BAB II TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya - Perjanjian Penggunaan Rooftop antara Perusahaan Telekomunikasi dengan Pemilik Bangunan di Kota M

  

BAB II

TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA

PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI

KOTA MEDAN

A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan suatu perjanjian

  adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para sarjana berpendapat bahwa pengertian perjanjian di atas tidak lengkap dan terlalu luas. Disebut tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan dikatakan terlalu luas karena dapat

  54 mencakup semua hal.

  Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

  55

  suatu hal. Sudikno Mertokusumo menyatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu

  56 akibat hukum.

  Wirjono Prodjodikoro menyebutkan perjanjian adalah suatu perhubungan mengenai hukum harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji, dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal

  54 55 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 115. 56 R. Subekti, Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1.

  

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985,

hal. 97.

  

29

  57

  sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana

  58 seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

  Selanjutnya Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus

  59

  mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi. Soedjono Dirjosisworo berpendapat perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak yang menimbulkan pengikatan antara keduanya untuk melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Perjanjian dapat pula disebut sebagai persetujuan obligatoir yaitu suatu persetujuan yang menciptakan perikatan-perikatan yang mengikat mereka mengadakan

  60 persetujuan.

  Suatu perjanjian yang dibuat antara para pihak akan menimbulkan hubungan perikatan. Seluruh hal yang menyangkut perikatan diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata Buku III (ketiga). Dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut tidak hanya mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, melainkan juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang.

  Namun Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan perikatan. Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya 57 58 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1993, hal.1.

  

Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan

dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset, Yogyakarta, 2003, hal. 1. 59 60 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.

  Soedjono Dirjosisworo, Misteri Di Balik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 1. menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang.

  Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

  1. Adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri.

  Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ‘sepakat’ saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun seperti tulisan, pemberian tanda atau panjar, dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka

  61 yang membuatnya.

  Suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi salah satu unsur dari unsur paksaan (dwang), penipuan (bedrog), dan/atau kesilapan (dwaling), sehingga terhadap perjanjian tersebut dianggap tidak terpenuhi syarat kesepakatan kehendak.

  Unsur Paksaan (dwang, duress) diatur dalam Pasal 1324 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yaitu: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila 61 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4. perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”.

  Paksaan dapat merupakan alasan untuk minta pembatalan perjanjian apabila

  62

  dilakukan terhadap : a. Orang atau pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1323 KUH Perdata).

  b. Suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah (Pasal 1325 KUH Perdata).

  Unsur Penipuan (bedrog, fraud) diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yaitu : ”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikan rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan”. Dalam bahasa Inggris, penipuan disebut juga misrepresentation yang diartikan sebagai suatu pernyataan tentang fakta yang

  63 tidak benar.

  Unsur Kesilapan (dwaling, mistake) diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang- undang Hukum Perdata yaitu : ”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu 62 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 70. 63 Ibid ., hal. 72.

  perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”. Terdapat kesesatan apabila dikaitkan dengan hakikat benda atau orang dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa

  64 sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan.

  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan.

  Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang- undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Kemudian Pasal 1330 memberikan batasan siapa saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak, yaitu : 1. Anak-anak yang belum dewasa.

  2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

  3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu. Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 yang merumuskan bahwa seorang perempuan yang bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walaupun tanpa izin suaminya, maka poin ke-3 Pasal 1330 tersebut dinyatakan tidak 64 berlaku lagi, sehingga seorang perempuan yang telah bersuami dianggap Ibid. , hal.66. cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini juga selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

  3. Adanya suatu hal tertentu.

  Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebuah perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian, yang merupakan pokok perjanjian, prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan prestasi tersebut harus tertentu jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

  Hal tertentu yang dapat dijadikan sebagai pokok dalam perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan saja. Selain itu barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat dijadikan sebagai objek dalam perjanjian, kecuali untuk hal mengenai warisan (Pasal 1332 dan 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

  Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Jika timbul perselisihan dan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.

  65 Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, maka perjanjian menjadi batal demi hukum.

  4. Adanya suatu sebab yang halal.

  Sebab adalah sesuatu hal yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang 65 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 94. menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak

  66 dicapai oleh pihak-pihak.

  Undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Tapi yang diperhatikan dan yang diawasi oleh undang- undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

  Asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut :

  1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :

  “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

  Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

  67

  kepada para pihak untuk :

  1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,

  2. Mengadakan pekerjaan dengan siapapun, 66 67 Ibid.

  F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 35.

  3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

  Asas kebebasan berkontrak bersifat universal, artinya berlaku juga dalam

  68

  berbagai sistem hukum perjanjian yang memiliki ruang lingkup yang sama. Asas ini merupakan konsekuensi dari sifat hukum perjanjian yang sifatnya sebagai hukum mengatur. Freedom of contract mengandung pengertian bahwa para pihak bebas mengatur sendiri isi perjanjian sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian serta tidak bertentangan dengan undang-undang,

  

69

kepatutan/kesusilaan, dan ketertiban umum.

  2. Asas pacta sunt servanda Asas pacta sunt servanda mengandung makna bahwa perjanjian bersifat mengikat secara penuh karenanya harus ditepati oleh para pihak yang membuatnya.

  Asas ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa daya mengikat perjanjian sama seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.

  Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dikuatkan dengan sumpah sehingga dikaitkan dengan unsur keagamaan. Dalam

  68 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi , Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47.

  Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Indonesia 69 Munir Fuady, op.cit., hal. 30. perkembangannya pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak

  70 perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.

  3. Asas Konsensualisme Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian dianggap sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap peleburan perjanjian. Peleburan disini mempunyai arti adanya persetujuan untuk melakukan penggabungan atau penyatuan kehendak yang dituangkan dalam perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber

  71 dari moral.

  4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik (goede trouw) dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3)

  KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik ini dibagi 70 H. Salim, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum of , Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 3.

  Understanding (MoU) 71 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, 2001, hal.108-109.

  menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi dan mutlak. Pada itikad nisbi orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma

  72 yang objektif pula.

  5. Asas Kepribadian (Personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan

  73 perseorangan saja.

  Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi : ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Artinya bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri.

  Sedangkan Pasal 1340 menyatakan : ”Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung makna bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun terdapat pengecualian atas kedua ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 yang berisi : ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

  72 73 Ridwan Halim, Itikad Baik dalam Perjanjian Dagang, Mitra Ilmu, Jakarta 2010, hal.21.

  

Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Cetakan IV, Jakarta, 2006, hal.12. Pasal tersebut menunjukkan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, asalkan dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Selanjutnya di dalam Pasal 1318 KUH Perdata juga menegaskan tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak

  74

  daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undang- undang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang pihak yang membuat perjanjian.

B. Tentang Sewa-Menyewa

  Jenis-jenis perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdiri atas perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Yang termasuk perjanjian bernama adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, bunga tetap atau bunga abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan perjanjian tak bernama yang tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tetapi lazim dibuat saat ini adalah seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, sewa beli, dan lain sebagainya.

  Sebagai salah satu jenis perjanjian bernama, perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Sewa 74 Ibid. , hal. 13. menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”

  Istilah sewa-menyewa (huur en verhuur) yang dipergunakan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut seolah-olah memberikan pengertian bahwa para pihak saling sewa menyewakan di antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benar-benar terjadi adalah satu pihak yang menyewakan barang kepada pihak penyewa dan si penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan kata lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan antara mereka. Karena itu, yang dimaksud dengan sewa-menyewa dalam Pasal 1548 tersebut tidak lain ialah persewaan. Perjanjian sewa-menyewa adalah salah satu bentuk perjanjian yang merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian

  75 yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.

  Yahya Harahap mengemukakan bahwa sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang-barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk

75 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 53.

  76

  dinikmati sepenuhnya (volledige genot)”. Sewa-menyewa merupakan bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan, karena dalam perjanjian sewa-menyewa kepemilikan terhadap objek sewa tidak beralih kepada pihak penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari pihak yang menyewakan.

  Mengenai syarat-syarat perjanjian sewa-menyewa harus berpedoman pada syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak yang melakukan perjanjian, para pihak yang melakukan hubungan hukum harus cakap bertindak, adanya objek atau hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, dan adanya sebab yang halal. Hal ini juga tersebut dengan jelas dalam bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan yang menyebutkan bahwa hubungan sewa menyewa umumnya tercipta karena ada kata sepakat antara pihak pemilik dan penyewa. Suatu perjanjian

  77 merupakan dasar yang umum untuk hubungan sewa-menyewa.

  Kecakapan merupakan hal yang penting dalam melakukan perjanjian sewa- menyewa, yaitu penyewa dan yang menyewakan haruslah orang-orang yang cakap untuk membuat dan mengadakan suatu perjanjian yaitu orang-orang dewasa yang sehat pikirannya serta tidak dilarang oleh undang-undang. Pentingnya kecakapan para pihak dalam membuat dan mengadakan perjanjian sewa-menyewa adalah 76 77 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 19.

  Hardijan Rusli, op.cit., hal. 66. dikarenakan akibat dan tanggung jawab yang ditimbulkan dengan terjadinya perjanjian itu dipikul oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dan hanya orang-orang yang cakap bertindak dalam hukum yang dapat melaksanakan tanggung

  78

  jawab tersebut dengan baik. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa : “Subjek yang merupakan seorang manusia, haruslah memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu dewasa, sehat pikirannya, dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam melakukan perbuatan hukum

  79 yang sah”.

  Syarat berikutnya yang mendasari suatu perjanjian sewa-menyewa adalah adanya suatu hal (objek) tertentu, maksudnya bahwa objek atau barang dalam suatu perjanjian sewa-menyewa haruslah tertentu dan bertujuan untuk mempermudah terjadinya pelaksanaan perjanjian tersebut serta untuk lebih mempermudah hak dan kewajiban yang harus dipikul pihak penyewa dan pihak yang menyewakan, juga

  80 terhadap kemungkinan yang akan timbul di kemudian hari.

  Syarat terakhir yang wajib dipenuhi untuk sahnya perjanjian yakni isi dan ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa-menyewa haruslah hal yang halal dalam arti tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, karena apabila isi serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa- menyewa tersebut tidak halal atau bertentangan dengan hukum, maka perjanjian 78 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 67. 79 80 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 91.

  Moegini Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1979, hal.75. tersebut batal demi hukum. Suatu perjanjian sewa-menyewa yang diperbuat tanpa suatu sebab atau diperbuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah merupakan perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 1335 Kitab

81 Undang-undang Hukum Perdata).

  Sewa-menyewa tidak memindahkan hak milik dari si yang menyewakan kepada si penyewa, karena selama berlangsungnya masa persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntutan pihak ketiga atas benda atau barang yang disewanya agar pihak penyewa dapat

  82 menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama masa sewa berlangsung.

  Karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seseorang yang mempunyai hak nikmat hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak

  83 tersebut.

  Pasal 1550 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pada setiap perjanjian sewa-menyewa, pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban untuk :

  1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.

  2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.

  81 , hal.76. 82 Ibid. 83 M. Yahya Harahap, loc.cit.

  R. Subekti, op.cit., hal. 40.

  3. Memberikan si penyewa kenikmatan tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.

  Kewajiban pihak yang menyewakan seperti tersebut di atas adalah kewajiban mutlak karena apabila ternyata pihak yang menyewakan tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan baik dan terpelihara dari segala-galanya, ikatan dan hak apapun atas barang yang disewakan, maka pihak yang menyewakan dapat dituntut telah melakukan ingkar janji atau cidera janji ataupun wanprestasi, dimana pihak penyewa dapat menuntut penggantian kerugian ataupun meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa

  84 tersebut meski jangka waktu berakhirnya masa sewa belum berakhir.

  Selanjutnya Pasal 1560 menetapkan bahwa kewajiban utama penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa ialah :

  1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ‘bapak rumah yang baik’, sesuai

  85 dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya.

  2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian.

  Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain daripada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak 84 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2002, hal. 70. 85 Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang ‘bapak rumah yang baik’ berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri.

  86

  yang menyewakan dapat meminta pembatalan sewanya. Misalnya sebuah rumah tempat tinggal yang disewa ternyata dipakai untuk tujuan usaha yang ternyata menyimpang dari tujuan pemakaian objek sewa-menyewa tersebut.

  Dalam perjanjian sewa-menyewa, si penyewa tidak diperbolehkan untuk mengulangsewakan barang yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, jika ia tidak diizinkan oleh pemilik barang. Perbedaan antara mengulangsewakan dan melepaskan sewa kepada orang lain adalah : Dalam hal mengulangsewakan, si penyewa barang bertindak sendiri sebagai pihak dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan seorang pihak ketiga, sedangkan dalam hal melepaskan sewanya, ia mengundurkan diri sebagai penyewa dan menyuruh seorang pihak ketiga untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan. Jika si penyewa sampai berbuat apa yang dilarang itu, maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewanya dengan disertai pembayaran kerugian, sedangkan pihak yang menyewakan setelah dilakukannya pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga

  87 tersebut.

  Bentuk perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Jika perjanjian sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa 86 87 Pasal 1561 Kitab Undang-undang Hukum Perdata R. Subekti, op.cit., hal. 46. diperlukannya sesuatu pemberitahuan untuk itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu

  88 diperpanjang untuk waktu yang sama.

C. Hal-hal yang Mendasari Terjadinya Perjanjian Penggunaan Rooftop

  Seiring kebutuhan akan jasa telekomunikasi yang semakin tinggi di masa kini, terutama di wilayah perkotaan, maka para operator telekomunikasi turut menambah kapasitas jaringannya di wilayah perkotaan dengan cara mendirikan menara telekomunikasi (tower BTS). Di wilayah perkotaan, jarang ditemui lahan/tanah kosong karena hampir semuanya telah didirikan bangunan untuk permukiman masyarakat.

  Oleh karena itu, di daerah perkotaan atau permukiman padat, operator telekomunikasi cenderung membangun tower pada suatu bangunan ketimbang lahan kosong. Adapun tower yang didirikan pada suatu bangunan selalu menggunakan bagian puncak bangunan (rooftop), yaitu bagian/tingkat teratas pada suatu bangunan.

  Misalnya operator yang hendak membangun menara telekomunikasi pada lokasi sebuah bangunan rumah toko (ruko) bertingkat tiga akan menggunakan sisi teratas ruko yakni lantai tingkat tiga ruko tersebut untuk mendirikan tower-nya. Bidang yang 88 Ibid. , hal. 47. digunakan untuk menempatkan tower tersebut haruslah bidang datar yang kosong yang tidak ditempati struktur bangunan apapun, sehingga dalam hal ini pihak operator hanya menyewa bidang kosong rooftop tersebut kepada pemilik bangunan.

  Adapun hal yang menjadi alasan operator telekomunikasi mendirikan tower di atas rooftop bangunan adalah sebagai berikut :

  89 1. Keterbatasan lahan/tanah kosong.

  Seperti telah disampaikan sebelumnya, kebutuhan layanan telekomunikasi di kawasan perkotaan semakin meningkat karena jumlah pengguna telekomunikasi yang bertambah pesat dari waktu ke waktu. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, operator telekomunikasi harus membangun BTS untuk menambah kapasitas jaringannya, wujud pembangunan BTS terlihat dari pendirian tower-tower di lokasi tertentu sesuai dengan hasil survei dari tim teknis operator tersebut.

  Di kawasan perkotaan jarang dijumpai lahan/tanah kosong, sebab hampir seluruh wilayah perkotaan telah didirikan bangunan permukiman, maka operator yang hendak mendirikan tower tersebut harus membangun menaranya di lokasi bangunan milik masyarakat dengan menyewa bagian rooftop bangunan tersebut.

  Mengenai lokasi pendirian tower, tidak setiap saat menara telekomunikasi dibangun di bidang bangunan ataupun selalu dibangun di tanah kosong, tetapi hal itu tergantung dari hasil tinjauan tim teknis operator, yang nantinya akan memutuskan

89 Wawancara dengan Bapak Agus Manurung, Sitac Coordinator operator XL, tanggal 10 Oktober 2013.

  mana lokasi yang tepat (spot) untuk mendirikan BTS untuk mengoptimalkan pelayanan telekomunikasi dari operator.

  2. Biaya pembangunan tower yang lebih minim.

  Umumnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi seperti BTS

  90

  memerlukan biaya yang besar , namun operator telekomunikasi yang memanfaatkan bidang rooftop suatu bangunan untuk mendirikan menara dan sarana pendukungnya bisa lebih menghemat biaya karena pembangunan tower yang dilakukan hanya menumpang pada bidang rooftop suatu bangunan, meskipun operator telekomunikasi harus mengeluarkan biaya sewa atas penggunaan lahan rooftop yang dimiliki oleh pemilik bangunan tersebut.

  Dengan mendirikan tower di bidang rooftop suatu bangunan, maka operator telah diuntungkan dari segi struktur bangunan yang telah memiliki pondasi dan ketinggian tertentu sehingga tidak perlu menghabiskan lebih banyak biaya karena hanya perlu memasang infrastruktur BTS yang terdiri dari tower dan sarana-sarana pendukungnya pada sebagian lahan rooftop bangunan tersebut. Dari faktor ketinggian bangunan, operator bisa lebih menghemat biaya material sewaktu membangun tower tersebut dengan memanfaatkan ketinggian bangunan yang sudah ada.

  Pak Agus Manurung (Sitac Coordinator XL) mengumpamakan operator yang hendak mendirikan tower setinggi 20 meter, apabila menggunakan rooftop bangunan ruko bertingkat tiga, maka operator tersebut hanya cukup membangun tower setinggi 90 Biaya konstruksi sebuah menara BTS dan peralatannya per 2011 adalah sebesar Rp.1

  miliar, belum termasuk biaya sewa lahan, perizinan, biaya layanan komunitas, pengadaan listrik, dan biaya pemeliharaan setelah menara BTS tersebut dioperasionalkan.

  10 meter saja, karena ketinggian bangunan ruko tersebut telah memberikan kelebihan 10 meter untuk operator, sehingga material yang digunakan untuk mendirikan tower tersebut hanya perlu menggunakan material untuk ketinggian 10 meter saja.

  Dengan membangun tower di lahan kosong, maka harus dibangun pondasi yang baru, sehingga akan banyak pekerjaan konstruksi yang dilakukan (memerlukan lebih banyak biaya). Sedangkan bila membangun tower di rooftop, maka yang diperlukan hanya penguatan pondasi yang ada pada bangunan tersebut, apakah

  91 dengan balok cor ataupun dengan baja yang lebih minim biaya.

  3. Kemudahan mengurus perizinan dan surat-surat lainnya.

  Untuk mendirikan tower, operator telekomunikasi harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak berwenang. Izin-izin tersebut seperti izin lokasi, izin mendirikan bangunan, persetujuan aparat pemerintahan setempat, persetujuan warga lingkungan setempat dan sebagainya. Pengurusan izin untuk mendirikan tower di

  rooftop

  bangunan tidak serumit izin untuk mendirikan tower di lahan kosong. Hal ini disebabkan pengurusan izin untuk mendirikan tower di suatu bangunan lebih mudah

  92 karena hanya menyangkut pihak pemilik bangunan tersebut saja.

  Oleh karena itu, pihak operator lebih dimudahkan dalam mengurus perizinan ataupun surat-surat lainnya apabila mendirikan tower di atas rooftop bangunan karena

  91 Wawancara dengan Bapak Agus Manurung, Sitac Coordinator operator XL, tanggal 10 Oktober 2013. 92 Wawancara dengan Bapak Agus Manurung, Sitac Coordinator operator XL, tanggal 10 Oktober 2013. hanya perlu persetujuan dari pemilik bangunan dan tetangga di sebelah pemilik bangunan tersebut.

  4. Tidak ada pilihan selain mendirikan tower di lokasi dimana telah terdapat suatu bangunan.

  Semua pembangunan infrastruktur BTS selalu didahului dengan tahap survei lapangan. Pada tahap survei ini, tim teknis operator akan memetakan jaringan telekomunikasi operator tersebut yang telah ada dengan kebutuhan penambahan jaringan di suatu wilayah tertentu. Dari hasil survei tersebut, selanjutnya tim teknis akan menentukan di titik manakah harus dibangun BTS sesuai dengan kebutuhan pelayanan jaringan telekomunikasi operator tersebut.

  Jika hasil survei tersebut menentukan bahwa titik pembangunan BTS adalah sebuah lahan kosong, maka tepat di atas lokasi tanah tersebut harus didirikan tower operator, begitu juga seandainya hasil survei tersebut menentukan bahwa titik untuk membangun BTS adalah sebuah bangunan, maka operator harus mendirikan tower di atas bangunan tersebut, yaitu dengan menggunakan rooftop bangunan tersebut.

  Pendirian BTS di atas titik hasil survei tersebut mutlak dilakukan karena jika menara operator bukan didirikan tepat di atas titik tersebut, maka fungsi dari tower tersebut tidak akan optimal sehingga operator tidak dapat memenuhi kebutuhan jasa telekomunikasinya disebabkan layanan jaringannya yang tidak memadai. Selain itu di kawasan perkotaan yang padat dengan bangunan, hasil survei tim teknis operator seringkali menentukan bahwa titik-titik untuk mendirikan BTS operator cenderung berada di lokasi yang telah terdapat bangunan daripada tanah kosong. Atas alasan itu, maka operator telekomunikasi kerap menggunakan rooftop suatu bangunan untuk

  93 mendirikan menara telekomunikasinya.

D. Pelaksanaan Perjanjian Penggunaan Rooftop

  Dalam penulisan tesis ini, dilakukan penelitian terhadap dua perjanjian sewa- menyewa rooftop antara pemilik bangunan di kota Medan yang menyewakan bagian

  rooftop

  bangunannya kepada operator telekomunikasi untuk dipergunakan mendirikan menara BTS. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian penggunaan

  rooftop

  tersebut yaitu : a. Pemilik bangunan.

  Masing-masing pemilik bangunan adalah pemilik bangunan perorangan atau individu. Pemilik bangunan yang menyewakan rooftop bangunannya kepada operator telekomunikasi adalah orang-perorangan yang namanya tercatat sebagai pemilik di atas tanah tempat bangunan tersebut berada. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama pemilik yang tercantum dalam alas hak berupa sertifikat tanah yang meliputi bangunan tersebut berada.

  Pemilik bangunan yang menyewakan area rooftop bangunannya kepada operator telekomunikasi haruslah pemilik lahan yang sah dan cakap melakukan tindakan hukum sebagaimana dipersyaratkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

  b. Operator telekomunikasi. 93 Wawancara dengan Bapak Agus Manurung, Sitac Coordinator operator XL, tanggal 10 Oktober 2013.

  Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, operator telekomunikasi adalah penyelenggara telekomunikasi yang berbentuk perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.

  Operator telekomunikasi melakukan kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  Dalam penelitian ini, ada dua operator telekomunikasi yang memanfaatkan

  rooftop

  bangunan untuk mendirikan menaranya, yaitu operator XL dan operator Smart. Namun kedua operator tersebut tidak terlibat langsung dalam pendirian menara, melainkan menggunakan jasa kontraktor untuk membangun menara BTS.

  Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi, definisi Kontraktor Menara adalah penyedia jasa orang-perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang jasa konstruksi pembangunan menara yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menara untuk pihak lain (Pasal 1 angka 8).

  Operator telekomunikasi memberi kuasa khusus kepada kontraktor menara untuk mendirikan tower sesuai kebutuhan operator di tempat yang telah ditentukan.

  Selanjutnya setelah menara tersebut selesai didirikan, maka akan diserahkan kepada operator untuk dioperasikan, termasuk juga urusan pemeliharaan BTS tersebut selanjutnya menjadi wewenang dan tanggung jawab dari operator telekomunikasi selaku pemilik menara.

  Dalam perjanjian sewa-menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa-menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu

  94 hubungan hukum.

  Kedua perjanjian sewa-menyewa rooftop tersebut dilakukan secara notariil, yaitu dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan sebagai alat bukti otentik di hadapan hukum. Format perjanjiannya telah ditentukan oleh operator telekomunikasi, sehingga bisa dianggap sebagai perjanjian baku. Namun sebelum perjanjian tersebut ditandatangani, biasanya di antara operator dengan pemilik bangunan telah tercapai kesepakatan terlebih dahulu tentang semua syarat-syarat mengenai perjanjian sewa-menyewa rooftop tersebut, yang dituangkan dalam sebuah berita acara kesepakatan, yaitu suatu surat yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup, yang berisi kesepakatan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, surat berita acara kesepakatan tersebut selanjutnya menjadi dasar dibuatnya akta perjanjian sewa-menyewa rooftop yang dibuat di hadapan notaris tersebut.

94 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta 1999, hal. 68.

  Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan perjanjian penggunaan

  95 rooftop adalah sebagai berikut : a. Penentuan lokasi pembangunan tower BTS.

  Pada tahap awal dilakukan penentuan titik lokasi pembangunan tower BTS. Setiap operator telekomunikasi memiliki tim survei yang disebut tim SITAC (site

  acquisition

  ), ada kalanya pihak operator menggunakan jasa tim SITAC internal, tetapi kadang menggunakan jasa SITAC eksternal.

  SITAC bertugas untuk melakukan peninjauan ke lapangan untuk mencari lahan kosong yang masuk radius dari titik awal koordinat yang ditentukan oleh operator, karena berkaitan dengan jangkauan radio dari tower di lokasi lain milik operator tersebut. Setelah mendapat lokasinya, tim SITAC akan melakukan survei tentang kondisi lahan, status kepemilikan lahan, jangkauan menara, dan harga sewa yang akan dikeluarkan.

  Dalam penelitian ini, hasil survei tim SITAC operator XL dan operator Smart merekomendasikan bahwa pembangunan tower tersebut harus dilakukan di lokasi dimana telah terdapat bangunan, sehingga pihak operator tidak dapat mendirikan

  tower

  di tanah kosong, melainkan harus memanfaatkan bagian rooftop bangunan tersebut untuk memasang BTS dan sarana-sarana pendukungnya.

  Lalu tim SITAC akan melakukan negosiasi dengan pemilik bangunan untuk memohon kesediaan agar pemilik bangunan menyewakan lahan rooftop-nya untuk 95 Wawancara dengan Bapak Agus Manurung, Sitac Coordinator operator XL, tanggal 10 Oktober 2013. dipergunakan operator membangun tower BTS, dengan membayar sejumlah harga sewa tertentu. Apabila pemilik bangunan setuju untuk menyewakan lahan rooftop- nya kepada operator, maka kedua pihak selanjutnya akan menuangkannya dalam sebuah berita acara kesepakatan.

  Kemudian tim SITAC akan melakukan sosialisasi terhadap warga di sekitar lokasi tersebut, sosialisasi tersebut bertujuan untuk meminta persetujuan dari warga sekitar sebagai syarat pengurusan izin-izin seperti Izin Mendirikan Bangunan Menara. Izin tersebut umumnya membutuhkan persetujuan dari warga sekitar yang masuk radius tower. Dalam kedua perjanjian sewa-menyewa yang diteliti ini, persetujuan yang diminta hanyalah persetujuan dari masing-masing tetangga yang bersebelahan dengan ruko pemilik bangunan tersebut, karena tower tersebut bukan didirikan di lahan kosong, melainkan di atas bangunan sehingga radius tower tersebut lebih kecil daripada tower yang dibangun di lahan kosong.

  b. Penandatanganan perjanjian sewa-menyewa.

  Setelah adanya kesepakatan antara pihak operator dengan pemilik bangunan, maka dilakukan penandatanganan perjanjian sewa-menyewa penggunaan lahan

  rooftop

  tersebut. Kedua perjanjian yang diteliti dalam tesis ini dituangkan dalam bentuk tertulis yang dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik.

  Akta perjanjian tersebut dibuat berdasarkan berita acara kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara pihak operator dengan pemilik bangunan. Masing- masing akta perjanjian sewa-menyewa tersebut pada dasarnya mengatur hal yang sama seperti dalam perjanjian sewa-menyewa pada umumnya, meskipun ada beberapa substansi yang berbeda.

  Beberapa hal pokok yang terdapat dalam kedua perjanjian sewa-menyewa yang diteliti tersebut diantaranya :

  1. Ruang lingkup perjanjian, sama-sama mengatur tentang objek sewa yaitu lahan

  rooftop yang disewa untuk pembangunan menara BTS.

  2. Jangka waktu sewa Pada perjanjian antara operator XL dengan Bapak Hasan, jangka waktu sewanya adalah 5 tahun, sedangkan dalam perjanjian antara operator Smart dengan Ibu Ida jangka waktunya berlaku 10 tahun.

  Hal ini menunjukkan bahwa jangka waktu sewa antara operator yang satu dengan operator lain berbeda-beda sesuai kondisi, namun untuk perjanjian penggunaan rooftop umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu panjang, paling sedikit selama 5 tahun.

  3. Biaya sewa atas penggunaan lahan rooftop Mengenai biaya sewa ini nilainya berbeda-beda, karena tergantung dengan lokasi pendirian tower. Penentuan biaya sewa tersebut berdasarkan hasil survei operator yang disesuaikan dengan nilai pasar wajar di sekitar lokasi sewa tersebut.

  Biaya sewa yang dikeluarkan operator lebih tinggi apabila lokasi sewa tersebut berada di kawasan bisnis dibanding lokasi sewa di kawasan nonbisnis.

  Hal ini disebabkan risiko yang ditanggung pemilik bangunan di kawasan bisnis lebih besar daripada pemilik bangunan di kawasan nonbisnis seandainya timbul

  96 kejadian yang mengakibatkan kerugian terhadap pemilik bangunan.

  4. Hak dan kewajiban para pihak Dalam kedua perjanjian tersebut, kewajiban pokok masing-masing pemilik bangunan adalah sama yakni diwajibkan untuk menyediakan akses penuh setiap saat (24 jam sehari dan 7 hari seminggu) dan mengizinkan pihak operator untuk mengerjakan segala pekerjaan yang berkaitan dengan tower milik operator tersebut. Sedangkan hak pihak yang menyewakan adalah mendapat pembayaran uang sewa dari operator. Hak dan kewajiban tersebut bersifat timbal balik dan saling mengikat kedua pihak.

  5. Kerusakan dan kerugian Masing-masing pihak dalam perjanjian baik pemilik bangunan maupun operator bertanggung jawab atas segala kerusakan dan atau kerugian yang ditimbulkan dan berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut.

  6. Jaminan Dalam kedua perjanjian tersebut, pihak pemilik bangunan menjamin bahwa objek yang disewakan memang benar miliknya dan tidak tersangkut dalam perkara/sengketa apapun, sehingga pihak operator mendapat keleluasaan sepenuhnya untuk memanfaatkan objek lahan rooftop tersebut untuk kepentingan pendirian tower. 96 Wawancara dengan Bapak Hasan, pemilik bangunan/pihak yang menyewakan rooftop kepada operator XL, tanggal 22 September 2013.

7. Force Majeure

  Kedua perjanjian tersebut sama-sama mengatur tentang keadaan memaksa yang timbul di luar kekuasaan para pihak. Apabila terjadi keadaan memaksa tersebut sehingga salah satu pihak tidak dapat memenuhi unsur perjanjian, maka pihak lainnya tidak dapat menuntut pihak tersebut untuk bertanggung jawab atas kelalaian tersebut, sepanjang telah ada pemberitahuan tertulis setelah terjadinya

  force majeure

  keadaan tersebut. Pemberitahuan tertulis tersebut harus disampaikan paling lambat 21 hari (perjanjian operator XL dan Bapak Hasan) dan 7 hari (perjanjian operator Smart dan Ibu Ida) setelah terjadinya force

  majeure .

  8. Penyelesaian perselisihan Pada kedua perjanjian penggunaan rooftop yang diteliti dalam tesis ini, perselisihan/sengketa yang timbul akan diselesaikan secara kekeluargaan/musyawarah terlebih dahulu. Jika tidak tercapai kesepakatan, barulah diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat dimana objek sewa berada, yaitu di Pengadilan Negeri Medan.

  Setelah itu, pihak operator akan melakukan pembayaran uang sewa terhadap pemilik bangunan setelah penandatanganan akta perjanjian sewa-menyewa tersebut.

Dokumen yang terkait

Perjanjian Penggunaan Rooftop antara Perusahaan Telekomunikasi dengan Pemilik Bangunan di Kota Medan

3 77 147

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ve

0 1 42

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 0 56

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Konsekuensi Yang Terjadi Dalam Perjanjian Pemasangan Papan Reklame(Studi Pada Pt. Bensatra)

0 0 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37