Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Filsafat Te
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK:
FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI
Oleh : Boni Andika
NIM : 10/296364/SP/23830
Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik:
Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof. Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy
Permadi, SIP, MA yang secara garis besar membahas pengertian ilmu sosial dan
ilmu politik, hubungan ilmu sosial dan ilmu politik, filsafat ilmu sosial dan ilmu
politik, teori-teori dalam ilmu sosial dan ilmu politik, serta metodologi riset suatu
ilmu sosial dan ilmu politik.
Namun, selanjutnya dalam critical review ini penulis ingin memfokuskan
masalah yang dibahas dan ditanggapi pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial
(ontologi, epistemologi, dan axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam,
dan tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis).
Pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan
axiologi) penulis ingin mengkritisi dan membahas mengenai hubungan antara tiga
landasan tersebut dalam kategori ilmu sosial. Pada fokus ilmu politik yang menyerap
prinsip ilmu alam, penulis ingin menganalisis lebih dalam mengenai prinsip-prinsip
ilmu alam yang diserap ke dalam teori ilmu politik. Dan dalam tradisi ilmu politik
(positivis dan antipositivis), penulis ingin menelaah lebih dalam mengenai hubungan
kedua tradisi tersebut terhadap terjadinya “revolusi keilmuan”.
Pada pembahasan pertama mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial
(ontologi, epistemologi, dan axiologi), dijelaskan bahwa antara ilmu sosial dan ilmu
lain terdapat perbedaan pemahaman tentang realitas, perbedaan pemilihan data yang
relevan dengan realitas tersebut, dan perbedaan strategi dalam mencari data.
Perbedaan tersebut melahirkan ciri khas dari setiap ilmu berdasarkan tiga buah
landasan, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan axiologi.
Landasan ontologi, berusaha menjawab pertanyaan: apakah yang ingin
diketahui ilmu? Atau dengan kata lain, landasan ini membahas pertanyaan-pertanyaan
mengenai objek apakah yang ditelaah oleh ilmu.
Landasan epistemologi, berusaha menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara/
metode agar diperoleh ilmu yang benar? Atau dengan kata lain, landasan ini
membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.
Landasan axiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan: apakah manfaat ilmu
bagi manusia? Landasan ini mempunyai hubungan yang erat dengan nilai (teori
tentang nilai) dan etika.
Dari tiga penjelasan di atas, dapat kita pertajam kembali bahwasanya landasan
ontologi yang membahas mengenai objek apa yang dibahas dalam ilmu sosial. Maka
secara otomatis dapat dikatakan bahwa seluruh fenomena-fenomena sosial yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat, merupakan objek yang dibahas dalam ilmu
sosial, seperti tingkah laku, interaksi, kejahatan, psikologi, sejarah, dan lain-lain.
Lebih jelasnya, dalam ilmu sosial dikenal dua macam objek, yaitu objek formal dan
objek material. Objek material merupakan pokok persoalan yang dikaji dalam
penerapan ilmu sosial, seperti perang (bentuk konkret) dan kekuasaan (bentuk
abstrak). Sedangkan objek formal merupakan pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji objek material. Misalnya ketika objek materialnya berupa interaksi manusia,
maka objek formalnya merupakan sosiologi.
Di lain sisi, landasan epistemologi yang membahas secara mendalam segenap
proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Maka secara
otomatis dapat dikatakan bahwa proses memperoleh pengetahuan dari objek yang
abstrak adalah nalar (reason), intuisi (intuition), otoritas (authority), wahyu
(revelation), dan keyakinan (faith), sedangkan dari objek yang konkret adalah
pengalaman inderawi (sense of experience). Kedua sumber pengetahuan tersebut
kemudian melahirkan dua paham utama dalam pencarian pengetahuan. Aliran
pertama dipelopori oleh Plato, dan aliran kedua yang dipelopori oleh Aristoteles.
Plato mengutamakan kekuatan rasio manusia di mana pengetahuan murni dianggap
dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri. Sedangkan Aristoteles memperhatikan
peranan empiris terhadap obyek pengetahuan. Penalaran Plato berkembang menjadi
rasionalisme yang kemudian didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza,
Leibnis, dan Wolff. Sedangkan penalaran Aristoteles berkembang menjadi empirisme
dan berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Hobbes, Locke, Berkely, dan Hume.
Yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Deduktif-Rasional” dan “InduktifEmpiris”. Dalam “Deduktif-Rasional” terdapat anggapan dasar kaum rasionalis
bahwa manusia memiliki sistem pemikiran yang diturunkan dari adanya ide atau
gagasan. Ide atau gagasan tersebut telah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar dan
pikiran manusia. Menurut Plato, dalam diri manusia, rasio lah yang paling penting,
sehingga Descartes mengemukakan pendapatnya yang sangat terkenal yaitu Cogito,
ergo sum (aku sadar, maka aku ada). Descartes juga sangat menghargai intuisi yang
dianggap sebagai sesuatu yang muncul dari akal jernih dan bukan timbul dari
khayalan yang membingungkan sehingga mengakibatkan pendapat yang keliru. Oleh
karena itu, dalam melakukan penalaran, kaum rasional selalu membandingkan dengan
teori umum sehingga paham rasionalisme terutama melakukan penalaran secara
deduktif, yaitu dari umum ke khusus.
Di sisi lain, dalam “Induktif-Empiris” terdapat anggapan kaum empiris bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Artinya, pernyataan
tentang ada dan tidaknya sesuatu harus dibuktikan melalui pengujian publik. Aspek
lain dalam penalaran ini adalah perbedaan antara yang mengetahui (subjek penelitian)
dan yang diketahui (objek penelitian). Setidaknya terdapat dua prinsip lain yang
dipegang oleh kaum empiris yaitu keteraturan dan keserupaan. Keteraturan berarti
bahwa alam memiliki keteraturan dari masa lampau, sekarang, dan yang akan datang.
Melalui konsep ini, kaum empiris memberikan ruang untuk melakukan prediksi atau
perkiraan untuk masa yang akan datang. Sedangkan keserupaan berarti bahwa bila
terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka
kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan tentang hal itu. Jadi
pengetahuan harus dijabarkan menjadi pengalaman inderawi, dan apa yang tidak
dijabarkan dalam pengalaman bukanlah pengetahuan. Karenanya kaum empiris
menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran dari yang khusus ke yang umum.
Sedangkan landasan axiologi yang membahas mengenai manfaat ilmu sosial.
Maka secara otomatis dapat dikatakan ilmu sosial bernanfaat bagi manusia dalam
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk sosial. Sehingga di sini ilmu sosial
bermanfaat bagi terciptanya sebuah pedoman bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya.
Selanjutnya ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dimaksudkan
bahwa pada ilmu politik mengalami tantangan besar agar dapat diakui sebagai sebuah
ilmu yang seutuhnya, maka dari itu muncul tuntutan untuk mengakomodasi prinsipprinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik. Hal ini disebabkan karena objek
kajian ilmu politik yang terkadang agak samar dan sulit untuk ditelaah. Selain itu,
dalam perkembangannya, ilmu politik berusaha memetakan tujuan, menjawab
permasalahan yang ada, dan mengevaluasi penemuannya dengan menggunakan
framework analisis filsafat ilmu, dalam hal ini tujuan yang ditetapkan merupakan
penjelasan dari sebuah fenomena empiris. Namun demikian, ilmu politik
mendapatkan kritik karena dianggap telah gagal menyerap standar intelektual karena
dalam banyak kasus, sangat mustahil bagi ilmu politik untuk mendekati standar
kualitatif seperti yang dikembangkan dalam ilmu alam. Oleh karena itu, terdapat
upaya-upaya untuk menyerap prinsip-prinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik.
Penyerapan ilmu alam ini tidak lain dan tidak bukan berupa rekonstruksi metodologi.
Yang lebih jelasnya, William Bennet Muro, pelopor studi politik ilmiah, dengan tegas
menginginkan ilmu politik bisa menciptakan apa yang disebut fundamental laws atau
hukum yang mampu menjelaskan gejala politik, khususnya perilaku politik.
Menurutnya, “ There is must be laws of politics, for laws are the most universal of all
phenomena. Everything in nature inclines to move in seasons, or in undulations, or in
cyrcle.” Selanjutnya, Munro menegaskan bahwa hukum-hukum atau laws tersebut
akan dapat diungkapkan dengan lebih jelas jika ilmuwan politik tidak lagi
mengafiliasikan dirinya dengan filsafat dan sosiologi, dan lebih banyak mengadopsi
metodologi dan obyektivitas ilmu alam (natural science). Munro membuat analogi
yang menarik antara fisika dan ilmu politik. Menurutnya, ilmu politik sudah
selayaknya meminjam analogi dari ilmu fisika dalam rangka menghilangkan
ketidakjujuran intelektual yang menyangkut kebenaran, persamaan, persaingan, dan
lain sebagainya. Ilmu politik harus mencari konsep-konsep yang mampu melakukan
tes yang senyatanya dan untuk itu ilmu politik harus menekankan pada pengamatan
kehidupan yang aktual.
Kemudian yang terakhir mengenai tradisi ilmu politik (positivis dan
antipositivis), sebenarnya terdapat sebuah alur yang nantinya mengakibatkan sebuah
“revolusi keilmuan”. Positivis yang memiliki kecenderungan untuk membandingkan
dua fenomena (dua variabel) yang terjadi dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai
sebuah ilmu, ditentang oleh antipositivis yang menganggap bahwa hal tersebut tidak
cukup akurat. Antipositivis cenderung memiliki pikiran yang lebih aktif jika
dibandingkan dengan positivis. Lalu para antipositivis menganggap bahwa kebenaran
positivis adalah kebenaran relatif. Sehingga ilmu sosial yang berakar dari pemikiran
positivis bersifat temporal dan tidak absolut. Dan pada akhirnya para antipositivis
terus mencari sebuah kebenaran sehingga terjadilah “revolusi keilmuan”, dimana ilmu
tidak lagi didapat dengan cara yang sederhana, tetapi sudah melalui beberapa
pencarian dan pengujian. Yang memunculkan paradigma baru untuk memberikan
kesempatan kepada munculnya penyimpangan-penyimpangan (anomali) pada ilmu
dan tidak dibatasi oleh paradigma yang telah ada, melainkan harus dicari lebih dalam
kebenaran dari penyimpangan tersebut.
Kesimpulannya, seperti yang telah dipaparkan di atas, ada tiga hal unik dari
tulisan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof.
Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy Permadi, SIP, MA yang menjadi fokus bahasan,
yaitu mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan
axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dan tradisi ilmu politik
(positivis dan antipositivis). Bahwasanya landasan ontologi, epistemologi dan
axiologi dapat digunakan sebagai indikator untuk membedakan ilmu sosial dengan
ilmu lain. Ilmu politik menyerap prinsip ilmu alam untuk mencapai keabsahannya.
Dan terakhir tradisi ilmu politik juga merupakan salah satu awal terjadinya “revolusi
keilmuan”.
FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI
Oleh : Boni Andika
NIM : 10/296364/SP/23830
Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik:
Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof. Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy
Permadi, SIP, MA yang secara garis besar membahas pengertian ilmu sosial dan
ilmu politik, hubungan ilmu sosial dan ilmu politik, filsafat ilmu sosial dan ilmu
politik, teori-teori dalam ilmu sosial dan ilmu politik, serta metodologi riset suatu
ilmu sosial dan ilmu politik.
Namun, selanjutnya dalam critical review ini penulis ingin memfokuskan
masalah yang dibahas dan ditanggapi pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial
(ontologi, epistemologi, dan axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam,
dan tradisi ilmu politik (positivis dan antipositivis).
Pada tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan
axiologi) penulis ingin mengkritisi dan membahas mengenai hubungan antara tiga
landasan tersebut dalam kategori ilmu sosial. Pada fokus ilmu politik yang menyerap
prinsip ilmu alam, penulis ingin menganalisis lebih dalam mengenai prinsip-prinsip
ilmu alam yang diserap ke dalam teori ilmu politik. Dan dalam tradisi ilmu politik
(positivis dan antipositivis), penulis ingin menelaah lebih dalam mengenai hubungan
kedua tradisi tersebut terhadap terjadinya “revolusi keilmuan”.
Pada pembahasan pertama mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial
(ontologi, epistemologi, dan axiologi), dijelaskan bahwa antara ilmu sosial dan ilmu
lain terdapat perbedaan pemahaman tentang realitas, perbedaan pemilihan data yang
relevan dengan realitas tersebut, dan perbedaan strategi dalam mencari data.
Perbedaan tersebut melahirkan ciri khas dari setiap ilmu berdasarkan tiga buah
landasan, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan axiologi.
Landasan ontologi, berusaha menjawab pertanyaan: apakah yang ingin
diketahui ilmu? Atau dengan kata lain, landasan ini membahas pertanyaan-pertanyaan
mengenai objek apakah yang ditelaah oleh ilmu.
Landasan epistemologi, berusaha menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara/
metode agar diperoleh ilmu yang benar? Atau dengan kata lain, landasan ini
membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.
Landasan axiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan: apakah manfaat ilmu
bagi manusia? Landasan ini mempunyai hubungan yang erat dengan nilai (teori
tentang nilai) dan etika.
Dari tiga penjelasan di atas, dapat kita pertajam kembali bahwasanya landasan
ontologi yang membahas mengenai objek apa yang dibahas dalam ilmu sosial. Maka
secara otomatis dapat dikatakan bahwa seluruh fenomena-fenomena sosial yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat, merupakan objek yang dibahas dalam ilmu
sosial, seperti tingkah laku, interaksi, kejahatan, psikologi, sejarah, dan lain-lain.
Lebih jelasnya, dalam ilmu sosial dikenal dua macam objek, yaitu objek formal dan
objek material. Objek material merupakan pokok persoalan yang dikaji dalam
penerapan ilmu sosial, seperti perang (bentuk konkret) dan kekuasaan (bentuk
abstrak). Sedangkan objek formal merupakan pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji objek material. Misalnya ketika objek materialnya berupa interaksi manusia,
maka objek formalnya merupakan sosiologi.
Di lain sisi, landasan epistemologi yang membahas secara mendalam segenap
proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Maka secara
otomatis dapat dikatakan bahwa proses memperoleh pengetahuan dari objek yang
abstrak adalah nalar (reason), intuisi (intuition), otoritas (authority), wahyu
(revelation), dan keyakinan (faith), sedangkan dari objek yang konkret adalah
pengalaman inderawi (sense of experience). Kedua sumber pengetahuan tersebut
kemudian melahirkan dua paham utama dalam pencarian pengetahuan. Aliran
pertama dipelopori oleh Plato, dan aliran kedua yang dipelopori oleh Aristoteles.
Plato mengutamakan kekuatan rasio manusia di mana pengetahuan murni dianggap
dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri. Sedangkan Aristoteles memperhatikan
peranan empiris terhadap obyek pengetahuan. Penalaran Plato berkembang menjadi
rasionalisme yang kemudian didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza,
Leibnis, dan Wolff. Sedangkan penalaran Aristoteles berkembang menjadi empirisme
dan berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Hobbes, Locke, Berkely, dan Hume.
Yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Deduktif-Rasional” dan “InduktifEmpiris”. Dalam “Deduktif-Rasional” terdapat anggapan dasar kaum rasionalis
bahwa manusia memiliki sistem pemikiran yang diturunkan dari adanya ide atau
gagasan. Ide atau gagasan tersebut telah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar dan
pikiran manusia. Menurut Plato, dalam diri manusia, rasio lah yang paling penting,
sehingga Descartes mengemukakan pendapatnya yang sangat terkenal yaitu Cogito,
ergo sum (aku sadar, maka aku ada). Descartes juga sangat menghargai intuisi yang
dianggap sebagai sesuatu yang muncul dari akal jernih dan bukan timbul dari
khayalan yang membingungkan sehingga mengakibatkan pendapat yang keliru. Oleh
karena itu, dalam melakukan penalaran, kaum rasional selalu membandingkan dengan
teori umum sehingga paham rasionalisme terutama melakukan penalaran secara
deduktif, yaitu dari umum ke khusus.
Di sisi lain, dalam “Induktif-Empiris” terdapat anggapan kaum empiris bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Artinya, pernyataan
tentang ada dan tidaknya sesuatu harus dibuktikan melalui pengujian publik. Aspek
lain dalam penalaran ini adalah perbedaan antara yang mengetahui (subjek penelitian)
dan yang diketahui (objek penelitian). Setidaknya terdapat dua prinsip lain yang
dipegang oleh kaum empiris yaitu keteraturan dan keserupaan. Keteraturan berarti
bahwa alam memiliki keteraturan dari masa lampau, sekarang, dan yang akan datang.
Melalui konsep ini, kaum empiris memberikan ruang untuk melakukan prediksi atau
perkiraan untuk masa yang akan datang. Sedangkan keserupaan berarti bahwa bila
terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka
kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan tentang hal itu. Jadi
pengetahuan harus dijabarkan menjadi pengalaman inderawi, dan apa yang tidak
dijabarkan dalam pengalaman bukanlah pengetahuan. Karenanya kaum empiris
menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran dari yang khusus ke yang umum.
Sedangkan landasan axiologi yang membahas mengenai manfaat ilmu sosial.
Maka secara otomatis dapat dikatakan ilmu sosial bernanfaat bagi manusia dalam
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk sosial. Sehingga di sini ilmu sosial
bermanfaat bagi terciptanya sebuah pedoman bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya.
Selanjutnya ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dimaksudkan
bahwa pada ilmu politik mengalami tantangan besar agar dapat diakui sebagai sebuah
ilmu yang seutuhnya, maka dari itu muncul tuntutan untuk mengakomodasi prinsipprinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik. Hal ini disebabkan karena objek
kajian ilmu politik yang terkadang agak samar dan sulit untuk ditelaah. Selain itu,
dalam perkembangannya, ilmu politik berusaha memetakan tujuan, menjawab
permasalahan yang ada, dan mengevaluasi penemuannya dengan menggunakan
framework analisis filsafat ilmu, dalam hal ini tujuan yang ditetapkan merupakan
penjelasan dari sebuah fenomena empiris. Namun demikian, ilmu politik
mendapatkan kritik karena dianggap telah gagal menyerap standar intelektual karena
dalam banyak kasus, sangat mustahil bagi ilmu politik untuk mendekati standar
kualitatif seperti yang dikembangkan dalam ilmu alam. Oleh karena itu, terdapat
upaya-upaya untuk menyerap prinsip-prinsip dalam ilmu alam ke dalam ilmu politik.
Penyerapan ilmu alam ini tidak lain dan tidak bukan berupa rekonstruksi metodologi.
Yang lebih jelasnya, William Bennet Muro, pelopor studi politik ilmiah, dengan tegas
menginginkan ilmu politik bisa menciptakan apa yang disebut fundamental laws atau
hukum yang mampu menjelaskan gejala politik, khususnya perilaku politik.
Menurutnya, “ There is must be laws of politics, for laws are the most universal of all
phenomena. Everything in nature inclines to move in seasons, or in undulations, or in
cyrcle.” Selanjutnya, Munro menegaskan bahwa hukum-hukum atau laws tersebut
akan dapat diungkapkan dengan lebih jelas jika ilmuwan politik tidak lagi
mengafiliasikan dirinya dengan filsafat dan sosiologi, dan lebih banyak mengadopsi
metodologi dan obyektivitas ilmu alam (natural science). Munro membuat analogi
yang menarik antara fisika dan ilmu politik. Menurutnya, ilmu politik sudah
selayaknya meminjam analogi dari ilmu fisika dalam rangka menghilangkan
ketidakjujuran intelektual yang menyangkut kebenaran, persamaan, persaingan, dan
lain sebagainya. Ilmu politik harus mencari konsep-konsep yang mampu melakukan
tes yang senyatanya dan untuk itu ilmu politik harus menekankan pada pengamatan
kehidupan yang aktual.
Kemudian yang terakhir mengenai tradisi ilmu politik (positivis dan
antipositivis), sebenarnya terdapat sebuah alur yang nantinya mengakibatkan sebuah
“revolusi keilmuan”. Positivis yang memiliki kecenderungan untuk membandingkan
dua fenomena (dua variabel) yang terjadi dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai
sebuah ilmu, ditentang oleh antipositivis yang menganggap bahwa hal tersebut tidak
cukup akurat. Antipositivis cenderung memiliki pikiran yang lebih aktif jika
dibandingkan dengan positivis. Lalu para antipositivis menganggap bahwa kebenaran
positivis adalah kebenaran relatif. Sehingga ilmu sosial yang berakar dari pemikiran
positivis bersifat temporal dan tidak absolut. Dan pada akhirnya para antipositivis
terus mencari sebuah kebenaran sehingga terjadilah “revolusi keilmuan”, dimana ilmu
tidak lagi didapat dengan cara yang sederhana, tetapi sudah melalui beberapa
pencarian dan pengujian. Yang memunculkan paradigma baru untuk memberikan
kesempatan kepada munculnya penyimpangan-penyimpangan (anomali) pada ilmu
dan tidak dibatasi oleh paradigma yang telah ada, melainkan harus dicari lebih dalam
kebenaran dari penyimpangan tersebut.
Kesimpulannya, seperti yang telah dipaparkan di atas, ada tiga hal unik dari
tulisan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi karya Prof.
Dr. Budi Winarno, MA dan Dedy Permadi, SIP, MA yang menjadi fokus bahasan,
yaitu mengenai tiga landasan dalam konteks ilmu sosial (ontologi, epistemologi, dan
axiologi), ilmu politik yang menyerap prinsip ilmu alam, dan tradisi ilmu politik
(positivis dan antipositivis). Bahwasanya landasan ontologi, epistemologi dan
axiologi dapat digunakan sebagai indikator untuk membedakan ilmu sosial dengan
ilmu lain. Ilmu politik menyerap prinsip ilmu alam untuk mencapai keabsahannya.
Dan terakhir tradisi ilmu politik juga merupakan salah satu awal terjadinya “revolusi
keilmuan”.