BAB II DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK - Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak

BAB II DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK A. Faktor Penyebab Seseorang Menyimpan Amunisi Terkadang penggunaan senpi dan amunisi tak lagi sesuai fungsi dan tak

  jarang pemilik menggunakannya semena-mena dengan sikap arogan yang memicu terjadinya ketidaktenangan masyarakat. Konon, pemilikan senjata dan amunisi di negeri ini tak melulu berkaitan dengan adanya ancaman terhadap keamanan, tapi berbagai kalangan seperti pengusaha, selebriti hingga politisi seakan merasa belum lengkap bila hanya punya mobil dan rumah mewah tanpa memiliki senjata dan amunisi. Memiliki pistol dan amunisi sudah bergeser menjadi gaya hidup.

  Di sisi lain, maraknya kepemilikan senjata dan amunisi juga dilihat dari aspek rasa keamanan masyarakat. Boleh jadi, peningkatan kepemilikan juga dipicu oleh rasa aman yang kini sangat sulit diperoleh masyarakat. Angka kejahatan yang tinggi berakibat tumbuh suburnya jual-beli senjata secara legal maupun tidak. Para pemilik senpi dan amunisi dari warga sipil memang jadi lebih merasa aman dan percaya diri, namun masyarakat justru bisa terganggu keamanannya jika mereka tidak mampu menahan emosinya dan kurang bertanggung jawab.

  Masyarakat Indonesia yang ingin memiliki senjata api dan amunisi, sekarang tidak perlu harus menjadi tentara atau polisi. Meskipun ketentuan hukum mengatur kepemilikan senjata dan amunisi yang berdaya bunuh itu hanya bagi api dan amunisi, seperti Satpam, Sipir Penjara, dan semacamnya. Keinginan untuk mengoleksi senjata api dan amunisi dalam berbagai jenis, tentu memiliki bermacam latar belakang. Bisa saja awalnya adalah untuk pengamanan diri, jika sewaktu-waktu berhadapan dengan hal yang mengancam jiwanya, sebut saja kepemilikian itu untuk mempertahankan diri. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan tersebut juga berlatar belakang pemuasan diri, karena merasa dirinya sanggup mengoleksi barang eksklusif dimana tidak semua orang bisa mendapatkannya. Orang yang bangga dirinya secara berlebihan akan terpuaskan dengan mengoleksi barang-barang seperti itu. Tetapi juga ada tipe orang yang senang mengoleksi senjata, apakah itu keris, pedang, badik dan atau sebagainya.

  Artinya orang seperti itu memang berselera demikian.

  Karena untuk penguasaan senjata api dan amunisi saat ini aturannya terasa lebih longgar terutama kelonggaran dalam izin kepemilikan, maka tidak terlalu sulit untuk mengoleksinya, sementara itu, disisi lain pasar senjata api yang gelap, remang-remang maupun yang terang-terangan terasa meluas. Maka, transaksipun akan berlangsung lebih mudah.

  Pasar terbuka, pembeli banyak, maka apa yang terjadi bukanlah sesuatu yang aneh. Para pelaku pasar senjata api pastilah amat mengerti tentang akses pasar, spesifikasi senjata, harga yang dipasar gelap, terang ataupun remang- remang. Termasuk tentu saja trik untuk pengamannya. Mereka yang menguasai inilah yang pasti mampu mengangguk keuntungan dalam jumlah besar. Tetapi keuntungan pribadi itu tidak sepadan dengan risiko yang ditimbulkan akibat perdagangan tersebut. Siapa yang bisa menjamin 100% bahwa senjata itu hanya sebagai bahan koleksi, minimal dengan kepemilikan itu si kolektor telah melakukan teror tak terkatakan untuk orang-orang sekitarnya. Dan seandainya tidak terlepas dari kenyataan jika senjata-senjata tersebut menjadi barang sewaan untuk melakukan teror, perampokan, dan kejahatan lainnya.

  Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong kepemilikan senjata api dan amunisi yaitu :

  1. Faktor pengamanan diri, jika sewaktu-waktu berhadapan dengan hal yang mengancam jiwanya.

  2. Faktor pemuasan diri, karena merasa dirinya sanggup megoleksi barang eksklusif dimana tidak semua orang bisa mendapatkannya.

  3. Faktor sistem dan prosedur izin kepemilikan senjata api dan amunisi yang begitu rumit, sehingga orang lebih tertarik mengunakan senjata api dan amunisi Ilegal.

  4. Faktor perdagangan senjata api dan amunisi ilegal, dimana kebetulan saja belum terungkap, tidak terungkap, atau memang sudah diungkap, dengan harga jual yang lebih murah, dan proses mudah.

  5. Faktor untuk melakukan tindak kriminal, dimana melakukan kejahatan perampokan, pembunuhan, teror.

  B.

  Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak Adapun dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor 17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

  Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-

   tingginya dua puluh tahun.

  Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen adalah ketentuan tentang

  

  ketentuan tentang Ordonansi Sementara Ketentuan Pidana Khusus, sedang Undang-Undang Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 adalah Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api.

  Tidak ada penjelasan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor

  12 Tahun 1951 ini tentang apa yang dimaksud dengan amunisi tersebut. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 hanya menjelaskan:

  Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari Peraturan Senjata Api (Vuurwapenregeling: in, uit, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal

  30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata 24 yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak

  Hukum Yang Lain, “UU Nomor 12/Drt/1951 bukan UU Darurat”, Diakses tanggal 2 Juni 2012. 25 dapat dipergunakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) di atas pengecualian hanya dibolehkan terhadap senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.

  Suatu amunisi tentunya tidak dapat digolongkan sebagai barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid). Tetapi suatu amunisi dapat dibuat menjadi tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan. Oleh sebab itu ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut terhadap senjata yang mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang ajaib hanya dapat digolongkan pada senjata api semata.

  Perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 termasuk perbuatan menyimpan amunisi digolongkan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal yang berbunyi: “Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini dipandang sebagai kejahatan”.

  Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh Negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan dapat didefinisikan berdasarkan adanya unsur anti sosial.

  Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Terdapat beberapa pendapat ahli mengenai kejahatan, di antaranya:

  1. D. Taft Kejahatan adalah pelanggaran hukum pidana.

  2. Van Bemmelen

Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang

menimbulkan begitu banya ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,

sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.

  3. Ruth Coven Orang berbuat jahat karena gagal menyeusaikan diri terhadap tuntutan masyarakat.

  4. W.A. Bonger Kejahatan adalah perbuatan yang anti social yang oleh Negara ditentang dengan sadar dengan penjatuhan hukuman. Dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan atau pelalaian yang dilarang

  Apabila pendapat tentang kejahatan di atas kita pelajari secara teliti, maka dapatlah digolongkan dalam tiga jenis pengertian sebagai berikut:

  a. Pengertian secara praktis (sosiologis) Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.

  b. Pengertian secara religius Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan. Pengertian a dan b disebut pengertian kriminologis.

c. Pengertian secara yuridis

  26

   oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dn diberi pidana oleh Negara.

  Secara umum, kejahatan harus mencakup unsur seperti tertera di bawah ini:

  1. Harus ada sesuatu perbuatan manusia Berdasarkan hukum pidana positif yang berlaku di Indoensia, yang dapat dijadikan subjek hukum hanyalah manusia.

  2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ketentuan pidana.

  3. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat.

  Untuk dapat dikatakan seseorang berdosa (tentu dalam hukum pidana) diperlukan adanya kesadaran pertanggungjawab, adanya hubungan pengaruh dari keadaan jiwa orang atas perbuatannya, kehampaan alasan yang dapat melepaskan diri dari pertanggungjawab.

  4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

  Secara formal perbuatan yang terlarang itu berlawanan perintah undang-undang itulah perbuatan melawan hokum. Ada tiga penafsiran tentang istilah “melawan hukum”. Simons mengatakan melawan hukum artinya bertentang dengan hukum, bukan saja dengan hukum subjektif juga hukum objektif. Pompe memperluas lagi dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Menurut anggapan Noyon, melawan hukum artinya bertentangan dengan hak orang lain. Sedang menurut Hoge Raad, Arrest 18-12-1911 W 9263 negri Belanda bahwa melawan hukum berarti tanpa wewenang atau tanpa hak.

  5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam undang-undang.

  Tidak boleh suatu perbuatan dipidana kalau sebelumnya dilakukan belum diatur oleh Undang-undang. Undang-undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut. Azas ini dikenal dengan sebutan “Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”.

   Azas ini telah diletakkan pada pasal 1 ayat 1 KUHP.

  Dengan demikian kejahatan menyimpan amunisi sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 adalah harus ada sesuatu perbutan manusia berupa menyimpan amunisi, selanjutnya perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, harus ada pihak atau seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, selanjutnya perbuatan menyimpan amunisi tersebut harus berlawanan dengan hukum, serta yang terakhir bahwa perbuatan menyimpan amunisi tersebut harus tersedia ancaman hukuman di dalam undang-undang. Dengan dipenuhinya unsur tersebut maka jelaslah bahwa perbuatan menyimpan amunisi adalah suatu perbuatan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.

  Ketentuan lainnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, khususnya perbuatan menyimpan amunisi dapat pula dilakukan oleh suatu badan hukum, hal ini dapat dilihat dari Pasal 4 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 yang berbunyi:

  (1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang- undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.

  (2) Ketentuan pada ayat (1) di muka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.

  Berdasarkan isi Pasal 4 tersebut maka selain orang per orang, maka badan hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila melakukan tindak pidana menyimpan amunis sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.

  Abdul Muis mengatakan : Badan hukum itu seperti manusia. Satu jelmaan yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan hukum (eine leiblich geistigelebenssceinheit). Badan hukum itu menjadi suatu “ verband personlijchkeit “ yaitu suatu badan hukum yang membentuk kemauannya dengan perantaraan alat-alat (orgamen) yang ada pada misalnya pengurusnya seperti manusia. Pendeknya berfungsinya badan

   hukum dipersamakan dengan berfungsinya manusia.

  Lebih lanjut dikatakan oleh Abdul Muis, bahwa : Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiadalah lain merupakan suatu pengertian, dimana suatu badan yang sekalipun bukan berupa seorang manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para anggotanya, dan merupakan pendukung dari hak-

   hak dan kewajiban seperti seorang manusia.

  Hakekat yang demikianlah yang menganggap suatu badan hukum dapat dipersamakan sebagaimana manusia layaknya dalam pergaulan hukum. Badan hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia “.

  Menurut Subekti, “Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim, pendeknya diperlakukan sepenuhnya sebagai

   seorang manusia”.

  Dari keterangan-keterangan di atas dapat diketahui bahwa subjek hukum selain manusia adalah badan hukum. Akan tetapi badan hukum mempunyai sifat-sifat khusus, badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan-perbuatan dalam bidang tertentu. Badan hukum tidak dapat melakukan sendiri perbuatannya, karena badan hukum bukan manusia yang mempunyai daya pikir dan kehendak. 29 Abdul Muis, 1991, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, Medan: Fak. Hukum USU, halaman 29-30. 30 Abdul Muis, 1995, Hukum Persekutuan dan Perseroan, Medan: Diterbitkan Oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, halaman 16. 31

  Badan hukum bertindak dengan perantaraan manusia (natuurlijk persoon), akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan atas nama badan hukum.

  Selanjutnya Ajaran Organ yang menyamakan Badan Hukum sebagai suatu subjek adalah suatu kenyataan, sebagai mana halnya pada manusia pribadi, menyatakan bahwa manusia bertindak dengan otak, tangan dan alat-alat lainnya, dengan kata lain organnya, maka dengan demikian juga pada badan hukum bertindak dengan organ-organnya yang berupa pengurus.

  Akan tetapi dalam hal ini badan hukum tidak dapat disamakan dengan manusia secara fisik. Misalnya dapat menikah, makan, berpikir dan berjalan dan sebagainya. Pengurus dari sebuah perseroan tersebut memang manusia adanya dan merekalah yang mengurus perseroan tersebut sebagai badan hukum.

  Dalam melakukan tindakannya badan hukum dapat melakukan kesalahan, dapat pula melakukan perbuatan melanggar hukum seperti menyimpan amunisi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.

  Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban pidana pelaku yang menyimpan amunisi maka selain dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor

  12 Tahun 1951, maka Pasal 5 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor

  12 Tahun 1951 juga melakukan perampasan terhadap amunisi yang disimpan, terkecuali dapat dipergunakan lain oleh Menteri Pertahanan untuk kepentingan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia

  Nomor 12 Tahun 1951, yang berbunyi: (1)

  Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan yang terancam hukuman pada Pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh. (2)

  Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat (1), harus di rusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.

  Atas perilaku menyimpang berupa tindak pidana menyimpan amunisi maka Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 melalui Pasal 6 juga memberikan kewenangan kepada pihak kepolisian untuk menyidik tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 termasuk perbuatan menyimpan amnuisi.

  Pasal 6: (1)

  Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang dengan peraturan Undang- undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata api, amunisi dan bahan-bahan peledak. (2)

  Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya senantiasa berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka dihalangi memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan. Suatu hal yang perlu dikondisikan dengan keberadaan Undang-Undang

  Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 adalah ituasi politik atau permasalahan apa yang terjadi ketika Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 ini dikeluarkan, tetapi yang jelas Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 sesungguhnya dibuat dalam bentuk sementara karena keadaan-keadaan yang mendesak, sehingga dikeluarkan oleh Pemerintah tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (DPR). Kalau sekarang sama seperti Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang), contohnya ketika presiden mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka konsekuensinya kita akan menyebut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagai Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meskipun isinya hanya penetapan perpu dimaksud, singkatnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 namun isinya Perpu Nomor 1 Tahun 2002.

  Bahwa Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951. (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1951) dalam perkembangannya sampai saat ini masih berlaku dalam artian tidak pernah ada dilakukan pencabutan terhadap undang-undang dimaksud ataupun tidak adanya undang-undang atau ketentuan baru yang mengatur hal yang sama yang kemudian menyatakan bahwa Undang-Undang Darurat ini menjadi tidak berlaku, begitupun dalam perkembangannya keadaan tidaklah dalam masa darurat atau sementara, oleh karenanya Undang-Undang Darurat tersebut perlu ditetapkan menjadi Undang-Undang, sehingga pada tanggal 4 Februari 1961 Presiden dengan persetujuan DPR telah menetapkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum tanggal

  1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang (Tambahan Lembaran Negara Republik

  Indonesia Nomor 2124).

  Sebagai konsekuensinya Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sebagaimana yang sering ditulis/dicantumkan penyidik dalam banyak berkas perkara sebenarnya bukanlah lagi Undang-Undang Darurat melainkan Undang- Undang (biasa) dan nomenklatur Undang-Undang Darurat sudah tidak ada dan/atau tidak dikenal lagi, untuk itu penyidik sudah seharusnya mengganti semua penulisan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 menjadi Undang- Undang Nomor 12/Drt/1951 atau Undang-Undang Nomor 12 Drt 1951.

  Kenapa tertulis Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 atau Undang-Undang Nomor 12 Drt 1951, itu tidak lain karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 memukul rata atau singkatnya menetapkan semua bentuk Undang-Undang Darurat dan Perpu yang ada sebelum 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang, dengan begitu penyebutan tetap dengan menggunakan nomor dan tahun yang sama/peraturan aslinya hanya dengan penambahan Drt yang berarti Undang- Undang tersebut berasal dari Undang-Undang Darurat.

  Contoh lain bisa dilihat dulu ada istilah Penetapan Presiden, sebutlah yang terkenal itu Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dulu penpres itu dijadikan Undang-Undang dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang Undang, dimana dalam perkembangannya Penpres ini kemudian disebut dengan nama Undang-Undang Nomor 11/Pnps/1963 yang artinya sama Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden, yah Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/Pnps/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

  Demikian juga halnya dengan putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 7/Pid.Sus/2011/PN.Ska, dimana pelaku tindak pidana menyimpan amunisi didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan telah melanggar Pasal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat RI No. 12

32 Tahun 1951.

  32

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur (Bank) sebagai Pemegang Jaminan Gadai Deposito Berjangka pada Perjanjian Kredit Bank (Studi pada PT. Bank Panin (Persero) Tbk. Kcu Pemuda)

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Aljabar Matriks - Perbandingan Penggunaan Metode Analisis Regresi Ridge dan Metode Analisis Regresi Komponen Utama dalam Menyelesaikan Masalah Multikolinieritas (Studi Kasus Data PDRB Propinsi Sumatera Utara)

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gipsum - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 17

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 7

Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan, Gipsum Tipe III Daur Ulang Dengan dan Tanpa Penambahan Larutan Garam Dapur 1,5% Sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 15

Scrambling Index dari Graf Terdiri Atas Dua Cycle Ganjil yang Dihubungkan oleh Beberapa Lintasan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Air Minum - Higiene Sanitasi dan Pemeriksaan Jumlah Eschericia coli pada Air Minum Isi Ulang dengan Metode Desinfeksi Sinar Ultraviolet dan Ozonisasi di Kota Medan Tahun 2011

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Higiene Sanitasi dan Pemeriksaan Jumlah Eschericia coli pada Air Minum Isi Ulang dengan Metode Desinfeksi Sinar Ultraviolet dan Ozonisasi di Kota Medan Tahun 2011

0 0 7

A. PENGANTAR PENELITIAN - Peningkatan Kualitas Layanan Perpustakaan dengan Menggunakan Metode Servqual dan QFD (Studi Kasus pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara)

0 0 11

BAB 2 LANDASAN TEORI - Peningkatan Kualitas Layanan Perpustakaan dengan Menggunakan Metode Servqual dan QFD (Studi Kasus pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara)

0 0 17