Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional
PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
SHANDITYA SULTAN FIRDAUS 110200284
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
SHANDITYA SULTAN FIRDAUS 110200284
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Internasional
NIP. 195612101986012001 Dr. Hj. Chairul Bariah, S.H., M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Abdul Rahman, S.H., M.H.
NIP. 195710301984031002 NIP. 196403301993031002 Arif, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang diangkat oleh penulis adalah “Perbandingan Mengenai Peneyelesaian Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional”.
Dalam penyusunan skripsi ini, tentunya banyak tantangan serta hambatan dihadapi, tetapi Alhamdulillah semua itu dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua Orang Tua penulis, yakni (Alm. Syafrizal dan Ernawati) yang telah membimbing serta memberikan motivasi sejak lahir hingga sampai saat ini serta telah bersusah payah membantu penulis dalam kesehariannya, hingga pada akhirnya kasih sayang yang telah diberikan menjadikan penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini, serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materil. Kepada Yang Terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
(4)
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Abdurrahman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi ini.
8. Bapak Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi ini.
9. Kedua Saudara/i penulis, yakni (Erviana Rizal Filliang dan Muhammad Rio
Rahmadhani) yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua dapat menjadi kebanggaan kedua Orang Tua kita kelak nantinya.
10. Kawan-kawan dari jajaran Kabinet Spektra, yakni: Yuanda Winaldi, Ika
Khairunnisa Simanjuntak, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar, M. Virsa AKA, Saidesi Maysela S, Aldriansyah Habib, Nurul Fatimah, Hadi Astra D. Simangunsong., Aulia Rizki, Hamimi Masturah, Nur Fairuz Diba Nst. Jazakumullah khairan katsiran atas semua kenangan, baik senang maupun
(5)
sedih yang telah kita lewati bersama, semoga kita semua akan selalu menjaga tali silaturrahim ini sampai hari tua kelak, amin ya Rabb.
11. Seluruh Keluarga Besar BTM Aladdinsyah, S.H., Fakultas Hukum USU,
yakni: Luthfy, Saufie, Umam, Bella, Suci, Swandhana, Raihan, Liza, Indah, Faisal, Pipit, Taufik, Arif, Dinda, Aci, Iqbal, Zikri, Dimas, Laila, Almunawar, Aries, serta kepada kawan-kawan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas semangat serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis, marilah bersama-sama kita ramaikan musholla kita tercinta itu dengan niat dan hati yang ikhlas untuk mendapat ridho dari Allah SWT.
12. Seluruh Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Fakultas Hukum
USU, yakni: Hadyan, Ibnu, Vito, Bakti, Pumpum, Nida, Devi, Kiki, Putri, Fairuz, Kayaruddin, Rizky, Choky, Anggie, Susilo, Iqbal, Rafika, Ina, Ipin, Ray, serta kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat serta pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi penulis, semoga kita semua tetap menjadikan Islam sebagai pedoman kita bersama hingga tercapainya tujuan dari HmI itu sendiri.
13. Seluruh Abang-abang dan Kakak-kakak Senior, yakni: Bg Priawan, Bg
Benni, Bg Dowang, Bg Reza, Bg Hary, Bg Ihsan, Bg Yusuf, Bg Taufik, Kak Arija, Kak Tasha, Kak Elly, Kak Wilda, Kak Susi, Kak Dina, Kak Izma, Kak Nurul, Kak Dian, serta yang lainnya yang telah memberikan ilmu serta saran kepada penulis untuk menjadi lebih baik lagi.
(6)
14. Seluruh anak-anak ILSA (International Law Student Association) yang telah memberikan semangat serta motivasinya kepada penulis, semoga apa yang kita inginkan tercapai dikemudian hari kelak.
15. Untuk Adinda Rini Anggreini yang selalu memberikan perhatian, semangat
serta dorongan tersendiri kepada penulis, hingga pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan yang telah diperbuat akan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari Allah SWT.
16. Serta seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang dimana penulis sangat berterimakasih atas keikhlasan yang telah diberikan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, April 2015 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II: PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian ... 17
B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai ... 30
C. Jenis-jenis Perjanjian Damai ... 36
D. Kewajiban Menghormati Perjanjian Damai ... 43
BAB III: PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian ... 48
(8)
B. Metode Penyelesaian Sengketa ... 56
C. Fungsi dan Peranan Perjanjian Damai ... 75
D. Kewajiban Menghormati Perjanjian Damai ... 81
BAB IV: PERBANDINGAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL
A. Penghentian Perang dalam Hukum Islam
dan Hukum Internasional ... 85
B. Arbitrase dalam Hukum Islam
dan Hukum Internasional ... 101
C. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Perjanjian Damai dalam
Hukum Islam dan Hukum Internasional ... 117
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 126 B. Saran ... 129
(9)
ABSTRAK
* Shanditya Sultan Firdaus ** Abdul Rahman, S.H., M.H.
*** Arif, S.H., M.H.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain, menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, didalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan, pengaturan penyelesaian sengketa dam perdamaian menurut hukum Islam, pengaturan penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut hukum internasional serta perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian antara hukum Islam dengan hukum internasional.
Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau bahan sekunder. Sehingga, data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Internasional.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka khalayak umum dapat mengetahui masalah penyelesaian sengketa baik melalui perundingan, pencarian fakta-fakta, negosiasi dan lainnya, hingga penetapan hukuman perang bagi negara-negara yang tetap bersikukuh dalam kesalahannya dan tidak mau tunduk pada aturan hukum Islam dan hukum internasional. Serta, kewajiban menghormati dan mematuhi perjanjian damai, dan tindakan-tindakan tegas yang ditempuh atas pihak yang mengkhianati perjanjian damai tersebut secara sepihak. Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir perbuatan atau tindakan yang memicu peperangan antarnegara apabila kedua hukum ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.
Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
* Peneliti
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(10)
ABSTRAK
* Shanditya Sultan Firdaus ** Abdul Rahman, S.H., M.H.
*** Arif, S.H., M.H.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain, menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup. Oleh karena itu, didalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang berkaitan dengan, pengaturan penyelesaian sengketa dam perdamaian menurut hukum Islam, pengaturan penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut hukum internasional serta perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian antara hukum Islam dengan hukum internasional.
Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau bahan sekunder. Sehingga, data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Internasional.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka khalayak umum dapat mengetahui masalah penyelesaian sengketa baik melalui perundingan, pencarian fakta-fakta, negosiasi dan lainnya, hingga penetapan hukuman perang bagi negara-negara yang tetap bersikukuh dalam kesalahannya dan tidak mau tunduk pada aturan hukum Islam dan hukum internasional. Serta, kewajiban menghormati dan mematuhi perjanjian damai, dan tindakan-tindakan tegas yang ditempuh atas pihak yang mengkhianati perjanjian damai tersebut secara sepihak. Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir perbuatan atau tindakan yang memicu peperangan antarnegara apabila kedua hukum ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.
Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
* Peneliti
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia di dunia ini masyarakat internasional ditandai oleh dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antarmasyarakat internasional. Sengketa antaranggota masyarakat internasional beraneka macam sebabnya, mungkin disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan tersebut. Persengketaan antar bangsa sering bersifat terbuka dan paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang yang tidak sedikit menelan
korban.1
Dalam masyarakat internasional dimana masyarakatnya terdiri dari negara-negara yang berdaulat, hubungan antarnegara-negara bersifat koordinasi bukan hubungan
Oleh karena itu masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang berbunyi:
All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.
1
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia/UI-Press, 2006), Hlm. 1
(12)
subordinasi. Dalam masyarakat internasional tidak ada organ pusat yang dapat menangani klaim atas penerapan sanksi pidana. Penyelesaian Sengketa diantara
masyarakat internasional berada di tangan mereka sendiri.2
Prinsip-prinsip hukum dalam suasana damai, antara lain, mengenai perlakuan orang asing di negara Islam, khususnya menyangkut perwakilan
diplomatik asing yang tidak boleh diganggu (inviolability). Sementara dalam
suasana konflik, Islam menyumbang sejumlah prinsip hukum, antara lain, menyangkut kaidah perang, perlakuan terhadap musuh dan penduduk sipil, serta lingkungan hidup.
Pertumbuhan hukum internasional hingga mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini tidak terlepas dari kontribusi peradaban Islam. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional dinyatakan oleh penulis dan sejarawan Eropa, seperti Jean Allain, Marcel Boisard, dan Theodor Landschdeit. Kontribusi Islam terhadap hukum internasional mencakup prinsip-prinsip hukum mengenai hubungan antarbangsa, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana konflik seperti perang.
3
Penyelesaian sengketa antarnegara merupakan bagian dari ajaran syariat Islam yang agung. Perintah memelihara perdamaian, mencegah kezaliman, serta mewujudkan tatanan hidup yang aman dan sentosa di bawah keridhaan Allah SWT, diarahkan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Sementara
2 Ibid 3
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan Perdamaian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013) , Hlm. 2
(13)
itu,hukum internasional mulanya lahir dan berkembang berdasarkan orientasi wilayah dan kelompok tertentu, yakni terbatas hanya pada negeri-negeri Eropa
Katholik.4
Demikian pula dalam persoalan ekspansi satu negara ke negara lain. Alasan penggunaan ekspansi dalam syariat Islam jauh berbeda dengan apa yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa. Kebanyakan ekspansi bangsa Eropa lebih karena kepentingan meraup harta kekayaan sebanyak-banyaknya dari bangsa jajahannya, merampas negeri mereka, disamping penyebaran ideologi dengan jalan paksaan. Dalam upaya ekspansinya itu, selain berhadapan dengan bangsa yang dijajah, tidak jarang bangsa tersebut berseteru dengan bangsa lain yang merasa mempunyai hak atas wilayah yang ditempati tersebut. Kongkretnya, gerakan
Islam mengakui sebuah kaidah aksiomatik dalam kehidupan, bahwa satu kelompok masyarakat yang berkembang menjadi besar, pasti menyusun dirinya dalam suatu kesatuan dan berusahaagar dapat hidup secara tertib dan teratur. Makin besar perkembangan kelompok, makin diperlukan kaidah-kaidah agar tujuannya tercapai, termasuk diantaranya, kaidah dan aturan dalam kehidupan internasional. Namun, hubungan internasional yang diselenggarakan antarnegara, atau negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin baik. Acapkali hubungan ini menimbulkan sengketa di antara mereka. Masalah dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa, seperti masalah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, dan perdagangan.
4
Hata, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan hingga Pasca Perang Dingin, (Malang: Setara Press, 2012), Hlm. 11
(14)
tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara dua bangsa yang berselisih mengenai suatu kepentingan tertentu. Konflik itu dapat berbentuk tindakan permusuhan, sikap tidak bersahabat, atau dapat pula berwujud sikap permusuhan bersenjata yang nyata, yakni perang.
Beda halnya dengan Islam, kebanyakan perang atau ekspansi yang dilakukan berdasar atas prinsip membela aqidah, melenyapkan kezaliman, membela kaum lemah, atau mengenyahkan aral permusuhan bagi dakwah Islam. Tidak ada dalam kaidah Islam perang untuk mengisap sumber daya bangsa lain, apalagi untuk memaksa tujuan ideologi. Sebab, konsep perdamaian dan kerukunan serta upaya menciptakan manusia sebagai umat yang satu merupakan
bagian dari dakwah dan seruan Islam.5
Namun, dalam aplikasi hubungan tersebut ditemukan beragam corak perbedaan yang sifatnya prinsipil, seperti perbedaan bangsa, falsafah hidup, struktur pemerintahan, tata masyaraka, kekuatan militer, dan ekonomi. Sementara hubungan antarbangsa itu dapat terwujud apik di antara mereka yang bertindak Dari kenyataan ini, maka bangsa-bangsa Eropa tergerak untuk mencanangkan sebuah kaidah hubungan antarnegara, atau
dalam istilah modern disebut dengan “Hubungan Internasional”. Suatu hubungan
yang sangat dibutuhkan, misalnya dalam hal pengaturan batas-batas daerah yang didiami oleh suatu bangsa, masalah pertukaran diplomatik atau utusan dan lainnya
yang berkaitan dengan mashlahat (mashlahat) kedua bangsa atau lebih, yang
menjalin hubungan agar tercipta hubungan antarnegara yang harmonis berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
5
(15)
untuk dan atas nama suatu negara, misalnya konsiliasi dan membuat perjanjiandalam berbagai bidang baik untuk kepentingan individu, negara, maupun kemanusiaan secara umum. Hubugan kolektif yang beraneka ragam antara pribadi, kelompok, dan negara menciptakan hubungan yang menyerap seluruh dinamika kegiatan manusia sehingga terbentuklah masyarakat internasional. Terciptanya masyarakat antarbangsa pada hakikatnya dimodifikasi oleh waktu. Berabad-abad lamanya, hubungan internasional belum dikenal oleh bangsa-bangsa terdahulu. Banyak kelompok masyarakat hidup di daerah yang
luas, saling memerangi dan menciptakan konflik.6
Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam telah meletakan prinsip dan
kaidah-kaidah dalam hal aplikasi hubungan dengan negara-negara yang berbeda aqidah dan keyakinan. Dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah Rasulullah Shallallahu alihi wassalam (selanjutnya disingkat SAW), perkataan para sahabat dan fukaha serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara banyak bertebaran dalam karya-karya para sarjana Islam. Ini termasuk faktor paling krusial yang memberi efek signifikan terhadap kesuksesan dakwah Islam hingga sanggup memberi cahaya pada dua pertiga penduduk dunia. Bahkan, diriwayatkan bahwa saat posisi pengaturan keamanan dunia berada dalam genggaman kaum muslimin, maka saat itulah keamanan, kedamaian, serta rajutan persahabatan antarnegara
6
Sumarsono Mestiko, Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Cet. I, (Jakarta: PT Sinar Agape Press, 1985), Hlm. 13
(16)
terealisasi apik. Maka tidak aneh jika sebagian negeri nonmuslim justru meminta
agar diatur oleh kaum muslimin.7
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana Pengaturan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
menurut Hukum Islam?
2. Bagaimana Pengaturan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
menurut Hukum Internasional?
3. Bagaimana Perbandingan Mengenai Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional?
C.Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dan
perdamaian menurut Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dan
perdamaian menurut Hukum Internasional.
3. Untuk mengetahui perbandingan mengenai penyelesaian sengketa dan
perdamaian antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional.
7
(17)
Manfaat penulisan skripsi ini adalah:
a. Manfaat Teoritis
1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum didalam penyelesaian
sengketa dan perdamaian menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.
2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni
mengenai penyelesaian sengketa dan perdamaian menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan gambaran mengenai penyelesaian sengketa yang
ditimbulkan oleh negara-negara serta memberi gambaran mengenai cara-cara perdamaian menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.
2. Untuk memberikan masukan dalam rangka menjaga perdamaian sesuai
dengan yang diatur menurut Hukum Islam dan Hukum Internasional.
D. Keaslian Penulisan
Adapun skripsi yang berjudul “Perbandingan Mengenai Penyelesaian
Sengketa dan Perdamaian Antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional” merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan
(18)
yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Sengketa Antarnegara
Sengketa (dispute) merupakan ketidak sepahaman mengenai sesuatu hal antara dua orang atau lebih. Sengketa tidak pernah bisa terpisahkan dengan konflik karena sengketa adalah sebuah konflik namun tidak semua konflik dapat di kategorikan sebagai sengketa. Konflik sendiri memiliki pengertian pertikaian antara pihak-pihak. Bagaimana cara membedakan konflik dengan sengketa, sengketa lebih sederhana misalnya saja sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai pulau sipadan dan ligitan ini merupakan sengketa, dan contoh konflik misalnya palestina dengan israel. Mengapa palestina dan israel disebut konflik ini karena kompleksnya permasalahan antara pihak-pihak yang terkait, dan umumnya dalam konflik terdapat banyak sengketa khusus (specific dispute).
Sengketa Internasional adalah sengketa yang bukan secara ekslusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Dari pengertian ini tentu dapat di pahami bahwa sengketa internasional merupakan sengketa yang cakupanya diluar urusan ekslusif dalam negeri suatu negara. Contohnya negara dengan negara atau karena seiringnya perkembangan mengenai subjek HI bisa juga terjadi sengketa negara dengan non negara.
(19)
2. Penyelesaian Sengketa
Dewasa ini hukum internasional memiliki peran besar dalam menyelesaiakan sengketa internasional, di antaranya:
1. Pada prinsipnya, hukum internasional berupaya agar hubungan antarnegara
terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan.
2. Hukum internasional memberi aturan-aturan pokok kepada negara-negara
yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya.
3. Hukum internasional memberi pilihan yang bebas kepada para pihak
tentang cara, prosedur, atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya.
4. Hukum internasional modern semata-mata menganjurkan cara
penyelesaian secara damai; baik sengketa itu bersifat antarnegara maupun
antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.8
Perlu ditekankan, hubungan yang terjalin antara satu negara dan negara lainnya tidak selamanya tenang dan damai. Banyak hal yang dapat menyebabkan benturan kepentingan yang memidani lahirnya sengketa di antara negara-negara tersebut. Karenanya, merupakan satu kebijaksanaan dalam situasi semacam ini adanya sikap di mana negara-negara itu berusaha mengurai sengketa yang terjadi melalui jalur damai dan tidak menggunakan jalur perang, kecuali jika kondisi
8
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 8
(20)
sangat memaksa.9 Dalam masyarakat internasional dibedakan antara sengketa politik dan sengketa hukum. Sengketa politik adalah sengketa yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik, sehingga penyelesaiannya harus
didasarkan pada pertimbangan politik juga.10
a. Perjanjian internasional.
Sedangkan penyelesaian hukum dapat kita lihat pada Pasal 36 (2) Statuta Mahkamah Internasional, sengketa hukum mengenai:
b. Setiap persoalan hukum internasional
c. Adanya suatu fakta yang ada, bila telah nyata menimbulkan suatu
pelanggaran terhadap kewajiban internasional.
d. Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena
pelanggaran terhadap kewajiban internasional.11
3. Perdamaian
Dalam studi perdamaian, perdamaian dipahami dalam dua
pengertian.Pertama, perdamaian adalah kondisi tidak adanya atau berkurangnya
segala jenis kekerasan.Kedua, perdamaian adalah transformasi konflik kreatif
non-kekerasan. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian adalah apa yang miliki ketika transformasi konflik yang kreatif berlangsung secara tanpa kekerasan. Perdamaian selain merupakan sebuah keadaan, juga merupakan suatu proses kreatif tanpa kekerasan yang dialami dalam transformasi (fase perkembangan) suatu konflik. Umumnya pemahaman tentang kekerasan hanya
9
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 257
10
Sri Setianingsih Suwardi, Opcit, Hlm. 4
11
(21)
merujuk pada tindakan yang dilakukan secara fisik dan mempunyai akibat secara langsung.Batasan seperti ini terlalu minimalistis karena rujukannya berfokus pada
peniadaan atau perusakan fisik semata.12
4. Perdamaian sebagai tujuan masyarakat internasional
Kendati pun demikian, pengertian perdamaian tidak berhenti di situ.Perdamaian bukan sekedar soal ketiadaan kekerasan atau pun situasi yang anti kekerasan.Lebih jauh dari itu perdamaian seharusnya mengandung pengertian keadilan dan kemajuan. Perdamaian dunia tidak akan dicapai bila tingkat penyebaran penyakit, ketidakadilan, kemiskinan dan keadaan putus harapan tidak diminimalisir. Perdamaian bukan soal penggunaan metode kreatif non-kekerasan terhadap setiap bentuk kekerasan, tapi semestinya dapat menciptakan sebuah situasi yang seimbang dan harmoni, yang tidak berat sebelah bagi pihak yang kuat tetapi sama-sama sederajat dan seimbang bagi semua pihak.Jadi perdamaian dunia merupakan tiadanya kekerasan, kesenjangan, terjadinya konflik antar negara di seluruh dunia.
Negara yang lebih suka menyerukan peperangan, adalah negara yang berambisi dannegara yang tidak bersosialita.Banyak orang yang mengharapkan perdamaian dari pada perang. Seharusnya seluruh negara di dunia ini mau bersama-sama “saling bergandengan tangan” dan berkomitmen untuk terus menyerukan dan mewujudkan perdamaian dunia dan saling membantu demi terwujudnya suatu tujuan dari kehidupan bernegara, yakni terciptanya perdamaian
Diakses pada tanggal 26 Maret 2015, pukul: 20.00 WIB
(22)
antar sesama umat manusia. secara bersama-sam harus yakin bahwa suatu saat nanti perdamaian dunia akan benar-benar terwujudkan. Tentu yakin saja tidak cukup dan tidak akan pernah mengubah keadaan. Harus ada upaya-upaya nyata yang lakukan bersama Negara-negara di seluruh penjuru dunia. Selama ini memang sering ada upaya-upaya diplomasi dan pertemuan antar Negara guna menciptakan perdamaian dunia.Pada akhirnya yang dihasilkan seperti biasa yaitu butir-butir kesepakatan atau semacam perjanjian bersama yang selama ini belum
banyak mampu merubah keadaan.13
Manusia harus memiliki suatu tujuan yang sama dengan orang lain untuk bersatu dan berjuang demi mewujudkan perdamaian dunia.Selain itu harus saling mengalah, tidak egois dan selalu menghargai orang lain. Jika hanya berpikir untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan dampaknya terhadap orang lain, kebersamaan pun tentu tidak akan terbentuk dengan baik. Dari kebersamaan tersebut, akan menjadi awal mula bisa terbentuknya perdamaian. Setelah terbentuknya kebersamaan juga diiperlukan kesadaran. Maksud dari kesadaran itu
adalah dituntut untuk sadar terhadap situasi.14
F. Metode Penelitian
Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk
13
Ibid
14
(23)
mendapatkan data yang valid dan terpercaya dengan judul yang terkandung didalam tulisan ini, maka penulis berusaha untuk mengumpulkan data-data yang valid dan terpercaya tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka atau bahan sekunder. Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni:
“...suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi...”15
a. Sebagai sumber data yang dipakai hanyalah dat sekunder (kepustakaan), yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;
Adapun karakteristik penelitian hukum normatif, yakni:
15
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm. 34
(24)
b. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak perlu;
c. Tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja;
d. Konsekuensi dari hanya menggunakan data sekunder, maka penelitian hukum
normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utanmanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti
dengan data jenis lainnya.16
2. Sumber Data
Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan. Hal tersebut diperlukan karena penelitian hukum itu ada yang merupakan penelitian hukum normatif dan ada penelitian hukum empiris. Jenis data yang pertama disebut sebagai data sekunder dan jenis data yang kedua disebut dengan data
primer.17
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti
hukum, bahwa hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokkan.18
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), Hlm. 118-120
17
Ibid, Hlm. 156
18
Ibid, Hlm. 157
Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Islam serta Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian menurut Hukum Internasional.
(25)
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selain itu, antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan haruslah berhubungan. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Research)
yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan, kemudian berdiskusi dan mendengarkan masukan yang diberikan oleh para ahli dalam bidang pembahasan skripsi ini, serta banyak melakukan penelusuran melalui media internet. Studi kepustakaan juga merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adakah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Analisis yang digunakan oleh
penulis adalah analisis data secara kualitatif. Pertama, menginventarisir dan
mengindentifikasikan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan melakukan seleksi bahan hukum dan mengaitkan serta menghubungkan antara bahan hukum yang
(26)
menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis dimana interprestasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
undang-undang lain secara logis dan sistematis. Keempat, hasil penelitian yang
diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan
dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal
yang khusus.19
G. Sistematika Penulisan Sistematika skripsi ini meliputi:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepusatakaan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan
Perdamaian menurut Hukum Islam mulai dari dasar hukum serta tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.
BAB III Menerangkan pengaturan mengenai Penyelesaian Sengketa dan
Perdamaian menurut Hukum Internasional mulai dari dasar hukum serta tinjauan umum yang menjelaskan akan hal tersebut.
19
(27)
BAB IV Menguraikan perbandingan mengenai penyelesaian Sengketa dan perdamaian antara Hukum Islam dengan Hukum Internasional
BAB V Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan
uraian pembahasan dan beberapa saran penulis yang mungkin dapat bermanfaat
(28)
BAB II
PENGATURAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERDAMAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian
a. Penyelesaian Sengketa
Upaya-upaya penyelesaian sengketa internasional merupakan hal penting dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Wujudnya keamanan serta ketenteraman dalam segala aspek kehidupan merupakan tujuan tertinggi dalam hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam yang merupakan agama kedamaian dan keselamatan memberi perhatian besar pada persoalan tersebut. Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat mengantarkan pada penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan
maslahat bagi umat manusia secara umum, dan kaum muslimin khususnya. Disamping itu, Islam menggalakkan upaya-upaya preventif bagi segala perkara yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala individu maupun
internasional.20
Dalam konteks ini Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (Q.S Al-Hujurat: 12). Rasulullah
20
(29)
SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang mukmin berjual beli di atas jual beli saudaranya dan janganlah meminang (wanita) pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya” (HR. Muslim No. 1413). Ayat dan hadits diatas hanya sebagai contoh bahwa seluruh sifat-sifat yang dilarang tersebut, yakni prasangka buruk, mencari-cari keburukan orang lain, menggunjing, berjual beli di atas jual beli saudaranya dan selainnya, merupakan sumber-sumber lahirnya sengketa yang dapat merusak hubungan antarsesama yang karenanya diharamkan oleh syariat Islam.
Banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang memberi isyarat akan anjuran untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara manusia, antara lain:
1. Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan-bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mendamaikan (perselisihan) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa: 114)
Mendamaikan perselisihan di antara manusia dalam ayat ini sifatnya umum, mencakup persoalan darah, harta, dan harga diri serta segala sesuatu yang menjadi sumber perselisihan dan sengketa di antara manusia. Bahkan, mengadakan perdamaian tersebut dianjurkan dalam
menyelesaikan sengketa antaragama.21
21
(30)
2. Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Tolong menolong dalam kebaikan sifatnya umum dan luas, mencakup segala jenis dan bentuk kebaikan serta maslahat. Sebagaimana diketahui bahwa maslahat dan kebaikan yang paling besar adalah mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia dan negara sebagaimana ditunjukkan oleh Ayat 114 surat An-Nisaa diatas.
3. Dari Ummu Kultsum ra. bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak dikatakan sebagai pendusta orang yang (berdusta) untuk
mendamaikan (sengketa) antara manusia, maka ia menumbuhkan kebaikan atau berkata yang baik-baik.” (HR. Bukhari No. 2692)
Ibnu Syihab (w. 124 H) berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi SAW
memberi keringanan pada sesuatu dari ucapan manusia berupa kebohongan melainkan pada tiga keadaan: perang, mendamaikan sengketa manusia, serta ucapan (cumbuan) seorang suami pada istri nya dan sebaliknya demi kemaslahatan.” (HR. Muslim No. 2605)
Dimana hadits ini merupakan anjuran dari Nabi SAW untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, kendati dalam merealisasikan hal tersebut seseorang terpaksa harus berbohong dan tidak mengatakan hakikat yang sebenarnya.
4. Dari Abu Darda’ ra. (w. 32 H), ia berkata bahwa Rasulullah SAW
(31)
dari kedudukan puasa, salat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Mendamaikan sengketa manusia.” (HR. Abu Daud No. 4921)
Dari keterangan tentang urgensi menciptakan perdamaian serta mencegah perselisihan dan sengketa, khusus persoalan sengketa internasional yang melibatkan dua negara atau lebih, maka dalam perspektif hukum Islam, sarana terpenting dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara damai tersebut adalah adanya keterlibatan dan peran dari negara lain, khususnya negara-negara muslim melalui media perundingan dalam hal mencari solusi dan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian sengketa, apa pun motif sengketa itu. Hal ini sejalan dengan firman
Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2)
Syariat Islam telah mencanangkan pentingnya penegakan sebuah lembaga internasional yang memiliki otoritas untuk membantu penyelesaian berbagai sengketa internasional melalui jalur perdamaian atau kekuatan jika keadaan dan
kondisi menuntut. Penjelasan hal ini termaktub dalam firman Allah Ta’ala: “Dan
kalau ada golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang
(32)
beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)
Secara umum, ayat ini memuat empat point penting yang merupakan asas bagi penyelesaian sengketa internasional secara damai:
1. Perintah melakukan ishlah (perdamaian) bagi pihak-pihak yang
bersengketa.
2. Adanya tindakan nyata dari sebuah kelompok (organisasi internasional),
berupa teguran atau kekuatan militer terhadap pihak yang membelot (melanggar) perjanjian damai yang telah disepakati, hingga mereka menyatakan kesiapan diri kembali pada kesepakatan semula.
3. Memberi keputusan secara adil dan bijaksana bagi pihak-pihak yang
bersedia kembali pada perjanjian damai tersebut.
4. Isyarat akan anjuran membentuk sebuah kelompok atau organisasi
internasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi
antarkelompok atau antarnegara.22
Kata perang dalam permulaan ayat ini, “Dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang”, bukanlah semata perang dalam tataran arti yang sempit. Akan tetapi termasuk didalamnya seluruh makna umum yang mengarah pada arti perselisihan atau sengketa. Ayat ini memberi keterangan akan kewajiban menegakkan perdamaian di antara kelompok yang berselisih. Oleh karenanya, merupakan perkara aksiomatik, bahwa tindakan-tindakan penegakkan
22
(33)
perdamaian yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau organisasi internasional itu, sudah pasti tercakup di dalamnya seluruh sarana-sarana, seperti perundingan, negosisasi, perwakilan, dan arbitrase.
Umat Islam diberi izin untuk membela diri terhadap musuh Islam adalah karena dalam kondisi tertentu yang ekstrim, namun demikian izin tersebut diberikan dalam kondisi tertentu yang menyertainya seperti terbukti dari ayat-ayat yang baru saja dikutip. Allah Ta’ala menyatakan izin tersebut diberikan karena adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Mereka yang telah melakukan pelanggaran boleh diperangi sampai pada akhirnya kembali kepada hal yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Secara umum ayat ini mewajibkan pentingnya menyelesaikan segala bentuk sengketa melalui keputusan final yang mengikat. Jika keduanya (golongan yang berselisih itu) tunduk dan menghormati kesepakatan, maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk menahan diri dari perang. Adapun jika salah satu dari keduanya menyimpang berbuat aniaya, tidak bersedia tunduk terhadap putusan lembaga internasional serta menolak kembali perintah Allah Ta’ala, atau
memaksa dengan permusuhan, maka ia dikategorikan sebagai “baghiyah”
(pembelot) yang menyimpang dari otoritas hukum internasional Islam dan
membangkang terhadap undang-undang.23
23
Ibid
Mengutip perkataan Ibnu At-Thabari (w. 310 H), Al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan:
(34)
“Jika seandainya wajib menghindar dan menetapi rumah setiap pecah sengketa antara dua kelompok (negara), maka hukum tidak akan tegak dan kebathilan akan merajalela. Di samping itu pelaku nifak dan fujur (kaum pendosa) akan mendapat jalan menghalalkan segala hal yang diharamkan (oleh Allah Ta’ala) seperti membunuh, merusak dan menawan wanita. Karenanya, wajib bersatu membentuk
suatu kelompok guna menghadapi kaum pembelot tersebut.”24
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengikuti keputusan perundingan antara dua golongan yang bersengketa, serta upaya menciptakan perdamaian di antara keduanya. Di dalamnya diserukan kerja sama dalam rangka mewujudkan perdamaian internasional yang tegak di atas keadilan, serta memerintahkan pentingnya menciptakan perwakilan untuk pengaturan penjagaan keamanan, yang pada akhirnya terwujud kewajiban menegakkan hukuman untuk membantu negara-negara yang tertindas.
Pernyataan ini tentunya berpedoman pada sabda Rasulullah SAW., sebagai mana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. (w. 93 H):
“Berilah bantuan pada saudaramu baik yang melakukan kezaliman maupun yang dizalimi”. Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika ia terzalimi, bagaimana saya menolong jika ia melakukan kezaliman itu?” Beliau menjawab: “Engkau mencegahnya dari kezaliman, maka itu termasuk menolongnya.” (HR. Bukhari No. 2443)
25
24
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jami’ li Ahkam Al-Quran, Cet. III, (Kairo: Daar al-Kitab al-Arabi, 1387 H/1967 M) Hlm. 317, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 274
25
Al-Thayyar, Ali bin Abdur Rahman, Al-Niza’at Al-Dauliyah fi Syari’ah Al-Islamiyah, Cet. I, (Riyadh: Huquq Al-Thab’i lil Muallif, 1424 H) Hlm. 147, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 275
(35)
badan-badan internasional yang bertujuan mengawal terwujudnya perdamaian dan keamanan bersama agama-agama non-muslim lainnya.
Islam membolehkan adanya perjanjian dan kesepakatan bersama dengan agama lain, serta mengarahkan agar selalu konsisten menghormati kesepakatan yang telah dilahirkan, tentunya untuk tujuan mencegah peperangan, fitnah, serta mewujudkan perdamaian antarbangsa di dunia. Sa’id Hawwa berkata:
“Dibolehkan bagi kelompok muslim untuk ikut dalam perjanjian dalam mencari kebaikan dan takwa, selama tidak membawa kepada diskriminasi dan permusuhan melawan kaum muslimin. Juga diperbolehkan bagi muslim untuk ikut kesepakatan bersama non-muslim melawan segala bentuk kekejaman dan kejahatan, selama masih memperhatikan kepentingan umat muslim untuk jangka waktu panjang dan pendek. Pada peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, setelah diutus menjadi Nabi, beliau tetap mengungkapkan keinginannya untuk mendukung perjanjian kerja sama tersebut bila dipanggil lagi.”26
Dari sini tampak akan kebolehan menyelenggarakan kerja sama dan kesepakatan antara negara Islam dengan negara-negara non-muslim, seperti ikut bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menyelesaikan berbagai sengketa internasional, mewujudkan perdamaian global, serta menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimanayang ditunjukkan oleh
keinginan beliau untuk kembali bergabung dalam hilf al-fudhul yang dahulu
26
Sa’id Hawwa, Al-Asas fi Al-Sunnah (Sirah Nabawiyah), t.Cet, (Riyadh: Daar Al-Salam, 1989 M), Vol. II, Hlm. 171-172, dikutip Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 277
(36)
diselenggarakan oleh bangsa Quraisy.27
Sebab turunnya ayat ini, bahwasannya Rasulullah SAW pernah mengajak Al-Harits bin Abi Dhirar Al-Khuza’i masuk Islam, dan dia pun menerima dan memeluk Islam. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, pergilah kepada kaumku lalu ajaklah mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Setelah itu Al-Harits pun ditugaskan mengumpulkan dari kaumnya harta zakat (sebab mereka
Tentunya, kebolehan tersebut berlaku selama tidak melanggar batas-batas hukum syariat serta tidak mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin.
Di samping itu, syariat Islam membatasi konsep-konsep penggunaan jalur perang pada batas-batas tertentu, mengharamkan permusuhan dalam segala aspek dan motif, serta berupaya senantiasa menyebarkan keadilan, rahmat, kasih sayang dan persamaan di antara umat manusia. Islam menghormati hukum dan peraturan yang berlaku hingga pada persoalan perang. Karena itu, secara tegas Islam
menekankan segala upaya verifikasi atau tabayyun dalam setiap sebab yang dapat
melahirkan sengketa internasional, selama hal itu dapat menyelesaikan sengketa yang bakal terjadi. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
27
Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, (Beirut: Muassassah Al-Risalah, 1401 H/1985 M), Hlm. 354, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 277
(37)
telah memelihara Islam) serta meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengutus seorang yang akan mengambilnya. Rasulullah SAW kemudian mengutus Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith (w. 61 H). Melihat keterlambatan utusan yang datang, Al-Harits menyangka Rasulullah marah kepada mereka. Maka ia pun berinisiatif keluar bersama kaumnya untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Demi menyaksikan Al-Harits bin Dhirar dan kaumnya keluar, Al-Walid yang saat itu telah dekat lantas berbalik pulang dan mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa Al-Harits menolak zakat dan berniat membunuhnya. Mendengar hal ini, Nabi SAW tidak lantas bertindak, bahkan mengirim utusan untuk verifikasi berita
dari Al-Walid, hingga kemudian berhasil tercegah meletusnya perang.28
Upaya verifikasi terhadap suatu hal merupakan perkara wajib dan mengikat demi mendedahkan dan menjelaskan hakikat suatu kebenaran. Upaya ini sudah barang tentu membantu perwujudan perdamaian dan keamanan yang diserukan oleh agama Islam. Jadi kesimpulannya, dalam tataran hukum Islam, penyelesaian sengketa internasional itu terbagi menjadi dua: (1) Penyelesaian secara damai, yang meliputi upaya-upaya yang mengarah kepadanya, berupa verifikasi, negosiasi, mediasi, perundingan, hingga penyelesaian melalui badan internasional, karena ia merupakan asas bagi penyelesaian sengketa tersebut; (2) Penyelesaian melalui jalur kekerasan, dalam hal ini perang dan yang semakna dengannya, jika salah satu dari kedua pihak yang berselisih membangkang dan tidak bersedia menempuh jalur perdamaian.
28
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Cet. II, (Riyadh: Daar Al-salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H/1998 M), Hlm. 267
(38)
b. Perdamaian
Secara etimologi, kata al-mu’ahadah (Perjanjian Damai) berasal dari
Al-ahdu, yang berarti setiap yang terjadi di antara manusia berupa kesepakatan,
menjaga kehormatan serta menjamin keamanan. Al-mu’ahad artinya, seseorang
yang menjalin kesepakatan dengan kita. Adapun al-mu’ahadah dan al-ta’ahud
maknanya sama, yakni membuat perjanjian akan sesuatu yang disepakati. Kata
al-ahdu dalam makna etimologi digunakan pula untuk makna kesepakatan antara dua
orang atau dua kelompok atas suatu perkara yang harus ditepati untuk menciptakan maslahat bersama antara kedua belah pihak atau salah satu dari
keduanya. Sementara, kata al-mu’ahadah bermakna membuat kesepakatan
tersebut.29
1. Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Bahwa ia
adalah perjanjian damai dari kaum muslimin untuk penduduk daar al-harb
selama tahun-tahun (waktu) yang disepakati.
Adapun makna kata al-mu’ahadah secara terminologinya, menurut para
ulama Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya:
2. Al-Kasani (w. 587 H) mendefinisikannya sebagai kesepakatan damai
untuk meninggalkan perang.
3. Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 682 H) menyatakannya sebagai
“kesepakatan yang dibuat oleh penduduk daar al-harb untuk
meninggalkan perang dalam jangka waktu tertentu baik dengan membayar sesuatu atau tidak.”
29
Wabah Al-Zuhaili, Al-Ilaaqat Al-Dauliyah fi Al-Islam, Cet. I, (Beirut: Muassassah Al-Risalah, 1401 H/1985 M), Hlm. 345-346. (Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 358)
(39)
4. Menurut Muhammad Khair Haikal, al-mu’ahadah adalah perdamaian (mushaalahah) dengan penduduk negara non-muslim untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik disertai dengan kompensasi maupun tidak.
5. Komite Pengkajian Bahasa Arab di Kairo memberi definisi bagi kata
al-mu’ahadah, bahwasanya ia adalah kesepakatan yang terjadi antara dua
negara atau lebih untuk mengatur hubungan antarmereka.30
Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan. Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa
permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.31
Kesimpulannya bahwa makna kesepakatan damai bagi negara Islam adalah segala kesepakatan yang diselenggarakan oleh pemimpin (imam) atau wakilnya
dengan golongan ahlu harbi dan ahlu dzimmah sserta kelompok kaum muslimin
yang membelot, untuk hubungan yang disyariatkan, disertai lampiran akan
30
Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.cit, Hlm. 359
tanggal 25 Maret 2015, pukul: 15.00 WIB
(40)
kaidah-kaidah dan syarat-syarat perjanjian tersebut.Dalam perspektif syariat Islam, menyelenggarakan kesepakatan damai dengan negara-negara nonmuslim
hukumnya mubah (boleh), selama dipandang mengandung maslahat bagi agama
dan kaum muslimin.32
1. Firman Allah Ta’ala:
Karenanya, segala kesepakatan damai yang tidak mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin, apalagi jika kemudian melahirkan mudarat, maka hukumnya tidak boleh.
Dalil yang menunjukkan kebolehan ini sangat banyak di antaranya:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, makacondonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Ayat ini merupakan dalil pembolehan al-mushalahah dan al-muwada’ah (perdamaian) jika kaum musyrikin meminta dan condong padanya. Kalau dalam perdamaian itu terdapat maslahat, maka tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk memulai (permohonan damai tersebut) jika memang
dibutuhkan.33
2. Firman Allah Ta’ala:
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
32
Muhammad Ra’fat Utsman, Haquq wa Wajibaat wa Ilaaqaat Dauliyah fi al-Islam, Cet. IV, (Kairo: Daar al-Dhiya’, 1991 M), Hlm. 233. Di ambil dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 359
33
(41)
untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisaa: 90)
Dengan mementingkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin, maka sesuai
dengan dalil ini bahwasanya antara ahlu al-harb (negeri non-muslim) dan
ahlu al-Islam diperbolehkan menyelenggarakan perjanjian damai.34
B. Dasar Pemberlakuan Perjanjian Damai
Wahbah Al-Zuhaili menyatakan, Islam menjunjung tinggi persoalan kesepakatan damai serta segala sarana yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan (syariat) yang bersifat umum. Bagi seorang pemimpin, merupakan satu keharusan untuk menjalin perdamaian dengan kalangan non-muslim jika terdapat padanya kebaikan agama. Melalui perjanjian damai itu, diharapkan mereka mendapat pemahaman yang baik terhadap agama Islam dan tertarik padanya.Adapun contoh berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW diantaranya:
Pertama: Perjanjian damai diselenggarakan oleh Nabi SAW dengan kaum Yahudi di Madinah pada tahun ke-1 H. Hal demikian terlaksana setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah dan sukses menegakkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, berupa kesatuan aqidah, politik, dan sistem kehidupan di antara kaum
34
(42)
muslimin. Perhatian beliau pada saat itu terpusat untuk menciptakan keamanan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi semua manusia, serta mengatur kehidupan di daerah itu dalam suatu kesepakatan.
Tetangga paling dekat dengan kaum muslimin di Madinah adalah kaum Yahudi. Beliau menawarkan perjanjian damai dengan mereka, yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, serta tidak boleh
saling menyerang dan memusuhi.35
1. Orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang
mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk para pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kaum Yahudi selain Bani ‘Auf.
Adapun isi traktat itu adalah sebagai berikut:
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri,
begitu pula orang-orang muslim.
3. Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak
membatalkan piagam perjanjian ini.
4. Mereka harus saling menasihati, berbuat bijak, dan tidak boleh berbuat
jahat.
5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap seseorang yang telah terikat dengan
perjanjian ini.
6. Wajib membantu orang-orang yang terzalimi.
7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang Mukmin
saat mereka terjun dalam kancah pertempuran.
35
(43)
8. Yastrib (madinah) adalah kota yang dianggap suci oleh setiap pihak yang menyetujui perjanjian ini.
9. Jika terjadi sesuatu ataupun perselisihan di antara orang-orang yang
mengakui perjanjian ini, yaitu dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah Ta’ala dan Muhammad SAW.
10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh
ditolong.
11. Mereka harus tolong-menolong dalam menghadapi orang yang hendak
menyerang Yastrib.
12. Perjanjian tidak boleh dilanggar kecuali memang dia orang yang zalim
atau jahat.36
Kedua: Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan kaum Quraisy pada tahun ke-VI Hijriah. Peristiwa ini dimulai saat Nabi SAW keluar bersama sekitar 1.400 personel (dalam riwayat lain 1.500 orang) menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah. Mendengar rencana Nabi SAW itu, pihak Quraisy tidak tinggal diam. Mereka bermufakat mencegat Nabi SAW masuk ke dalam Masjidil Haram. Diutuslah Suhail bin Amru (w. 18 H) untuk menemui beliau dan mengadakan perundingan. Dari perundingan itu, lahirlah traktat-traktat kesepakatan bersama yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah. Di antara point-point perjanjian itu adalah sebagai berikut:
36
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H), Hlm. 182-183, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 361-362
(44)
1. Rasulullah SAW harus kembali pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.
2. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga
semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Siapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya,
maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan terhadap kabilah tertentu, dianggap menyerang terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya
(melarikan diri), maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri
darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan padanya.37
37
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H) , Hlm. 325, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 363
(45)
Al-Nawawi (w. 672 H) menyatakan saat mengomentari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah:
“Seorang pemimpin berhak menjalin perjanjian damai (Al-Shulh) selama hal itu dipandang dapat mewujudkan maslahat bagi kaum muslimin, kendati pada mulanya perjanjian damai tersebut menurut sebagian orang tidak membawa kemaslahatan.”38
a. Firman Allah Ta’ala: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Surat Al-Maa’idah: 2) Selain itu terdapat beberapa dalil lain yang menerangkan kepada umat muslim untuk melakukan perjanjian damai, yakni:
b. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap persendian tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang yang berselisih adalah shadaqah, menolong seseorang menaiki kendaraan adalah shadaqah atau mengangkatkan barangnya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah.” (HR. Bukhari No. 2827 dan HR. Muslim No. 1009)
c. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam
saling mencintai dan mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu tubuh
38
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarhu Shahih Muslim, t. Cet, (Kairo: Daar Ibnu Ibrahim, 2003 M), Vol. VII, Hlm. 419
(46)
merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berlaku adil di antara orang yang bertengkar dan berselisih serta memutuskan hubungan, dilakukan dengan cara menghukumi mereka dengan adil, mendamaikan di antara mereka dengan cara yang dibolehkan, yaitu dengan tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ini adalah bentuk taqarrub yang paling utama dan ibadah yang paling sempurna.39Mendamaikan orang yang bertikai merupakan shadaqah kepada keduanya, mengingat dengan ishlah tersebut keduanya terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh pertikaian yang terjadi antara keduanya, dampak tersebut bisa berupa cacian atau bahkan perlakuan kasar. Karena itu pertikaian tersebut harus dihentikan, bahkan dalam
meleraikan dibolehkan berbohong.40
Perlu digarisbawahi, nota kesepakatan internasional yang diselenggarakan antara kaum muslimin dan non-muslim tidak disyaratkan mesti sejalan dengan aturan-aturan Islam. Sebab, yang menjadi pertimbangan utama dalam penyelenggaraan perjanjian tersebut adalah terwujudnya maslahat bagi kaum muslimin dan tidak melanggar kaidah-kaidah syariat. Perkara ini dapat dilihat dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, di situ banyak hal-hal yang disepakati oleh Nabi
SAW kendati secara lahir tidak sejalan dengan aturan-aturan syarak.41
Sebagai contoh, perundingan antara Nabi SAW dan Suhail bin Amru (w. 18 H) kala merumuskan isi nota kesepakatan tersebut. Pada saat itu Nabi SAW
39
An-Nawawi, Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in, Cet. VI, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012), Hlm. 233
2015, pukul 15.00 WIB
41
(47)
memanggil Ali bin Abi Thalib ra. (W. 40 H) untuk menulis isi perjanjian itu.
Beliau mendiktekan pada Ali: “Bismillahir rahmanir rahim.” Suhail menyela:
“Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa Dia?” Tapi tulislah: “Bismika Allahuma.” Nabi pun memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau berkata lagi: “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad Rasul Allah.” Suhail kembali menyela: “Andaikan kami tahu engkau adalah Rasul Allah tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tapi tulislah: “Muhammad bin Abdillah.” Beliau pun berkata: “Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalianpun kalian mendustakanku.” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang tertulis. Namun Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu
dengan tangannya sendiri.42
C. Jenis-jenis Perdamaian
Jenis-jenis perdamaian dalam kajian hukum Islam disesuaikan pada dua
tabiat hubungan, yakni hubungan yang bersifat permanen (daaim) dan temporer
(muaqqat). Perjanjian yang sifatnya permanen (al-Mu’ahadah al-Daimah) adalah perjanjian yang tidak boleh dibatalkan oleh imam (pemerintah) secara sepihak kendati dalam pembatalan tersebut terdapat maslahat bagi kaum muslimin, selama
42
(48)
pihak kedua tidak menyelisihi poin-poin perjanjian. Ini dinamakan sebagai akad dzimmah.43
1) Jenis yang jumlahnya terbatas, yakni jumlah orang yang mengikat
perjanjian dengan kaum muslimin terbatas. Perjanjian jenis ini boleh diselenggarakan oleh setiap kaum muslimin dengan kaum nonmuslim, dan
ia disebut juga dengan akad al-aman.
Sementara itu, perjanjian yang sifatnya temporer (Mu’ahadah
al-Muaqqat) terbagi menjadi dua jenis:
2) Jenis yang jumlah tidak terbatas, dan ia dinamakan sebagai al-hudnah;
dinamakan pula muwada’ah, mu’ahadah, musalamah, dan
al-muhadanah.
Berikut ini adalah rincian jenis-jenis dari perdamaian menurut hukum Islam:
1. Akad Dzimmah (Jizyah)
Secara etimologi dzimmah berarti al-ahdu (perjanjian) dan al-aman
(jaminan keamanan), al-dhaman (jaminan), al-kafalah (tanggungan), al-haq
(keberhakan). Adapun dzimmah menurut terminologi berarti akad perjanjian damai yang sifatnya permanen dengan golongan selain kaum muslimin sebagai jaminan bagi mereka untuk tinggal di negara Islam, dalam keadaan terjamin keselamatan diri, harta, dan kehormatan mereka. Muhammad bin Hasan
Al-Syaibani (w. 189 H) menyatakan: “Akad dzimmah adalah perjanjian penghentian
perang, dan keharusan bagi ahlu dzimmah tunduk kepada segala ketentuan aturan
43
Wabah Az-Zuhaili, Op.Cit, Hlm. 358, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 364
(49)
Islam dalam hal-hal yang berkaitan dengan hubungan (perjanjian), serta rela
tinggal di negeri Islam.”44
1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 29: “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad dzimmah, yaitu:
Surat At-Taubah ini turun setelah penaklukan kota Mekkah tahun 9 H. Khusus ayat di atas diturunkan tatkala Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat beranjak menuju Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya dari kabilah Kristen bangsa Arab. Penetapan akad dzimmah dalam syariat serta pemungutan jizyah mulai berlaku setelah turunnya surat At-Taubah ini.
2) Dari Sulaiman bin Buaraidah ra. (w. 105) dari bapaknya (w. 63 H), ia
berkata: “Rasulullah SAW jika hendak mengutus panglima perang beliau akan memberi wasiat akan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan kebaikan pada diri pribadinya serta kaum muslimin yang bersamanya.” Beliau
bersabda: “Jika engkau berhadapan dengan musuh dari musyrikin, maka
ajaklah mereka pada salah satu dari tiga perkara: Ajaklah mereka pada
44
Al-Sarakhsi, al-Mabsuth, t.Cet, (Beirut: Daar al-Fikr li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1421 H/2000 M), Hlm. 238, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 366
(50)
Islam; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Jika mereka menolak, maka ajaklah mereka untuk membayar jizyah; bila mereka menyambutnya maka terimalah dan tahan diri kalian. Namun jika mereka menolak juga, maka mohonlah pertolongan pada Allah dan perangilah mereka.” (HR. Muslim No. 1731)
Melalui akad ini, maka ahlul dzimmah berhak untuk berdomisili dalam negara Islam dan hidup bersama kaum muslimin, dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sama terhadap negara, berupa jaminan keamanan serta kebebasan dalam hal mencari penghidupan serta menjalankan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hikmah pensyariatan jizyah yaitu membangun jalinan sosial antara muslim dan nonmuslim. Hidup berdampingan secara damai tidak jarang menjadi daya tarik nonmuslim untuk memeluk agama Islam. Selain itu, interaksi dengan kaum muslimin dapat dapat menambah wawasan mereka tentang Islam. Diharapkan dari hubungan ini akan
muncul para muallaf baru yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir.45
2. Akad Al-Aman
Al-Aman menurut bahasa adalah lawan dari ketakutan. Namun, yang dikehendaki dalam pembahasan di sini adalah penghentian membunuh dan berperang dengan musuh. Akad ini merupakan bagian dari rekayasa perang dan kebaikan dalam perang. Terdapat beberapa definisi yang dilontarkan para sajana
hukum Islam mengenai makna al-aman, di antaranya:
45
(51)
1) Definisi golongan Hanafiyah terhadap akad al-aman, al-Kasaani (w. 587 H) menyatakan: “Kata ini bermakna suatu proses di mana pasukan (Islam) mengepung benteng musuh, lalu mereka meminta jaminan keamanan, dan kaum muslimin menyanggupi untuk memberi jaminan tersebut.
2) Al-Dasuqi (w. 1230 H) dari kalangan Malikiyah memberi definisi bagi
akad al-aman sebagai: “Hilangnya kebolehan menumpahkan darah dan
mengambil harta golongan harbi (kaum nonmuslim yang diperangi) dalam
satu kancah peperangan dan lainnya, bersama dengan keluasan mereka tinggal di bawah hukum Islam dalam jangka waktu tertentu.”
3) Al-Syarbini (w. 977 H) dari ulama kalangan Syafi’i menyatakan: “Akad
al-aman adalah perjanjian yang diarahkan untuk meninggalkan perang dan pembunuhan terhadap kaum nonmuslim.”
Dari definisi akad al-aman yang dilontarkan para ulama di atas, maka yang tampak sebagai definisi terbaik adalah definisi al-Dasuqi (w. 1230 H) dari kalangan Malikiyah. Definisi tersebut lebih dekat dengan maksud sebenarnya dan
lebih universal, mencakup gambaran bagi kandungan akad al-aman tersebut.
Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad al-Aman:
1) Fiman Allah Ta’ala berkenaan dengan permohonan Nabi Ibrahim AS
dalam Surat Al-Baqarah ayat 126, yakni:
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”
(52)
2) Firman Allah Ta’ala kala menyebutkan nikmat-nikmat yang diberikan kepada bangsa Quraisy dalam Surat Quraisy ayat 4, yakni:
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
3) Firman Allah Ta’ala tentang buah dari keyakinan yang benar dalam Surat
Al-An’am ayat 82, yakni:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), maka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
4) Dari Amru bin Syu’aib (w. 118 H) dari bapaknya dari kakeknya
menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Seluruh kaum muslimin setaraf
dalam (hak tuntutan) atas darah, dan berlaku jaminan keamanan (yang ia berikan) hingga oleh seorang yang paling rendah (kedudukannya) di antara mereka.” (HR. Abu Daud No. 2753)
Dalam referensi para sarjana hukum Islam, akad al-aman terbagi menjadi dua jenis, yakni:
1) Akad al-Aman umum, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan
sekelompok orang yang tak terhitung jumlahnya seperti penduduk di sebuah kawasan tertentu, dan yang boleh mengadakan akad aman
semacam ini hanya imam atau yang mewakilinya (pemimpin).46
46
(53)
2) Akad al-Aman khusus, artinya akad yang diadakan untuk kepentingan perorangan atau sekelompok orang yang terhitung jumlahnya seperti
sepuluh orang atau hitungan di bawahnya.47
3. Akad Hudnah
Hudnah, muwad’ah, mu’ahadah, musalamah dan muhadanah mempunyai arti yang sama. Menurut bahasa adalah mushalahah (berdamai). Sedangkan menurut syara’ adalah berdamai dengan orang-orang kafir musuh dengan menghentikan peperangan hingga masa yang telah ditentukan disertai sejumlah uang pengganti atau tanpa pengganti, baik di lingkungan mereka ada seseorang yang tetap memilih agamanya dan seseorang yang tidak tetap memilih agamanya. Akad hudnah diberlakukan dengan para musuh yang berdomisili di berbagai negara yang mereka kuasai, bukan saat mereka mengambil alih negara kita secara paksa, seperti tindakan yang dilakukan bangsa Yahudi di Palestina. Pada saat terjadi pengambilalihan secara paksa, maka menurut syara’ wajib mengusir
mereka dari negara tersebut.48
1) Firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah ayat 9, yakni:
Berikut merupakan dasar pemberlakuan akad hudnah:
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian di bumi selama empat bulan
47
Ibid, Hlm 436
48
(54)
dan ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.”
2) Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Anfal ayat 61, yakni:
“Tetap, jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Ketika akad hudnah dihukumi sah, maka diwajibkan atas pihak yang mengadakan akad hudnah dan orang-orang setelahnya yang berstatus sebagai iman (pemimpin) menjaga diri mereka dan melindungi dari sesuatu yang menyakitkan sampai habisnya masa hudnah. Atau mereka membatalkan akad hudnah dengan ungkapan yang tegas dari mereka, atau mereka menyerang kaum kaum muslim tanpa alasan yang jelas, atau mengirimkan surat tertulis kepada orang-orang kafir musuh dengan mengungkapkan kekurangan kaum muslimin, atau dengan membunuh seorang muslim. Kita tidak harus melindungi dan memediasi kafir musuh. Karena hudnah bertujuan memberikan perlindungan,
bukan menjaga, berbeda dengan akad dzimmah.49
D. Kewajiban Menghormati Perdamaian
Traktat-traktat internasional yang pernah disepakati sebelum datangnya Islam, kebanyakan hanya sebagai alat bagi bangsa-bangsa besar untuk menekan bangsa lemah atau bangsa yang kalah. Demikianlah, hingga umur traktat-traktat itu jarang yang berlanjut lama. Sebab, tatkala negara lemah menjadi kuat dan
49
(55)
sebaliknya, negara besar menjadi lemah, atau negara lemah mendapat pendukung
yang siap menghadapi rivalnya, maka riwayat traktat tersebut berakhir sudah.50
Berbeda ketika syariat Islam datang, keberadaan traktat-traktat internasional mulai memasuki era baru. Islam menetapkan hukum akan kewajiban untuk menempati dan menghormati kewajiban. Islam tidak menjadikan traktat-traktat tersebut sebagai alat untuk membuat makar dan tipu daya, sebagaimana Islam mencegahnya menjadi sarana untuk memonopoli perekonomian, membuka pasar-pasar baru, menyedot darah dan sumber daya alam bangsa lain, seperti banyak
dilakukan bangsa-bangsa imperalis timur dan barat pada abad pertengahan.51
Bukti sejarah paling otentik berkaitan dengan sifat amanah serta kesetiaan kaum muslimin untuk menghormati sebuah perjanjian, kendati secara lahiriah merugikan bagi kaum muslimin adalah peristiwa yang terjadi sesaat setelah ditandatanganinya traktat perjanjian Hudaibiyah. Yakini, peristiwa pelarian Abu Jandal bin Suhail ra. (w. 18 H) anak dari Suhail bin Amru yang saat itu bertindak sebagai wakil kaum Quraisy. Dalam kondisi terbelenggu dari Mekkah untuk menyusul kaum muslimin di Madinah. Suhail bin Amru lantas mencengkram kerah baju Abu Jandal, memukul, dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada kaum Quraisy. Sebab, demikianlah di antara isi perjanjian yang telah disepakati. Abu Jandal pun berseru lantang: “Wahai segenap kaum muslimin, tegakah kalian bila aku dikembalikan kepada kaum musyrikin yang akan menyiksa diriku karena agamaku ini?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Wahai Abu Jandal, sabar dan
50
Ibnu Qudamah, Muhammad bin Ahmad, Al-Syarh Al-Kabir Ma’a Al-Mughni, t.Cet, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Arabi, 1403 H/1983 M), Hlm. 244, dikutip dalam buku Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 391
51
(56)
bertahanlah, sungguh Allah akan memberi jalan keluar bagimu serta kaum lemah yang bersamamu. Kami telah mengukuhkan sebuah perjanjian antara kami dan mereka , dengan sumpah yang kami dan mereka berikan atas nama Allah.
Sungguh kami tidak akan mengkhianatinya.”52
“Bahwa Islam juga mewajibkan untuk menghormati dan menaati perjanjian internasional. Sikap, seperti ini adalah bagian dari akhlak seorang muslim yang baik. Sebagai contoh, ketika Nabi SAW dinasihati untuk mengikuktkan segel (stempel) resmi pada surat yang akan beliau kirimkan kepada para pemimpin lain, beliau menerimanya. Sebab, hal ini merupakan aturan dan tata cara pada saat itu. Bila tidak, para pemimpin yang dikirimkan surat tidak akan mau menerima surat tersebut. Jadi beliau pun memberi stempel pada suratnya dengan menggunakan cincinnya yang diukir dengan kata Muhammad, Rasul Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Nabi SAW ikut kepada protokol internasional.”
Sa’id Hawwa berkata:
53
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu Jelaslah di sini, syariat Islam memerintahkan untuk senantiasa dan menghormati perjanjian. Sehingga dengan demikian bagi seluruh umat Islam dilarang untuk membatalkannya, apalagi mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
52
Al-Mubarakfuri, Shofiyur Rahman, Al-Rahiq Al-Makhtum, Cet. I, (Riyadh: Daar Al-Salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H), Hlm. 326, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 392-393
53
Sa’id Hawwa, Op.Cit,Hlm. 800, dikutip dalam Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Op.Cit, Hlm. 393
(1)
perang. Kategori penghentian perang karena musuh masuk Islam, dilatari oleh jenis peperangan yang umum terjadi pada awal turunnya syariat Islam, yakni perang membela agama dan dakwah Islam atau biasa diistilahkan sebagai “Perang Suci atau Jihad fi Sabilillah”. Adapun penghentian perang melalui kesediaan musuh membayar jizyah merupakan perkara yang telah dikenal oleh dunia internasional saat itu yang kemudian diadopsi oleh Islam dengan beberapa tambahan jaminan lainnya.
4. Dari kajian tentang prinsip arbitrase (tahkim) dalam syariat Islam, terlihat bahwa aturan arbitrase harus berlandaskan kesepakatan dan persetujuan para pihak yang bersengketa. Sebab, tujuan dari syariat dalam segala aspek kehidupan, khususnya kehidupan bernegara adalah terealisasinya keadilan dan rahmat di antara manusia. Di dalam arbitrase syariat Islam memberikan kepastian dalil-dalil keuniversalan, dan keluwesan cakupan hukumnya yang meliputi segala tuntutan hidup pada setiap zaman, tempat, dan generasi. Adapun nas-nas dalam hukum internasional, kondisinya relatif menurut perbedaan waktu, tempat, dan masyarakat pada saat ia berlaku. Dengan demikian, tidak jarang akan terganti perubahan dan pergantian. Di sisi lain, syariat Islam memberi kesempatan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menentukan arbiternya secara bebas di samping tidak menentukan batas jumlah arbiter tersebut. Hal ini pula yang diamalkan oleh hukum internasional yang sama halnya memberikan kebebasan dalam memilih arbiternya.
(2)
5. Adapun sanksi-sanksi hukum yang diterapkan oleh hukum Islam terhadap pihak-pihak yang melanggarnya telah ditetapkan melalui sumber untama hukum Islam itu sendiri, yakni: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dimana sanksi tersebut merupakan bentuk ketegasan bahwa suatu perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak, terkhususnya bagi umat muslim adalah suatu hal yang diwajibkan untuk menjalankan dan menghormati isi perjanjian tersebut serta tidak melanggarnya. Karena sesungguhnya sikap khianat yang telah dilakukan pihak-pihak, terkhususnya umat Islam akan suatu perjanjian yang telah disepakati bersama adalah hal yang sangat dilarang dan akan mendapat sanksi tegas apabila hal itu terjadi. Menghormati perjanjian adalah anjuran illahi yang adil demi menjaga tujuan syariat yang diemban oleh dakwah Islamiyah, menegakkan perdamaian dan tidak dirusak oleh permusuhan dan makar tipu daya. Allah Ta’ala beserta Rasulullah SAW selalu mengingatkan kepada setiap umatnya untuk senantiasa berperilaku jujur dan santun kepada siapapun, termasuk kepada kesepakatan yang telah dibuat bersama umat nonmuslim.
B. Saran
1. Keberadaan hukum Islam dan hukum internasional dalam hal mengenai pengaturan penyelesaian sengketa antarnegara merupakan suatu bentuk keselarasan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya saling sejalan mengenai bentuk dari penyelesaian sengketa antarnegara tersebut. Sehingga dengan demikian, sangat diharapkan dengan adanya pengaturan dari kedua
(3)
hukum tersebut akan tercapainya tujuan utama dari kehidupan bernegara yaitu untuk menciptakan keadilan serta ketentraman dalam kehidupan bernegara. 2. Penggabungan antara sistem hukum Islam dengan sistem hukum internasional
dapat menelurkan sebuah hukum yang relevan danefektif dan sesuai dengan prinsip utama hubungan antarnegara yaitu untuk menciptakan perdamaian yang menyeluruh. Sehingga dengan demikian, dapat meminimalisir perbuatan atau tindakan yang memicu peperangan antarnegara apabila kedua hukum ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.
3. Islam adalah agama kedamaian yang membangun asas-asas hubungan dengan umat dan bangsa lain di atas fondasi damai, keadilan, dan cinta seperti yang diserukan oleh hukum internasional dewasa ini. Dari hal inilah, maka diharapkan akan menghapus stigma negatif yang sering dilontarkan bahwa Islam merupakan agama perang yang penuh dengan kekerasan oleh media-media Barat. Islam dengan keluwesan syariatnya justru aktif memberikan solusi untuk berbagai bentuk sengketa. Islam juga dengan tegas menjabarkan pengakuan terhadap perbedaan, menjalin hubungan baik dalam menciptakan tatanan hidup bersama, toleransi dan saling menghormati, serta saling bekerja sama antara satu dengan yang lainnya.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet. III, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Al-Bugha, Musthafa Dieb dan Muhyidin Mitsu, Al-Nawawi. Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in, Cet. VI, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004
Arifin, Syamsul. Falsafah Hukum, Medan: Uniba Press, 2011
Ashri, Muhammad dan Rapung Samuddin. Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan Perdamaian, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013 Dewanta, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Haryomataram, KGPH. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Hata. Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembangan hingga Pasca Perang Dingin, Malang: Setara Press, 2012
Juwana, Hikmahanto. Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010
Katsir, Ibnu. Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Cet. II, Riyadh: Daar Al-salam dan Damaskus: Daar Al-Faiha’, 1418 H/1998 M
Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Globalisasi, Bandung: Penerbit Alumni, 2000
(5)
Mestiko, Sumarsono. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Cet. I, Jakarta: PT Sinar Agape Press, 1985
Munawar, Said Agil Husein. Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Cet. I, Jakarta: BAMUI&BMI, 1994
Sastroamidjojo, Ali. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bhratara, 1971 Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika, 1997
Suryokusumo, Sumaryo. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, edisi II, Bandung: PT. Alumni, 1997
Suryokusumo, Sumaryo. Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: Tatanusa, 2007
Suwardi, Sri Setianingsih. Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia/UI-Press, 2006
Yahya, Abu Zakariya bin Syaraf, Al-Nawawi.Syarhu Shahih Muslim, t. Cet, Kairo: Daar Ibnu Ibrahim, 2003 M, Vol. III
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i, Cet. I, Jakarta: Almahira, 2010
Sumber Lain:
pada tanggal 26 Maret 2015
(6)