BAB I PENDAHULUAN - Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mendengar kata amunisi atau kaitannya dengan senjata api, mungkin

  terbayang dalam pikiran adalah suasana perang, perampokan atau kekerasan bersenjata lainnya. Keras, tetapi sebenarnya, begitu diselami dunia (teknologi, sejarah yang melegenda serta etika dan aturan main) memiliki amunisi beserta senjata api terjadi justru sebaliknya, mengasyikkan.

  Sebab, di era yang kian maju seperti sekarang ini, seperti bukan lagi sekedar alat untuk membunuh musuh di medan tempur, tetapi benda ini sudah menjadi bagian alat olah raga, bahkan bagi sebagian kalangan, benda ini sudah menjadi bagian alat untuk menikmati gaya hidup mereka melalui hobi berburu.

  Pro maupun kontra yang terjadi di masyarakat tentang kepemilikan amunisi maupun senjata api bela diri selama ini memang bisa dimaklumi. Sebahagian masyarakat menganggap, memiliki amunisi dan senjata api bela diri berizin resmi hanya akan menjadikan si pemilik berlaku arogan dan sok jagoan. Kekhawatiran sejumlah masyarakat bahwa Indonesia akan menjadi kota koboi juga sempat berguilr, karena semakin banyaknya para eksekutif memiliki amunisi dan senjata berizin resmi.

  Sebenarnya, kekhawatiran seperti itu tak perlu terjadi jika masyarakat sudah tahu dan memahami dua persoalan pokok. Pertama, perolehan surat izin kepemilikan senjara beladiri dari pihak Kepolisian tidaklah semudah yang dibayangkan. Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes POLRI) sebagai lembaga yang berwenang telah melakukan seleksi yang ketat, sebelum surat izin kepemilikan senjata diberikan kepada yang berhak. Kedua, bila seseorang telah memiliki surat izin tersebut, maka berarti dia sudah terikat oleh etika dan aturan main yang wajib dipatuhinya. Etika dan aturan main tersebut harus melekat pada si pemiliknya di saat membawa, menggunakan dan menyimpan senjata.

  Sementara itu penyalahgunaan amunisi melalui senjata api yang sering terjadi belakangan ini diperkirakan menggunakan senjata api yang masuk secara ilegal ke Indonesia dan tidak mempunyai izin kepemilikan resmi dari Mabes POLRI.

  Dengan adanya penyalahgunaan amunisi maupun senjata api yang sering terjadi belakangan ini maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana memandang bahwa perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dasar hukum yang mengaturnya adalah UU No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. UU No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa, dan beberapa peraturan lainnya yang dikeluarkan melalui Skep Kapolri. Apabila terjadi penyalahgunaan senjata api maka sistem peradilan terhadap oknum penyalahgunaan senjata api tersebut akan dilaksanakan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  Penelitian ini hanya akan membahas tentang pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak. Sebagaimana diketahui amunisi adalah dapat digolongkan sebagai mesiu atau peluru dari senjata api. Amunisi juga dikategorikan sebagai bahan peledak seperti bom. Oleh sebab keadaan yang membahayakan dari perihal penyalahgunaan amunisi ini dapat mengakibatkan kerugian masyarakat banyak, maka penggunaan dan penyimpanannya harus memiliki ijin dan juga amemiliki alasan hukum. Tidak semua orang dapat menyimpan amunisi secara bebas, oleh sebab itu terhadap pelanggaran penyimpan amunisi tanpa hak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

  Perbuatan menyimpan amunisi bagi pelaku secara tanpa hak tentunya memiliki maksud-maksud tertentu oleh pelakunya, seperti untuk perbuatan jahat seperti perampokan dan lain sebagainya. Dengan dasar hal tersebut maka hukum pidana mengakomodasi kepentingan masyarakat terhadap hal-hal yang dapat merugikan masyarakat dari akibat tindak pidana menyimpan amunisi tanpa hak.

  Sebagai bahan kajian dalam penelitian ini akan diuraikan satu kasus tentang tindak pidana menyimpan amunisi tanpa hak yaitu Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 7/Pid.Sus/2011/PN.Ska atas nama terdakwa Muhammad Bahrunna” im Anggih Tamtomo alias Abu Rayyan alias Abu Aisyah. Terdakwa dalam kasus di atas telah terbukti menyimpan amunisi tanpa hak dan dikenakan sanksi pidana berupa kurungan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.

  Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang “Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak”.

  B.

  Perumusan Masalah Masalah dapat dirumuskan sebagai suatu pernyataan tetapi lebih baik bentuk pertanyaan ini adalah untuk mengontrol hasil dan penelitian.

  Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak? b.

  Bagaimana sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak? c.

  Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak? C.

  Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah, untuk : 1. Untuk mengetahui dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.

  2. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.

  3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.

  Manfaat penelitian didalam pembahasan skripsi ditunjukkan kepada berbagai pihak terutama : a.

  Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal pelaksanaan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak. b.

  Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu pihak yang terkait langsung dengan penanggulangan penyalahgunaan amunisi tanpa hak.

  D.

  Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis

  

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Yang Menyimpan Amunisi Tanpa

Hak”, dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya.

  Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

  E.

  Tinjauan Kepustakaan Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

  Berbicara tentang konsep liability atau pertanggung jawaban pidana, dilihat dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalambidang hukum pada abad ke–20, Roscoue Pound mengemukakan:” … I’ll usethe simple

  

word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and other is

legaly subjected on the exaction “. Bahwa untuk pertanggung jawaban pidana tidak

  cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan (GeenStraf Zonder

1 Schuld, Ohne Schuld Keine Straf ).

  Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “liability“ diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian konsepsi liability diartikan sebagai reparation, terjadilah perubahan arti konsepsi

  

liabilty dari compotition for vengeance menjadi reparation for injur. Perubahan

  bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari pertanggungjawaban

   atau liability.

  Pertanggungjawaban Pidana atau Criminal Liability adalah sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata–mata, melainkan juga menyangkut soal nilai–nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh masyarakat atau kelompok–kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris dikenal dua macam pertanggungjawaban pidana, yakni: a.

  Strict Liability Crimes

  b. Vicarious Liability ad a. Strict Liability Crimes Selain menganut asas actus non facit neum nisi mens sit rea (aharmful act

  

without a blame worthy mental state is not punishable ) hukum pidana juga

2 Wirjono Projodikoro, 1969. Asas–Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:

  menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum ataukesejateraan umum. ad.b. Vicarious Liability

  Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Vicarious Liability hanya berlaku terhadap: a. Delik–delik yang mensyarakatkan kualitas.

  b. Delik–delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh danmajikan.

  Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability tampak jelas bahwa persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak, bahwa baik stict

  

liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mensrea

  atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada Pasal 36 Rancangan Undang–Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana.

  Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatalan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan secara subjektif kepada pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

  Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,

   dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.

  Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (Schuld) dan melawan hukum (Wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah

   pembahasan masyarakat untuk pembuat.

  Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat,ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a.

  Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang. 3 Ibid. halaman 71.

  b.

  Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

  c.

  Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.

  d.

  Tidak adanya alasan pemaaf.

2. Pengertian Tindak Pidana

  Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indikator atau tolak ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak.

  Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan, para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat beberapa ahli hukum tersebut.

  Dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan yang dapat dihukum (di dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951), peristiwa pidana (di dalam Konstitusi RIS maupun Undang-Undang Dasar Sementara), perbuatan pidana dalam Undang-Undang Darurat No. 8 Darurat Tahun 1954. Karni menyebutkan dengan perbuatan yang boleh dihukum, Tresna menyebutkan dengan istilah peristiwa pidana, sedangkan Moeljatno menyebutkan istilah dengan perbuatan pidana, Satochid Kartanegara menyebutkan istilah dengan tindak pidana.

  Maksud diadakannya istilah tindak pidana, peristiwa tindak pidana dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit.

  Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar

  feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dari pengertiannya juga. Oleh

  karena sebagian besar ahli hukum di dalam karangannya belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengambilalihan pengertiannya istilah, di samping sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan. Dipandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai perbedaan jauh seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa kibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya. Memang demikianlah pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa adanya istilah yang berbeda selamanya mesti pengertiannya berbeda, seperti misalnya antara staf dan maatregel, adalah berbeda, sedangkan antara

  beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, mekipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.

  Roeslan saleh menjelaskan “oleh karena untuk perbuatan pidana ini sehari- hari juga disebut dengan kejahatan, sedangkan perbuatan-perbuatan jelek lainnya yang tidak ditentukan oleh peraturan undang-undang sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana juga disebut orang kejahatan, maka istilah kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana”.

  Apakah isi pengertian dari tindak pidana itu sama dengan strafbaar feit ? Hal ini disebabkan kesulitan menterjemahkan istilah strafbaar feit dengan tindak pidana dalam Bahasa Indonesia tidak semakin berkurang. Perundang-undangan Indonesia telah menggunakan strafbaar feit dengan istilah perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana dalam

   berbagai undang-undang.

  Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang

   menimbulkan kejadian itu.

  Simons dalam Leden Marpaung mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan

  

  atau tindakan yang dapat dihukum. Dari definisi Simons tersebut dapat

  6 Roeslan Saleh, 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, halaman 16-17. 7 EY. Kanter dan SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Jakarta: Storia Grafika, halaman 206-208 8 9 Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 54.

  Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), Jakarta: disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

  Van Hamel dalam Sudarto menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi tersebut dapat dilihat unsurunsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan

   (4) patut dipidana.

  Selanjutnya Vos dalam Zainal Abidin memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam

   undang-undang.

  Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan.

  Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan 10 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.

  

  3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2

  (dua) unsur yaitu:

   a.

  Unsur bersifat objektif yang meliputi : 1)

  Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang menyebabkan pidana.

  2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.

  3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada waktu melakukan perbuatan.

  4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.

  b.

  Unsur bersifat subjektif.

  Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.

  Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa

11 A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 225.

  pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut antara lain: 1) Harus ada perbuatan manusia. 2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. 3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat. 4) Perbuatan untuk melawan hukum. 5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang. Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak

  

  pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu : 1)

  Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

  2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde). 3) Melawan hukum (enrechalige). 4)

  Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).

   Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu :

  1) Perbuatan orang. 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu : 1) Orang yang mampu bertanggung jawab. 2)

  Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan 13 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, halaman 71. 14 Martiman Prodjohamidjojo, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

  Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum. 2) Mampu bertanggung jawab. 3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan.

  

  4) Tidak ada alasan pemaaf.

  Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat :

  a.

  Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum; b. Mampu bertanggung jawab; c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati;

   d.

  Tidak adanya alasan pemaaf.

  ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum

  Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah perbuatan seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah 15 16 EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit, halaman 121. 17 Ibid., halaman 122. 18 Ibid., halaman 123.

  Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, halaman.44. dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

  ad.b. Mampu bertanggungjawab

  Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal : 1)

  Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44 KUHP); 2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

  Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan : 1)

  Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek pihak lain yang telah terdaftar.

  2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan. 3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa. 4)

  Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.

  ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati

  Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya. Ini jelas diatur dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 pada Pasal 90, 91, 92 dan 93.

  ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf

  Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan dari terdakwa.

  4. Pengertian Amunisi Alat apa saja yang dibuat atau dimaksudkan untuk digunakan dalam senjata api sebagai proyektil atau yang berisi bahan yang mudah terbakar yang dibuat atau dimaksudkan untuk menghasilkan perkembangan gas di dalam Senjata Api untuk meluncurkan proyektil.Amunisi juga berarti bagian-bagian dari amunisi seperti

  

patroon hulzen (selongsong peluru), slaghoedjes (penggalak), mantel kogels

  (peluru palutan), slachtveepatroonen (pemalut peluru) demikian juga proyektil- proyektil yang dipergunakan untuk menyebarkan gas-gas yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

  Amunisi, atau munisi, adalah suatu benda yang mempunyai bentuk dan sifat balistik tertentu yang dapat diisi dengan bahan peledak atau mesiu dan dapat ditembakkan atau dilontarkan dengan senjata maupun dengan alat lain dengan maksud ditujukan kepada suatu sasaran tertentu untuk merusak atau membinasakan.Amunisi, pada bentuknya yang paling sederhana, terdiri dari

   proyektil dan bahan peledak yang berfungsi sebagai propelan.

  Amunisi adalah segala pengisi senjata api (seperti mesiu, peluru), segala

19 Wikipedia Indonesia, “Amunisi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Amunisi , Diakses tanggal

   alat peledak yang ditembakkan kepada musuh (seperti bom, granat roket).

  Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan amunisi adalah bahan pengisi senjata api seperti mesiu, peluru, dan juga bahan (alat) peledak yang ditembakkan

   kepada musuh (seperti bom, granat, roket).

  Amunisi adalah merupakan salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI/POLRI) di bidang

  

  pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, pada dasarnya impor amunisi tidak dibenarkan dilakukan instansi lain selain TNI/POLRI. Namun demikian, diluar lingkungan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdapat impor, pemilikan, penguasaan dan atau penggunaan amunisi yang digunakan oleh instansi pemerintah lainnya dalam rangka penegakan hukum, maka pemerintah memandang perlu adanya penertiban, pengawasan,dan pengendalian amunisi di masyarakat, sehingga dicegah sejauh mungkin timbulnya ekses yang dapat menimbulkan ancaman atau gangguan terhadap keamanan

  F.

  Metode Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

  Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis normatif atau 20 Selaputs, “Definisi Pengertian Arti Amunisi”,

  Diakses tanggal 12 Juni 2012. 21 22 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 41.

  Bambang Semedi, 2011, Modul Ketentuan Barang Larangan dan Pembatasan, Jakarta; penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

  2. Sumber data

  Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari: a.

  Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUHP, Undang- Undang No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, Undang-Undang No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa.

  b.

  Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

  c.

  Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

  3. Alat pengumpul data

  Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

  4. Analisis data

  Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang 23 Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman 32. dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

  G.

  Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

  Bab I. Pendahuluan Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

  Bab II. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Faktor Penyebab Seseorang Menyimpan Amunisi dan Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak. Bab III. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Bentuk dan Jenis Sanksi Hukum, Fungsi Sanksi Hukum Dalam Penegakan Hukum serta Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang

  Bab IV. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pertanggungjawaban Pidana serta Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak. Bab V. Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Matriks - Perbandingan Penggunaan Metode Analisis Regresi Ridge dan Metode Analisis Regresi Komponen Utama dalam Menyelesaikan Masalah Multikolinieritas (Studi Kasus Data PDRB Propinsi Sumatera Utara)

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gipsum - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 7

Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 15

Scrambling Index dari Graf Terdiri Atas Dua Cycle Ganjil yang Dihubungkan oleh Beberapa Lintasan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Air Minum - Higiene Sanitasi dan Pemeriksaan Jumlah Eschericia coli pada Air Minum Isi Ulang dengan Metode Desinfeksi Sinar Ultraviolet dan Ozonisasi di Kota Medan Tahun 2011

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Higiene Sanitasi dan Pemeriksaan Jumlah Eschericia coli pada Air Minum Isi Ulang dengan Metode Desinfeksi Sinar Ultraviolet dan Ozonisasi di Kota Medan Tahun 2011

0 0 7

A. PENGANTAR PENELITIAN - Peningkatan Kualitas Layanan Perpustakaan dengan Menggunakan Metode Servqual dan QFD (Studi Kasus pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara)

0 0 11

BAB 2 LANDASAN TEORI - Peningkatan Kualitas Layanan Perpustakaan dengan Menggunakan Metode Servqual dan QFD (Studi Kasus pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara)

0 0 17

BAB II DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK - Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak

1 1 14