BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

  Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst

  

  terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan. Jadi, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris).

  Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua,

  

  yaitu: a.

  Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

  b.

  Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku

  III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama. Perjanjian mengandung pengertian “sebagai suatu hubungan 29 hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi

  Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 41 30 Ibid., hal 42.

  kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

   mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

  Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban

  

pada pihak lain tentang suatu prestasi.

  Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa; “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

  Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa 31 harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat 32 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6.

  Ibid. perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan

   maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

  Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.

  Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, “Segala kebendaan milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pengertian tersebut menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I

   tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin.

  Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan 33 mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja- I) 34 Ibid., hal 3.

  lebih.” Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa suatu perjanjian adalah : a.

  Suatu perbuatan; b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang) c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak yang berjanji tersebut.

   Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah : a.

  Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian b. Tidak tampak asas konsensualisme c. Bersifat dualisme.

  Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.

  Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak

   dan kewajiban).

  Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang 35 diartikan dengan perjanjian, adalah : “Suatu hubungan hukum antara dua

  Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III) 36 Ibid., hal 161.

  pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

  

  hukum.” Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori

  

  baru, yaitu: a.

  Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b.

  Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c.

  Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

   Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu: a.

  Adanya perbuatan hukum; b.

  Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan; d.

  Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih; e.

  Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain; f.

  Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; g.

  Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik; h.

  Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.

2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian

  Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat

  37 38 Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid. 39 Ibid.

  Ibid. bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk

   mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut.

  Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat

  

  dengan diadakannya suatu perjanjian. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masing- masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.

  Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi

  

  nilai sahnya perjanjian. KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu : a.

  Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri; b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya; c.

  Pihak ketiga.

  Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal 40 1315 KUH Perdata yang menyatakan; “Pada umumnya tak dapat

  Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun , (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I) 41 42 Ibid., hal 70.

  M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 15. mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 1340 KUH Perdata disebutkan: “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak- pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.

  Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan; “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

  Pasal 1318; “Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya”.

  Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (Pasal 1315 jo. 1340 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH

43 Perdata.

  Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum (onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada

   suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.

  Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga, mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain 43 memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan 44 Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 71.

  Ibid. sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk mempergunakannya.

  Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan

   kehendaknya menerima perjanjian itu.

3. Syarat Sahnya Perjanjian

  Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi; “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a.

  Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya, b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c. Suatu hal tertentu, d. Suatu sebab yang halal.”

  Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang

  

  berkembang, digolongkan ke dalam : a.

  Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan b.

  Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

  45 46 Ibid.

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 93.

  Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan

  causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

  tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

  a.

  Sepakat (Toestemming) Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan

  

  yaitu; 1)

  Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan.

  2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran.

47 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, (Bandung : Alumni, 2006), hal

  98. (Selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman-II)

  Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu

  

  terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu : 1)

  Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis

  2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

  3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

  4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari 48 pihak lawan.

  Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-I)

  Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

  Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh

   para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.

  Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, 49 selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 95. penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat

   dilaksanakan dan diterima olehnya.

  Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal- hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat

   penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

  b.

  Kecakapan Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing 50 adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan 51 Ibid ., hal 96 Ibid.

  kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh

   kecakapan dan kewenangan hukum.

  Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.

  Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu

   hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.

  Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan 52 cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian 53 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 139.

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 127. dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan

  

atau perbuatan hukum tertentu.

  Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

  Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan bahwa : “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1)

  Orang-orang yang belum dewasa; 2)

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3)

  Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu”.

  KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang 54 telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak Ibid. tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi

  

  menjadi : 1)

  Mereka yang belum cukup umur Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH

  Perdata menentukan bahwa; “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.

  Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas 55 orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di Handri Raharjo, Op,cit., hal. 53. bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa. 2)

  Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut

  curatele . Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap

  adalah (Pasal 433 KUH Perdata)

  a) Keadaan dungu;

  b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya); c)

  Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja). Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUH Perdata yaitu keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan. c.

  Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian

  

  yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah: 1)

  Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung. 2)

  Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa:

  “Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang

   perorangan tersebut.

  Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian, 56 yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan; 57 Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 158.

  “Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.

  Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut.

  Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah. Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya,

   58 demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.

  Ibid., hal 160. d.

  Suatu Sebab yang Halal Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa :

  “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

  1) Bukan tanpa sebab;

  2) Bukan sebab yang palsu;

3) Bukan sebab yang terlarang.

  Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”. Pasal ini menjelaskan bahwa undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu di antara para pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang

   mengadakan perjanjian tersebut.

  Adapun rumusan mengenai sebab yang terlarang disamping sebab yang halal. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata).

4. Akibat Perjanjian a.

  Perjanjian yang Sah adalah Undang-undang

  Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

  Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian

   yang tidak bernama.

  59 60 Ibid., hal 162.

  Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 82.

  Istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Hal tersebut tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi

   seimbang, sehingga merupakan realisasi dari asas keseimbangan.

  b.

  Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para

   pihak.

  Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat 61 perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya 62 Ibid.

  Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak , (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal 108.

  Komersial sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan

   kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata).

  Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham indiviualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan

64 Rosseau.

  Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas ini dalam hukum kontrak diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet

  fair in menganggap bahwa “the invisible hand akan menjamin

  kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat”. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam

   exploitation de homme par l’homme .

  63 64 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1987), hal 13.

  Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-II) 65 Ibid.

  Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentigan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Adanya campur tangan pemerintah ini terjadi lah

   permasyarkatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.

  Perkembangan yang bersifat relatif tersebut, maksudnya adalah kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal- pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini 66 Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara saksama maka asas Ibid. kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

  

  1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

  2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

  3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

  4) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

  Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan kebebasan berkontrak akibat adanya :

  

  1) Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal: karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan;

  2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah;

  3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial.

  c.

  Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.

  

  67 Handri Raharjo, Op.cit., hal 44. 68 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak dalam buku Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 115. 69 Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.

  Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak

   dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

  Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan rill adalah suatu perikatan yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat), sedangkan yang disebut perikatan formal adalah suatu perikatan yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Hukum Romawi dikenal istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus innominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian, apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam

   KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

  Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

   dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

  70 71 Salim HS-II, Op.cit., hal 10. 72 Salim HS-I, Op.cit., hal 157.

  Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87. d.

  Asas Kekuatan Mengikat Suatu perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat.

  Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan

   kebiasaan yang mengikat para pihak.

  Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan Hukum Romawi berdasarkan corak dan struktur masyarakat yang paling sederhana sampai yang telah maju (modern). Menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikat kontrak,

  

  yaitu: 1)

  Tahap pertama, disebut dengan contracts re; 2)

  Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis; 3)

  Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris;

4) Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus.

  e.

  Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat

  (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : 73 “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Maksudnya 74 Ibid.

  Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan , Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 125.

  Penyelesaian Bisnis Internasional perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang

   lebih luas daripada pengertian sehari-hari.

  Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676) memberikan rumusan bahwa : “perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van

  redelijkheid en billijkheid ”, artinya iktikad baik harus dilaksanakan

  

  meurut kepatutan dan kepantasan”. P.L. Werry menerjemahkan “redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatuhan”, beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan

  

  keadilan” atau “kepatutan dan keadilan”. Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat (reasonable;

  raisonable ), sedangkan billijkheid artinya patut dan adil. Jadi,

  “redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan

  

  berasal dari subjektivitas para pihak. Menurut P.L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam

   75 Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melanggar hukum). 76 Ibid., hal 135.

  P.L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, (Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990), hal 9. 77 78 Ibid., hal 139 79 Ibid.

  Ibid.

  Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedangkan iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

80 Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan

  Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), iktikad baik hendakya diartikan sebagai:

  

  1) Kejujuran pada waktu membuat kontrak;

  2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik

  (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya); 3)

  Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Selain asas di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu :

  

  80 Salim HS-II, Op.cit., hal 11. 81 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) , Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 141. 82 Salim HS-I, Op.cit., hal 158. a.

  Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

  Adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

  b.

  Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing- masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia cipataan Tuhan.

  c.

  Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

  d.

  Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

  e.

  Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat kita lihat dalam

  Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum tersebut didasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

  f.

  Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, di mana asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

  Asas ini harus lah di pertahankan, sebab dengan adanya asas ini maka ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

  g.

  Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

  h.

  Asas perlidungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.

  Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.

5. Hapusnya Perjanjian Banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian.

  Pada Pasal 1381 KUH Perdata diatur berbagai cara hapusnya perikatan- perikatan untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapus suatu perikatan. Berikut hapusnya perikatan menurut

  Pasal 1381 KUH Perdata : a.

  Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUH Perdata) Pembayaran adalah pelunasan utang (uang, jasa, barang)

   atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur.

  Pihak-pihak yang wajib melaksanakan pembayaran berdasarkan

  Pasal 1382 KUH Perdata adalah : 1)

  Debitur yang bersangkutan; 2)

  Mereka yang memiliki kepentingan (kawan berhutang atau penanggung); 3)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Daerah Pada Pemda Di Sumatera Utara

0 0 16

A. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 2 19

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 13

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 34

KATA PENGANTAR - Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 23

Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

1 2 16

BAB II PERANAN DAN UPAYA PEMERINTAH (BPN) A. Pendaftaran Tanah dalam Pandangan Yuridis - Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 1 23

Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 0 41