Penyelesaian Sengketa Spartly Islands Menurut Hukum Internasional

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana hukum

OLEH :

SATRYA WICAKSONO WIJAYA MULYA NIM: 070200365

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana hukum

OLEH :

SATRYA WICAKSONO WIJAYA MULYA NIM. 070200365

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Diketahui dan Disahkan oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 196660303 198508 1 001 ARIF, SH, M.H

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

ARIF, SH, M.H

NIP. 196660303 198508 1 001 NIP. 196808022 00312 1 002 DENI PURBA,SH,L.L.M

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi merupakan suatu kewajiban dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan studinya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan sebagai suatu karya ilmiah dalam melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulisan skripsi ini sangatlah penting sebagai suatu sarana meningkatkan mutu pendidikan mahasiswa/i pada khususnya dan dunia perguruan tinggi pada umumnya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis mengetengahkan sebuah karya ilmiah atau skripsi dengan judul PENYELESAIAN SENGKETA SPRATLY ISLAND MENURUT HUKUM INTERNASIONAL.

Pada penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi bahasa penulisan maupun penjabarannya yang mana masih belum lengkap dan ditemui berbagai kekurangan atau kesilapan yang mana hal ini dikarenakan kurangnya pengalaman penulis dan terbatasnya pengetahuan


(4)

ii

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain serta hidup bermasyarakat dalam perjalanannya menempuh kehidupan di dunia ini khususnya dalam mengemban tugas-tugasnya yang tidak akan lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis pada kesempatan ini menghanturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Pendastaren Tarigan, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingan yang telah Bapak berikan selama ini. You are the best lecturer I ever had.

6. Bapak Arif, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berarti dan


(5)

bermanfaat bagi Penulis hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Bapak dan berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

8. Bapak Deni Purba, S.H., L.L.M. selaku Pembimbing Dosen II yang telah menjadi tempat bertanya, bertukar pikiran dan bimbingannya selama ini, terima kasih atas perhatian dan saran-saran serta dukungannya.

9. Bapak Sutiarnoto, S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Internasional. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

10.Bapak Edy Ikhsan. S.H., selaku Dosen Bahasa Belanda dan Dosen Hukum Perdata. Terima kasih atas semua bantuan dan inspirasi serta perhatian dan dukungan yang sangat besar manfaatnya bagi Penulis.

11.Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Orang Tua penulis tercinta Suparlan,SE dan Ade Dwi Kartika Sukma Harahap, yang menjadi inspirasi penulis I Love You Mom and Dad.

13.Adikku tercinta Panji Kuncoro Wibowo terima kasih dukungan dan perhatiannya selama ini, yang tidak bosan-bosannya menemani dan memberi semangat Penulis dalam menyelesaikan skripsinya. Cobaan bukan penghalang suatu keberhasilan.


(6)

14.Keluarga besar H. Bernada Sukma Harahap (Ben Sukma) yang selalu ada disetiap masalah-masalah yang ada.

15.Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Fakultas Hukum USU periode kepengurusan 2009-2010.

16.International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU periode kepengurusan 2009-2010

17.Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang sangat Penulis sayangi, Yulia Andarini, S.H., Indra Panjang Fadillah, S.H., Wahyu Simon Tampubolon, S.H., Febri Dermawan, S.H., Ridha Ramathan Hafiz, S.H., Alfarius Polintino, S.H., Endhar Prayoga, S.H., Yurista Arini, S.H., Syahnida Maharani, S.H., Sri Chairani Putri, S.H., Dominicus Dipomagto Ragiomessa, Gordon D Manurung, Dandie Shamirza, Anggi Batak, Obet mail, Barita Lumbanstone, Ujek, Nanda, Romi, dan Iman . Senang bisa kenal dengan kalian semua, melalui hari-hari bersama dalam suka dan duka. Begitu banyak kenangan indah yang tidak dapat dilupakan, semoga persahabatan dan silaturahmi kita tetap terjalin sampai hari tua. Amin.

18.Dan buat seluruh teman-teman stambuk 2007 yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini. 19.Dan buat semua teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu,

terima kasih buat semuanya.

Kesadaran Penulis akan tidak sempurnanya hasil penulisan skripsi ini membawa harapan yang besar pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang konstriktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih


(7)

baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi isi/materi maupun dari segi cara penulisannya di masa mendatang.


(8)

vi

membantu Penulis secara tulus dan ikhlas dengan mendapatkan balasan yang setimpal.

Wassalam Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAKSI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II: PENGATURAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PULAU/ KEPULAUAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Defenisi Sengketa, Konflik, Sejarah Dan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum Laut Internasional………... 13

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai Hukum Laut Internasional (a) Pengaturan Batas Laut Teritorial dan Lintas Damai di laut Teritorial……….. ... 24


(10)

(b) Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 33 (c) Pengaturan mengenai batas laut territorial antara Negara

Kepulauan dengan Negara Pantai 39

C. Penyelesaian sengketa kepulauan menurut Hukum Internasional ... 57

BAB III: GAMBARAN SEJARAH KONFLIK KEPULAUAN SPRATLY

A. Sejarah dan faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik kepulauan spratly ... 66 B. Dasar-Dasar Para Pihak Bersengketa Melakukan Klaim

Terhadap Kepulauan Spratly ... 89 C. Dampak Dan Pengarruh Sengketa Kepulauan Spratly


(11)

ix

PENYELESAIAN SENGKETA SPRATLY ISLANDS

A. Penyelesaian Sengketa Menurut Pengaturan Hukum Internasional ... 106 B. Upaya yang dilakukan oleh Organisasi Internasional dalam

menangani permasalahan sengketa Kepulauan Spratly ... 115 C. Solusi atau Upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesaian


(12)

x

B. Saran... 138 DAFTAR PUSTAKA ... 139


(13)

ABSTRAKSI Satrya Wicaksono WM

Arif ,S.H,M.Hum.

1

Deni Purba, S.H, M.Hum.

2 3

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap penyelesaian sengketa Spratly Islands menurut hukum Internasional. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penyelesaian sengketa pulau/ kepulauan menurut hukum internasional, dan bagaimana permasalahan yang terjadi di spratly islands,bagaimana penyelesaian sengketa spratly islands menurut hukum internasional. Adapaun metode penelitian dilakukan dengan mengambil data dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dimana hal ini mengetahui penyelesaian sengketa spratly islands menurut hukum internasional.

Untuk mengatur mengenai hak-hak dari setiap negara demi kepemilikan dari pulau/ kepulauan termasuk didalam sengketa mengenai spratly islands. Pengaturan tentang laut adalah penting guna menjamin penyelenggaraan penegakan hak-hak dari masing-masing negara dalam mempertahnkan daerah territorialnya. Pengaturan itu menjadi dasar hukum dan pelaksanaan penegakan hak dari negara-negara dimana tidak lagi terdapat kesenjangan antara negara yang berpengaruh bagi negara lain dengan negara yang hanya memperjuangkan haknya demi negaranya. Pengaturan hukum laut mengenai territorial, zona ekonomi ekslusif, dan landas kontinen ini hendaknya memperhatikan berbagai bidang atau aspek yang berhubungan dengannya mengingat pengaturan tentang laut ini mempunyai kaitan yang sangat luas dengan aspek lainnya. pembagian pengaturan tentang laut ini dapat dibagi dalam : laut territorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

Namun pada kenyataannya, walaupun telah dibuat peraturan-peraturan mengenai pengaturan tentang laut ini, terdapat kesenjangan-kesenjangan dari tiap negara dalam melaksanakan kepentingan negaranya dalam mempertahankan daerah territorialnya berlandaskan peraturan yang pasti dan diakui, untuk mengatasi masalah itu masyarakat internasional telah mengeluarkan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994.

1

Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis 3


(14)

1

A. Latar Belakang

Kepulauan Spratly merupakan sebuah kumpulan kepulauan yang terdiri daripada kawasan tanah di dalam kawasan laut yang luasnya lebih daripada 425,000 kilometer persegi. Kepulauan Spratly adalah salah satu daripada tiga kepulauan di Oleh itu, ia menyebabkan banyak kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan territorial dan ekonomi di kawasan itu.

Kira-kira 45 pulau diduduki oleh bilangan yang agak kecil angkatan tentara da dan bagian kepulauan kecil di atas minimal ketinggian air (di

Kepulauan ini menjadi puncak sengketa yang terbaru antara negara-negara yang bertetanggaan dan yang wilayahnya dekat dengan kepulauan spratly. Kepulauan spratly ini dikatakan berada di atas pentas benua yang mengandungi


(15)

merupakan sebuah kata yang sangat sensitif terdengar dalam wilayah hukum Internasional. Wilayah negara merupakan sesuatu yang paling urgen dan sangat dipertahankan oleh semua negara bahkan hingga harus mengorbankan nyawa. Dapat dikatakan bahwa diantara semua unsur negara, teritorial merupakan harga diri dari sebuah negara sehingga harus dipertahankan meskipun harus dengan berperang.

Hal ini yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan di kalangan Internasional. Sebut saja kasus antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia mengenai sengketa pulau sipadan dan ligitan yang kemudian dibawa ke Mahkamah Internasional. Hal ini membuat hubungan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia sebagai negara tetangga makin menegang dan memanas, walaupun setelah itu Malaysia dinyatakan sebagai pemenang sengketa tersebut. Sebenarnya sudah sejak Indonesia merdeka perseteruan ini muncul, dan hanya disebabkan oleh wilayah negara. Ini merupakan salah satu bukti bahwa wilayah kedaulatan menjadi salah satu unsur yang sangat dipertahankan oleh negara.

Ada pula kasus yang cukup rumit yang terjadi belakangan ini mengenai wilayah negara yaitu sengketa kepulauan Spratly. Lain halnya dengan kasus diatas, sengketa kepulauan Spratly ini mempunyai cerita panjang yang melatarbelakangi sengketa tersebut. Sengketa ini melibatkan banyak negara sehingga penyelesaiannya yang sangat rumit dan berlarut-larut. Sengketa ini juga mempunyai latar belakang yang cukup rumit sehingga belum terjadi kesepakatan diantara negara-negara bersengketa.


(16)

Rumitnya medan wilayah persengketaan menambah semakin sulitnya penyelesaian diantara semua pihak. Kepulauan Spratly berada diantara beberapa negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Cina, Taiwan, dan Filipina. Kepulauan Spratly pada awalnya tidak berpenghuni. Hal ini disebabkan kebanyakan pulau ini berupa gugusan karang. Namun klaim terhadap kepulauan Spratly dilancarkan karena kepulauan Spratly mempunyai banyak kelebihan misalnya kekayaan kandungan minyak dan letaknya yang strategis.

Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun.

Sengketa wilayah dan penguasaan kepulauan di Laut China selatan, di awali oleh tuntutan China atas kepemilikan seluruh pulau-pulau yang ada di Laut China Selatan termasuk di dalamnya adalah Kepulauan Spratly. China mengakui kedaulatan di Laut China Selatan berdasarkan sejarah serta dokumen-dokumen kuno. Menurut China sejak 2000 tahun yang lalu, perairan ini telah menjadi jalur transportasinya. Namun di lain pihak yaitu Vietnam membantah serta tidak mengakui klaim kepemilikan wilayah terhadap Kepulauan Spratly. Bahkan, Vietnam menyatakan wilayah Kepulauan Spartly merupakan bagian dari wilayah


(17)

negaranya. Vietnam mengakui wilayah Kepulauan Spratly dan sekitarnya

merupakan bagian dari teritorinya sejak abad ke-17. Akibat perebutan pengakuan wilayah atas Kepulauan Spratly antara China dan Vietnam, pada tahun 1988 terjadi insiden antara Angkatan Laut China dan Angkatan Laut Vietnam. Insiden ini terjadi dimana kapal Angkatan Laut Vietnam yang sedang berlayar di Laut China Selatan dicegat oleh kapal perang Angkatan Laut China, sehingga bentrokan tidak dapat dihindari. Dalam bentrokan ini Angkatan Laut Vietnam kehilangan 74 prajuritya. Akibat dari insiden ini, Vietnam memutuskan hubungan diplomatik dengan China, walaupun beberapa tahun kemudian hubungan

diplomatik kedua negara berlangsung normal kembali.

Dalam perkembangannya, selain China dan Vietnam, Filipina pun

mengakui kedaulatannya atas wilayah Kepulauan Spratly. Filipina yang menyebut Kepulauan Spratly dengan nama Kalayaan. Adapun alasan Filipina mengakui serta menduduki Kepulauan Spratly bagian timur, karena kawasan tersebut tidak bertuan atau kosong. Filipina juga menunjukkan Perjanjian Perdamaian San Fransisco 1951, dimana dalam perjanjian tersebut Jepang melepaskan

kedaulatannya atas Kepulauan Spratly, tapi tidak disebutkan diserahkan kepada negara manapun. Filipina mulai membuka pengeboran gas serta eksploitasi

perikanan di sekitar Kepulauan Spratly bagian timur. Bahkan, kehadiran Flipina di Kepulauan Spratly bagian timur dipertegas dengan mendirikan pos pasukan marinir di sebagian gugus pulau itu. Tumpang tindih pengakuan kedaulatan Kepulauan Spratly oleh Filipina, telah menimbulkan beberapa insiden seperti tahun 1995 ketika Angkatan Laut Filipina membongkar bangunan milik China.


(18)

Ketegangan pun berlanjut ketika China merespon sengketa itu dengan mengirim kapal perang ke Kepulauan Spratly. Di lain pihak pasukan militer Filipina menangkapi nelayan China yang beroperasi di sekitar Kepulauan Spratly Timur. Tetapi konflik China-Filipina atas klaim wilayah Kepulauan Spratly tidak segawat antara China dengan Vietnam. Konflik ini untuk sementara dapat diredam lewat jalur diplomatik antar kedua negara.

Belakangan, Malaysia, Taiwan dan Brunei ikut menyatakan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan merupakan bagian dari wilayah negara mereka. Malaysia ikut menegaskan bahwa sebagian dari Kepulauan Spratly adalah bagian dari wilayahnya. Malaysia menyebut Kepulauan Spratly dengan nama Terumbu Layang. Menurut Malaysia, langkah ini diambil berdasarkan Peta Landas

Kontinen Malaysia Tahun 1979, yang mencakup sebagain dari wilayah Kepulauan Spratly. Malaysia bahkan membangun mercusuar di salah satu wilayah di

Kepulauan Spratly. Malaysia yang bersama Filipina dan Brunei merupakan sesama anggota Asean, dengan adanya sengketa atas wilayah Kepulauan Spratly khusus untuk Malaysia-Filipina semakin menambah rumit hubungan diantara kedua negara. Hubungan antara Malaysia dengan Filipina yang selama ini agak kurang harmonis karena masalah tenaga kerja, kini masalah semakin kompleks dengan munculnya sengketa klaim wilayah Spratly antara kedua negara.

Taiwan sebagai salah satu negara yang mengakui kedaulatan atas

Kepulauan Spratly, juga mengalami ketegangan hubungan dengan Flipina. Klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly memunculkan potensi konflik yang cukup rawan. Taiwan mengklaim dan menduduki Kepulauan Spratly pada tahun 1956


(19)

dengan menempatkan pasukannya secara permanen serta membangun landasan pesawat dan instalasi militer lainnya di Pulau Itu Abaa. Di Kepulauan Kalayaan, yang merupakan wilayah gugus Kepulauan Spratly timur mengalami tumpang tindih kepemilikan antara Filipina dan Taiwan. Wilayah yang paling

dipertentangkan adalah Pulau Itu Abaa, yang oleh Filipina disebut Pulau Ligaw. Pada tahun 1988 Angkatan Laut China menahan 4 buah kapal nelayan Taiwan yang dituduh telah memasuki wilayah perairan Filipina di Kalayaan. Disamping konflik antara Taiwan-Filipina, konflik juga terjadi antara Taiwan-China

mengenai klaim kedaulatan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Konflik Taiwan-China atas Kepulauan Spartly merupakan konflik historis antara kedua negara. Dimana kita tahu pada tahun 1949 telah terjadi perang sipil antara kaum Komunis dan Nasionalis yang melahirkan dua negara yaitu Republik Rakyat China dan Taiwan. Klaim Taiwan terhadap Kepulauan Spratly sama dengan klaim yang dilakukan China yaitu klaim berdasarkan sejarah masa lalu dari jaman kuno.

Brunei merupakan satu-satunya negara yang tidak mengklaim pulau atau daratan di wilayah Kepulauan Spratly. Brunei hanya mengklaim atas batas kontinen perairan di Laut China Selatan. Brunei ingin ketegasan mengenai masalah tapal batas kontinen perairan negaranya yang meliputi wilayah di sekitar perairan Kepulauan Spratly. Walaupun demikian tetap saja menimbulkan konflik dengan Malaysia, yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan Laut China Selatan yang sewaktu air pasang berada di bawah permukaan laut. Brunei mengakui gugusan karang dan landasan kontinen di sekitarnya merupakan bagian dari wilayahnya. Di pihak Malaysia pada tahun 1979 mengklaim gugusan karang


(20)

tersebut bahkan mendudukinya. Akan tetapi sengketa antara Brunei-Malysia mengenai klaim kedaulatan di sekitar Kepulauan Spartly relatif tenang, belum sampai menimbulkan konflik terbuka kearah peperangan antar kedua negara. Namun demikian, tetap saja masalah tumpang tindih pengakuan kepemilikan terhadap Kepulauan Spratly sewaktu-waktu bisa meletus kearah konflik terbuka antara Malaysia-Brunei.

Faktor itulah yang menambah mengapa isu klaim atas Kepulauan Spratly begitu rumit dan berlangsung lama.

Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar masalah ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen. Persoalannya menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara.

Kasus ini memang sangat menarik untuk dibahas. Selain untuk menambah ilmu pengetahuanyang lebih dalam mengenai hal kepulauan spratly, juga sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran terutama ilmu yang berkaitan dengan hukum internasional seperti hukum laut. Oleh karena itu skripsi ini dibuat


(21)

untuk menguraikan bagaimana sebenarnya sengketa yang terjadi di wilayah kepulauan Spratly.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan/ Penyelesaian sengketa pulau/ kepulauan menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimana permasalahan sengketa Spratly Islands?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa Spratly islands menurut Hukum Internasional?


(22)

B. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun dalam rangka penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisannya akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana permasalahan yang terdapat pada sengketa daerah territorial diatur dalam hukum Internasional yang khususnya diatur oleh hukum laut Internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana upaya penyelesaiaan hukum terhadap permasalahan sengketa internasional tentang penentuan daerah territorial yang diatur di dalam hukum Internasional yang khususnya diatur oleh Hukum Laut Internasional.

3. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyelesaian sengketa kepulauan Spratly tersebut menurut peraturan peraturan yang diatur dalam hukum internasional yang mengatur mengenai hukum laut internasional.

Adapun pembahasan skripsi ini, diharapkan juga dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoretis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang Hukum Laut Internasional.

2. Manfaat secara praktis

Bagi penulis secara pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan menyusun suatu karya ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Skripsi


(23)

ini ditujukan kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat untuk lebih mengetahui bagaimanakah Penegakan Hukum Internasional terhadap permasalahan yang sangat sensitive mengenai daerah territorial setiap negara yang bersengketa.

C. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini pada dasarnya penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis sebagai skripsi sebelumnya oleh pihak lain. Dengan demikian, skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan penulis baik secara moral maupun secara akademik karena diperoleh melalui pemikiran, referensi buku-buku, dan perundang-undangan yang berlaku.

D. Tinjauan Kepustakaan

Dalam menentukan status Hukum Laut territorial, ruang udara di atas laut dan dasar laut serta tanah dibawahnya yang terdapat pada laut china selatan yang khususnya membahas tentang Kepulauan Spratly diatur didalam Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut yang ditanda tangani pada tanggal 10 Desember 1982 yang bertempat pada montego bay Jamaica yang merupakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982, mendefinisikan mengenai hak dan tanggung jawab Negara-Negara dalam penggunaaan laut di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat didalam laut.


(24)

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metedologis, dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisanya. Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

Metode penelitian hukum ini terdiri dari dua macam yaitu :

1. Metode yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan atas noma-norma hukum yang berlaku, yang norma-norma tersebut berasal dari peraturan hukum yang diundangkan maupun hukum yang diakui.

2. Metode studi kepustakaan (Library Research) yaitu Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif karena dalam penelitian ini penulis memperoleh data dengan membaca, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, konvensi-konvensi dan sebagainya yang menurut penulis ada hubungannya dengan Penyelesaiaan Konflik Spratly Island Dari Sudut Pandang Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Adapun bahan yang penulis gunakan sesuai dengan ketentuan bahan-bahan dasar suatu penelitian yang terdiri dari :


(25)

1. Bahan hukum Primer yaitu perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang ditanda tangan pada 10 desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Berlaku pada 16 November 1994.

2. Bahan hukum skunder yaitu berupa tulisan-tulisan, pendapat sarjana, dan pendapat para ahli yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti kamus-kamus hukum.

F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini, penulis membuat suatu sistematika penulisan mengenai ruang lingkup permasalahan yang ada. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan suatu bentuk susunan skripsi yang beraturan. Maka dari itu, perlulah dalam pembahasannya dan penyajian skripsi ini dibagi atas beberapa Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman dan pengertian pembaca. Adapun sistematika dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang terdiri dari sub bab yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian


(26)

yang penulis gunakan dalam membahas skripsi dan pada akhir bab ini adalah sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PULAU/ KEPULAUAN MENURUT KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT

Merupakan pembahasan mengenai pengaturan-pengaturan yang merupakan perjanjian Hukum Laut Internasional yang dihasilkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Ketiga (UNCLOS III) yang mendefinisikan mengenai hak dan tanggung jawab dari setiap Negara-Negara dalam mengelola sumber daya alam yang terdapat di dalam laut, dan juga mendefinisikan mengenai penentuan terhadap batas laut teritorial, lebar laut teritorial dan menyertakan status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah dibawahnya.

BAB III : GAMBARAN SEJARAH KONFLIK KEPULAUAN SPRATLY

Merupakan pembahasan sejarah mengenai asal mulanya terjadi konflik yang terjadi di Kepulauan Spratly ini, Faktor-faktor yang membuat pihak-pihak yang bersengketa semakin


(27)

berobsesi dan memanas untuk mempertahankan daerah territorial kepulauan spratly tersebut.

BAB IV : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN UPAYA

ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPULAUAN SPRATLY

Merupakan pembahasan mengenai pengaturan-pengaturan dari Hukum Internasional dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Organisasi-Organisasi internasional yang dimana didalam tubuh organisasi internasional itu terdapat Negara-Negara yang bersengketa dalam sengketa Kepulauan Spratly tersebut, sehingga tidak menimbulkan dampak-dampak yang bisa merugikan baik bagi masing-masing negara atau bagi organisasi internasional yang anggotanya terlibat didalam sengketa tersebut.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan kesimpulan dan saran sebagai bab terakhir yang penulis isi dengan kesimpulan dari hasil pembahasan yang penulis anggap penting dan selanjutnya diberikan saran yang sekiranya bermanfaat.


(28)

BAB II

PENGATURAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PULAU/ KEPULAUAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Defenisi Sengketa, Konflik, Sejarah Dan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum Laut Internasional


(29)

Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dengan cara lapangkah, atau bahkan cara yang kasar dan merugikan orang lain. Tentu kita harus profesional menyikapi semua ini demi kelangsungan hidup yang harmonis tentram dan nyaman, dan tentu tidak untuk merugikan orang lain. Kenapa kita harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya. Berikut adalah pengertian dari sengketa itu sendiri, menurut kamus bahasa Indonesia ;

“Sengketa itu berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.”

Namuan didalam ranah internasional maka sengketa dalam skala internasional memiliki makna yang berbeda seperti yang disebutkan oleh adolf didalam tulisannya yaitu “Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.1

1

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 3

Didalam kehidupan sehari-hari setiap manusia dapat dijumpai konflik, baik konflik bagi individu maupun konflik bagi kelompok-kelompok individu yang dapat melibatkan individu-individu tersebut dalam keadaan yang menimbulkan


(30)

perseteruan maupun pertikaian. Seperti yang telah kita ketahui bahwa konflik dapat terjadi terhadap negara-negara yang dimana dalam permasalahannya terdapat hal yang tidak dapat terselesaikan. Permasalahan mengenai Kepemilikan pulau maupun daerah territorial, mengenai dampak pencemaran lingkungan yang memberikan dampak antara negara yang satu terhadap negara yang lainnya.maka sengketa itu ialah

masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya

saling mempermasalahkan suatu objek tertentu, hal ini terjadi dikarenakan

kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya

yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Didalam hidup bernegara tentu dapat kita temukan hal-hal yang dimaksud dalam konflik dan sengketa ini, dalam hal ini saya mengambil salah satu contoh yaitu mengenai pengaturan Hukum internasional mengenai konflik maupun sengketa yang terjadi pada permasalahan laut internasional baik dalam hak atas pulau-pulau kecil yang terdekat pada negaranya maupun mengenai batas-batas territorial suatu negara.

Sebelum masuk kedalam pembahasan permasalahan tentang laut internasional, kita juga harus mengerti dan mengetahui sejarah, prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum Laut Internasional tersebut. Mengenai Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum laut Internasional ini merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dibentuk berupa resolusi-resolusi dalam pengaturan mengenai batas-batas kekuasaan maupun pengaturan lain didalam Hukum Laut


(31)

Internasional yang dikandungkan didalam suatu Konvensi/ Perjanjian Hukum Laut.

Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian.

Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi danaksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk


(32)

mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1).

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen


(33)

Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,

1. Perairan Pedalaman (Internal waters),

2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,

3. Laut Teritorial (Teritorial waters), 4. Zona tambahan ( Contingous waters),

5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6. Landas Kontinen (Continental shelf),

7. Laut lepas (High seas),

8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.


(34)

Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. negara tersebut yaitu adalah Negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis.

• Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.

• Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara.

• Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2. Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:


(35)

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II

2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran

b. Kebebasan menangkap ikan

c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa d. Kebebasan terbang di atas laut lepas

3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)

4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:


(36)

· Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.

· Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:

1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan LigaBangsa-Bangsa 2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I

3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II 4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi Negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:

• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan • Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat • Bertambah pesatnya perdagangan dunia

• Bertambah canggihnya komunikasi internasional

• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.


(37)

Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pengaturan Hukum Laut Internasional

Didalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS) telah menjelaskan mengenai peraturan-peraturan dalam Hukum Laut Internasional yang dimana bisa menyatakan mengenai status Hukum Laut

territorial, Ruang Udara di atas laut territorialnya dan dasar laut dibawahnya. Berkiblat dari permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini, bahwa dapat ditarik point-point yang perlu dibahas didalam pengaturan Hukum Laut

Internasional yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi, yaitu :

(a) Pengaturan Batas Laut Teritorial Dan Lintas Damai Di Laut Teritorial

Dalam menentukan lebar laut territorial setiap negara telah ditentukan dalam “Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut” bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut


(38)

teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, didalam pengukurannya diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.

Batas luar laut territorial adalah garis yang jarak setiap titiknya merupakan dari titik yang terdekat dari garis pangkal, sama seperti penentuan mengenai lebar laut territorial. Kecuali jika ditentukan lain dalam konvensi ini. Dimana garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai tersebut.

Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang

mempunyai karang-karang di sekitarnya,, maka garis pangkal untuk mengukur lebar dari laut territorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai bersangkutan.

Didalam penentuan Garis pangkal lurus terdapat beberapa hal yang harus dilakukan demi menentukan garis pangkal lurus tersebut dengan benar, sebagai berikut :

- Ditempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh kedalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu


(39)

deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari

mana lebar laut territorial diukur.

- Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku

sampai dirubah oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini.

- Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak didalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman.

- Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi, kecuali diatasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen ada diatas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum

internasional.

- Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan pada keterangan yang pertama, maka


(40)

didalam menetapkan garis pangkal tertentu dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang berlangsung lama. - Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu negara dengan cara yang demikian rupa sehingga laut territorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif

Adapun yang disebut dengan perairan pedalaman yang merupakan perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut. Dalam hal penetapan garis

pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam keterangan garis pangkal lurus diatas berakibat tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak dianggap demikian, maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak lintas damai sebagai mana ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Adapula yang dimaksud dengan teluk, yaitu suatu lekukan yang jelas lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata, seluas


(41)

atau lebih luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah suatu garis yang ditarik melintasi mulut lekukan tersebut.

Didalam pengukurannya, daerah suatu lekukan adalah daerah yang terletak antara garis air rendah sepanjang pantai lekukan itu dan suatu garis yang menghubungkan titik-titik garis air rendah pada pintu masuknya yang alamiah. Apabila karena adanya pulau-pulau, lekukan mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang melintasi berbagai mulut tersebut. Dan pulau-pulau yang terletak didalam lekukan harus dianggap seolah-olah sebagai daerah perairan lekukan tersebut.

Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup dapat ditarik antara kedua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup karenanya dianggap sebagai perairan pedalaman.

Apabila jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk melebihi 24 mil laut, maka suatu garis pangkal lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik dalam teluk tersebut sedemikian rupa, sehingga menutup suatu daerah perairan yang maksimum yang mungkin dicapai oleh garis sepanjang itu.


(42)

Untuk maksud penetapan batas laut territorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian daripada pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang permanen. Tempat berlabuh di tengah laut yang biasanya dipakai memuat, membongkar dan menambat kapal, dan yang terletak seluruhnya atau sebagian di luar batas luar laut territorial, termasuk dalam laut territorial.

Suatu elevasi surut adalah suatu wilyah daratan yang terbentuk secara ilmiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau

sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.

Apabila suatu elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang lebih dari laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka elevasi demikian tidak mempunyai laut territorial sendiri. Negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara penarikan manapun yang diatur dalam pasal-pasal


(43)

didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berlainan.

Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka untuk

menetapkan batas laut terrutorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut territorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut territorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Didalam menjalankan perdagangan di dunia tiap negara-negara yang melakukan kerja sama dalam bidang perdagangan, dan

kepentingan lainnya dapat melakukan pengiriman melalui laut yang kemudian melewati negara-negara baik diluar maupun didalam laut territorialnya, yang disebut dengan hak lintas damai.

Lintas yang berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan. Lintas ini dapat melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh ditengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan diluar perairan pedalaman. Kemudian lintas ini


(44)

dapat berlalu kea tau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas dapat berhenti dan buang jangkar tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena mengalami kesulitan atau guna memberikan

pertolongan kepada orang, kapal, pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.

Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan peraturan hukum internasional lainnya. Namun lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian. Ketertiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut:

- Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional

sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.


(45)

- Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun - Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai

- Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai

- Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara diatas kapal

- Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer

- Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan ketentuan konvensi ini - Setiap kegiatan perikanan

- Kegiatan riset atau survey

- Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau siap fasilitas atau instalasi Negara pantai

- Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas

Di laut territorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan


(46)

(b)Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah diluar dan

berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang diterapkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut.

Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai memiliki beberapa hak yaitu:

- Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eskploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan diatas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan

eksploitasi ekonomi zona tersebut, sama seperti produksi energy dari air, arus dan angin.

- Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut berkenaan dengan ; pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.


(47)

- Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur. Di zona ekonomi eksklusif semua negara baik negara berpantai atau tak berpantai dapat

menikmati dengan tunduk pada ketentuan yang relevan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta Kebebasan-kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang telah disebut pada pasal 87 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoprasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa dibawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini.


(48)

Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya

berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) di zona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan.

Dalam hal ini dimana konvensi ini tidak memberikan hak-hak atau yuridiksi kepada negara pantai atau kepada negara lain di zona ekonomi eksklusif dan timbul sengketa antara

kepentingan-kepentingan negara pantai dan negara lain maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.

Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakn dan mengatur

pembangunan, operasi dan penggunaan, seperti ;

- Pulau buatan

- Instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan tujuan ekonomi lainnya


(49)

- Instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu

pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut

Negara pantai memiliki yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi bertalian dengan

peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.

Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna pemberitahuan ada-nya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara. Setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar

internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang. Pembongkaran

demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan mengenai

kedalaman,posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak dibongkar secara keseluruhan.

Negara pantai, apabila diperlukan, dapat menetapkan zona keselamatan yang pantas di sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan


(50)

untuk menjamin baik keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut.

Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional yang berlaku. Zona keselamatan demikian harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau direkomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang. Pemberitahuan yang semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan tersebut.

Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini dan harus memenuhi standar internasional yang diterima secara umum yang bertalian dengan pelayaran disekitar pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan.

Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap peng-gunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran internasional.

Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut

teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona eksklusif atau landas kon-tinen.


(51)

Negara pantai harus menentukan, jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona eksklusifnya.

Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak di bahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, Negara pantai dan organi-sasi internasional yang berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini.

Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat

menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, ter masuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling keter gantungan persediaan jenis ikan dan standar

minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global.

Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus

memperhatikan akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan jenis populasi yang jenis yang ber- hubungan atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sang-at terancam.


(52)

Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi

persediaan jenis ikan harus disumbang -kan dan dapat dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang ber- wenang baik sub-regional, regional maupun global dimana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang warga negaranya di perbolehkan menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif.

(c) Pengaturan Mengenai Batas Laut Territorial Antara Negara Kepulauan Dengan Negara Pantai

Di dalam pengaturan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) terdapat beberapa perbedaan yang signifikan mengenai penentuan batas territorial antara Negara Kepulauan dengan Negara Pantai.

Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau perairan di antaranya dan lain lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujub alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,


(53)

Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah diaman perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan Sembilan berbanding satu.

Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.

Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, sehingga harus sesuai. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari pulau yang terdekat.

Namun sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara Kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut territorial Negara Lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan, terletak diantara dua bagian suatu negara tetangga


(54)

yang lansung berdampingan, hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhit di perairan demikian, serta segala hak yang diterapkan dalam perjanjian antara Negara-Negara tersebut akan berlaku dan harus dihormati.

Demi menghitung perbandingan perairan dengan daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran batu karang pulau-pulau dna atol, termasuk bagian yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas permukaan laut yang terletak di sekeliling tebing tersebut.

Garis pangkal ditarik sesuai dengan harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar demikian pada sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kedaulatan suatu Negara Kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan yang disebut sebagai perairan kepulauan tanpa memerhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas


(55)

perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung didalamnya.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) adalah suatu terobosan dalam mendefinisikan keluasan wilayah maritim yang menjadi wilayah jurisdiksi dari masing-masing negara. UNCLOS 1982 tidak hanya menghasilkan kesepakatan mengenai 12 mil laut territorial melainkan juga melahirkan perluasan zona laut dimana negara memiliki hak berdaulat (sovereign rights) terhadap sumber daya hayati dan non hayati yang terkandung didalamnya. Zona-zona inilah yang dikenal dengan Zona Ekonomi Ekslusif/ ZEE (200 mil dari garis pangkal) dan Landas Kontinen (hingga 350 mil dari garis pangkal). Lebih jauh pasal-pasal dalam LOS 1982 juga dapat dijadikan pedoman mengenai apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban dari tiap negara dalam mengelola zona-zona tersebut.

Dengan demikian, banyak negara-negara pantai yang mengintepretasikan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) berdasarkan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Hal ini kerap dijumpai manakala negara pantai menghendaki hak-hak berdaulatnya, sementara kapal-kapal dari negara lain juga menuntut hak-hak kebebasannya di laut lepas (freedoms of high seas) di zona-zona ini.


(56)

Manakala dua kepentingan ini bertabrakan, maka umumnya kepentingan negara pantailah yang dimenangkan. Lebih jauh, kecenderungan yang terjadi dewasa ini adalah banyak negara pantai yang menerapkan peraturan (enforcement) yang melebihi dari kewenangannya yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).

Melalui skripsi ini akan mengupas seberapa jauh suatu negara pantai boleh menegakan jurisdiksinya pada ZEE dan Landas Kontinen sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Adapun pembahasannya difokuskan pada rezim navigasi dan perikanan untuk kapal-kapal asing, serta kegiatan militer dari negara asing di kedua wilayah laut ini. Pembahasan tulisan ini juga akan dilakukan melalui komparasi contoh-contoh praktik nyata yang dilakukan oleh negara-negara dunia. Dengan begitu kiranya dapat ditarik kesimpulan sejauh mana penegakan jurisdiksi pada ZEE dan Landas Kontinen telah bergeser dari kesepakatan awal Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).

Pada ZEE negara pantai (pemilik ZEE) sesungguhnya tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam mengontrol pelayaran dari kapal-kapal asing. Hal ini disebabkan pelayaran atau navigasi dari


(57)

kapal-kapal asing pada ZEE mengikuti rezim laut lepas dimana kebebasan bernavigasi adalah mutlak. Kewenangan ini menjadi semakin lemah pada Landas Kontinen. Pada wilayah ini hak yang dimiliki negara pantai hanya sebatas menggali dan mengelola sumber daya alam yang berada didasarnya (seabed). Secara gambling Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) telah menetapkan bahwa saat menggunakan haknya pada Landas Kontinen, negara pantai tidak boleh melanggar atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dilanggarnya kebebasan berlayar yang dimiliki negara lain. Hal ini berarti kolom air diatas Landas Kontinen sebenarnya adalah Laut Lepas dimana semua kapal asing berhak atas kebebasan berlayar secara penuh.

Terlepas dari itu, negara pantai juga memiliki jurisdiksi ekslusif atas pulau-pulau buatan dan banguan yang didirikan diatas ZEE dan Landas Kontinen. Jurisdiksi ini meliputi kewenangan atas pabean, fiscal, kesehatan, keselamatan dan peraturan-peratutran lain yang terkait dengan keimigrasian Jika diperlukan, negara pantai juga diijinkan untuk menetapkan zona keamanan (safety zones) di sekelilingnya yang tidak melebihi dari 500 meter. Pada zona ini negara pantai berhak melakukan tindakan-tindakan yang menjamin keselamatan baik untuk pelayaran maupun untuk pulau buatan, bangunan dan instalasi tersebut.


(58)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat terlihat bahwa negara pantai hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas terhadap kapal-kapal asing yang berlayar melalui ZEE dan Landas Kontinen-nya. Terlebih lagi, tidak ada jurisdiksi tambahan yang diberikan jika standar internasional tidak mengaturnya. Ini berarti, negara pantai tidak berhak bertindak secara unilateral terhadap kapal-kapal asing, melainkan harus senantiasa mengacu pada peraturan-peraturan yang diterima secara internasional Selain itu, tindakan unilateral tetap tidak dapat dibenarkan kendati negara pantai mengangap peraturan internasional yang ada kurang memadai.

Namun demikian, terdapat pasal-pasal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang memberikan diskresi yang besar bagi negara pantai untuk melindungi kewenangannya. Salah satu contohnya adalah pasal-pasal yang menganjurkan negara pantai untuk memiliki kendali yang lebih luas terhadap kapal-kapal asing yang berlayar di ZEE-nya yang berpotensi menyebabkan polusi yang signifikan. Pasal-pasal ini pada kenyataannya telah dikembangkan secara sepihak dengan cara-cara yang menyebabkan terganggunya kebebasan pelayaran tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang diterima secara internasional. Lebih jauh hal ini telah dipergunakan untuk memperbesar kewenangan negara pantai untuk mengontrol kapal-kapal


(59)

asing di ZEE dan Landas Kontinenntya, melampaui apa yang telah ditentukan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNLOS 1982).

Terdapat beberapa contoh kasus nyata untuk hal tersebut. Kasus pertama adalah kasus kapal tanker Prestige pada November 2002. Setelah insiden tumpahan minyak oleh kapal tanger berdinding tunggal single-hulled, negara-negara yang tercemari pantainya seperti Portugal, Perancis and Spanyol mengeluarkan peraturan yang ketat terhadap semua kapal tanker yang berlayar di ZEE mereka. Ketentuan ini meliputi wajib lapor sebelum kedatangan, pemeriksaan ditempat dan bahkan pengusiran dari wilayah ZEE mereka jika terbukti tidak laik berlayar (not sea-worthy). Selain itu, pada tahun 2003, French National Assembly menetapkan aturan baru yang mengijinkan pencegatan kapal asing yang berlayar pada radius hingga 90 mil dari pantai jika kapal itu terlibat dengan tindakan pecemaran. Aturan tersebut juga menetapkan bahwa Captain kapal yang melakukan pencemaran dapat dipidana penjara hingga 4 tahun dan denda hingga US$ 600,000.2

2

Simons, M., “France Clamps Down on Shipping Pollution,” The New York Times, 7 April 2003, available at

Peraturan ini diberlakukan hanya berselang beberapa hari 15 negara Eropa sepakat untuk melarang tanker berdinding tunggal memasuki pelabuhannya. Hampir pada waktu yang bersamaan Spanyol, Perancis, Portugal,


(60)

Belgia dan Inggris mengajukan permohonan resmi kepada the International Maritime Organization (IMO) untuk menyatakan bahwa seluruh wilayah ZEE mereka adalah daerah sensitif yang terlarang bagi tanker berdinding tunggal dan pengangkut barang-barang berbahaya lainnya.3

Praktik negara yang lainnya dapat dilihat pada kasus kapal Jepang bernama Akatsuki Maru di tahun 1992. Kapal tersebut digunakan untuk membawa material hasil daur ulang plutonium dari Perancis menuju ke Jepang untuk bahan bakar reaktor PLTN. Dalam pada ini, banyak negara yang wilayahnya akan dilalui rute kapal tersebut menolak kehadiran kapal itu di perairannya termasuk juga di ZEE-nya. Akibatnya Akatsuki Maru harus mengalihkan rute pelayarannya guna menghindari 12 mil laut teritorial dan 200 mil ZEE negara-negara pantai yang dilalui kecuali Perancis dan Polynesia. Kasus serupa juga dialami pada tahun 1995,oleh kapal berbendera Inggris bernama Pacific Pintail. Saat ia berlayar untuk mengangkut limbah nuklir, kapal itu harus merubah jalur pelayarannya untuk menghindari ZEE dari Brasil, Argentina, Chili dan negara lainnya sebagai akibat dari penolakan keras oleh negara-negara tersebut. Chili bahkan bertindak

3

International Maritime Organization, Marine Environment Protection Committee (MEPC), 49th session: 14-18 July 2003, IMO, 22 July 2008,


(61)

lebih jauh dengan mengirimkan kapal perang dan pesawatnya untuk mencegat Pacific Pintail jika sampai melanggar larangannya.

Kasus-kasus ini menjadikan suatu preseden bahwa negara pantai memiliki kekuasaan untuk menerapkan jurisdiksinya terhadap lalu lintas pelayaran di ZEE dan Landas Kontinen berdasarkan jenis kargo yang dibawa. Preseden ini terus berkembang dan diadop oleh berbagai negara di dunia menurut kepentingan nasional dan intepretasinya masing-masing. Sebagai contoh, setahun setelah peristiwa Argentina mengajukan usul kepada IMO’s Legal Committee untuk melarang pengangkutan bahan bakar nuklir melalui laut teritorial dan ZEE negara lain. Tiga tahun kemudian pada tahun 1996 Selandia Baru mengeluarkan aturan pelarangan pengangkutan bahan-bahan nuklir melalui ZEE-nya.

Dalam konteks rezim perikanan, LOS 1982 telah mentapkan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati dan non-hayati yang terkandung didalam zona 200 mil-nya. Hak ini mencakup hak eksplorasi, mengolah, memelihara dan mengelola sumber-sumber tersebut. Pada kasus kebanyakan sumber daya yang dimaksud adalah yang menyangkut dengan perikanan. Selain itu pasal-pasal LOS 1982 juga menjamin kewenangan negara pantai terhadap hak berdaulatnya yang meliputi tindakan-tindakan berupa pemeriksaan kapal, penahanan dan penahanan hingga penuntutan secara hukum (“take such measures,


(62)

including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings.”) Namun terkait dengan penahanan LOS 1982 tidak mengijinkan adanya hukuman penjara tanpa persetujuan negara yang warganya terlibat perkara. (“penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ may not include imprisonment, in the contrary by the States concerned or any other form of corporal punishment.”)

Sehingga akibat yang ditimbulkan oleh Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing sangat parah. Suatu studi bahkan mengungkapkan bahwa kerugian yang ditimbulkan diperkirakan dapat mencapai US$ 9.5 billion. Akibatnya praktik-praktik dari negara yang terkait menjadi sangat keras terutama dalam melindungi ZEE-nya. Contoh pertama tampak pada sikap tegas pemerintah Australia terhadap pemancing ilegal di perairannya. Pada tanggal 15 Juni 2008, sebuah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia bernama Ramlan-07 tertangkap tangan oleh otoritas Australia tengah memancing di laut Arafura. Setelah menahan kapal tersebut otoritas Australia langsung membakar kapal dan memenjarakan keenam awaknya. Ini bukanlah kali yang pertama, pada bulan April 2008, tercatat sedikitnya 253 nelayan asal Indonesia ditangkap oleh otoritas Australia dan dipenjarakan di Darwin Detention Center. Sementara para nelayan


(63)

tersebut menunggu sidangnya di pusat penahanan, hampir seluruh kapal mereka telah dibakar oleh otoritas Australia.4

Meski UNCLOS 1982 tidak merekomendasikan hal tersebut, namun tindakan unilateral memenjarakan nelayan ilegal tanpa perjanjian awal dengan negara terkait, menjadi praktik umum yang dilakukan oleh negara-negara pantai. Salah satu contohnya adalah UU Kelautan Republik Indonesia nomor 31/ 2004 . Dalam pasalnya UU ini menetapkan hukuman penjara bagi nelayan yang terlibat penangkapan ikan ilegal di wilayah perikanan Indonesia yang meliputi sungai, danau, rawa, laut teritorial termasuk juga ZEE Indonesia.

Untuk memberikan ilustrasi lain tentang tindakan keras yang dilakukan oleh negara pantai, perlu ditinjau ulang mengenai kasus yang dialami kapal Monte Confurco. Kasus ini melibatkan kapal berbendera Sisilia yang dihentikan dan diperiksa oleh otoritas Perancis di Kerguelen (Kepulauan Antartika yang diklaim Perancis). Meski tidak ditemnukan adanya ikan segar di dalam kapal, namun kapal tersebut tetap menghadapi tuntutan pencurian ikan. Kapal Sisilia

4

Muhktar, “Australia Burnt Another Indonesian Fishing Vessel,” IUU Fishing, Department of Marine Affairs and Fisheries of Republic Indonesia, 30 June 2008 available at


(64)

tersebut kedapatan menyimpan 158 tons Patagonian toothfish (jenis ikan), longlines (jenis pukat) dan umpan beku yang seolah-olah baru dilepaskan dilaut. Karena kapal tidak dapat menunjukan bukti bahwa ikan-ikan tersebut ditangkap didaerah yang ditentukan dan tidak memberikan pemberitahuan tentang pelayarannya maka Pengadilan Internasiaonal memenangkan Perancis untuk kasus ini. Kasus ini kemudian menjadi jurispruden bahwa kapal ikan yang didapati berlayar di ZEE negara lain, tanpa ijin dan membawa ikan dapat dituduh mencuri ikan di ZEE tersebut. Dengan kata lain, untuk mengindari penyitaan terhadap kargonya, suatu kapal ikan harus meminta ijin terlebih dahulu untuk melintas di suatu ZEE.

Pada kasus perikanan diatas Landas Kontinen, rezim yang berlaku sebenarnya sama dengan perikanan di laut lepas. Untuk ini UNLOS 1982 telah mengatur bahwa, terkecuali untuk “sedentary species,” negara manpun berhak menangkap ikan di perairan diatas Landas Kontinen suatu negara. Namun tindakan unilateral negara pantai dalam melindungi cadangan ikan “lainnya” tidak dapat dihindarkan. Pada bulan Mei 1994, Kanada mengeluarkan undang-undang yang memperluas kewenangannya untuk mengatur penangkapan ikan di daerah yang dikenal sebagai Nose dan Tail dari Grand Banks. Area-area ini sebenarnya terletak pada landas kontinen Kanada, bagian tenggara Newfoundland, yang sebenarnya sudah berada diluar zona


(65)

200 mil. Menurut UU tersebut Kanada berhak menangkap setiap kapal yang kedapatan menangkap ikan yang tergolong spesies-spesies yang dilindungi. Kapal yang tertangkap akan ditarik ke pelabuhan dan Captain kapal dapat dituntut denda sebanyak US$360,000 termasuk kehilangan hasil tangkapannya.

Oleh karena itu, legislasi ini dapat dianggap sebagai tindakan unilateral Kanada dalam memperluas jurisdiksinya diluar apa yang telah ditetapkan sebagai 200 mil kesepakatan internasional. Selain itu masih terdapat ketidaksepahaman mengenai apa yang dimaksud dengan “sedentary species.” Namun lagi-lagi negara pantai bertindak secara unilateral dalam menentukan status suatu spesies menurut kepentingan nasionalnya. Hal ini terlihat pada kasus penangkapan 2 kapal ikan berbendera Amerika oleh otoritas Kanada pada bulan Juli 1994. Kedua kapal tersebut kedapatan menangkap Icelandic Scallops dari Landas Kontinen Kanada diluar batas zona 200 mil. Sementara kedua negara masih berdebat soal status dari Icelandic Scallops (apakah termasuk sedentary species atau bukan) Kanada tetap memberlakukan penangkapan terhadap kapal-kapal pemancing lainnya. Akan tetapi, Kanda akhirnya secara berhasil meloloskan undang-undang sepihaknya tersebut. Beberapa bulan kemudian Amerika akhirnya mengakui klaim Kanada atas spesies yang sebenarnya terletak diluar batas zona 200 mil.


(66)

Isu yang paling menjadi perdebatan adalah mengenai kegiatan militer asing di suatu ZEE. Persoalan ini sebenarnya berakar pada status ZEE sebagai suatu sui generis -bukan merupakan laut teritorial maupun laut lepas- hal ini meninggalkan isu tentang residual rights menjadi perdebatan. Ngera-negara yang pro terhadap kegiatan militer di ZEE beranggapan bahwa secara prinsip ZEE merupakan laut lepas dengan beberapa hak tertentu yang diberikan kepada negara pantai. Sehingga hak lain yang tidak diatur secara tegas menjadi hak negara lainnya termasuk didalamnya yang menyangkut dengan kegiatan militer. Dilain pihak, pandangan yang kontra berpendapat bahwa ZEE adalah perairan pantai yang didalamnya terdapat beberapa hak yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain. Jadi pada saat terjadi sengketa terhadap hak-hak yang belum diatur, seharusnya itu dimenangkan oleh negara pantai pemilik ZEE.

Kasus ini menjadi lebih rumit manakala ditinjau dari jenis kapal-kapal yang terlibat dalam kegiatan militer. Jika tidak seluruhnya, namun sebagian besar status kapal-kapal yang terlibat adalah kapal pemerintah yang imun terhadap jurisdiksi negara pantai. Lebih jauh setiap negara dapat menyatakan ketidakbersediaannya menerima ketentuan wajib pihak ketiga yang terkait dengan sengketa kegiatan militer oleh kapal-kapal pemerintah dan pesawat yang bersifat non-komersil (“disputes concerning military activities, including military


(67)

activities by government vessels and aircraft engaged in non-commercial service.”) Oleh karenanya celah perdebatan mengenai residual rights untuk kegiatan militer tidak pernah akan terselesaikan sampai pada suatu ketika praktek dari negara-negara di dunia menuju suatu kesamaan atau sampai tercapainya suatu kesepakatan baru.

Meski masih menjadi sesuatu yang ambigu, namun praktek-praktek yang dilakukan oleh negara secara preemptive akan mengedepankan kepentingan nasionalnya ketimbang ketentuan hukum internasional. Beberapa kasus dapat dijadikan catatan sebagai suatu tindakan agresif dari negara pantai terhadap kegiatan militer di ZEE-nya. Seperti Libya dalam Kasus Teluk Sidra yang terjadi tahun 1986. Sebagai negara pantai Libya merespon kehadiran Kapal-kapal perang Amerika di Teluk Sidra dengan meluncurkan rudal-rudal darat ke udara atau Surface to Air Missile (SAM)-5. Kasus lainnya juga terjadi pada bulan April 2001. Saat itu dua jet tempur Cina jenis F-8 fighters diterbangkan untuk mencegat pesawat mata-mata US jenis EP-3 yang tengah terbang di pesisir Cina Pada insiden ini salah satu pesawat Cina menabrak pesawat EP-3 Amerika yang menyebabkan pesawat tersebut terpaksa mendarat darurat di kepulauan Hainan Cina. Selang setahun berikutnya 3 insiden lainnya terjadi yang menyebabkan jet-jet tempur Cina dan Amerika hampir saling berhadapan satu sama lain.


(68)

Meskipun telah juga ditegaskan bahwa tidak ada reservasi ataupun pengecualian yang dapat diberikan terhadap LOS 1982, namun ada saja negara yang melakukannya semata-mata untuk mendukung tindakan unilateralnya. Iran contohnya, pada tahun 1993, membuat undang-undang yang melarang kegiatan militer asing di wilayah ZEE-nya. India pada tahun 1995 juga mengeluarkan deklarasi bahwa pemerintahnya mengadop LOS 1982 namun dengan syarat bahwa India melarang segala kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinen tanpa ijin dari negara pantai yang bersangkutan. Pada dua tahun berikutnya, Malaysia (1996) dan Pakistan (1997), mengeluarkan juga deklarasi yang pada intinya sama dengan India.

Selain itu beberapa negara yang menolak kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinennya berpendapat bahwa ZEE dan Landas kontinen pada kaitan tertentu adalah mutatis mutandis pada istilah “kepentingan damai” (for peaceful purposes) pada provisi laut lepas dan provisi dari “penggunaan laut untuk damai” (Peaceful uses of the seas). Namun begitu kegiatan militer tidak selalu berkaitan dengan “kepentingan tidak damai” yang membuatnya jadi bertentangan dengan UNCLOS 1982. Pandangan yang bersebrangan Negara-negara yang berpandang lain dapat saja mengklaim bahwa kegiatan militernya


(1)

melakukan survey dan kembali menyatakan bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia.

Terkait dengan sengketa ini, Malaysia menawarkan beberapa solusi antara lain:

a. Melakukan perbincangan bilateral untuk mencari penyelesaian dan mengelakkan konflik senjata yang tidak akan menguntungkan negara yang terlibat

b. Mengadadakan dialog multilateral di antara negara-negara terlibat.

c.Pemantauan secara bersama-sama hasil hidro karbon di bawah bumi sekitar Laut Cina Selatan.

d.Pembentukan sebuah perusahaan bersama yaitu Special Purpose Vehicle (SPV) dengan menghormati kawasan Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE)

6.Klaim Brunei Darussalam

Brunei Darussalam merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan angkatan bersenjatanya di wilayah Kepulauan Spratly. Brunei yang baru merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1984 juga ikut dalam sengketa di Laut Cina Selatan ini. Akan tetapi, Brunei tidak mengklaim gugusan pulau dari Kepulauan Spratly, melainkan mengklaim perairan yang berada di sekitar kepulauan tersebut. Klaim Brunei hampir serupa dangan Malaysia yaitu didasarkan pada doktrin Landas Kontinental. Akan tetapi yeng


(2)

membedakannya adalah penarikan garis-garis batas yang ditarik secara tegak lurus dari dua titik terluar pada garis pantai Brunei Darussalam. Sehingga permasalahan dari Kepulauan Spratly ini menjadi rumit untuk diselesaikan dikarenakan oleh negara-negara pengklaim masing-masing yang sama sama mempertahankan keegoisan demi kepentingannya masing-masing. Sementara negoisasi dapat menyelesaikan permasalahan Kepulauan Spratly jika masing-masing dapat menerima keputusan bersama.

3. Mengenai pengaturan Hukum Internasional dalam menyelesaikan permasalahan kepulauan spratly dalam pembahasan di bab sebelumnya dapat kita ketahui bahwa didalam menyelesaikan harus dilihat dari kedaulatan territorial yaitu sejauh mana negara melaksanakan hak dan juridiksinya terhadap wilayah tersebut dalam hal kepulauan spratly ini. Prinsip-prinsip kepemilikan wilayah yang meliputi pendudukan, akresi, penyerahan, prekripsi, serta prinsip lainnya seperti hak-hak sejarah dan teori kedekatan wilayah. Dan kemudian Prinsip dalam Hukum Laut Internasional mengenai penentuan batas wilayah berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengenai laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.


(3)

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas penulis memberikan saran-saran untuk pengembangan Hukum Laut Internasional maupun Hukum Internasional.

1. Penerapan dari kedaulatan territorial yang dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim kepulauan spratly haruslah dilaksanakan secara damai, sehingga tidak menimbulkan protes dari negara-negara lain dan sesuai dengan Hukum Internasional sehingga tidak terjadi konflik yang berujung pada pertikaian bagi negara-negara yang terkait.

2. Negara-negara yang mengklaim kepulauan spratly haruslah lebih mengintensifkan upaya masing-masing negara dalam menentukan batas-batas maritime serta batas pengaturan dan manajemen, baik di laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, atau landas kontinen yang sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 maupun aturan internasional lain yang terkait, demi menghindari konflik yang akan menimbulkan kerugian pada semua sisi wilayah, yang justru tidak akan membantu perdamaian regional, stabilitas dan pengembangan di laut china selatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Subekti, R. 1989.

. Jakarta: Sinar Grafika.

Hukum Acara Perdata

Dr Bambang Cipto, MA. Hubungan Internasional Di Asia Tenggara. Yogyakarta: PT. Pustaka

Pelajar.2007

. Bandung: Binacipta

Soedjati Djiwandono Berbagai Dimensi Konflik Centre for Strategic and International Studies

(CSIS) Jakarta 1988 B.Perundang-Undangan

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

(UNCLOS) tahun 1982

C.Internet

Simons, M., “France Clamps Down on Shipping Pollution,” The

New York Times, 7 April 2003, available at

diakses pada 15 desember

2012

International Maritime Organization, Marine Environment Protection Committee (MEPC), 49th

session: 14-18 July 2003, IMO, 22 July 2008, available at


(5)

Muhktar, “Australia Burnt Another Indonesian Fishing Vessel,” IUU Fishing, Department of Marine Affairs and Fisheries of Republic Indonesia, 30 June 2008

available at

/newsmenus/229/australia-bakar- lagi-satu-kapal-nelayan-indonesia diakses pada 20 Desember 2012

Principles of Public International Law (7th

edition). New York:

KOMPAS edisi, selasa 21 juni 2011 Singapura Desak Cina

Jelaskan Klaim. Diakses pada 10

Desember 2012

“Mencermati Sengketa Teritorial Laut Cina Selatan”

diakses

pada 10 Desember 2012

“Konflik Laut Cina Selatan” Johnpau.com/2010/11/09/91htm diakses pada 14 Desember 2012

KOMPAS edisi, Rabu 22 Juni 2011 Cina Tantang Vietnam


(6)

KOMPAS edisi, Rabu 1 juni 2011 Isu Laut Cina Selatan Harus Dituntaskan,Diakses pada 16

Desember 2012

KOMPAS edisi, Kamis 9 juni 2011 Laut Cina Selatan Dibahas.Diakses pada 16 Desember 2012

KOMPAS edisi, Sabtu 4 Juni 2011 Filiphina: Cina Melanggar Wilayah. Diakses pada 16 Desember 2012

KOMPAS edisi, sabtu 11 juni 2011 Warga Vietnam Juluki China

sebagai Perompak. Diakses pada 16

Desember 2012

KOMPAS edisi, selasa 14 juni 2011 Vietnam Gelar Latihan, China Marah.Diakses pada 16 Desember 2012 KOMPAS edisi, sabtu 18 juni 2011 China Makin Galak.Diakses

pada 17 Desember 2012

KOMPAS edisi, Rabu 1 juni 2011 Isu Laut Cina Selatan Harus Dituntaskan.Diakses pada 16 Desember 2012