BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan pendidikan masih terkendala oleh tiga masalah penting. Pertama, ketidakmerataan
kesempatan pendidikan. Pendidikan belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, sehingga masyarakat berpendidikan identik dengan kelas menengah ke atas. Merekalah
yang mampu membayar biaya pendidikan yang makin mahal, sementara bagi masyarakat yang kurang
mampu, akses ke dunia pendidikan terasa sulit.
Kedua, rendahnya mutu pendidikan yang berkorelasi dengan: (a) kualifikasi, kompetensi, dan
komitmen guru; (b) sikap dan perlakuan guru serta pejabat pendidikan terhadap kurikulum; (c) bahan
belajar yang dipakai oleh murid dan guru; (d) sumber-sumber belajar yang dirujuk oleh guru dan
murid; € kondisi prasarana dan sarana pendukung belajar; dan (g) iklim belajar.
Ketiga, rendahnya relevansi pendidikan, yang berwujud kesenjangan intelektual, okuvasional,
dan

aradigm lulusan dengan permintaan pasar tenaga kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran

terdidik terus meningkat setiap tahun. Membengkaknya angka pengangguran terdidik dapat
mengancam harmoni sosial.
Sedangkan persoalan mendasar mutu pendidikan dari sudut pandang keluaran, dikategorisasi
oleh Zamroni (2000) ke dalam tiga bentuk kesenjangan: akademik, okupasional, dan kultural.

Kesenjangan akademik adalah ketiadaan kaitan antara ilmu yang dipelajari di sekolah dengan
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kesenjangan okupasional, ketidakgayutan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, meski hal
ini bukan hanya disebabkan oleh dunia pendidikan semata. Kesenjangan

kultural, ketidakmampuan

peserta didik memahami persoalan yang sedang dan akan dihadapi bangsanya di masa depan.
Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mengatasi masalah tersebut melalui tiga kebijakan
utama yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi
dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Tiga pilar ini
diyakini akan mampu secara berkesinambungan meningkatkan kualitas sistem pendidikan
nasional di Indonesia.

Peningkatan relevansi pendidikan sangat erat hubungannya dengan pendidikan kejuruan
seperti SMK.

SMK dikonsepsikan sebagai satuan pendidikan kejuruan yang seharusanya

mampu mencetak lulusan menjadi tenaga kerja yang cerdas dan kompetitif serta siap

menghadapi perkembangan dunia usaha dan dunia industri. SMK secara kelembagaan
merupakan satuan pendidikan vokasional yang mengemban misi pengembangan kecakapan
hidup siswa dan lulusannya.
Sementara itu, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan kejuruan masih
menyisakan banyak masalah yang harus segera diatasi. Permasalahan tersebut mencakup
dimensi-dimensi konsepsi, program, dan operasional (Pakpahan dalam Supriadi, 2002: 223).
Masalah program menunjuk pada rumusan kurikulum dan implementasinya sehingga
menjauhkan diri dari konsep relevansi lulusan dengan dunia kerja. Termasuk dalam kelompok
masalah ini antara lain: (1) program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran mata
pelajaran dan tidak terfokus pada pencapaian kompetensi yang sesuai dengan dunia kerja; (2)
muatan program yang merupakan key competences menghadapi perkembangan di masa
mendatang belum memadai; dan (3) jumlah jam pelajaran perminggu belum merupakan jam
yang membiasakan siswa memasuki jam kerja dunia industri.
Masalah operasional menunjuk pada ditemukannya banyak perilaku salah dalam kegiatan
belajar mengajar di SMK, dan membentuk kebiasaan yang diterima sebagai menjadi suatu
kewajaran. Termasuk dalam kelompok masalah ini antara lain: (1) pelajaran praktik dasar
kejuruan tidak diajarkan secara mendasar; (2) dalam pelajaran praktik, siswa sering dibiarkan
bekerja dengan cara yang salah, tidak mengikuti langkah kerja yang benar, posisi tubuh dan
gerak tangan tidak diperhatikan; (3) membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja asal-jadi
tanpa standar mutu yang harus dicapai; (4) kegiatan praktik siswa tidak mengikuti prinsip

mastery learning; (5) siswa sering bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan; (6) masih banyak
guru yang berada di sekolah hanya pada jam mengajar saja, dan perilaku seperti ini dianggap
sebagai sesuatu yang wajar; (7) kepedulian sekolah untuk membentuk etos kerja di kalangan
guru dan siswa masih kurang.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, sejumlah ahli memandang perlu paradigma
holistik dalam mengelola pendidikan. Paradigma ini terkait dengan pesatnya perubahan sosial
sehingga melahirkan dua dimensi pembaharuan pendidikan: (1) pendidikan yang memampukan
anak didik berpikir global dan bertindak lokal; (2) pemaknaan ulang efisiensi pendidikan, dari

makna ekonomis semata menjadi keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas, dan kebaikan
untuk semua (Zamroni, 2000).
Tuntutan kualifikasi hasil didik pun berubah sehingga pendidikan harus mengembangkan
kemampuan anak didik: (1) menghampiri permasalahan secara global dengan pendekatan
multidisiplin; (2) menyeleksi arus informasi untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari;
(3) menghubungkan peristiwa yang satu dengan yang lain secara kreatif; dan (d) kemandirian.
Implikasi jangka pendeknya, sekolah harus berkemampuan: (1) menciptakan rasa aman
anak didik, dengan atmosfer kelas yang demokratik dan guru yang memahami kondisi anak
didik; (2) menciptakan self-efficacy pada diri anak didik --rasa bahwa mereka berkemampuan
melaksanakan tugas-tugas sekolah; (3) membantu anak didik menyalurkan emosi melalui
kegiatan yang positif dan konstruktif.

Dalam jangka panjang hal itu memerlukan model proses pembelajaran yang: (1) penyajian
materinya tersusun dalam problema, tema, dan terintegrasi; (2) dampak belajarnya meliput aspek
kognitif dan afektif, khususnya kerjasama dan kompetensi sosial; (3) gurunya team teaching
dengan prosedur yang fleksibel; (4) sasaran pemahamannya mencakup konsep, hubungan, dan
keterkaitan; (5) pembelajarannya kooperatif.
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah operasional SMK sekaligus mengakomodasi
kebutuhan model pembelajaran adalah perbaikan pembelajaran yang berorientasi kepada
kecakapan hidup spesifik siswa. Dalam konteks ini I CARE dapat dijadikan salah satu pilihan
model sistem pembelajaran di SMK. Merujuk kepada pendapat Hoffman dan Ritchie (1998), I
CARE merupakan model sistem pembelajaran yang berawal dari desain pembelajaran praktikum
yang digunakan untuk pembelajaran jarak jauh (online). I CARE memiliki lima tahap yaitu
Introduce, Connect, Apply, Reflect dan Extend.
Model sistem pembelajaran I CARE telah banyak diteliti dan dikembangkan oleh banyak
peniliti sehingga menemukan kesimpulan bahwa I CARE juga dapat digunakan untuk
pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, I CARE dapat pula diterapkan dalam pembelajaran
klasikal.
I CARE juga merupakan model pembelajaran yang komprehensif, mampu menciptakan
suasana pembelajaran yang menyenangkan, tepat antara teori dan praktek atau kontekstual dan
berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup. Kecakapan hidup dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: (1) kecakapan hidup spesifik (specific life skill) atau kecakapan hidup untuk


menghadapi pekerjaan tertentu; dan (2) kecakapan hidup generik (general life skill) atau
kecakapan hidup yang sudah dimiliki oleh manusia, seperti kecakapan personal dan kecakapan
sosial.
Kecakapan hidup spesifik meliputi aspek kecakapan akademik atau kecakapan intelektual
berkaitan dengan pekerjaan yang memerlukan kemampuan berpikir atau intelektual. Kecakapan
vokasional yaitu kecakapan berkaitan dengan pekerjaan yang memerlukan kecakapan motorik.
Dari sudut pandang kurikulum dan teknologi pendidikan, I CARE merupakan model
sistem pembelajaran yang berbasis TIK.

Konsep TIK bermakna proses penyampaian data

menggunakan alat komunikasi sehingga terjadi sistem pengiriman data. Menurut pendapat Munir
(2008:185) TIK berperan sebagai: (1) keterampilan (skill) dan kompetensi; (2) infrastruktur
pembelajaran; (3) sumber bahan belajar; (4) alat bantu dan fasilitas pembelajaran; (5) pendukung
manajemen pembelajaran; dan (6) sistem pendukung keputusan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk meneliti penarapan
model sistem pembelajaran I CARE dalam hubungannya dengan kecakapan hidup spesifik siswa
SMK.
Untuk keperluan tersebut menulis memilih objek penelitian di SMK Negeri 3 Tegal dan

SMK Al-Irsyad Tegal. SMK Negeri 3 Tegal semula merupakan peralihan dari Sekolah Teknik
yang beralih fungsi menjadi SMP, untuk kemudian diubah menjadi SMK.
Saat ini SMK Negeri 3 Tegal berkategori sekolah berstandar nasional dan sedang
ditingkatkan menjadi rintisan sekolah berstandar internasional. SMK tersebut memiliki tujuh
program keahlian, yaitu Multimedia, Teknologi Komunikasi Jaringan, Teknik Gambar
Bangunan, Teknik Mekanik Otomotif, Nautika Perikanan Laut, Teknik Perikanan Laut, Teknik
Audio Video.
Sementara itu, SMK Al-Irsyad Tegal merupakan SMK swasta yang baru berjalan dua
tahun pelajaran, dengan program keahlian Multimedia. Sebagai sekolah kejuruan yang baru
berdiri, SMK Al-Irsyad terus berupaya menyempurnakan layanan pendidikannya, antara melalui
pengayaan model-model pembelajaran yang sesuai misi dan tuntutan kompetensi lulusannya.
1.2 Identifikasi Masalah
SMK SMK mengemban misi: (1) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan
alam sekitarnya; (3) menghasilkan lulusan yang bersikap profesional untuk memasuki lapangan

kerja. Di pihak lain, pendidikan kejuruan masih menyisakan banyak masalah yang harus segera
diatasi. Permasalahan tersebut mencakup dimensi-dimensi konsepsi, program, dan operasional.
Implikasi jangka panjang dari paradigma holisitik dalam pendidikan adalah perlunya
model proses pembelajaran yang: (1) penyajian materinya tersusun dalam problema, tema, dan

terintegrasi; (2) dampak belajarnya meliput aspek kognitif dan afektif, khususnya kerjasama dan
kompetensi sosial; (3) gurunya team teaching dengan prosedur yang fleksibel; (4) sasaran
pemahamannya mencakup konsep, hubungan, dan keterkaitan; (5) pembelajarannya kooperatif.
Di pihak lain, SMK menghadapi masalah operasional yang berupa banyaknya perilaku yang
salah dalam kegiatan belajar mengajar. Kesalah itu mengakibatkan ketidaktercapaian misi dan
kompetensi lulusan SMK termasuk kecakapan hidup spesifiknya.
Dalam kerangka peningkatan mutu dan keefektifan pembelajaran di SMK, diperlukan
perbaikan pembelajaran yang lebih memungkinkan lulusan memiliki kompetensi dan kecakapan
hidup spesifik sebagaimana dituntut oleh dunia kerja. I CARE adalah salah satu alternatif model
sistem pembelajaran yang dapat mengakomodasi peningkatan mutu proses dan mutu hasil
pembelajaran di SMK.
1.3 Rumusan Masalah
Pokok masalah yang akan ditelaah dalam penelitian adalah: bagaimanakah penerapan
model sistem pembelajaran ICARE dalam meningkatkan kecakapan hidup spesifik siswa
keahlian multimedia di SMK Negeri 3 Tegal dan SMK Al-Irsyad Tegal? Pokok masalah tersebut
penulis jabarkan menjadi beberapa pertanyaan :
1. Adakah perbedaan kualitas pengalaman belajar antara siswa yang diberi dengan yang tidak
diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di SMK Negeri 3 Tegal dan SMK AlIrsyad Tegal?
2. Adakah perbedaan kualitas hasil belajar yang berupa kecakapan akademik antara siswa yang
diberi dengan yang tidak tidak diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di SMK

Negeri 3 Tegal dan SMA Al-Irsyad Tegal?
3. Adakah perbedaan kualitas hasil belajar yang berupa kecakapan vokasional antara siswa
yang diberi dengan yang tidak tidak diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di
SMK Negeri 3 Tegal dan SMA Al-Irsyad Tegal?
1.4 Batasan Masalah

Untuk menghindari kesalahan penafsiran dan ketidakjelasan arah penelitian ini, penulis
memberikan batasan terhadap konsep-konsep kunci berikut ini.
1. Model Sistem Pembelajaran ICARE
Model Sistem Pembelajaran ICARE adalah desain perencanaan, proses dan evaluasi
pembelajaran dari mata pelajaran tertentu, dengan lima tahapan Introduce, Connect, Apply,
Reflect, Extend.
2. Kualitas Pengalaman Belajar Siswa
Hal-hal yang dialami dan diamati oleh siswa selama proses pembelajaran, yang meliputi :
perolehan pengetahuan tentang tujuan belajar, motivasi oleh guru, sajian informasi dari guru,
guru mampu merangsang diskusi, mendapatkan arahan Kegiatan siswa, guru melaksanakan
latihan dan ulangan bagi siswa, melakukan penguatan belajar, mendapatkan pengalaman
simulasi.
3. Kecakapan hidup spesifik Siswa
Kecakapan Hidup spesifik siswa terdiri dari kecakapan akademik yaitu kecapan yang

memerlukan proses berpikir dan kecakapan vokasional atau kecakapan kejuruan yaitu
kecakapan yang membutuhkan unjuk kerja.
1.5 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas penerapan model sistem pembelajaran ICARE terhadap kecakapan hidup sepesifik
siswa. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. perbedaan kualitas pengalaman belajar antara siswa yang diberi dengan yang tidak diberi
perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di SMK Negeri 3 Tegal dan SMK Al-Irsyad
Tegal.
2. perbedaan kualitas hasil belajar yang berupa kecakapan akademik antara siswa yang diberi
dengan yang tidak tidak diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di SMK
Negeri 3 Tegal dan SMA Al-Irsyad Tegal.

3. perbedaan kualitas hasil belajar yang berupa kecakapan vokasional antara siswa yang diberi
dengan yang tidak tidak diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, di SMK
Negeri 3 Tegal dan SMA Al-Irsyad Tegal.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara langsung ataupun tidak langsung, untuk
penulis sendiri dan pihak-pihak siswa, sekolah, serta Program studi Kurikulum dan Teknologi
Pembelajaran.

Bagi penulis, hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk memperdalam pemahaman
mengenai model sistem pembelajaran ICARE sebagai model yang efektif dalam meningkatkan
kecakapn hidup spesifik siswa, sehingga lebih memperkaya pengetahuan telah penulis peroleh
dari perkuliahan.
Selanjutnya, bagi SMK Negeri 3 Tegal dan SMA Al-Irsyad Tegal diharapkan dapat
memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu bahan masukan dalam kerangka
meningkatkan keektifan model pembelajaran dalam memperoleh predikat kategori sekolah
bertaraf internasional.
Siswa sebagai pengguna TIK diharapkan memperoleh manfaat dari hasil penelitian ini,
terutama mengenai kualitas prose pembelajaran yang efektif. Akhirnya, hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi Program Studi Kurikulum dan Teknologi Pembelajaran untuk
kepentingan pengayaan bahan kajian mengenai model sistem pembelajaran, khususnya TIK.