Ketika Para Politisi jatu cinta
Ketika Para Politisi jatu cinta
Senja itu ketika matahari mulai kehilangan senyumnya dan jatuh pada pelukan malam, seorang pria
berkata pada kekasihnya “ Hayati saya putus asah usai timbul pengharapan dalam hidup, yang
belum tentu tujuannya ini, semua bukan hanya bergantung pada diriku !! bukan pulah kepada orang
lain, tapi pada kau Hayati. Kau yang sanggup menjadikan saya orang yang gagah berani, kau pulah
yang sanggup menjadikanku sengsara selamanya, kau boleh memutuskan pengharapanku, kau pun
sanggup membunuhku” demikian aforisma yang Zainuddin lisankan kepada kekasihnya, di balik
kisah Tenggelamnya Kapal Vander Wijck. Kalimat tajam dari seorang penyair yang akan selalu
terluka dengan mengenang kekasih yang gagal di nikahi nantinya, keteguhan dan cinta seorang
zainuddin terhadap hayati dan komitmen-komitmen yang telah di buat oleh hayati sendiri di pegang
teguh meskipun komitmen itu di langgar sendiri oleh kekasihnya hayati.
Begitu rumit untuk menakarkan fenomena moral dari aforisma yang di lisankan Zinuddin karena
interpretasi moral yang di temukan dalam kalimat Zainuddin itu justru merupakan sebuah nilai yang
di penuhi oleh kekuatan moral. Zainuddin dalam melayunya “Kau yang sanggup menjadikan saya
orang yang gagah berani” zainuddin mengukur cinta dan hidupnya ditopang oleh tiang konstruksi
yang ia sebut cinta dari seorang hayati, di lainsisi ia juga berkata “kau pulah yang sanggup
menjadikanku sengsara selamanya” sebuah kepasrahan nasib dan cintanya, kepada yang terkasi
hayati, Maka aroma tragedi dari cinta yang berbunga luka itu pun begitu tragis, pandangan cinta
yang menjelaskan adanya sebuah penerimaan atas luka dan pembebasan terhadap apa yang di
anggap bernilai, “ Menerima apa adanya untuk kebahagian dan kehormatan kepada seseorang
yang di cintai” dengan kata lain sebuah pengorbanan secara totalitas terhadap sesuatu yang benarbenar suci dan di anggap bernilai, tanpa memikirkan kehendak Pribadi begitulah para kekasih
berbisik lembut pada kekasihnya. menurut pemikir Sosiologi Albert Camus, Don Juan melakukan
bunuh diri seperti itu dalam cinta, ia memilih untuk tidak menjadi apa-apa, dengan artian Don juan
Meniadankan kepentingan & kehendak Individualnya hanya untuk sang kekasih.
Sorang filosuf bernama Kikerkegaard, yang tetap mengenang kekasih yang gagal ia nikahi hinga
akhir hayatnya, dalam bukunya “Fear and Trembling” yang membahasa kebinggungan Ibrahim
bagai mana hamba sekaligus seorang kekasih yang begitu setia dan mencintai tuhan, dia coba
dengan seruan menggorbankan anaknya, sebuah seruan yang tak mampu di terima oleh nalar
maunusia normal. Dalam ulasan kikerkegaard peristiwa ibrahaim harus di pahami sebagai sebuah
peristiwa yang otentik, suci dan sakral, yang di alami oleh setiap sabjek-sabjek yang mencintai
seorang kekasih, ataupun beriman. Pada kisah ibrahim, ibrahim sendiri harus diposisikan sebagai
seorang kesatria yang harus menjemput sebuah ujian besar dengan menjalankan sebuah perintah
dari agama cinta yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral pada umumnya. Ritual
pengorbanan dalam sejarah pentas manusia telah ada sejak beratus-ratus tahun silam, berdasarkan
temuan para sejarawan dan para arkiologi, jejak dalam naska-naska kuno dari sejumlah pustaka
peradaban Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa telah membuktikan, sebagi contoh taradisi
mengorbankan diri bagai para dewa-dewa demi mencega gejolak bencana alam.
Para politisi kita seperti Gubernur, wali kota, bupati, ataupun para anggota dewan kita, harus berani
menukar kebahagiaannya dengan perjudian menciptakan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan
sosial ini lah sebuah situasi yang menjadi prahara dalam hati nurani para politisi saat ini, yang
akhirnya melahirkan perselisihan atara janji-janji politik yang puitis dengan keadaan sosial yang
sedang merayakan kehancuran cintanya. Para poltisi juga perlu benar-benar mencintai rakyatnya
agar dapat lari dari jeratan perilaku barbar, Karna “mencintai hanya satu orang itu adalah tindakan
yang barbar karna cinta itu dilakukan dengan mengorbankan cinta yang banyak” jelasnya seorang
politisi tidaklah boleh mencintai diri sendiri dan kepentingannya ia harus berani mencintai
kepentingan orang banyak, namun pada realitasnya cinta para politisi untuk rakyat tidak tersaji. Para
politisi pun kehilangan kepemimpinan karena para pelakunya berubah menjadi “idola-Idola” yang
bekerja demi kepentingan personal mereka ketimabang kepentingan publik. maka sampai pada
kondisi ini politik tidak lebih dari semata-mata sebuah pembantaian terhadap “kekasih” sendiri dan
rakyat yang mengalami penderitan hati, mulai menganggap para politis sebagai asal-muasal
perselingkuhan, munafik, kericuhan, licik, dan percerayan, hinga yang tersisah hanyalah sebuah
penderitaan yang tak berujung.
Itu sebabnya para politisi perlu menyajikan cinta terbaik yang menjadi setetes darah yang
menghidupi pengharapan rakyat, jika kelak para politisi itu sungguh benar-benar jatu cinta pada
rakyat dengan menggorbankan kepentingannya, maka ia akan di sucikan dalam cinta yang
menyucikan, dan ia akan selalu di kenang dalam etalase kenangan para rakyatnya. Meski kadang
kita dapat melihat dengan jelas para politisi kita hanya mencari dan mencintai untuk menemukan
kebahagiaan dan kepentingan yang melimpah bagi dirinya sendiri dalam kebebasan untuk menjadi
dirinya, tetapi begitu banyak para pecinta di luar sana dengan senang hati hidup bersama
kekasihnya untuk kehilangan diri dan kepentingannya.
A-be.
Senja itu ketika matahari mulai kehilangan senyumnya dan jatuh pada pelukan malam, seorang pria
berkata pada kekasihnya “ Hayati saya putus asah usai timbul pengharapan dalam hidup, yang
belum tentu tujuannya ini, semua bukan hanya bergantung pada diriku !! bukan pulah kepada orang
lain, tapi pada kau Hayati. Kau yang sanggup menjadikan saya orang yang gagah berani, kau pulah
yang sanggup menjadikanku sengsara selamanya, kau boleh memutuskan pengharapanku, kau pun
sanggup membunuhku” demikian aforisma yang Zainuddin lisankan kepada kekasihnya, di balik
kisah Tenggelamnya Kapal Vander Wijck. Kalimat tajam dari seorang penyair yang akan selalu
terluka dengan mengenang kekasih yang gagal di nikahi nantinya, keteguhan dan cinta seorang
zainuddin terhadap hayati dan komitmen-komitmen yang telah di buat oleh hayati sendiri di pegang
teguh meskipun komitmen itu di langgar sendiri oleh kekasihnya hayati.
Begitu rumit untuk menakarkan fenomena moral dari aforisma yang di lisankan Zinuddin karena
interpretasi moral yang di temukan dalam kalimat Zainuddin itu justru merupakan sebuah nilai yang
di penuhi oleh kekuatan moral. Zainuddin dalam melayunya “Kau yang sanggup menjadikan saya
orang yang gagah berani” zainuddin mengukur cinta dan hidupnya ditopang oleh tiang konstruksi
yang ia sebut cinta dari seorang hayati, di lainsisi ia juga berkata “kau pulah yang sanggup
menjadikanku sengsara selamanya” sebuah kepasrahan nasib dan cintanya, kepada yang terkasi
hayati, Maka aroma tragedi dari cinta yang berbunga luka itu pun begitu tragis, pandangan cinta
yang menjelaskan adanya sebuah penerimaan atas luka dan pembebasan terhadap apa yang di
anggap bernilai, “ Menerima apa adanya untuk kebahagian dan kehormatan kepada seseorang
yang di cintai” dengan kata lain sebuah pengorbanan secara totalitas terhadap sesuatu yang benarbenar suci dan di anggap bernilai, tanpa memikirkan kehendak Pribadi begitulah para kekasih
berbisik lembut pada kekasihnya. menurut pemikir Sosiologi Albert Camus, Don Juan melakukan
bunuh diri seperti itu dalam cinta, ia memilih untuk tidak menjadi apa-apa, dengan artian Don juan
Meniadankan kepentingan & kehendak Individualnya hanya untuk sang kekasih.
Sorang filosuf bernama Kikerkegaard, yang tetap mengenang kekasih yang gagal ia nikahi hinga
akhir hayatnya, dalam bukunya “Fear and Trembling” yang membahasa kebinggungan Ibrahim
bagai mana hamba sekaligus seorang kekasih yang begitu setia dan mencintai tuhan, dia coba
dengan seruan menggorbankan anaknya, sebuah seruan yang tak mampu di terima oleh nalar
maunusia normal. Dalam ulasan kikerkegaard peristiwa ibrahaim harus di pahami sebagai sebuah
peristiwa yang otentik, suci dan sakral, yang di alami oleh setiap sabjek-sabjek yang mencintai
seorang kekasih, ataupun beriman. Pada kisah ibrahim, ibrahim sendiri harus diposisikan sebagai
seorang kesatria yang harus menjemput sebuah ujian besar dengan menjalankan sebuah perintah
dari agama cinta yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral pada umumnya. Ritual
pengorbanan dalam sejarah pentas manusia telah ada sejak beratus-ratus tahun silam, berdasarkan
temuan para sejarawan dan para arkiologi, jejak dalam naska-naska kuno dari sejumlah pustaka
peradaban Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa telah membuktikan, sebagi contoh taradisi
mengorbankan diri bagai para dewa-dewa demi mencega gejolak bencana alam.
Para politisi kita seperti Gubernur, wali kota, bupati, ataupun para anggota dewan kita, harus berani
menukar kebahagiaannya dengan perjudian menciptakan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan
sosial ini lah sebuah situasi yang menjadi prahara dalam hati nurani para politisi saat ini, yang
akhirnya melahirkan perselisihan atara janji-janji politik yang puitis dengan keadaan sosial yang
sedang merayakan kehancuran cintanya. Para poltisi juga perlu benar-benar mencintai rakyatnya
agar dapat lari dari jeratan perilaku barbar, Karna “mencintai hanya satu orang itu adalah tindakan
yang barbar karna cinta itu dilakukan dengan mengorbankan cinta yang banyak” jelasnya seorang
politisi tidaklah boleh mencintai diri sendiri dan kepentingannya ia harus berani mencintai
kepentingan orang banyak, namun pada realitasnya cinta para politisi untuk rakyat tidak tersaji. Para
politisi pun kehilangan kepemimpinan karena para pelakunya berubah menjadi “idola-Idola” yang
bekerja demi kepentingan personal mereka ketimabang kepentingan publik. maka sampai pada
kondisi ini politik tidak lebih dari semata-mata sebuah pembantaian terhadap “kekasih” sendiri dan
rakyat yang mengalami penderitan hati, mulai menganggap para politis sebagai asal-muasal
perselingkuhan, munafik, kericuhan, licik, dan percerayan, hinga yang tersisah hanyalah sebuah
penderitaan yang tak berujung.
Itu sebabnya para politisi perlu menyajikan cinta terbaik yang menjadi setetes darah yang
menghidupi pengharapan rakyat, jika kelak para politisi itu sungguh benar-benar jatu cinta pada
rakyat dengan menggorbankan kepentingannya, maka ia akan di sucikan dalam cinta yang
menyucikan, dan ia akan selalu di kenang dalam etalase kenangan para rakyatnya. Meski kadang
kita dapat melihat dengan jelas para politisi kita hanya mencari dan mencintai untuk menemukan
kebahagiaan dan kepentingan yang melimpah bagi dirinya sendiri dalam kebebasan untuk menjadi
dirinya, tetapi begitu banyak para pecinta di luar sana dengan senang hati hidup bersama
kekasihnya untuk kehilangan diri dan kepentingannya.
A-be.