dalam satu kancah peperangan dan lainnya, bersama dengan keluasan mereka tinggal di bawah hukum Islam dalam jangka waktu tertentu.”

  3) Al-Syarbini (w. 977 H) dari ulama kalangan Syafi’i menyatakan: “Akad al-aman adalah perjanjian yang diarahkan untuk meninggalkan perang dan pembunuhan terhadap kaum nonmuslim.” Dari definisi akad al-aman yang dilontarkan para ulama di atas, maka yang tampak sebagai definisi terbaik adalah definisi al-Dasuqi (w. 1230 H) dari kalangan Malikiyah. Definisi tersebut lebih dekat dengan maksud sebenarnya dan lebih universal, mencakup gambaran bagi kandungan akad al-aman tersebut.

  Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad al-Aman: 1)

  Fiman Allah Ta’ala berkenaan dengan permohonan Nabi Ibrahim AS dalam Surat Al-Baqarah ayat 126, yakni: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan sentosa, dan

  berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.

  2) Firman Allah Ta’ala kala menyebutkan nikmat-nikmat yang diberikan kepada bangsa Quraisy dalam Surat Quraisy ayat 4, yakni:

  “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar

  dan mengamankan mereka dari ketakutan.

  3) Firman Allah Ta’ala tentang buah dari keyakinan yang benar dalam Surat

  Al-An’am ayat 82, yakni: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka

  dengan kezaliman (syirik), maka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

  4) Dari Amru bin Syu’aib (w. 118 H) dari bapaknya dari kakeknya menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Seluruh kaum muslimin setaraf

  dalam (hak tuntutan) atas darah, dan berlaku jaminan keamanan (yang ia berikan) hingga oleh seorang yang paling rendah (kedudukannya) di antara mereka. ” (HR. Abu Daud No. 2753)

  Dalam referensi para sarjana hukum Islam, akad al-aman terbagi menjadi dua jenis, yakni: 1)

  Akad al-Aman umum, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan sekelompok orang yang tak terhitung jumlahnya seperti penduduk di sebuah kawasan tertentu, dan yang boleh mengadakan akad aman

   semacam ini hanya imam atau yang mewakilinya (pemimpin).

  2) Akad al-Aman khusus, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan perorangan atau sekelompok orang yang terhitung jumlahnya seperti sepuluh orang atau hitungan di bawahnya.

   3.

  Akad Hudnah

  Hudnah , muwad’ah, mu’ahadah, musalamah dan muhadanah mempunyai

  arti yang sama. Menurut bahasa adalah mushalahah (berdamai). Sedangkan menurut syara’ adalah berdamai dengan orang-orang kafir musuh dengan menghentikan peperangan hingga masa yang telah ditentukan disertai sejumlah uang pengganti atau tanpa pengganti, baik di lingkungan mereka ada seseorang yang tetap memilih agamanya dan seseorang yang tidak tetap memilih agamanya. Akad hudnah diberlakukan dengan para musuh yang berdomisili di berbagai negara yang mereka kuasai, bukan saat mereka mengambil alih negara kita secara paksa, seperti tindakan yang dilakukan bangsa Yahudi di Palestina. Pada saat terjadi pengambilalihan secara paksa, maka menurut syara’ wajib mengusir mereka dari negara tersebut.

  

  1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 9, yakni:

  Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad hudnah: “(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya

  kepada orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan

47 Ibid , Hlm 436

  dan ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.

  2) Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Anfal ayat 61, yakni:

  “Tetap, jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan

  bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

  Ketika akad hudnah dihukumi sah, maka diwajibkan atas pihak yang mengadakan akad hudnah dan orang-orang setelahnya yang berstatus sebagai iman (pemimpin) menjaga diri mereka dan melindungi dari sesuatu yang menyakitkan sampai habisnya masa hudnah. Atau mereka membatalkan akad hudnah dengan ungkapan yang tegas dari mereka, atau mereka menyerang kaum kaum muslim tanpa alasan yang jelas, atau mengirimkan surat tertulis kepada orang-orang kafir musuh dengan mengungkapkan kekurangan kaum muslimin, atau dengan membunuh seorang muslim. Kita tidak harus melindungi dan memediasi kafir musuh. Karena hudnah bertujuan memberikan perlindungan,

   bukan menjaga, berbeda dengan akad dzimmah.

D. Kewajiban Menghormati Perdamaian

  Traktat-traktat internasional yang pernah disepakati sebelum datangnya Islam, kebanyakan hanya sebagai alat bagi bangsa-bangsa besar untuk menekan bangsa lemah atau bangsa yang kalah. Demikianlah, hingga umur traktat-traktat itu jarang yang berlanjut lama. Sebab, tatkala negara lemah menjadi kuat dan sebaliknya, negara besar menjadi lemah, atau negara lemah mendapat pendukung

   yang siap menghadapi rivalnya, maka riwayat traktat tersebut berakhir sudah.

  Berbeda ketika syariat Islam datang, keberadaan traktat-traktat internasional mulai memasuki era baru. Islam menetapkan hukum akan kewajiban untuk menempati dan menghormati kewajiban. Islam tidak menjadikan traktat-traktat tersebut sebagai alat untuk membuat makar dan tipu daya, sebagaimana Islam mencegahnya menjadi sarana untuk memonopoli perekonomian, membuka pasar- pasar baru, menyedot darah dan sumber daya alam bangsa lain, seperti banyak

   dilakukan bangsa-bangsa imperalis timur dan barat pada abad pertengahan.

  Bukti sejarah paling otentik berkaitan dengan sifat amanah serta kesetiaan kaum muslimin untuk menghormati sebuah perjanjian, kendati secara lahiriah merugikan bagi kaum muslimin adalah peristiwa yang terjadi sesaat setelah ditandatanganinya traktat perjanjian Hudaibiyah. Yakini, peristiwa pelarian Abu Jandal bin Suhail ra. (w. 18 H) anak dari Suhail bin Amru yang saat itu bertindak sebagai wakil kaum Quraisy. Dalam kondisi terbelenggu dari Mekkah untuk menyusul kaum muslimin di Madinah. Suhail bin Amru lantas mencengkram kerah baju Abu Jandal, memukul, dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada kaum Quraisy. Sebab, demikianlah di antara isi perjanjian yang telah disepakati. Abu Jandal pun berseru lantang: “Wahai segenap kaum muslimin, tegakah kalian bila aku dikembalikan kepada kaum musyrikin yang akan menyiksa diriku karena agamaku ini?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Wahai Abu Jandal, sabar dan 50 Ibnu Qudamah, Muhammad bin Ahmad, Al-Syarh Al-Kabir Ma’a Al-Mughni, t.Cet,

  (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Arabi, 1403 H/1983 M), Hlm. 244, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 391 bertahanlah, sungguh Allah akan memberi jalan keluar bagimu serta kaum lemah yang bersamamu. Kami telah mengukuhkan sebuah perjanjian antara kami dan mereka , dengan sumpah yang kami dan mereka berikan atas nama Allah.

   Sungguh kami tidak akan mengkhianatinya.”

  Sa’id Hawwa berkata: “Bahwa Islam juga mewajibkan untuk menghormati dan menaati perjanjian internasional. Sikap, seperti ini adalah bagian dari akhlak seorang muslim yang baik. Sebagai contoh, ketika Nabi SAW dinasihati untuk mengikuktkan segel (stempel) resmi pada surat yang akan beliau kirimkan kepada para pemimpin lain, beliau menerimanya. Sebab, hal ini merupakan aturan dan tata cara pada saat itu.

  Bila tidak, para pemimpin yang dikirimkan surat tidak akan mau menerima surat tersebut. Jadi beliau pun memberi stempel pada suratnya dengan menggunakan cincinnya yang diukir dengan kata Muhammad, Rasul Allah. Dari sini dapat

  

  disimpulkan bahwa Nabi SAW ikut kepada protokol internasional.” Jelaslah di sini, syariat Islam memerintahkan untuk senantiasa dan menghormati perjanjian. Sehingga dengan demikian bagi seluruh umat Islam dilarang untuk membatalkannya, apalagi mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

  “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan

  janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah 52 meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al- Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H), Hlm. 326, dikutip dalam Muhammad Ashri dan

  Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 392-393 53 Sa’id Hawwa, Op.Cit,Hlm. 800, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung